Selasa, 12 Agustus 2008

Kakek dan Beruang Membantu Kami Menulis

Sabtu, 9 Agustus 2008 para peserta Writers’ Circle in Indonesian kembali berkumpul di ruang belakang toko buku Reading Lights, di mana tersedia hanya sebaris sofa empuk, banyak kursi kayu, cahaya temaram kekuningan, dan musik yang mengalun sayup dari speaker di pojok ruangan. Seperti biasa, kami berkumpul mulai pukul 4 sore. Minggu ini bisa dibilang lebih berwarna daripada pertemuan minggu-minggu kemarin. Peserta yang hadir lumayan banyak. Ada sebelas orang, yakni Anas, Trisna, Dea, Indra, Opik, Aji, Selvi, Neni, Ina, Andika dan saya. Bedanya, Erick Sang Fasilitator tidak datang kali ini. Dia sedang mengikuti konferensi pecinta komik, kartun, cult TV series, dan action figures di gedung KOMPAS Bandung.


Berhubung Erick menghilang, Andika pun jadi fasilitator dadakan. Ia datang membawa sebongkah bungkusan koran yang di dalamnya terdapat dua buah patung keramik kecil. Yang satu patung seekor beruang mungil berompi biru, yang lainnya seorang kakek. Bentuk si kakek mengingatkan saya pada dewa dalam tradisi Cina, seperti yang suka saya tonton di serial Kera Sakti, haha! Sang kakek berjanggut dan berjubah putih itu tengah memegang pancingan. Matanya mengintai kehadiran ikan di ujung kail miliknya. Perkenalkan sang kakek bernama Shifu, sedangkan si beruang mungil adalah Beru.


Lalu mengapa Andika tiba-tiba menggiring pasangan beruang dan kakek tua itu ke pertemuan kali ini? Rupanya kehadiran dua tokoh itu bertugas membantu kami mengisi kertas kosong di pangkuan. Bagi banyak penulis, terutama yang pemula, halaman putih bersih yang masih belum ditulisi apa-apa kadang terasa menyeramkan, membingungkan, dan membuat stress. Dengan bantuan sang kakek dan si beruang, kami mencoba menaklukan perasaan itu.


Pertama, kesebelas orang yang hadir diminta menuliskan latar belakang salah satu patung yang tersedia selama lima menit. Beberapa orang, terutama Anas mulai mengobservasi kedua patung mungil itu secara mendalam: dilihat, diperhatikan, didekati, disentuh, digenggam, dan diangkat.


Selanjutnya, Andika mendikte sebuah kalimat yang akan menjadi awalan cerita yang akan kami tulis. Isinya:

Shifu tengah memegang erat pancingannya ketika Beru melangkah gontai di semak-semak di tepi danau.


Seketika kalimat itu pun tersalin di halaman. Sementara beberapa peserta langsung melayangkan khayalan sebebas-bebasnya, beberapa lainnya kembali memegang-megang patung Beru dan Shifu sepuas-puasnya. Memang, kalimat pembukanya terasa sederhana dan lumrah saja. Namun justru ini tantangannya, menjadikan kelanjutan ceritanya seliar mungkin. Hasilnya, munculah kisah dari bibir masing-masing peserta yang bisa membuat pendengarnya tersenyum, merenung, atau bahkan tergelak lepas.


Dea dan Aji menyajikan cerita modern yang juga kocak pada saat bersamaan. Dea mengisahkan Shifu adalah penyihir jahat yang mengubah telur-telur Becky, si bebek teman Beru, menjadi bebek toilet. Ternyata Shifu adalah singkatan Sihir dan Fulus, maka pantas saja dalam cerita Dea identitas Shifu sebenarnya adalah seorang kapitalis.


Dea Sedang Baca Karya


Aji menceritakan Beru dan induknya yang menuntut pertanggungjawaban manusia atas naiknya suhu bumi. Tak hanya itu, Beru dan induknya pun sempat ditembaki helikopter. Shifu mengalami kesulitan tidur karena panasnya udara. Ujung-ujungnya, untuk meredakan kegerahan mereka pun mencari penjual es krim Walls dan Campina. Cerita Aji membuat saya mengidamkan makan es krim!


Kemudian saya bercerita tentang Shifu yang menunggu kematian istrinya sehingga ia dapat menikah dengan Wei Wei, pembantu mudanya. Saat Shifu sedang memancing, Beru muncul. Beruang itu mengancam nyawa Shifu karena telah membabat hutan untuk dijadikan persawahan. Di akhir cerita, Shifu diselamatkan oleh sang istri yang justru pada awalnya diharapkan cepat mati.


Anas kembali menunjukkan kelihaiannya menulis kisah kemanusiaan. Kali ini, ia menceritakan manusia serakah yang dikutuk menjadi beruang. Kemudian, Shifu menasihatinya untuk berdoa dan memohon ampun. Kisah ini Anas sampaikan dalam karangan yang terhitung pendek tapi dipenuhi dengan deskripsi tokoh yang cukup prima.


Selvi pun mengambil tema kutukan dalam cerpennya. Dikisahkan Shifu adalah seorang yang sakti. Suatu kali, ia mengutuk istrinya jadi beruang yang berakibat pada hilangnya seluruh kekuatan Shifu. Setelah lama berpisah, mereka pun dipertemukan kembali. Sayangnya, Shifu sama sekali tidak ingat dengan istrinya.


Indra, yang terhitung newcomer, memukau pendengar dengan keahlian meliuk-liukkan kalimat sehingga terasa mengalir lembut. Kali ini ia mengisahkan tentang perebutan ikan antara Shifu dan Beru, yang berujung pada kebencian satu sama lain. Saya rasa Indra sudah sangat sering membaca dan mengarang. Pada pertemuan sebelumnya pun, ia dengan lancarnya menjelaskan cerita tentang banyak penulis.


Banyak peserta yang datang telat kali itu. Konsekuensinya, Andika harus menjelaskan tema penulisan lagi dan lagi. Sayangnya, Opik dan Neni datang sangat telat sehingga arahan yang diberikan kurang maksimal. Walaupun format tulisannya salah, karya mereka tetap mendapatkan apresiasi yang hangat.


Opik meneruskan hobinya menuliskan cerita bergaya narasi. Kisahnya cukup indah dan terasa nyata. Menurut Andika, kehadiran patung Shifu dan Beru sebagai tokoh cerita membuat kisah semakin nyata dan mudah dipercaya.


Neni bercerita tentang perjalanan Shifu di hutan. Awalnya saya pikir kisah ini berlatarkan jaman baheula, sampai Shifu mengeluarkan handphone dan mengeluh karena tidak menemukan sinyal.


Andika menjadi orang terakhir yang membacakan ceritanya tentang Shifu dan Beru ini. Kisahnya tentang Beru sang beruang kecil yang merasa berbeda dengan beruang kebanyakan. Sejak kecil Beru ditinggalkan ayahnya yang berpoligami. Karena tidak mendapat asuhan, Beru tumbuh dengan caranya sendiri. Beru si beruang berompi menjual buah-buahan kepada banyak hewan. Takdir mempertemukannya dengan Shifu. Percekcokan keduanya berakhir tragis. Saya rasa topik kisah ini sangat universal dan mudah menyentuh. Sebab, banyak orang yang merasa berbeda dari lingkungannya.


Pertemuan Writers’ Circle kali ini ditutup pembacaan cerpen yang dibawa oleh Indra. Cerpen ini menceritakan keresahan Prof. Hari tentang istrinya. Hilangnya sang istri diketahui Prof. Hari dari lampu depan rumah yang belum dinyalakan, tatanan rumah yang berbeda dari biasanya. Prof. Hari menyisir seluruh ruangan di rumah sambil memikirkan berbagai kemungkinan tentang sang istri. Hingga akhirnya, ia menemukan sepucuk surat yang meskipun puitis tetapi isinya menyakitkan. Cerpen Indra mendapat pujian dari para peserta. Kebanyakan peserta mengaku terlena dengan narasi yang menarik dan bikin penasaran itu.


Penulisan kali ini berjalan dengan menyenangkan dan dipenuhi dengan eksplorasi yang khas dari tiap peserta. Sayang sekali Erick melewatkannya... :-)


Bersama ini, saya juga mengucapkan belasungkawa atas wafatnya kerabat Trisna. Semoga segala amal baiknya diterima oleh Tuhan YME. Amin.


Yuliasri Perdani


Yuliasri Perdani atau Uli adalah mahasiswa jurusan Jurnalistik FIKOM Unpad yang belum bercita-cita menjadi jurnalis. Ia suka menonton film apapun selama bukan film horor. Demi menunjang hobinya, uang sakunya ia rela habiskan untuk membeli/menyewa DVD bajakan. Uli suka membuat film, menulis skenario, dan es krim Walls rasa jeruk nipis yang ditengahnya ada jelly. Slluuurrrrp!

4 komentar:

Erick S. mengatakan...

Huuuh, sebel jadi penasaran!


Eniwei, workshopnya hampir senada dengan Sampoerna Creating Future Writers... Konsep dadakan yang diadain dengan EO seadanya yang ga ngerti komunitas lokal itu kaya apa...

Yah namanya juga belajar...

Anonim mengatakan...

Tapi juga sukses kan nyebarin kartu nama?

Nia Janiar mengatakan...

Wah... yang dateng banyak yaa. Pasti repot banget bikin reportasenya. Huehuehue.

Sabarlah, wahai para penulis, temanmu ini sedang berjuang untuk sidang, dan pasti akan datang.

Hehe.

Whoever wants to know my Indonesia mengatakan...

Salam. Salam kenal dari penulis buku 40 Hari Di Tanah Suci