Kamis, 30 Juli 2009

Balerina, Melodi Masa Muda, Dan Setetes Nostalgia


Menu minuman Reading Lights dibahas di blog buku-nya The Guardian! (Sejak Januari, tetapi saya baru ngeh minggu lalu :P.) Secara tak langsung ini membuat saya makin bersemangat menghadiri pertemuan mingguan writer’s circle di toko buku tersebut. Tak sabar rasanya menikmati minuman cokelat yang diracikkan Ade atau Melda, para cooking master dari dapur Reading Lights.

Genap sepuluh orang hadir pada pertemuan kemarin: saya, Indra, Anas, Dani, Zisa, Hakmer, Nia, Dea, Anggi, dan Uli. Yang menjadi tema minggu ini adalah memancing keluarnya tulisan dengan mendengarkan lagu. Speaker, iPod, lima lagu, dan transkrip lirik telah disiapkan untuk latihan menulis kali ini. Para peserta dibebaskan untuk menulis apa saja: bisa mood yang muncul setelah mendengarkan irama lagu, cerita fiksi yang terinspirasi lirik atau gaya bernyanyi vokalisnya, memori yang mengemuka, semacam puisi, atau apapun. Bebas, asal masih relevan dengan lagunya.

Lagu-lagu yang dipilih sebagian besar bernuansa folk, yang mana merupakan genre musik favorit saya. Ada The Swimming Song-nya Loudon Wainwright III, Happy End dengan Kaze Wo Atsumete, dan Quelqu’un M’a Dit yang dilantunkan Carla Bruni. Dua lagu lainnya masing-masing bernuansa populer, pop dalam negeri dan pop disko, yaitu Balerina oleh Efek Rumah Kaca dan Mr Tough-nya Yo La Tengo.

Setelah cukup lama menulis sambil mendengarkan lagu (atau mendengarkan lagu sambil menulis), masing-masing peserta pun membacakan karyanya. Dimulai dari Dani yang mengaku kurang terinspirasi dengan melodi lagu-lagu yang saya pilih, beruntung ia kreatif dalam memainkan liriknya sehingga muncul cerita-cerita sangat pendek ajaib yang mengundang senyum. Salah satunya, cerita yang terinspirasi lirik Balerina ini:



Kukembangkan payungku. Memang meniti tali di ketinggian antara dua gedung membuatku bisa melintas lebih cepat daripada menunggu belas kasih supir-supir tolol di bawah, tetapi cara ini ternyata panas sekali. Seharusnya aku tidak melakukannya tepat di akhir istirahat makan siang.

Seutas tali lain tiba-tiba terbentang di sebelahku, mengular ke arah sebaliknya. Seorang wanita bergaun merah mulai melintas di atasnya.

Ia tersenyum padaku saat kami berpapasan. Semoga nanti sore aku tidak lupa membentangkan taliku di sini lagi. Aku harus mendapatkan nomor teleponnya!



Setelah Dani membacakan tulisan, giliran selanjutnya bisa berputar ke arah Zisa atau Anas. “Gentlemen first,” celetuk Zisa, maka Anas pun membacakan dua tulisannya yang sama-sama mengangkat tema kehidupan. Tulisan pertamanya merupakan monolog yang seakan meneruskan lirik lagu Balerina. Kehidupan yang bagaikan langkah-langkah yang diambil seorang balerina, kehidupan yang tidak hanya setengah isi, tetapi juga setengah kosong. Sementara itu, tulisan kedua Anas terinspirasi lagu Mr Tough merupakan cerita tentang perjuangan seorang wanita setengah baya dalam melanjutkan hidup di dalam situasi yang serba berkekurangan.

Habis Anas, terbitlah Indra. Ia mendeskripsikan sebuah kolam renang di suatu tempat di jantung Amerika Serikat. Bisa Orlando, Phoenix, atau Iowa. Sebuah tempat di mana anak-anak berambut pirang keemasan berlari-lari seakan mereka tidak mengenal kesedihan. Lalu Indra membacakan sebuah cerita yang menggambarkan seorang anak kecil yang mengamati keadaan sekitarnya di tepi Pantai Kuta. Tulisan ini dimaksudkan terinspirasi lagu Balerina, “Tetapi kok panjang sekali?” pikir saya. Saya menoleh ke arah Indra, ternyata ia membacakan sebuah manuskrip tulisannya yang diketik di komputer!

Saya lantas membacakan tiga tulisan saya yang terinspirasi The Swimming Song, Kaze Wo Atsumete, dan Mr Tough. Ketiganya sama-sama membahas masalah keluarga.

Tulisan Uli dan Dea sepertinya sama-sama terinspirasi dengan gaya bernyanyi Carla Bruni. Suara Bruni yang smooth dan pengucapan katanya yang seperti menggumam memunculkan sesosok karakter khusus di benak Uli. Sosok seorang gadis berusia 21 tahun yang akan menikah dengan seseorang yang sama sekali belum dikenalnya. Perdebatan batin si gadis tergambar dengan cukup baik, apa karena dalam kehidupan nyata Uli berulang tahun yang ke-21 tanggal 28 Juli lalu, ya? Sementara itu Dea menyampaikan sebuah kisah tentang perjumpaannya dengan perempuan yang ditulis Uli. Dea menemukan gadis itu tampak gundah di taman. Ketika ditanyai mengapa, jawaban si perempuan tidak dimengerti oleh Dea. Akhirnya perempuan itu muntah di dekat lampu taman.

Di pertemuan pertamanya, Anggi tidak tampak seperti peserta yang baru kenal dengan writer’s circle. Meskipun sempat mengeluh kira-kira begini, “First draft is the most deletable draft,” tetapi ketika pembacaan karya Anggi tampak percaya diri membacakan tulisannya yang puitis dengan gaya seperti berdeklamasi.

Nia menulis komentar-komentar singkat tentang lagu-lagu pilihan saya. Ia tidak menyukai The Swimming Song yang terdengar seperti lagu country di mana segalanya kelewat ceria, padahal tidak. Seperti orde baru, katanya. Sementara itu Mr Tough mengingatkan Nia pada era sepatu roda, dansa, dan seks sehabis pesta. Kesan ini juga muncul pada tulisan fiksi Hakmer yang menganggap lagu Mr Tough sangat hippie. Baik Nia maupun Hakmer terbayang akan Mika ketika mendengar lagu itu.

Sesi pembacaan karya ditutup oleh tulisan Zisa. Tulisan pertamanya berlatarkan Gedung Sate, sementara tulisan keduanya yang terinspirasi Quelqu’un M’a Dit menyatakan bahwa tempat curhat yang paling baik baginya adalah gedung tua yang kosong. Tulisan Zisa yang kedua membuat saya teringat pada Tembok Ratapan. Juga pada sebuah film yang berakhir dengan karakter utamanya berlutut dekat lubang kecil di tembok Angkor Wat, membisikkan rahasia bahwa ia pernah mencintai seorang perempuan yang tak mungkin bisa bersamanya, kemudian menutupi lubang itu dengan tanah. Saya tak begitu suka film itu meskipun tertarik dengan konsep curhat pada gedung tua. Anggi mengaku mendengarkan pembacaan Zisa ia bisa membayangkan visualisasi tulisan tersebut dalam bentuk komik.

Usai pembacaan karya writer’s circle sempat mengobrol tentang the so-called Indonesian music today. Tentang ketidaksukaan sebagian peserta pada musikalitas band-band baru yang bermunculan. Satu dua kali bersuara, kebanyakan saya hanya duduk di pinggir: menonton Indra yang secara tidak langsung membela Kangen Band, mendengarkan Hakmer yang menganggap musik baru ini membodohi pendengarnya, Anas yang mengaku berusaha tidak mendengarkan musik, dan lain sebagainya. Riuh rendah obrolan mereka memunculkan sebuah melodi unik di kepala saya, melodi masa muda, dan setetes nostalgia.

Sabtu, 18 Juli 2009

The Passion

Pertemuan RLWC kali ini agak tidak biasa karena mengangkat tema seks. Ya, benar. Salahkan Andika yang baru saja menonton salah satu versi film Lady Chatterley's Lover pada malam sebelumnya. Mungkin juga dia masih menyimpan sedikit dendam karena pada pertemuan dua minggu yang lalu--dengan tema tulisan yang diilhami oleh mimpi--hanya satu orang (saya sendiri) yang menyisipkan siratan terkecil tentang unsur seksual.

Semua orang memiliki imajinasinya masing-masing
Apapun motivasinya, yang jelas Andika meminta peserta pertemuan RLWC kali ini untuk menulis fiksi yang berkaitan dengan seks atau sensualitas. Tetapi sebelumnya diadakan suatu diskusi singkat tentang mengapa sastra di Indonesia lebih "bebas" dalam memuat adegan seks daripada media-media yang lebih bersifat visual seperti film atau televisi. Diskusi ini, walaupun cukup ramai, masih jauh kalah menarik dari hasil-hasil tulisan yang dikeluarkan para peserta setelah 45 menit (kecuali saya yang mengambil kesempatan untuk bertindak curang dan terus menulis sementara beberapa cerita lain sedang dibacakan).
Myra dengan buku besarnya
Myra menulis suatu cerita tentang seorang wanita yang bermimpi dibawa lari oleh seekor kuda dan tidak mampu menghentikan kuda itu. Saat wanita itu terbangun ia menemukan bahwa suaminya telah meperkosanya dalam tidur. Perbuatan itulah yang menjelaskan rasa sakit di pahanya dan suhu panas yang begitu mengganggunya dalam mimpinya. Beberapa peserta lain merasa bahwa penggambaran seks melalui metafora kuda dalam mimpi agak lucu, walaupun timbul juga pendapat bahwa mungkin ini bukan kesalahan Myra melainkan sifat bahasa Indonesia itu sendiri yang agak canggung dalam menjelaskan kegiatan seks.
Sedikit malu menulisnya
Berikutnya, Neni menulis tentang hasrat seorang wanita untuk membeli dan melakukan "hal-hal tertentu" terhadap sesuatu di balik etalase toko. Benda ini diceritakan seolah-olah ia adalah seorang lelaki, padahal sebenarnya hanya sepotong kue cokelat. Azisa berpendapat bahwa cerita ini pada awalnya nampak agak aneh karena biasanya--paling tidak dalam konteks Indonesia--kaum lelakilah yang berpikir tentang "membeli" seorang wanita untuk keperluan percintaan.

Singkat, padat, dan eksplisit!
Cerita yang ditulis Ina berkisah tentang wanita yang dirayu dan mulai bercumbu dengan seorang lelaki di sebuah koridor. Walaupun cerita ini tampaknya salah satu yang paling "panas" dari tulisan-tulisan yang dibuat dalam pertemuan ini, muncul protes bahwa adegan seksnya kurang terburu-buru (urgent), apalagi jika menimbang tempat percumbuan di koridor yang notabene adalah tempat umum.
Latar belakang sudah cocok
Andika tidak tanggung-tanggung dalam membalas dendam dua pertemuan lalu. Tulisannya bercerita tentang seorang wanita penjaga toko yang merayu dan mencumbui seorang calon mahasiswa yang (jelas saja) jauh lebih muda, lalu wanita itu tiba-tiba memberi si pemuda beberapa wejangan yang hampir sama sekali berkebalikan dengan perlakuan yang baru saja ia berikan kepada si pemuda. Banyak peserta lain yang menyukai perputaran haluan ini karena ironinya yang tajam. Di sisi lain, ada juga kritik bahwa pembukaan cerita agak kaku sehingga cenderung memperlambat dan "mengempiskan" sisa cerita yang sebenarnya mampu menggambarkan seks secara gamblang ini.
Nia memasukkan karakter orang yang ia suka
Tulisan Nia adalah khayalan seorang perempuan tentang keintimannya dengan pasangan lelakinya yang sedang tidur. Harus diakui bahwa penjabaran emosi dalam cerita ini cukup kuat, tetapi saya pribadi (dan mungkin beberapa orang lain) merasa bahwa cerita ini baru memulai perjalanan, sehingga belum benar-benar sempat memasuki bagian yang paling "menyenangkan". Nia menjawab bahwa kekurangan ini pada dasarnya disebabkan oleh kurangnya waktu untuk meneruskan dan menyempurnakan ceritanya. Seandainya saja Nia berani berbuat curang seperti saya ...

Cerita Hakmer cenderung bernuansa modernis dengan tokoh utama lelaki yang membawa pulang seorang wanita yang baru dikenalnya di restoran. Setelah bercinta dengan wanita itu, ia mampu melihat kehampaan yang dirasakan wanita itu dalam hidupnya. Tak lama kemudian ia pergi saat si wanita tertidur tetapi tidak lupa untuk meninggalkan sejumlah uang bagi si wanita. Cerita ini menimbulkan cukup banyak pertanyaan. Myra menanyakan tentang uang yang ditinggalkan si lelaki karena uang ini tampak seolah-olah mencap si wanita sebagai seorang "wanita nakal," tetapi Hakmer menjelaskan bahwa si laki-laki hanya merasa bahwa ia tidak mampu pergi tanpa memberikan suatu timbal balik yang setimpal. Lalu Andika meminta penjelasan tentang bagaimana si lelaki mampu melihat "kehampaan" dalam perasaan si wanita; jawaban Hakmer adalah si lelaki sebenarnya merasakan kehampaan yang sama juga, tetapi bedanya ia menyadari perasaan itu (tidak seperti si wanita yang tidak menyadarinya). Sayangnya penjelasan-penjelasan ini tidak (atau belum sempat?) dimasukkan ke dalam cerita, tampaknya lagi-lagi karena waktu yang terbatas.

Azisa dengan metafora tembaga bermata emas
Azisa menggambarkan ketertarikan seorang wanita terhadap pasangannya melalui metafora sepasang hewan bersisik, diakhiri dengan keputusan si wanita untuk sabar menunggu hingga si lelaki menyadari atau mengerti akan perasaan yang disimpan si wanita kepadanya. Kentalnya metafora dalam cerita ini membuatnya terasa agak surealis. Beberapa orang bahkan berpendapat bahwa metafora yang terlalu dominan ini membuat cerita Azisa terlalu terbuka terhadap berbagai macam penafsiran.

The Killing Dialogue
Anas menuliskan suatu diskusi antara sepasang kekasih yang bersilang pendapat tentang arti seks, baik dalam hubungan mereka maupun secara filosofis. Myra mengajukan protes bahwa sebagian isi diskusi ini agak bersifat patriarkis. Di sisi lain, saya merasa bahwa tulisan Anas bukan cerita, melainkan suatu esai dialog seperti tulisan-tulisan yang umum dibuat para pengarang Eropa di zaman Renaisans, karena isi dialog dalam tulisan ini begitu dominan hingga hal-hal lain seperti latar, tokoh, maupun alur "cerita" jadi nampak tidak penting. Menjelang akhir diskusi, Anas sendiri sempat meminta saran tentang cara menambahkan penokohan dan emosi ke dalam tulisannya itu.

I took one hour. Sorry, guys.
Akibat "kecurangan" saya, cerita saya menjadi tulisan terpanjang yang dibacakan sore (atau malam) itu. Saya agak terkejut karena ternyata saya satu-satunya yang menulis tentang hubungan homoerotis, dalam hal ini antara dua orang kesatria (Rodrigo dan Pierre) yang "melampiaskan" hasrat birahi mereka bukan melalui seks tetapi dengan perkelahian tanpa ampun di suatu arena dadakan yang didirikan oleh rekan-rekan prajurit mereka. Andika berkomentar bahwa tulisan saya masih kurang "homo", ditimpali oleh sanggahan Nia bahwa sebenarnya unsur homoerotis dalam cerita itu sudah cukup kental. Lalu muncul pula kritik bahwa permulaan cerita saya masih agak lambat dan tersendat-sendat, serta latar belakang hubungan antara kedua tokoh utama masih kurang dijelaskan.Tentu saja saya berkelit dengan alasan bahwa cerita itu masih naskah awal yang belum sempat disunting ataupun ditulis ulang. >:D

Begitulah pertemuan RLWC hari Sabtu 18 Juli 2009--pertemuan paling unik dan "seksi" dari semua yang pernah saya hadiri sejauh ini.

-Pradana P.M.

Jumat, 10 Juli 2009

Movie Week: This Is England

Sutradara dan Penulis Naskah : Shane Meadows
Pemain: Joe Gilgun, Stephen Graham, Frank Harper, Vicky McClure

Shaun (Thomas Turgoose) masih berusia dua belas tahun, tapi ia telah memasukan dirinya di sebuah kelompok skinhead. Sang ketua Woody (Joe Gilgun), sering mengajak kawan-kawannya itu ke coffee shop, membicarakan keburukan negaranya dan membuat rencana-rencana “perang” melawan negara.

Saat itu adalah masa yang panas di Inggris. Tahun 1983, Margareth Tracher berkuasa dan terjadi kontroversi akan Perang Falklands. Kalangan muda skinhead memilih untuk menentang hal tersebut dengan melakukan perlawanan anarkis. Dalam usahanya, geng kecil ini mulai bergabung dengan kelompok besar.

Shaun berada di persimpangan jalan. Ia harus memilih. Membela ayahnya yang mati berjuang di Falkland atau bersama Woody dan teman-temannya melakukan kekerasan untuk melindungi “negara”.

Film independen ini menggambarkan rasa sakit hati para kelas pekerja muda, karena tersisihkan oleh perang dan datangnya imigran yang “mencuri” pekerjaan mereka. Sang sutradara dan penulis naskah, Shane Meadows mengaku film ini berdasarkan masa kecilnya sendiri. Atas orisinalitas dan kedalamannya film This Is England mendapatkan penghargaan dari British Independent Film Awards dan Rome Film Festival.

Tanggal 11 Juli, datang ke Reading Lights, dan saksikan bareng kita film This Is England yang penuh dengan alur penuh kejutan ini!

PS: Ending film ini keren dan susah ditebak!

Minggu, 05 Juli 2009

Berlayar Ke Dunia Mimpi

Sudah sekian lama saya tidak datang ke writer's circle akibat aktivitas lain. Diawali dua orang teman writer's circle, Neni dan Ina, yang datang ke rumah dan kerabat saya yang membatalkan janjinya untuk beraktivitas, saya dan Neni pergi bareng ke Reading Lights.

Ketika saya datang, sudah ada Andika duduk di samping kaca. Rupanya ia sedang membaca. Masuk ke toko buku, saya mencari tempat kosong dan memesan hazelchoco di coffee corner. Ade, seorang barista, menanyakan kabar saya karena sudah lama tidak datang. Sementara itu, Ade menawarkan saya memakan buah cermai yang sangat asam pada awalnya juga manis pada akhirnya. Mendapatkan buah kejutan. Seru!

Beberapa menit kemudian hazelchoco datang. Segera saya menyeruputnya. Inilah yang saya rindukan dari Reading Lights: rasa cokelat yang lezat. Saya utarakan kepada Andika bahwa beberapa hari lalu memesan cokelat di tempat buku yang lain dengan rasa yang tidak enak. "Gue yakin itu susu cokelat, bukan cokelat. Gue yakin itu Milo," ujar saya menggebu-gebu. Saya memang suka cokelat dan akan merasa tertipu berat jika saya diberi susu cokelat.

Datanglah Sundea dengan baju warna hitam dan celana army. Ia datang dan langsung duduk-duduk santai sembari menunggu teman lain. Beberapa lama kemudian datanglah Dani. Ini adalah kali pertama saya bertemu Dani. Sebelumnya saya tahu tentang Dani karena ia aktif memberi komentar di wall group Reading Lights Writer's Circle. Setelah ngobrol sebentar, kami pun ke atas.

Berawal dari mimpi, saya mendapat ide menulis mimpi

Ketika saya bertanya kepada Andika tentang tema apa yang akan ditulis sekarang dan Andika menjawab kita akan menulis mimpi, saya sangat excited. Berbekal buku Daripada Bete Nulis Aja!..., dijelaskan bahwa dari mimpi kita bisa mendapat kalimat-kalimat baru, karakter-karakter baru, cerita-cerita baru, dan lainnya. Instruksi kali ini adalah menulis dengan latar belakang mimpi sebagai latar belakang cerita. Ambil objek dan perasaan dari mimpi. Tarik maknanya. Ambil salah satu unsur dan bentuklah cerita baru.

Setelah lima belas menit menulis dan beberapa menit waktu tambahan, Andika membacakan tulisannya. Dituliskan bahwa ada seorang tokoh yang tidak pakai celana dan menjadi bahan tontonan orang-orang. Ia meminta sarung kepada orang lain tapi orang tersebut malah menawarkan mukena. Tokoh menolak diberikan mukena. Ketika ditanya apa arti tulisan atau mimpi itu menurut dia, Andika mengaku bahwa itu adalah bentuk dari perasaan malu atas preferensi seksual sendiri.

The Archer Man

Dani membuat tulisan tentang pria yang kehilangan seorang perempuan. Tangan pria itu mencari-cari perempuan di sela-sela tempat tidurnya sampai ia menemukan rambut emasnya - rambut yang pernah ada di sela-sela jarinya beberapa waktu yang lalu. Kami bertanya apakah Dani benar-benar bermimpi seperti itu, Dani menjawab tidak secara keseluruhan. Dani bilang bahwa emosi besar yang ia ingat ketika bermimpi hal itu adalah perasaan kehilangan seorang perempuan.

Saya pribadi suka tulisan Dani. Alurnya terjaga dengan baik, kata-katanya mengalir lembut. Keep up the good work, Dani!

Sundea yang sepertinya setiap hari bermimpi

Sundea menulis tentang mimpi itu sendiri. Mimpi ibarat ruang yang dapat diintip melalui jendela-jendela bernama memori. Ia menulis imaji ruang kotak yang kosong dengan rusuk tegas dan berwarna hitam dan putih. Dea bercerita bahwa ia ingat pernah mimpi seperti itu namun ia tidak bisa mengingat secara keseluruhan.

Sudah dua bulan mengadu nasib di ibukota

Berbeda dengan yang lain, Neni menulis cerita fiksi. Lengkap dengan plot, tokoh, dan dialog. Ada tiga orang perempuan bernama Diani, Rani, dan Tanti. Diani bercerita bahwa ia mimpi kuntilanak yang tidur sampingnya sambil mengelus rambutnya layaknya seorang ibu yang sedang menidurkan anaknya. Sesungguhnya Diani tidak bermimpi seperti itu, ia hanya berbohong untuk memancing Rani menceritakan mimpinya karena Diani mengirim mimpi pada Rani. Namun, tanpa terduga, Tanti malah berkata, "Kok mimpi kita sama?"

Beberapa menit kemudian writer's circle baru ngeh dengan jalan cerita Neni. Itupun setelah Neni bercerita ulang. Saya bilang, "Baru kali ini gue denger cerita kayak gitu. Bagus, Nen. Berarti itu original!"

Sementara saya menulis cerita berjudul Kereta Manusia. Ketika zaman penjajahan Belanda, dimana industri sedang mengalami kemajuan sebesar-besarnya, Belanda membutuhkan angkutan untuk mengangkut warganya dalam jumlah banyak. Maka dibentuklah sebuah kereta uap dengan manusia Indonesia yang berada di kepala kereta untuk memasukkan batu bara. Manusia-manusia Indonesia dijadikan rel manusia untuk menyangga kereta, kaki dan kepala mereka harus saling bertaut dan lurus jika tidak ingin terseret kereta.

Sundea berkata bahwa mimpi saya menyeramkan. Saya betul-betul pernah bermimpi ini dan setelah bangun saya langsung browsing tentang kereta. Dani berkomentar bahwa logika mimpinya baik. Saya bertanya apa maksud dari logika mimpi. Logika mimpi menurut Dani adalah cerita rel manusia jika didengar kasat telinga (hehe) akan terdengar biasa saja. Namun setelah dipikirkan bahwa itu tidak mungkin, baru kita percaya bahwa itu mimpi.

Mimpi adalah rangkaian seri imaji, ide-ide, emosi, dan sensasi yang muncul ketika tidur. Emosi yang paling umum muncul di mimpi adalah rasa cemas. Emosi lainnya seperti rasa sakit, perasaan ditinggalkan, takut, senang, dan lainnya. Emosi-emosi negatif lebih sering muncul ketimbang emosi positif. Mungkin itulah penyebab mengapa sebagian besar peserta writer's circle bercerita tentang mimpi yang negatif.

Menguak mimpi itu sendiri memang sangat menyangkan. Bagi saya, dunia mimpi seperti dimensi lain yang tidak akan terjamah melalui teori dan interpretasi. Apapun bisa terjadi di sana! Menurut saya workshop kali ini sangat berguna karena mimpi adalah gudang ide yang kaya dan baik untuk dijadikan sebuah tulisan.

Selamat bermimpi!

Mengunjungi Dunia Buku Lalu Menceritakannya


Writer’s circle
, hari Sabtu tanggal 28 Juni 2009, mengangkat pembahasan mengenai menulis non-fiksi. Tema yang diangkat adalah “Toko Buku Favorit”. Anggota writer’s circle yang datang diajak untuk mengekspresikan dan mengungkapkan pendapat mereka tentang suatu toko buku dalam sebuah tulisan.

Setiap orang menuliskannya dalam waktu 15 menit. Poin-poin yang dianjurkan dimasukkan dalam tulisan yaitu:
- Tempat & suasana toko buku;
- Para pengunjung yang datang;
- Isi dari toko buku & harganya;
- Saat-saat dimana kita akan lebih enjoy mengunjungi toko buku tersebut.

Hasilnya cukup menyenangkan, tiap anggota menulis dengan pola yang berbeda, ada yang resmi dan formal, seperti artikel, santai dan akrab seperti blog, bahkan sangat pribadi seperti sebuah diary. Setiap tulisan unik dan memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri yang tetap mencirikan pribadi sang penulis, suatu hal yang harus dipunyai seorang penulis baik fiksi maupun non-fiksi.

Wahyu menulis tentang toko buku Togamas:

Toko buku Togamas terletak di Jalan Supratman Bandung ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan toko-toko buku lainnya, diantaranya adalah: parkir gratis, tempat penitipan barang, diskon harga buku dan untuk buku-buku lama diskonnya bisa sampai 40%-50%.

Untuk diskon terutama, hampir semua buku yang dijual di sini berdiskon! Untuk pembayaran bisa memakai debit BCA, atau Flash. Bagi yang ingin bersantai dan melepas lelah, disediakan tempat duduk dan meja di depan pintu masuk. Tempat yang terbilang cukup kecil ini menjadi daya tariknya sendiri. Tempat parkir mobil pun ada, tetapi hanya bisa muat sampai 12 mobil, sedangkan untuk motor kurang lebih 25 sampai 30 motor.

Satu tambahan lagi buat Togamas, buku yang dibeli bisa langsung disampul plastik dan gratis. Kelemahannya stok bukunya perlu ditambah lagi atau dikhususkan saja. Buku-buku sekolah dan peralatan sekolah lantai 2, yang artinya harus dibangun ke atas, lantai satu untuk buku-buku sastra dan populer. Kunjungi saja bila penasaran: Jl. Supratman 45, Telp./Fax. (022) 7206443, dan websitenya: www.togamas.co.id.

Andika menulis tentang Zoe Corner:

Zoe Corner adalah suatu sudut di Jalan Pagergunung yang menyewakan buku, majalah, serta DVD dengan harga yang terjangkau. Begitu melangkahkan kaki ke sana pengunjung akan menemukan deretan meja dan kursi bergaya modern yang kerapkali riuh ditempati anak-anak muda. Ada yang membaca di tempat, memanfaatkan fasilitas wi-fi, atau malah hanya duduk-duduk sambil menyantap aneka macam makanan yang bisa dibeli di kafetaria.

DVD film yang tersedia kebanyakan adalah DVD-DVD yang juga bisa ditemukan di Pasar Kota Kembang. Memang kualitasnya terkadang diragukan, tetapi soal variasi jelas tidak perlu dipertanyakan. Film favorit saya di Zoe Corner adalah film suspense Perancis yang berjudul Tell No One, serta film tentang kehidupan gay di Tel Aviv, The Bubble.

Koleksi buku dan komik di tempat ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dijual di toko buku Gramedia. Nilai tambahnya ada pada koleksi komik-komik lamanya, mulai dari Lucky Luke, Asterix, sampai komik silat Bastian Tito.

Bisa dibilang Zoe Corner adalah tempat paling pas untuk didatangi ketika sendirian, bangkrut, dan sedang tidak banyak maunya. Kalaupun ada yang sedikit mengganggu paling adalah pegawai yang tidak terlalu menguasai koleksi Zoe, dan suara musik Top 40 yang diputar cukup keras seakan ingin membuat tempat ini semeriah lokasi syuting 'Dahsyat'.

Sedangkan Dani, penulis yang punya hobi memanah ini, menulis tentang perpustakaan di ITB:

Lokasi perpustakaan pusat ITB (Institut Teknologi Bandung) tidak dapat sepenuhnya disebut "strategis." Dengan lokasinya di dekat gerbang belakang (Tamansari) yang tidak seberapa dikenal umum dan tampilan luarnya yang mirip kamar mandi terbalik (karena keramik ungu yang menghiasi dinding luarnya sangat mirip dengan tegel kamar mandi), perpustakaan ini bahkan awalnya tampak tidak meyakinkan. Walaupun begitu, pepatah lama tentang "jangan menilai seuatu dari wajahnya" benar-benar menjelaskan keadaan perpustakaan ini karena seorang penjelajah perpustakaan yang ngotot dan teliti biasanya dapat menemukan beberapa buku yang tergolong cukup langka, unik, dan berguna di dalamnya.

Pelayanan resmi perpustakaan ITB sebenarnya biasa-biasa saja. Lantai dasar perpustakaan menyediakan jasa penitipan tas/barang berharga, peminjaman, dan fotokopi buku. Sebuah tangga di sisi selatan memberikan jalan ke lantai bawah tanah yang berisi ruang baca, toilet, dan mushola, serta paruh selatan lantai dua yang diisi oleh koleksi hibah dari British Council. Koleksi British Council ini menyediakan berbagai macam buku yang berkaitan dengan Eropa dan Inggris, mulai dari selebaran beasiswa ke Inggris dan terbitan-terbitan resmi kedutaan hingga buku-buku referensi serta fiksi yang sebagian besar ditulis oleh pengaran-pengarang terkenal dari Inggris dan Irlandia. Buku-buku paling unik di bagian ini di antaranya trilogi sains-fiksi Helliconia karya Brian Aldiss dan versi novel dari karya humor The Hitchhiker's Guide to the Galaxy oleh Douglas Adams. Ada juga buku-buku referensi yang cukup menarik seperti Jane's Guide to Land Systems and Vehicles dan direktori agen/penerbit Inggris dari beberapa tahun yang berbeda.

Dua setengah lantai lainnya dalam gedung perpustakaan ITB diatur berdasar suatu denah yang (jujur saja) tidak begitu mudah dimengerti. Lantai kedua--atau paling tidak separuh yang tidak diisi koleksi British Council--adalah tempat aktivitas beberapa unit kegiatan mahasiswa (UKM) dengan fokus ekonomi (terutama SEC yang mengurusi pasar modal) dan juga semacam tempat perhentian sementara bagi koleksi buku-buku referensi dan ensiklopedia yang belum lama ini dipindahkan dari tempat asal mereka di lantai 1 (dasar). Buku-buku dalam kategori ini umumnya besar dab berat, tetapi justru karena itulah mereka begitu menarik; jika Anda sabar mencari, Anda akan dapat menemukan hal-hal seperti panduan perkembangan mode dalam sejarah (fashion history) dan katalog pesawat-pesawat terbang kecil yang dijual (baik baru maupun bekas) pada tahun 1980-an.

Lantai ketiga sebagian besar dipenuhi oleh buku-buku degan topik politik, budaya, dan kemasyarakatan. Salah satu buku di sini yang tergolong sulit ditemukan di tempat lain (karena tampaknya sudah tidak lagi dicetak oleh penerbitnya) adalah sebuah esai tentang strategi politik dan militer Belanda dalam mematahkan pemberontakan Diponegoro.

Karena keterbatasan waktu, Dani tidak sempat meunlis sisa paragraf keempat dan dua paragraf lainnya tentang lantai 4 dan fakta-fakta unik tentang keadaan umum perpustakaan.

Kami, Reading Lights Writer's Circle, mengajak teman-teman yang tertarik atau sedang mencoba atau sadar menulis untuk datang dan ikut bersenang-senang dengan kami.

Regie Chien