Selasa, 19 Agustus 2008

Ghost World


Birch dan Buscemi ngedengerin pengarahan Zwigoff


Kembali lagi bersama saya, Erick, kali ini Writer's Circle menonton film Ghost World karya Terry Zwigoff, yang diangkat dari komik berjudul sama karya Daniel Clowes.

Minggu ini ada peserta baru bernama Ari, teman satu tim Ina untuk urusan bikin film. Peserta lain yang datang adalah Aji, Wahyu, Pacarnya Ari, Uli, Ina, Andika, dan satu lagi yang baru dateng, saya lupa terus dengan namanya, tapi nickname dia MakNyes, kerjaannya jadi presenter di SkyFM.

Kembali ke film yang kami tonton, Ghost World bertutur mengenai kehidupan Enid dan pandangannya yang skeptis mengenai dunia sekitar. Enid memiliki sahabat yang jauh lebih ‘normal’ bernama Rebecca. Mereka berdua baru saja menyelesaikan sekolah. Sementara Rebecca berkonsentrasi mencari uang demi menyewa apartemen, Enid malah harus mengikuti kelas tambahan untuk perbaikan nilai di mata pelajaran seni.

Keseharian mereka diisi oleh kegiatan yang iseng dan menyebalkan orang lain, seperti mengerjai via telepon ke orang yang memasang iklan di rubrik umum, mengomentari pasangan yang satanik banget, dan lain-lain.

Masalah mulai muncul ketika Enid nekat mengikuti orang yang memasang iklan tersebut, dan pada suatu kesempatan, mereka pun berkenalan.

Film ini membawa penonton untuk merasa sebal sekaligus simpati pada Enid sebagai karakter utama. Dia adalah anak yang merasa ditolak oleh semua manusia. Bersikap skeptis adalah jalan hidupnya saat ini. Karakter utama dibawakan dengan sempurna oleh Thora Birch. Bahkan sikap acuh dan dingin a la Thora bisa jadi daya tarik tersendiri.

Saya menangkap film ini bernuansa surealis. Semua karakter utama dan pendukung dibuat sedemikian aneh, perilaku serta penampilannya. Walaupun begitu, beberapa adegan terasa sangat manusiawi, di mana saya merasa dunia itu menyebalkan. Saya pikir ada karakter Enid dalam diri masing-masing, ada kekesalan dan kekecewaan dalam diri kita terhadap dunia dan orang-orang sekitar.

Mungkin ini hanya sebuah fase yang harus dilewati, seperti juga pubertas.

Uli mengatakan ia suka dengan pertemuan Enid dan kakek penunggu bus-yang-tak-kunjung-datang. Adegan ini mengubah persepsinya mengenai orang-orang aneh. Karena di film diceritakan bahwa Enid demikian putus asa sehingga ia menyatakan bahwa kakek itulah satu-satunya yang bisa dijadikan sandaran.

Becca, kakek penunggu bus, dan Enid di hari punk-nya


Uli juga mengakui bahwa film ini memang agak surealis, membuatnya teringat dengan film Fur-nya Nicole Kidman yang juga mengangkat karakter-karakter aneh. Lucunya lagi, semua karakter aneh pada Ghost World memiliki hubungan yang juga aneh.

Tambahan, Uli sempat menyangka persahabatan dua karakter utama sebagai ‘lebih dari persahabatan’.

Hampir senada, Maknyes juga menangkap kesan Rebecca dan Enid itu lebih dari sahabat. Sepertinya mustahil dua orang bisa terus bersahabat, walaupun seorang Rebecca bisa bekerja dan punya penghasilan, sementara Enid gagal melulu, ditambah selalu adanya konflik yang terpendam diantara keduanya.

Dari Ari, dia mengaku kalau menonton film ini sekitar pukul sepuluh malam, pasti ketiduran. Tapi dari sisi visual, cukup menarik, dan karakterisasinya kuat.

Andika mengaku sempat bersimpati pada karakter Enid, tetapi pada saat menonton kedua kalinya dia jadi sebal. Menurutnya judul Ghost World mengacu pada dunia yang ingin dituju oleh karakter utama. Karena ia merasa ditolak oleh semua orang, ia merasa lebih baik pergi dan menghilang entah kemana.

Ending-nya menyiratkan keinginan Enid itu terkabul. Jauh berbeda dengan versi komiknya yang lebih ekstrim, dimana Enid digambarkan berwajah jauh dari menarik, dan hubungan persahabatan dengan Rebecca tampak lebih diwarnai konflik. Bagaimana dengan ending pada versi komik? Saya memilih untuk tidak menjawab.

Jika penasaran dengan film ini, saya sarankan untuk menyewa DVD-nya di Rumah Buku.


Tidak ada komentar: