Selasa, 05 Agustus 2008

Alibi dan Empat Puluh Penyamun

Foto5Juli08

Hari ini, selain saya, Reading Lights Writer’s Circle dihadiri juga oleh Nia, Fadil, Myra, Andika, Selvi, Nila, Uli, Wahyu, Anas, serta seorang penulis full timer bernama N. Marewo.

Setelah mendengar cerita seorang teman di luar the circle tentang plot film thriller berjudul The Oxford Murders (tengkyu banget deh buat spoiler-nya!), saya memutuskan untuk menjadikan teknik membuat alibi sebagai latihan menulis kali ini. Caranya mudah saja, kok. Pertama, dalam waktu lima menit, buatlah sketsa adegan dimana sang pelaku tertangkap basah dalam melakukan tindakannya. Tentu saja tindakannya itu bisa berupa apapun: bisa mencontek, korupsi, selingkuh, ataupun menggergaji kaki teman. Setelah lima menit plus perpanjangan waktu sekitar lima menit lagi, semua peserta diminta berhenti menulis.

Lalu?” tanya seorang peserta.

Lalu kita semua mendapat tugas membela tokoh dalam tulisan tadi,” jawab saya. “Buatlah lima alibi atau alasan yang memungkinkan, sehingga ia tampak sebagai orang benar yang berada pada waktu dan tempat yang salah.”

Saya berpikir terlalu jauh, kurang lebih inilah tulisan yang saya buat:

Edwin mengetuk-ngetuk setir mobilnya. Waktu berlalu lambat. Jalan protokol terasa penuh dan panas. Tidak ada awan hari ini.

Sambil mengelap keringat, ia melirik ke belakang. Peledak berkapasitas dua ton itu sudah terpicu. Tinggal menunggu dua menit, lalu semuanya selesai.

Satu setengah menit sebelum meledak, Edwin tancap gas menuju daerah perkantoran.

Tiba-tiba seorang ibu tergelincir dari dalam metromini, membuat Edwin kaget, banting setir dan menabrak pohon.

Ia terbangun dengan kerumunan orang disekitarnya, dan bom yang tidak jadi meledak itu mendarat di sisinya.

Dan argumen yang saya gunakan untuk membenarkan tindakan Edwin adalah:
  1. Edwin hanya disuruh mengantar barang ke daerah perkantoran, ia tidak tahu jika bungkusan itu adalah peledak. Kerahasiaan adalah nomor satu bagi jasa pengiriman barang, dan Edwin sudah sering ditegur karena mengintip kiriman serta ngebut di jalanan. Rupanya ia sedang naas kali ini.

  2. Edwin ditawari peran untuk film lokal, dan ia berusaha mendalami karakternya dengan menyiapkan peledak palsu dan beraksi di tempat ramai.

  3. Edwin adalah anggota BIN, ia kesal dengan kondisi kepolisian yang rata-rata anggotanya adalah lulusan SMA, serta tim forensik yang berasal dari Kedokteran UI, bukan dari satuan POLRI. Terinspirasi episode CSI beberapa season yang lalu, ia nekat untuk memasuki alam pikiran pelaku peledakan, dengan pura-pura berperan menjadi pelaku.

  4. Edwin memiliki kesulitan finansial dalam menghidupi keluarganya, jadi saat ada tawaran untuk melakukan suatu pekerjaan dengan syarat patuh total dan dibayar lima puluh persen di muka, bukan hal yang mustahil jika ia menyanggupi tanpa pikir panjang.

  5. Edwin itu memang bodoh dan ceroboh, ia mencuri mobil boks yang salah. Tapi semua pencuri mobil pasti akan melakukan hal yang sama jika melihat mobil dengan jendela terbuka dan kunci berikut STNK menempel pada tempatnya. Sepertinya ia sempat berpikir di dalam boks itu ada barang lain yang cukup berharga.

Beberapa teman berpendapat, tulisan di atas lebih condong ke arah komedi walaupun alasannya sudah cukup logis. Mungkin tindakan tokoh utama terlalu kentara sehingga sulit membuat alasan untuk memutarbalikkan fakta. Mungkin juga ini disebabkan karena tulisan saya karakternya memang cenderung komedi, selain fantasi dan sedikit sadis tentunya.


Sementara itu, Fadil menulis tentang seseorang yang ketahuan memasukkan CD ke dalam kantung jaket, lalu membela diri dengan menyatakan ia ingin melihat-lihat CD lain sehingga membutuhkan tangan yang bebas bergerak. Karakter itu akhirnya menuju kasir dan membayar, namun setelah jauh, ia mengeluarkan satu lagi CD dari dalam kantungnya. Menurut Fadil, kejadian ini bisa saja terjadi di sebuah toko musik orisinil di jalan Dalem Kaum, yang tidak memiliki sistem keamanan seperti Aquarius atau Disc Tarra. Pembaca tidak saya sarankan mempraktekkan hal ini. Adalah tindakan yang sangat-sangat bodoh bila kita mempertaruhkan nyawa dengan mencuri piringan musik di tempat ramai, apalagi jika bajakannya tersedia beberapa meter dari tempat itu!Wahyu menulis tentang seorang kakak yang mencuri apel milik adiknya, dan alasan ia melakukannya adalah “Kakak tidak sengaja menggigit apel itu”. Untuk seorang adik yang masih kecil dan agak mudah dialihkan perhatiannya, saya pikir argumen itu cukup berfungsi.

Anas, di lain pihak, membuat cerita mengenai perselingkuhan dengan dalih, “Jika cinta sudah berbicara, apa daya?” Sebuah argumen yang indah, tetapi kurang efektif.

Masa sih?” tanya peserta lain sangsi.

Tidak percaya? Cobalah selingkuh terang-terangan. Ketika ditanya mengapa, lantas katakanlah, ‘Yah apa daya? Cinta sudah berbicara, Sayang’,” jelas saya.

Sementara Nila bercerita tentang sandal yang hilang dan Selvi menulis mengenai kepergok saat mencontek, Myra bercerita mengenai keluarga yang saling menyalahkan mengenai siapa yang makan daging mentah di kulkas. Ia membuat karakternya menjadi setan yang suka makan daging mentah, walaupun tidak diceritakan pada tulisan. Ide yang menarik, dan menimbulkan pertanyaan: perlukah membuat karakternya sebagai monster, atau tetap manusia, tapi gemar makan daging mentah?

Andika dan Nia sama-sama bertutur mengenai pengalaman pribadi tokoh yang tertangkap basah saat melakukan masturbasi. Bedanya di mana? Tulisan Andika bercerita mengenai pelaku yang, saat kepergok oleh ibunya, setting langsung berubah menjadi pengadilan dan muncul tokoh pengacara serta jaksa, yang mempermasalahkan apakah bermasturbasi merupakan kesalahan atau bukan, apalagi si pelaku tidak mencapai klimaks. Pada tulisan Nia, pokok tulisan ada pada lubang tempat si tokoh mengintip, lalu melakukan masturbasi. Tema sama dengan twist yang berbeda. Perlu dicoba untuk pertemuan mingguan selanjutnya.

Setelah selesai, kami meminta Mas Marewo sedikit berbagi mengenai karyanya yang berjudul Filmbuehne Am Steinplatz terbitan Lentera. Buku ini adalah novel pertamanya yang diterbitkan. Sejak saat itu, penulis yang mengaku telah menulis sejak berumur sembilan belas tahun ini telah merambah ke esei, naskah teater, dan novel-novel yang lainnya. Novel pertamanya ini mengangkat pengalamannya tinggal di Jerman dan kebanyakan ber-setting di Filmbuehne Am Steinplatzm, semacam bioskop mini tempat di mana banyak orang dari ras dan negara lain berkumpul dan bersinggungan. Secara tidak sadar, semua terjebak dalam lingkaran saling mengolok-olok perbedaan masing-masing. Mereka yang makan lalab tertawa melihat mereka yang makan keju, sementara mereka yang makan keju menertawakan mereka yang makan daun (lalab). Padahal tak seorangpun yang meminta untuk dilahirkan di Eropa atau di Asia. Resensi lengkap bisa dilihat di sini.Terakhir, Wahyu membagikan fotokopian tulisan tentang pengalaman menulis, yang cukup memicu semangat. Tengkyu berat, Bro! Oh iya tambahan lagi, minggu depan kami berencana untuk meresensi lukisan di Jendela Ide. Acaranya dimulai jam dua siang. Apabila tidak tahu tempatnya, anda bisa berkumpul di Reading Lights pada jam setengah dua. Semoga lancar.***

Erick S.

Erick adalah fasilitator kegiatan Reading Lights Writer’s Circle in Indonesian yang berlangsung setiap Sabtu jam empat sore. Sehari-hari ia aktif di gereja, juga mengajar sebagai asisten dosen di Itenas, dan yang terpenting mengusahakan agar proyek komiknya bisa segera terbit. Ini bukan promosi karena ia sudah tidak available. Untuk melihat ulasan pertemuan Writer’s Circle minggu-minggu sebelumnya, silakan klik ke sini.

Tidak ada komentar: