Hai! Sabtu, 2 Agustus 2008 ini akhirnya gue bisa main ke Reading Lights lagi setelah bersibuk ria dengan kepanitiaan dan shooting yang telah menelan gue ini. Pertama-tama gue bertemu Nia yang masih kebingungan karena suasana sepi. Padahal biasanya Andika atau Fadil sudah nangkring duluan. Akhirnya kami memulai workshop menulis pada pukul 16.25 WIB saja. Ada sang fasilitator Erick, Ina alias gue, Uli, Nia dan Trisna, seorang pendatang baru yang nggak baru-baru amat. Dia pernah datang sewaktu Klab Nulis masih di Jalan Kyai Gede Utama.
Tema minggu ini adalah obituary yang berarti berita kematian. Hm, tampak berat ya? Sebetulnya nggak juga, kok. Jadi kita diminta menulis tentang kematian diri sendiri tetapi melalui sudut pandang orang lain, misalnya: teman, sahabat, atau keluarga. Sekiranya Myra hadir pasti dia excited banget, secara tulisan dia nggak jauh dari masalah kematian. Berhubung Myra sedang sakit di Jakarta jadi dia nggak ada, deh. Buat Myra: “Cepet sembuh yaaaaaa!”
Setelah beberapa saat mengisi buku tulis, kami membacakan tulisan masing-masing. Erick mendapatkan giliran pertama,
Erick Sulaiman meninggal di usia 68 tahun. Selama hidup ia berkiprah di dunia penulisan dan cergam. Meski pahit dalam menerbitkan karya, tetapi ia menjadi teladan bagi yang muda-muda. Kedua anaknya berwiraswasta. Pernah mengajar di sebuah perguruan tinggi dan sempat berkelakar mengenai gaji rendah yang diterimanya. Satu hal yang selalu didengungkan seorang Erick Sulaiman, “Gambar gue memang yang paling jelek di studio tapi bukan alasan untuk berhenti menggambar.”
Selanjutnya Trisna membacakan tulisan berjudul, Akhir Sebuah Perjalanan Menuju Kedamaian. Berbeda dengan tulisan Erick, Trisna menuliskan seandainya kematiannya memang terjadi pada hari ini, Sabtu / 2 Agustus 2008.
Seorang Trisna meninggal di usia 40 tahun dengan damai dan penuh penghayatan. Hidupnya selalu dilalui dengan ceria dan bahagia. Namun, pada akhirnya ia menyadari bahwa kematian tak terdefinisikan hingga datang sendiri. Ia merasa nyaman dengan kemirisan tanpa lirik lagu Pink Floyd, The Great Gig in The Sky keluaran tahun 1973.
Menurut Uli, tulisan Trisna ini damai. Uli sendiri lantas membacakan obituarinya,
Yuliasri Perdani meninggal dunia diiringi rintik hujan di rumah tua di kawasan Dago atas, setelah satu bulan terbaring di kamarnya karena pencernaan yang parah akibat kebiasaan makan saat muda. Merupakan seorang penulis skenario ulung yang berhasil mendapat penghargaan dari Hellofest, FFI dan Cannes. Sebagai pencipta karya yang “panas” dan diteror oleh ekstrimis Islam hingga anak tertuanya, Rio, diculik oleh pembencinya. Yuliasri Perdani bertutur bukan tentang nafsu biadab tapi tentang hubungan yang kompleks.
Sementara itu Nia menuliskan kematiannya:
Psikolog terkenal dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di samping makam suami dan kedua orang tuanya. Kematiannya masih menyimpan misteri setelah sebelumnya tubuh kakunya ditemukan di pinggir pantai. Dalam usia 54 tahun pernah mengabdi di Universitas Indonesia sebagai dosen yang terkenal dengan penelitian fenomenologi yang masih dinilai aneh. Setelah seminggu tidak pulang ke rumahnya dengan berbagai spekulasi. Entah gara-gara perseteruan dengan musuhnya atau kematian suaminya.
Menurut kami cerita ini tragis.
Lalu giliran gue. Seharusnya gue ada di urutan ketiga tetapi berhubung gue yang mengisi jurnal dan mesti menyimak tulisan yang lain, jadi gue membaca paling terakhir. Dan inilah tulisan gue:
Seorang Ina Khuzaimah yang bernama asli Herlina sang penulis beragam cerita, akhirnya meninggalkan seluruh keluarga dan kehidupannya pada akhir minggu lalu. Beliau pergi dengan tenang di saat seluruh orang yang dicintainya berada disampingnya.
Ina Khuzaimah, yang berkutat dengan dunia tulis menulis yang bermula dari sekadar hobi, akhirnya mampu berkiprah sukses dengan segala tulisannya. Berawal menjadi seorang kontributor freelance di sebuah free magazine dan berkecimpung di dunia film sebagai penulis skenario juga production manager. Seorang Ina mampu berbagi perasaannya dengan orang lain melalui tulisannya. Selama hidup ia menjadi seorang guru privat sekaligus belajar menjadi sosok yang bisa mendidik untuk anak-anaknya dan mendampingi suami disegala kesibukannya.
Beliau berhasil memiliki perpustakaan pribadi di sudut-sudut rumahnya dan mendirikan perpustakaan gratis untuk orang yang membutuhkan karena baginya, berbagi ilmu adalah lebih baik dibandingkan berbagi hal lain apapun.
Karya-karyanya memberikan angin segar bagi kepustakaan nasional dan menjadi sumber inspirasi bagi para pembacanya. Ketidaksukaannya terhadap tulisan dan film percintaan memaksanya mendobrak kebiasaan dan kelatahan di bumi Indonesia ini dengan cerita yang fenomenal dan inspiratif. Salah satunya film yang berjudul “SISI NADIA”, selain berperan sebagai penulis skenario juga sebagai sutradara.
Baginya membangun bangsa bukan hanya di dunia politik, melainkan juga dengan memberikan pilihan tulisan dan film yang berbeda sebagai ajang pembangunan karakter terutama untuk generasi muda.
Waduh jadi malu, membeberkan sevulgar ini dalam obituary sendiri. Menurut Uli tulisan gue padat dan berisikan sebuah cita-cita panjang. Ada hal-hal yang mesti gue capai dalam hidup ini.
Setelah semua orang membaca tulisannya, datanglah Andika dengan santainya. Akhirnya dia membacakan resensi film Nine Lives yang ditulis dan disutradarai oleh Rodrigo Garcia. Film ini bertutur tentang kehidupan sembilan wanita dalam segmen yang terpisah. Seperti biasa, kami pun bubar dan menuju lantai bawah. Rupanya di sana ada Selvi dan saudaranya yang urung bergabung karena sudah terlambat satu setengah jam.
OK, sampai ketemu minggu depan dengan tema dan penulis yang berbeda tentunya!
Ina Khuzaimah
Ina Khuzaimah adalah seorang kontributor freelance disebuah free magazine yang menjadi awal berkecimpungnya di dunia jurnalistik, sebuah cita-cita pada masa SMP yang mulai menjadi nyata. Menjadi seorang production manager di tiga film pendek. Hobi membaca dan menulis fiksi di sela-sela kejenuhan kerjaan dan mengomentari orang lain, siapapun itu (kenal atau nggak) yang kurang sreg di hati. Berhasrat menerbitkan novel dan skenario film yang mendidik dan menginspirasi.
3 komentar:
"Meski pahit dalam menerbitkan karya...."
Ihihihihihihihi....pait ya, rik
Yaa kaya minum bratawali aja deh ha ha ha
Oh ya, bagi yang lain, saran gw sih ketika mau nulis obituary, data berupa tanggal, periode orang yang bersangkutan ketika menyelesaikan sesuatu, tempat dan lainnya... bisa membantu tulisan menjadi sebuah fakta. Jadi, tulisan lo enggak berasa cerpen.
Gitu...
Hehe.
Posting Komentar