Selasa, 05 Agustus 2008

Talk To Her



Agenda pertemuan mingguan Reading Lights Writers’ Circle kemarin adalah nonton film bareng. Acara ini rutin dilakukan the circle setiap sebulan sekali. Siapapun boleh menentukan film yang akan ditonton. Adapun syarat-syaratnya adalah: durasi film di bawah dua jam, bersifat fresh di Rotten Tomatoes (ratingnya 60% ke atas), plotnya tidak konvensional, dan tidak mengandung nudity.


Setelah menonton dua film bernuansa muram pada acara nonton bareng sebelumnya (
There Will be Blood dan Persepolis), kali ini saya berinsiatif memilih film yang lebih ringan dan ‘positif’ atau yang komedi sekalian. Maka film yang muncul di benak saya adalah Me and You and Everyone We Know dan Ghost World. Celakanya, saya tidak menerima pesan singkat Erick, fasilitator the circle, yang mengonfirmasi bahwa agenda minggu ini memang nonton film bareng. Alhasil saya baru ke tempat rental DVD pada saat-saat terakhir, hanya untuk mendapati bahwa Me and You … dan Ghost World ternyata dipinjam orang! Kecewa berat, saya tak mampu berkonsentrasi dalam memilih film. Akhirnya film yang terpinjam malah sebuah film yang tidak ringan, tidak positif, dan bukan ber-genre komedi. Judulnya Talk to Her, disutradarai Pedro Almodovar. Hahahahaha.


Sebelum keping DVD dimasukkan ke dalam
player-nya, saya menceritakan sedikit latar belakang film ini kepada teman-teman yang lain: Erick, Aji, Selvi, dan Nia. Kegemaran Pedro Almodovar adalah mengangkat karakter-karakter yang terpinggirkan. Mulai dari guru sekolah katolik paedophile, sutradara homoseksual, biarawati penderita HIV/AIDS, istri pembakar suami sendiri, sampai perempuan sedang nervous breakdown. Dengan penuh penyesalan, saya mengakui ada adegan telanjang dalam Talk to Her. Pembelaannya, “Kita bersedikit, lagipula bukannya semua sudah dewasa?”


Akhirnya kami pun menonton
Talk to Her. Menurut Wikipedia, film-film Almodovar bertutur dengan narasi kompleks melodrama yang melibatkan penggunaan budaya pop, lagu-lagu populer, lelucon keji, warna film yang pekat, dan dekorasi yang glossy. Meskipun film ini tidak seramai film Almodovar pada era 80-an tetapi tetap saja film ini memakai formulasi tersebut. Di mana selain narasi yang berbelak-belok, film ini juga memasukkan pertunjukan tari ‘Trenches’, sebagaimana pertunjukan musik di mana Bob Dylan-nya Brazil, Caetano Veloso, membawakan lagu Cucurrucucú Paloma secara akustik dalam sebuah adegannya. Gila merinding! Kenorakan era 80-an masih meninggalkan jejaknya di adegan wawancara televisi. Almodovar juga menyisipkan sebuah film hitam putih yang sukses memancing tawa teman-teman the circle. Saya suka banget sama Talk to Her, tetapi menontonnya bersama teman-teman tidak hanya menimbulkan perasaan aneh tetapi juga menyenangkan.


Ruangan temaram.
In-focus memroyeksikan adegan pertunjukan tari terakhir. Waktu menunjukkan jam tujuh kurang lima belas. Riswan, pegawai senior Reading Lights Bookstore, muncul di ambang pintu ruang atas. Membuktikan eksistensinya ia pun bertanya, “Kalian masih belum selesai juga?”


Belum. Sebentar lagi,” jawab saya.


Tak lama kemudian
credit-ends bergulir di layar. Saya menyalakan lampu dan melihat ke sekeliling. “Bosan, nggak?”


Nggak, sih,” ujar Nia yang hari itu memakai kaos hitam.


Kami pun mulai membicarakan Talk to Her. Agak sulit mengingat adegan favorit karena film ini sangat menghanyutkan. Erick bilang alurnya lambat, tetapi nggak bikin bosan. Dia membandingkan Almodovar dengan Alfonso Cuaron. Lho, kok? Namun begitu Erick merekomendasikan Amores Perros, saya memahami yang dimaksudkannya sebagai Alfonso Cuaron adalah Alejandro González Iñárritu, sutradara Amores Perros, 21 Grams, dan Babel. Nia suka musik latar pertunjukan tari terakhir dan setting penjara yang modern tetapi sepi. Selvi tertawa terbahak-bahak ketika adegan wawancara televisi. Aji bilang teks nama yang muncul pada beberapa adegan mengingatkannya pada film Amores Perros, menurutnya teks tersebut berfungsi sebagai pembagi cerita. Nia tidak sependapat, karena sebetulnya teks tersebut tidak begitu berpengaruh banyak. Nia berteori bahwa kemunculan teks itu lebih menandakan hubungan chemistry di antara para tokoh. Hal yang Erick tangkap dari film ini, ada batas yang tipis antara mencintai dan terobsesi. Bila mencintai kita tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, bila terobsesi batas antara boleh dan tidak boleh menjadi kabur atau bahkan tidak ada. Bagusnya adalah Mr. Almodovar membuat kita bersimpati pada karakter yang terobsesi itu.Di penghujung pembicaraan, saat teman-teman sedang memakai sepatu, Nia bertanya, “Eh kita perlu difoto, nggak?”


Terlambat,” jawab Erick.

Tadi mau gua foto pas lagi nonton, tapi takut blitz-nya mengganggu,” sahut Nia. Namun demi kepentingan blog saya pun tetap mengambil foto aneh di atas. Melihat foto yang tidak memuaskan itu, Erick pun mengambil foto aneh di bawah.



Andika Budiman


Andika adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, essay ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, kritik serta saran-sarannya sangat berguna dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup.

Tidak ada komentar: