Tampilkan postingan dengan label movie week. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label movie week. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 Juni 2010

Movie Week: Sita Sings The Blues

Rojali dan Juleha, Galih dan Ratna, atau Romeo and Juliet dalam skala internasionalnya, bisa dikatakan sebagai kisah kasih yang tak hanya terjadi di SMA. Kisah mereka bertahan sepanjang masa. Namun bagaimana dengan Rama dan Shinta/Sita? Apakah bisa dikatakan pula bahwa kedua sejoli ini memiliki kisah cinta sejati yang bikin iri semua pasangan suami-istri? Dimana Sita--sang istri--terkenal setia dan Rama--sang suami--sungguh gagah perkasa. Sampai-sampai banyak film India yang menggunakan nama Rama dan Sita sebagai nama karakter yang diceritakan saling mencinta.

Tampaknya hal ini tak berlaku bagi Nina Paley, perempuan nyantey, walaupun pernah patah hatey, yang saya yakin tak suka makan petey. Alih-alih memercayai jargon “kisah cinta terbaik sepanjang masa” untuk cerita Rama dan Sita, ia lebih suka dengan “kisah putus terburuk sepanjang masa”.

Sarkas? Tidak juga. Mari kita selami isi kepala sang sutradara! Akan lebih baik apabila kita memposisikan diri sebagai wanita.

Nina Paley yang patah hati karena ditinggalkan sang (mantan) kekasih menyadari bahwa kisah hidupnya sebelas-duabelas dengan kisah hidup Sita, simbol perempuan suci sekaligus istri berbakti. Sita begitu memuja suaminya, Rama – kesatria yang gagah perkasa sekaligus titisan dewa yang dipuja-puja, yang ironisnya, tak pernah dikenal sebagai suami yang (bahkan mendekati) sempurna. Bukan tak mungkin apabila Rama tak mendapat julukan sebagai suami yang baik karena tak ada catatan sejarah yang menyebutkan tentang itu (nah yang ini mohon dicek kebenarannya). Sebaliknya, justru ia melakukan hal yang paling membuat para istri tersiksa (selain selingkuh, tidak memberi nafkah, tukang mabuk dan judi, poligami, dan KDRT) yaitu menaruh ketidakpercayaan setingkat dengan harga dirinya... tinggiiii sekali.



Sita yang begitu terhormat dan setia pada Rama, bahkan sampai mendapatkan sertifikasi halal dari para dewa, justru tak dipercayai oleh suaminya sendiri yang lebih mementingkan harga diri sebagai pria yang notabenenya lebih tinggi dari wanita. Rupanya diam-diam Rama senang bernyanyi. Dan sebuah lagu yang sangat digemarinya adalah sebuah lagu yang berbunyi ‘wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu’. Namun kepiawaian Rama dalam bernyanyi tak ditunjukkan di sini, karena Sita lah yang memegang peranan dalam menyuarakan isi hati dalam bentuk lagu-lagu syahdu bernuansa biru, yang kita kenal sebagai blues.

Kisah yang seharusnya sedih bila dilihat dari kacamata perempuan justru dibalut dengan suasana ceria di film ini. Hal ini bisa jadi disebabkan karena gambar karakter yang menyenangkan untuk disaksikan dan lagu-lagu yang menenangkan untuk disenandungkan. Sehingga sang creator film ini merasa tak perlu lah lebay sampai menangis bombay demi sebuah cerita sedih.

***

Wayang 1 : “Kalau tak salah, kita mulai jam 4...”
Wayang 2 : ”Jam setengah 5!"
Wayang 3 : “Euuhh... lebih tepatnya jam setengah 5-an!”
Wayang 2 : “Yaah... sebelas dua belas!”
Wayang 1 : “Ngomong-ngomong, siapa saja yang datang ya?”
Wayang 2 : “Andika pasti...”
Wayang 1: “Ya, tentu! Sang fasilitator! Dan sang pembawa film, sekaligus the feminist one, Regie! Oh maaf memotong, silahkan!”
Wayang 2 : “Euuuh... yang perempuan kacamata itu... Maknyus, Maknyos, Nyesmak,...”
Wayang 3 : “Maknyes!”
Wayang 2 : “Oh ya! Nama macam apa itu?! Dia juga membawa temannya, Dita, yang tertidur di salah satu bagian film.”
Wayang 3 : “Ck ck... Kok bisa-bisanya?! Lalu ada Resti.”
Wayang 1 : “Ya... dia datang telat. Daaan... perempuan memakai baju pesta!”
Wayang 2 : “Lia! Haha... dia mau kondangan ternyata!”
Wayang 3 : “Lalu laki-lakinya ada Aji...”
Wayang 1 : “Yang sudah agak gondrong!”
Wayang 3 : “Dan si laki-laki berwajah lucu itu...?!”
Wayang 1 : “Rizal!”
Wayang 3 : “Oh ya! Dan Niken si sarjana psikologi!”
Wayang 2 : “Yang sekaligus berjualan celana dalam!”
Wayang 1, 2, 3 : (Tertawa)
Wayang 2 : “Dan ada dua sejoli yang adem ayem duduk di bagian belakang, Faisal dan Uli!”
Wayang 1 : “Oh well, mereka pasangan!”
Wayang 2 : “Oh pantas mesra!”
Wayang 1 : “Kalau tak salah, ada Theo juga?!”
Wayang 2 dan 3 : “Itu di film!”
Wayang 1 : “Oh maaf, saya suka lupa mana film yang saya tonton, mana kenyataan yang saya alami.”
Wayang 2 : “Kalau tak salah karakter itu namanya Laksmini!”
Wayang 3 : “Come on! Itu mah di Tutur Tinular... musuhnya Mantili! She was Lasmini!!”
Wayang 1 : “Wow, jadi kepikiran! Kalau Nina Baley...”
Wayang 2 dan 3 : “Paley!”
Wayang 1 : “Ya, dia... kalau dia membuat Rama dan Sinta dari sudut pandang perempuan, mungkin ada sutradara perempuan kita, yang bisa membuat versi Catatan Si Boy, namun dari sudut pandang perempuan-perempuan yang dipacarinya."
Wayang 2 : “Lumayan juga idenya.”
Wayang 1 : “Yaa... kita kan punya banyak sutradara perempuan. Seperti Riri Riza, misalnya?”
Wayang 2 dan 3 : “Riri Riza tuh laki-laki!”
Wayang 1 : *benjol


Thya (beberapa memanggilnya Maknyes) adalah insinyur yang sudah sama sekali lupa mengenai ilmu tentang keinsinyurannya dan berjanji tak akan kembali ke bidang itu. Profesinya saat ini adalah penyiar di sebuah radio anak muda di Bandung. Hobi menulisnya dituangkan ke http://rahmathya.multiply.com/ dan khusus untuk cerpen-cerpennya ia tuangkan di http://ceriterathya.blogspot.com/

Jumat, 14 Mei 2010

Movie Week: Mukhsin

Saya adalah orang ketiga yang datang hari itu ke Reading Lights dan Uli adalah orang kesekian yang datang. Justru Uli adalah pemegang peranan dalam pertemuan kami saat itu karena hari ini kami (Andika, Hakmer, Farida, Sapta, Rizal, Dani, dan Uli) tidak akan menulis, kami akan menonton.

DVD yang Uli pegang saat itu adalah Mukshin, sebuah karya dari Yasmin Ahmad. Saya bertanya-tanya apa yang menyebabkan film ini layak dipertontonkan. Yasmin Ahmad adalah seorang sutradara, penulis dan penulis naskah dari Malaysia. Unsur humor & cinta adalah ciri khasnya. Lebih khas lagi karena cinta yang terbentuk adalah cinta yang melintasi ras dan budaya. Karya-karyanya banyak mendapat penghargaan baik dari negaranya bahkan internasional. Mukhsin adalah salah satu karyanya yang merupakan trilogi dari Sepet (2004) & Gubra (2006).

Mukhsin adalah seorang anak lelaki yang suka kepada Orked. Orked adalah seorang anak perempuan yang dibesarkan oleh keluarga sederhana yang modern. Bahasa Inggris adalah bahasa keseharian antara Orked dan ibunya, padahal Orked bersekolah di sekolahan Cina dengan bahasa Mandarin. Sementara dalam keseharian bersama temannya, Orked berbicara dengan bahasa Melayu, termasuk dengan Mukhsin.

Umur mereka yang belia, Mukhsin (12) dan Orked (10), tidak menghalangi mereka berbicara dengan bahasa cinta. Yasmin Ahmad tidak menyuguhkan percintaan anak dibawah umur secara vulgar, mereka tetap anak-anak dengan kepolosannya. Banyak simbol yang dipakai dalam film ini. Sekali lagi ciri khas dari Yasmin Ahmad muncul: cinta yang melintasi ras dan budaya. Orked yang berasal dari keluarga yang harmonis berbanding terbalik dengan Mukshin yang dalam usia belianya harus memahami arti hidup lebih cepat dibandingkan anak lainnya. Kisah Mukhsin dan Orked harus berakhir saat kepindahan Mukhsin dari kampungnya. Ibu Mukhsin yang memutuskan untuk bunuh diri menyebabkan Mukhsin harus ikut bapaknya pindah. Rasa cemburu menyebabkan perpisahan antara Mukhsin dan Orked tidaklah semudah pertemuannya. Lagu Nina Simone mengiringi berakhirnya film ini. Ne me quitte pas, Ne me quitte pas, Ne me quitte pas … (Jangan tinggalkan aku)

Lampu menyala, saya protes karena bau asap dari ikan tuna memenuhi (setting-an seperti) bioskop Reading Lights. Akhirnya kami memutuskan pindah ruangan. Di ruangan lain, kekaguman Uli terhadap Yasmin Ahmad belum berhenti. Iklan hari kemerdekaan Malaysia yang disutradarai oleh Yasmin Ahmad dipertontonkan dari laptopnya Uli. Kami terkagum-kagum. Saat itu, saya tiba-tiba ingin membuat pengakuan bahwa seumur hidup saya belum pernah main layang-layang (tercetus karena dalam film ada adegan bermain layang-layang).


Romantisme Mukhsin dan Orked membuat kami bercerita soal cinta monyet. Farida sukses dengan cinta monyetnya. Kebalikannya saya dan Andika yang tidak sukses dengan cinta monyetnya. Rizal, Hakmer, dan Dani sempat bercerita juga tentang kisah cintanya.

Dalam film Mukshin ada sebuah simbol yang dipercayai bahwa cinta lama jangan dicari, biarkanlah menjadi kenangan indah. Simbol itu dilambangkan oleh baju yang digantungkan di atas pohon. Uli membenarkan simbol itu. Menurut pengakuannya di masa SD, cinta monyetnya adalah anak tertampan yang dia kenal. Saat secara tak sengaja menemukan kembali wajah cinta monyetnya di Facebook (meski hanya berupa foto) ternyata anak ini berubah menjadi seorang lelaki yang tidak menarik lagi. Itulah sebabnya Uli membenarkan bahwa biarlah cinta lama tetap menjadi kenangan yang indah, jangan dicari karena mungkin akan merusak kenangan!

Ironisnya, pada malam Minggu kami berbicara soal cinta, tapi saat itu hanya Uli yang dijemput sang pacar, sisanya dari kami hanya meneruskan ngobrol kesana kemari.





Sapta P Soemowidjoko. Bergelar sarjana science yang pada akhirnya terjun ke dunia seni. Hobinya menulis, menggambar, dan memotret yang pada akhirnya digeluti secara profesional. Semasa kuliah pernah menjadi penyiar dan produser di beberapa radio dengan genre anak muda. Terakhir, ia pernah terpilih menjadi art director LA Indie Movie dalam film Dummy Bukan Dami sekaligus menjadi pemeran utamanya. Visual merchandise and promotion untuk Corniche adalah pekerjaan tetap yang tertulis dalam kartu namanya.

Kamis, 19 November 2009

Movie Week: Tokyo Sonata (2008)


Setelah dua bulan tidak pernah lagi menonton film bersama, akhirnya pada Sabtu pekan lalu (14/11) writer’s circle melakukannya kembali. Kali ini film yang ditonton adalah Tokyo Sonata, sebuah film Jepang produksi tahun 2008. Hadir di toko buku Reading Lights sore itu: saya, Indra, Dea, Lia, Theo, Dani, the newcomer Nindi, Marti, Niken, Ina, Mahel, Maknyes, dan Nia yang datang ketika film sudah hampir berakhir.

Sebetulnya memilih film untuk disimak bersama sebulan sekali di writer’s circle itu susah-susah gampang. Dengan film-film internasional (Halah!) sebagai tema besar kegiatan ini, tidak mudah untuk menyenangkan hati semua peserta writer’s circle dengan selera menontonnya masing-masing. Sementara Marti suka costume drama movies yang romantis, Dani terobsesi dengan film peperangan a la miniseri Band of Brothers, dan Dea kurang suka menonton film berdarah-darah yang memunculkan perasaan tak enak. Lalu - katakanlah - Mahel menyukai film-film drama atau thriller psikologis, yang di atas kertas cocok dengan latar belakang Niken dan Nia yang kuliah di Fakultas Psikologi. Namun, siapa sangka Nia ternyata lebih suka film yang banyak action dan sedikit ngomong? Belum lagi Indra hanya rela menonton film klasik yang kental sisi literaturnya, berbalik seratus delapan puluh derajat dengan selera Maknyes yang agak nge-pop. Kemudian Theo yang diam-diam suka menempatkan diri sebagai karakter film tentu mengharapkan pemeran utama perempuan yang kuat sesuai dengan dirinya, lain dengan Lia yang … duh, jadi adu domba begini.


Intinya Tokyo Sonata menceritakan jatuh bangun seorang pria Jepang dalam menjaga kehormatannya. Di Tokyo pada masa Perang Irak (belum pulih benar dari krisis dan mesti berhadapan dengan kekuatan-kekuataan ekonomi baru), alkisah Ryuhei (Teruyuki Kagawa) kehilangan di-PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Demi mempertahankan kewibawaannya di mata istri dan anak-anaknya, laki-laki berusia empat puluhan tahun itu berpura-pura masih bekerja. Setiap pagi Ryuhei itu berangkat dari rumah bersetelan jas lengkap dengan dasi. Sementara ketika matahari mulai meninggi, ia berkeliaran di taman dan mengantri pembagian makan siang gratis.

Rumah tangga Ryuhei kemudian bergejolak saat istrinya, Megumi, mulai mengendus status pengangguran suaminya. Megumi pun menghadapi dilema: apakah ia akan melakukan konfrontasi terhadap Ryuhei, atau tetap berpura-pura tidak tahu sampai keadaan membaik, tetapi sampai kapan? Apalagi watak Ryuhei yang keras terhadap keluarga semakin menguji batas kesabaran Megumi.

Ketika menyimak film ini, kebanyakan peserta writer’s circle seperti main tebak-tebakan dengan film ini. Kami berkomentar, berasumsi, sambil bertanya-tanya, “Bagaimana kelanjutan ceritanya?” Kadang-kadang kami bisa menebaknya, kadang-kadang tebakan kami sangat meleset. Tokyo Sonata adalah film yang lucu tetapi tidak konvensional. Penonton bisa tertawa karena melihat antrian yang tetap tertib meskipun yang barisan orang yang mengantri sangat panjang. Orang-orang Jepang memang disiplin dan tahu malu. Ketika seorang guru ketahuan membaca hentai di kereta, padahal tengah menegur muridnya yang kedapatan memegang manga di tengah pelajaran, maka kehormatan guru tersebut hilang di mata murid-muridnya. Bukan karena hentai-nya, tetapi karena kemunafikannya. Adegan-adegan ‘aneh’ tentang bagaimana cara orang Jepang dalam menjaga kehormatan ini mengemuka sepanjang film, sampai-sampai Lia mendesah frustrasi, “OMG! Ini film tentang apa sih? Aneh banget!”

Seusai film sempat ada diskusi singkat tentang seperti apa Tokyo Sonata. “Apakah film ini kelewat menyedihkan?” tanya saya. “Enggak,” kata peserta writer’s circle yang lain. Beberapa peserta yang lain menganggap film ini, “Anti-klimaks,” tukas Theo. “Gue mengharapkan ending yang lebih dramatis,” timpal Mahel. Menanggapi hal tersebut, Niken mengatakan bahwa ada dua kemungkinan yang dapat terjadi pada manusia ketika mereka mengalami kejadian yang menggoyahkan kehidupan mereka: 1. Mereka (kita) mungkin akan mati; 2. Mereka akan terus melanjutkan hidup dengan sikap seakan kejadian tersebut tidak pernah terjadi. Hal ini disetujui Nindi yang menganggap film ini memberinya inspirasi karena membuktikan bahwa orang bisa terus bangkit setelah mengalami kemungkinan terburuk di dalam hidupnya.

Ketika masing-masing peserta diminta memberikan rating, rentangnya cukup jauh dari dua setengah sampai empat bintang. Maknyes hanya memberikan dua setengah bintang karena ada satu adegan yang sangat gelap sehingga gadis berkacamata itu tidak bisa melihat apa-apa. “Itu adegan apaan sih? Hubungan seksual penuh gairah?” komentarnya bingung. Dan ketika mayoritas orang memberikan rating antara dua setengah bintang dan tiga, ternyata ada satu orang yang memberikan rating empat bintang: Dani! Peserta writer’s circle yang biasanya paling grumpy. Seketika itu saya tersadar bahwa dalam memilih film mungkin saya tidak bisa menyenangkan hati semua orang. Namun, asalkan ada satu orang saja yang menikmati film pilihan saya, perasaan saya sudah cukup senang.

Tokyo Sonata disutradarai Kiyoshi Kurosawa (tidak ada hubungan dengan Akira) yang identik dengan film-film horor. Film ini memenangkan Prix Un Certain Regard pada Festival Film Cannes 2008. Prix Un Certain Regard adalah penghargaan untuk bakat-bakat baru yang menyuguhkan orisinalitas.

Sampai jumpa pada pemutaran film lainnya! Saran dan masukan sangat diharapkan.




Andika Budiman adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, esei ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, ia aktif memberi kritik serta saran-sarannya dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup, dengan bernapas.




Kamis, 03 September 2009

Movie Week: The Graduate (1967)

Benjamin Braddock adalah seorang pemuda yang baru saja lulus dari perguruan tinggi. Di pesta kelulusan yang diadakan oleh orang tuanya, Benjamin hanya tersenyum kecut apabila ditanyai tentang tujuan hidupnya selanjutnya. Diam-diam menghindari seluruh orang yang memberinya ucapan selamat, Benjamin Braddock bertemu dengan Mrs. Robinson, istri dari seorang rekan kerja ayahnya. Mrs. Robinson meminta Benjamin mengantarnya pulang, dari perjalanan itu bergulirlah kehidupan baru Benjamin yang gila dan mengundang tawa.

Dibintangi oleh Dustin Hoffman dan Anne Bancroft, The Graduate (1967) merupakan sketsa komikal tentang kehidupan generasi muda yang baru lulus dari perguruan tinggi. Generasi dari kelas menengah atas yang berpendidikan, tetapi belum menemukan makna dan tujuan dari kehidupannya. Berkat film ini, Mike Nichols (Closer, Angels in America, Charlie’s Wilson War) diganjar piala Oscar untuk kategori Sutradara Terbaik.

Jangan sampai terlewatkan pemutaran The Graduate tanggal 05 September 2009 pukul 16.00 di Reading Lights Bookshop & Coffee Corner!

Kamis, 13 Agustus 2009

Movie Week: Bad Education (2004)

Sutradara: Pedro Almodóvar
Penulis: Pedro Almodóvar

Dua sahabat, Ignacio dan Enrique yang bersekolah di sebuah sekolah biara katolik, saling menemukan cinta pada tahun 60an. Romo Manolo, biarawan, kepala sekolah, dan guru literatur mereka, menyadari ketertarikan antara dua anak ini. Ia cemburu karena dirinya sendiri tertarik secara seksual terhadap Ignacio dan berniat untuk mengeluarkan Enrique dari sekolah itu, dengan tuduhan menjadi "bad education" untuk Ignacio. Dalam usahanya untuk memepertahankan orang yang disayanginya, Ignacio bersedia melakukan apa saja untuk sang biarawan, agar Enrique tidak dikeluarkan. Ternyata setelah Igancio rela dilecehkan, sang biarawan tetap mengeluarkan Enrique.


Kurang lebih 20 tahun kemudian, kedua sahabat ini bertemu kembali. Enrique yang telah menjadi sutradara film terkenal, dikunjungi oleh seorang aktor asing yang mengaku sebagai sahabat sekolah dan cinta pertamanya, Ignacio. Ignacio membawa sebuah naskah cerita yang bercerita tentang cinta, cita, dan penderitaan mereka semasa sekolah dulu. Siksaan fisik dan seksual yang mereka dapatkan dibawah tangan Romo Manolo, kisah fiksi (harapan Iganacio) tentang pertemuan mereka setelah sekian lama berpisah, semuanya ada di dalam naskah tersebut.


Enrique sangat ingin mengadaptasi cerita Ignacio menjadi sebuah film. Tapi Ignacio memberi syarat, Enrique boleh membuat film itu, asal dia diberi peran sabagai Zahara, alter-ego Ignacio. Zahara digambarkan sebagai seorang transeksual yang mengimitasi Sara Montiel – seorang bintang besar pada tahun 40-70an. Enrique yang merasa Ignacio terlalu maskulin untuk memerankan Zahara, menolaknya. Hal ini membuat Ignacio marah dan pergi. Sepeninggalan Ignacio, Enrique merasa Ignacio yang dia cintai dengan Ignacio yang menemuinya adalah orang yang sangat berbeda. Maka, ia pergi ke desa kelahiran Ignacio dan menemukan bahwa ...

Wah saya ngelantur terlalu banyak neh. Saya tidak mau menceritakan terlalu banyak. Lebih baik bila kamu menonton sendiri filmnya dan menikmatinya sendiri seperti kami menikmatinya pada Sabtu lalu. Kamu akan mendapatkan pengalaman yang berbeda saat menyaksikannya, terutama karena film ini bukan film Hollywood. Saya sendiri sudah banyak membaca fanfic yang dibuat berdasarkan film ini. Menontonnya secara langsung merupakan pengalaman yang menggetarkan buat saya.

Film yang disutradarai oleh Pedro Almadovar ini mempunyai sinematografi yang indah dengan warna-warni yang cerah khas negara-negara latin yang panas dan ceria. Setting kota Madrid yang penuh dengan gedung tua, biara, tembok-tembok berwarna-warni yang berkolasekan pecahan gelas, genting dan kaca, memberikan kesan yang indah dan sedikit sendu dalam film ini. Alur cerita film ini agak berbeda, dimana beberapa bagian berupa flashback yang dipaparkan dalam bentuk proses film yang sedang digarap Enrique. Namun beberapa bagian merupakan kisah nyata yang terjadi dalam kehidupan setiap tokoh yang terlibat. Beberapa fiksi dan beberapa nyata (dalam dunia film ini tentunya).

Sebenarnya saya tidak menonton bagian awal dari film ini (yang harus saya bayar dengan membuka youtube setelahnya) dan saya masuk tepat pada saat tokoh Zahara yang diperankan dengan luar biasa oleh Gael Garcia Bernal sedang memberikan oral seks pada seorang pemuda. Unsur seksualitas yang digambarkan di film ini disajikan seadanya, tanpa melebih-lebihkan atau mengindah-indahkan seperti film-film Eropa lainnya.

Salah satu adegan terindah adalah saat Igancio cilik menyanyikan lagu Moon River dan The Gardener. Sebagai orang yang berlatih dalam menyanyi klasik, adegan itu benar-benar menggetarkan jiwa dan hati saya. Benar-benar sempurna, terutama karena kedua lagu tersebut cukup beriringan dengan ceritanya. Moon River yang menceritakan tentang kebahagiaan masa kecil yang polos dan The Gardener tentang kecintaan Sang Pencipta terhadap ladang yang dia pelihara dan mengharapkan hanya buah-buah yang terbaik yang dihasilkan. Begitu menyentil kehidupan sang biarawan, Romo Manolo.

Namun untuk saya sendiri tema tentang transeksual yang terpuruk, menjadi junkie, bangkrut, dan dibenci oleh orang-orang terdekatnya – seperti yang diusung dalam film ini - cukup melelahkan. Banyaknya penggambaran seperti itu membuat saya ingin melihat film-film tentang transeksual yang berhasil dan berbahagia dalam hidup mereka, seperti To Wong Foo, Thank You for Everything atau Priccilia, Queen of The Desert. Namun bukan berarti saya tidak menyukai film ini, saya suka film ini dan memberikan rating 4 dari 5 point untuk film ini (2 point untuk tema transeksual terpuruknya :p).


Teman-teman yang menonton bersama saya juga boleh dikatakan cukup menyukai film ini dan memeberi rating 3-4 point. Kekurangan-kekurangan yang kami rasakan hingga tidak memberi nilai sempurna yaitu: plot dan jalan cerita yang terlalu cepat berubah dari ceria menjadi kelam, ending yang terasa terlalu datar setelah emosi yang terus diangkat oleh film ini sehingga membuat film kurang mengigit. Beberapa teman merasa seksualitas film ini tidak penting, hal yang bisa dilewat atau dihilangkan, karena tidak mengeksplor hubungan dari tokoh-tokoh utama di film ini.

Semua itu adalah pendapat pribadi yang berbeda-beda dan mungkin akan berbeda lagi dengan kamu yang menonton film ini. Namun satu hal yang pasti dan hingga sekarang saya renungkan adalah saat teman nonton saya, Andika, mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih dari film ini hingga seorang genius seperti Pedro Almodovar harus menghabisakan 10 tahun untuk mempersiapkan film ini. Apa karena temanya yang sangat sensitif dalam hal religi mengingat Spanyol adalah negara pemeluk katolik yang cukup fanatik dan Almodovar sendiri merupakan pengikut setianya? Sampai saat ini saya belum tahu. Namun film ini adalah film yang wajib anda saksikan untuk yang jenuh dengan kebohongan Hollywood dan dominasi film Indonesia yang CAPEEE DEEEEHHH ...

with Love,
Siluman Rubah Regie


P.S.
Untuk info lebih dalam tentang film ini, kunjungi situs resminya.

Minggu, 28 Juni 2009

Dua Kunang-Kunang Mencari Umur Panjang

Acara menonton kali ini bisa dibilang cukup repot persiapannya. Ruangan atas yang kami biasa gunakan untuk nonton, dipakai siswa les bahasa Inggris untuk ujian. Sejam sebelum acara nonton, Riswan - pengurus Reading Lights (RL), menelpon saya, “Li, bisa bawa speaker nggak?”
Saya datang ke RL dengan tas besar merah murahan khas TKI yang berisi tiga buah speaker. Usut punya usut, kami diperbolehkan menonton di ruangan kantor RL yang dipenuhi dengan berbagai kertas dan komputer.

Riswan berusaha keras agar proyektor berfungsi dengan baik. “Gilirannya film bagus, keadaannya kayak gini,” ujarnya sambil sibuk memelintir kabel. Akhirnya, usaha Riswan tidak sia-sia. Kami duduk berderet di kursi-kursi plastik dan menonton film anime Jepang ini.

Masa kecil saya diisi dengan banyak anime di hari Minggu pagi, seperti Sailor Moon, Doraemon, dan Chibi Maruko Chan. Tapi jangan sangka kalau film Grave of the Fireflies selucu itu.


Film ini mengisahkan Seita dan Setsuko yang kehilangan rumah dan ditinggal mati ibunya. Mereka menumpang tinggal di rumah tantenya, namun tak bertahan lama. Tante menghina Seita yang tidak ikut berjuang untuk Jepang dan hanya jadi benalu. Namun, apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak usia SMP dengan tanggungan adiknya yang berusaha empat tahun? Tidak banyak.

Dengan perasaan sakit hati, Seita pergi dari rumah tantenya. Seita yang sok tahu menjadikan sebuah bunker tak terpakai sebagai rumah. Seita percaya ia dapat merawat adiknya dengan baik. Namun kenyataan berkata lain, Seita pada akhirnya harus mencuri untuk membeli makanan.

Sang adik, Setsuko, tak mampu menanggung derita lagi, ia menjadi lemah dan ringkih. Judul Graves of the Fireflies mungkin saja menggambarkan kehidupan Seita dan Setsuko yang tidak memiliki waktu yang banyak layaknya kunang-kunang.


Film ini diakhiri dengan momen yang menguras air mata. Setidaknya sebagian penonton RL movie week sembunyi-sembunyi mengelap air mata di tengah kegelapan ruang nonton. Ruang yang tadinya gelap berubah jadi terang. Diskusi pun dimulai.

Karakter tante Seita bikin sebal. Akan tetapi, perilaku ibu itu sangatlah wajar. Dalam masa perang, dimana makanan akan sulit dicari, seorang ibu akan berusaha memenuhi kebutuhan keluarga intinya dulu. Seita dan Setsuko adalah pihak yang tersisihkan oleh perjuangan bertahan hidup tantenya.

Justru yang patut dipertanyakan adalah logika Seita. Sudah jelas ibunya memiliki simpanan 7000 yen di bank, tapi ia baru mencairkannya ketika adiknya kekurangan gizi.

Film yang menurut Roger Ebert salah satu film anti perang terbaik ini memiliki keunggulan pada dubbing-nya. Alih suara Setsuko adalah yang terbaik. Suaranya natural, persis seperti anak usia lima tahun. Melalui suara itu pula, emosi penonton terbawa.

Film Grave of the Fireflies adalah film diangkat menjadi versi non-animasi, yaitu dalam bentuk film dan serial. Tetapi menurut Riswan, versi anime-nya tetap yang terbaik. Emosinya dapet banget di film animenya.

Pengunjung kali ini ada sekitar sepuluh orang. Dan mereka memiliki penilaian yang bagus mengenai film ini. Rata-rata 3.5 bintang dari 5 bintang. Pembicaraan kami pun berlanjut ke beberapa hal di luar film ini seperti membahas personel Sailor Moon yang lesbian (gosip dari Maknyes), istilah Moe pada animasi Jepang, film Ketika Cinta Bertasbih (yang menimbulkan kecewaan besar pada saya) sampai film Angels and Demons yang alur ceritanya keren berat.
Kami mengakhiri pertemuan itu, namun kami belum benar-benar pergi dari RL. Kebanyakan dari kami membeli minuman, duduk-duduk, cek Facebook, dan mengobrol ringan. Lalu, Indra menunjukkan cerpennya untuk kami baca. Kami mencoba menikmati waktu.

Acara menonton kali ini memanglah sederhana. Di ruang sedikit berdebu, duduk di kursi plastik, dan ketiadaan AC membuat udara sedikit gerah. Hanya ada ventilasi terbuka yang mengijinkan beberapa nyamuk (bukan kunang-kunang!) mengusik kami. Namun, tidak apa. Karena esensinya ada pada cahaya-cahaya, 25 frame per detik, yang jatuh pada tembok gelap dan memesona kita dengan ceritanya.

Saya jadi terbayang, bagaimana ya rasanya nonton layar tancap? Di desa layar tancap biasanya ada saat perayaan besar seperti kawinan. Film yang diputar adalah film lama atau film India. Kualitas gambarnya buruk karena pita filmnya sudah kotor. Speaker murahan berusaha menarik perhatian penonton dengan suaranya yang cempreng memekakkan telinga. Akan tetapi, tetap saja warga desa doyan menikmatinya (mungkin karena bioskop bagus tidak ada di daerahnya).

Setidaknya, kami diteduhi oleh bangunan yang cukup kokoh. Sehingga bila gerimis datang, kami tidak perlu mengakhiri acara menonton alias gerimis bubar…


Yuliasri Perdani

Rabu, 20 Mei 2009

Ind(ones)ia

Suatu sore, saat sedang tidak ada kerjaan di sela-sela waktu yang tidak padat oleh aktifitas, Si Maknyes membuka-buka facebook. Di kolom event, perempuan itu mendapati sebuah undangan untuk datang ke Reading Lights hari Sabtu itu, dengan agenda menonton Monsoon Wedding, film produksi tahun 2001 yang sudah pernah ditontonnya tahun itu pula. Namun kalau kata Alec Baldwin dalam film Ghost of Mississipi “waktu menemukan cara untuk mengembalikan ingatan seseorang”, tidak berlaku buat Si Maknyes yang pelupa. Waktu justru telah mengikis ingatannya akan film itu. Bukan karena film itu kurang menarik menurutnya, melainkan karena faktor x yang terjadi sehingga dulu dia menonton dengan kurang fokus. Bukannya karena waktu itu tidak menggunakan fasilitas infokus, hanya saja seingatnya, waktu itu dia nonton bersama kecengan (entah kecengan yang mana, dia pun lupa). Sehingga alih-alih menonton dengan tenang, hatinya malah tertuju pada si kecengan nan tampan, walaupun matanya menatap film itu lekat-lekat. Yaa… namanya juga anak muda toh? Namun satu yang dia ingat, film itu lucu.

Setelah melihat judul film yang akan diputar, tanpa pikir panjang, langsung di-klik-nya sebuah kotak kecil biru bertuliskan YES.

Pada hari H, Si Maknyes datang memenuhi komitmennya pada undangan facebook itu, walaupun tidak sepenuhnya komit karena dia datang terlambat. Saat kakinya menapaki lantai 2 Reading Lights, tempat dimana film diputar, ruangan sudah gelap. Artinya sang film sudah mulai diputar, walaupun belum lama. Dalam kegelapan, dia bisa menghitung berapa kepala yang hadir sore itu. Hanya lima kepala, termasuk kepalanya. Tubuh yang melengkapi kepala-kepala itu pun berjumlah lima. Agak seram juga membayangkan kalau jumlah kepala dan tubuh yang ada di sana tidak seimbang.

Saat film berlangsung, datang lah lagi dua orang me’ramai’kan suasana romantis sore itu. Se-romantis film yang sedang diputar di tengah ruangan yang dingin oleh hembusan penyejuk ruangan.

***



Monsoon Wedding mungkin tak seromantis film-film a la Bollywood kebanyakan yang mengangkat kisah cinta giung. Film ini berkisah mengenai sebuah keluarga besar dengan Lalit Verma sebagai kepala keluarga yang penyayang dan mau berkorban apa saja demi putrinya, termasuk mengadakan sebuah pesta pernikahan yang mahal dan mewah, padahal dia sedang tak luput dari masalah keuangan. Aditi, sang putri, dijodohkan oleh seorang pria yang belum pernah dia temui sama sekali. Padahal perempuan itu sudah punya kekasih.



Kisah yang seharusnya sederhana, antara menjawab ‘bersedia’ atau ‘tidak’, menjadi kaya akan konflik yang mulai timbul saat semua keluarga Verma dan para calon besan berdatangan dari beberapa belahan dunia.

Film ini bukan sekedar film tentang cinta: cinta antara dua manusia, cinta ayah kepada keluarganya, cinta kakak kepada adiknya, cinta seorang anak dengan jati dirinya sendiri, dan cinta orang India terhadap tradisinya, yang semuanya diramu secara seimbang, namun Mira Nair pun mengangkat tema keberagaman yang dipersatukan dalam satu atap besar bernuansa India yang kental. Seakan mau menunjukkan bahwa sebanyak apapun kebudayaan dan tradisi di dunia ini, budaya India lah yang paling kaya dan menarik.



Film yang penuh dengan intrik namun dibalut oleh keceriaan tradisi India yang terkesan selalu meriah oleh tarian, musik, dan warnanya. Hujan sebagai ciri khas film India kebanyakan yang biasanya digunakan sebagai penguat adegan-adegan emosional, secara cantik diangkat menjadi objek yang mempersatukan semua orang dalam kebahagiaan dan pernikahan besar yang terbayar bukan hanya dengan uang namun dengan banyak kejujuran.

***

Hujan deras turun di penghujung film itu, seakan berkejaran dengan suasana langit kota Bandung yang sudah mulai mendung bersiap meluncurkan butiran-butiran air yang mungkin tak kalah derasnya.

Sembari dihanyutkan oleh backsound musik India yang mengiringi credit title, ketujuh penonton memulai diskusi ringan. Andika, sang fasilitator, langsung mengajak joget India, yang tentu saja tak sedikitpun mendapat tanggapan bernada setuju.

Nia menyamakan India dengan Indonesia yang nampaknya sama-sama western minded. Namun setelah dibahas, mereka mendapati ternyata penduduk India tidaklah menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa gaya, melainkan memang sebagai bahasa pemersatu, karena mereka tidak punya bahasa nasional seperti Indonesia.

Sementara Ina, yang datang terlambat, mengaku terhibur oleh film itu, walaupun gelap (mungkin dalam hal ini ‘kualitas’nya yang gelap, karena media yang digunakan adalah VCD).

Badar yang adem ayem ajya, ternyata tak terlalu suka. “India banget… terlalu rame,” katanya sembari cengar cengir.

Omes tidak banyak komentar karena dia tidak nonton dari awal.

Sementara Niken, yang ‘menghilang’ beberapa saat dari ruang nonton, berpendapat tidak menyukai film itu. “Kayak pernikahan Jawa!” serunya. Dalam hati Si Maknyes berujar, ‘bukannya pernikahan Jawa nggak ada rame-ramenya ya? Dibandingin Betawi!’. Kemudian Si Maknyes menyadari, ‘ooohh… barangkali sama ribetnya!’

Yah, semua orang boleh punya pendapat masing-masing. Si Maknyes sendiri suka dengan film itu. Yang paling dikaguminya adalah sentuhan khas India yang sederhana namun berkelas di setiap scene-nya. Dan dari film itu pula, dia bisa menemukan kesamaan antara India dengan Indonesia, dilihat dari setting-nya. Pasar-pasar, jalan dan lalu lintas, pemukiman, dan kondisi kota di sana tak ada ubahnya dengan kondisi di Indonesia. Tapi kenapa di sana kok tampaknya lebih eksotis ya? Ah memang rumput tetangga selalu lebih hijau.

Sesaat setelah diskusi berakhir tanpa ditandai dengan ketuk palu, Si Maknyes buru-buru pulang karena masih banyak agenda yang harus dilakukannya. Perjalanannya pulang dinikmatinya dengan seksama. Jalanan yang becek, lalu lintas yang padat, udara yang tercampur dengan polusi, pasar yang padat, semuanya dilaluinya dengan hatii riang. Pikirannya menghipnotis dirinya sendiri dengan serta merta berkata “Gue lagi di India… gue lagi di India… gue lagi di India…”.


Kamis, 23 April 2009

Demam Rasial Di Belantara Kota

Jungle Fever
Directed by Spike Lee.


Pekan ini adalah debut saya dalam menjadi pengurus movie week. Awalnya saya ingin menampilkan film Malcolm X karya Spike Lee. Sayangnya, durasinya kepanjangan 3 jam 15 menit!

Atas rekomendasi Andika, saya meminjam film Spike Lee lainnya, Jungle Fever. Melihat covernya saja saya sudah menyangka kalau filmnya adalah tentang perbedaan. Film dengan poster tangan kulit hitam dan tangan kulit putih yang terjalin itu bercerita tentang hubungan perselingkuhan beda ras.

Sekedar info saja, Spike Lee dikenal akan film-filmnya yang mengangkat isu perbedaan ras, terutama marjinalisasi kaum Afrika-Amerika di Amerika. Terkadang, ia seakan sangat pro dengan kulit hitam sehingga filmnya terkesan menggurui. Tapi wajar saja. Toh, dia kan membela kaumnya.

Jungle Fever bercerita tentang Flipper Purify (diperankan dengan baik oleh Wesley Snipes), seorang arsitek kulit hitam yang memiliki keluarga kecil bahagia. Namun keadaan itu terasa kurang, saat datang sekretaris keturunan Italia di kantornya, Angie Tucci (Annabella Sciorra). Benci berubah menjadi cinta. Dan, saat lembur di kantor menjadi awal pertautan nafsu keduanya. Flipper sendiri tak tahu pasti mengapa ia selingkuh dengan Angie. Mungkin saya penasaran dengan orang kulit putih?

Tak lama, gosip mengenai perselingkuhan mereka pun menyebar. Flipper diusir dari rumahnya. Sementara, Angie diusir ayahnya dari rumah. Tinggalah mereka di apartemen baru yang hanya terisi oleh kasur saja.

Flipper dan Angie mulai mempertanyakan kebersamaan mereka di kasur itu. Berbagai kejadian datang mempengaruhi mereka. Dengan isu rasial yang belum terlepas dari dunia yang modern itu, Flipper memutuskan hubungan perselingkuhannya. Kisah happily ever after film-film Walt Disney tidak mereka temukan di dunia nyata.

... cause you were curious about black ... And I was curious about white,” ujar Flipper kepada Anggie yang hanya bisa termangu.

Perselingkuhan sudah dilepaskan, namun kehidupan yang lama tak mungkin diraih kembali. Flipper memiliki hubungan yang aneh dengan istrinya. Dan, Angie kembali ke rumah, tak jelas kehidupannya berlabuh kemana.

Kalau dilihat secara sederhana, Jungle Fever adalah versi lain dari Romeo and Juliet. Di pihak Romeo, ia adalah orang kulit hitam yang sudah berkeluarga. Tanpa disadari keluarga Romeo memiliki pandangan rasial terhadap orang kulit putih. Dan Julietnya adalah dari keluarga Italia yang rasis juga.

Unsur keluarga sangat kental dalam film ini. Banyak anak cerita yang muncul dari anggota keluarga mereka. Misalnya, tentang keimanan, masalah kecanduan narkotika, dan kekerasan. Banyaknya topik yang diangkat menjadikan film ini berdimensi luas.

Spike Lee, yang ikut berperan sebagai sahabat Flipper, rajin menyelipkan musik latar dalam setiap adegannya. Lagu Steve Wonder yang up beat terasa kontras dengan adegannya yang suram. Untuk menonton film ini, kita harus bersiap untuk melihat adegan dialog yang panjang namun berisi. Dan yang sedikit membuat risih, Jungle Fever berisi adegan percintaan eksplisit.

Di akhir film, Spike Lee memberikan adegan yang mengambang. Ini bukan berarti jelek, namun Spike Lee membebaskan masing-masing penonton untuk mengintrepertasikan film ini.

Mendefinisikan kualitas Jungle Fever cukup sulit. Anda bisa sangat menyukai, atau menganggapnya sangat membosankan. Setidaknya, hal itu yang terjadi pada penonton dalam acara nonton Sabtu kemarin.

Dengan segala permasalahan dan percintaan yang mewarnai Jungle Fever, 7 dari 10 orang yang hadir dalam acara nonton ini menyukai film ini. Mas Tobing dari My Cinema mengapresiasi cara Spike Lee mengisahkan masalah perbedaan. Ada pula yang merasa tidak menemukan serunya film ini dari awal hingga akhir film, alias nggak rame sama sekali.

Kita, sebagai orang Indonesia mungkin merasa dekat dengan film ini. Ternyata, melaksanakan Bhinneka Tunggal Ika tak semudah itu. Dalam masyarakat yang majemuk tak jarang ada prasangka atau ketegangan diantara masing-masing kelompok. Setidaknya, lewat film ini kita dapat menguraikan simpul-simpul keruwetan itu.

Jungle Fever berhasil mengangkat kegelisahan, prasangka, dan kebencian yang timbul akibat rasialisme. Film ini menyadarkan kita, sikap rasis masih menjangkiti masyarakat, yang katanya sudah maju.

Ternyata, metropolitan adalah belantara baru!

PS: Bersiap-siap untuk mabuk oleh film romansa di Movie Week bulan depan!


Yuliasri Perdani

Yuliasri, atau bisa dipanggil Uli, adalah seorang pecinta film sejati. Uli, yang memiliki pengetahuan tentang film cukup baik, pernah menjadi cameo di film karyanya bersama teman-temannya. Pengetahuannya dalam membuat film dan menulis skenario membuatnya dipercaya sebagai pengurus movie week di Reading Lights Writer's Circle yang diadakan satu bulan sekali.