Sabtu ini lain dengan Sabtu-Sabtu sebelumnya. Untuk pertama kalinya Reading Lights Writers’ Circle melakukan outing. Jika biasanya pertemuan mingguan diadakan di toko buku Reading Lights, maka kali ini the circle goes to Jendela Ide. Jendela Ide adalah sebuah tempat yang menyediakan ruang untuk anak-anak yang ingin mengeksplorasi berbagai bentuk seni. Mulai dari seni musik hingga seni murni.
Kegiatan yang dijadwalkan berlangsung sejak pukul dua ini dimulai setelah kedatangan Erick, Andika, Wahyu, Fadil, Ina, Aji, dan Niken sebagai salah satu fasilitator Jendela Ide. Setelah kami berkumpul—termasuk saya yang datang lebih awal, Erick kemudian menyampaikan petunjuk tentang apa-apa saja yang mesti dilakukan. Walaupun sempat terinterupsi oleh kedatangan Devi yang terlambat, pada intinya semua memahami bahwa tugas kali ini adalah:
-
Mengamati semua lukisan;
-
Memilih sebuah lukisan favorit sebagai bahan interpretasi.
Setelah mendengarkan historical background lukisan anak-anak dari Niken, pencarian lukisan terfavorit pun kami lakukan. Kami mendapatkan waktu tiga puluh menit untuk mengamati semua lukisan. Kami lantas mengelilingi markas persegi Jendela Ide yang berjendela banyak, yang dipenuhi lukisan, foto kegiatan, dan hasil karya anak-anak Jendela Ide lainnya.
Yang membuat saya sedikit takjub adalah ternyata hasil interpretasi kami tak jauh beda dari kesukaan dan ciri khas menulis masing-masing. Seperti saya yang suka warna pink dan tulisan-tulisan morbid. Favorit saya adalah lukisan pohon di mana warna pink mendominasi. Lukisan ini saya interpretasikan sebagai lukisan yang berhubungan dengan kematian. Saya pikir, kesendirian pohon dalam lukisan ini merepresentasikan kondisi sepi di alam kematian. Sementara itu daun-daun yang berguguran saya hubungkan dengan pendapat seorang teman yang sudah berstatus almarhum: “Hitunglah setiap helai daun yang gugur, karena sebanyak itu juga jumlah orang yang meninggal ketika itu.”
Lain saya lain Fadil. Ia mencoba menganalisis karakter orang yang melukis lukisan favoritnya. Ia memilih lukisan karya George, anak berumur 3 tahun yang menggambar badak dengan warna cerah. Menurut Fadil, selintas lukisan tersebut mirip peta kenegaraan. Fadil berpendapat garis-garis batas yang digambarkan kaku oleh pelukis mencerminkan keterikatan pelukis pada aturan-aturan yang ada.
Aji yang dikenal tertarik masalah perpolitikan malah menghubungkan lukisan favoritnya dengan kondisi politik di Indonesia. Lukisan Spider-Man karya Jihan membuat Aji berpikir, “Memang seberapa besar signifikansi super hero di negeri yang sudah sebegini kacau?” Terlepas dari penjelasan tentang mengapa lukisan Jihan lumayan mendekati aslinya, komentar Aji mengenai bagaimana lukisan Spider-Man ini mengingatkannya pada keterpurukan kondisi Indonesia membuat saya ingin tertawa.
Sementara itu sebuah lukisan tentang hutan menjadi pilihan Ina. Dalam lukisan itu terdapat pepohonan yang mengapit seekor binatang yang bagi Ina merupakan kucing hutan, tetapi kami anggap lebih menyerupai gajah. Selain itu, saya rasa interpretasi Ina agak normal dibandingkan yang lain. Ia menginterpretasikan warna langit yang abu-abu sebagai tanda kecerahan malam, sementara warna biru disekitarnya adalah indikator melimpahnya oksigen di hutan tersebut. Ina menambahkan, ia memilih lukisan tersebut karena keunikannya.
Devi yang ceria dengan penuh semangat memilih lukisan binatang peliharaan karya Alika. Saya curiga, jangan-jangan karena lukisan tersebut senada dengan warna bajunya saat itu: oranye. Namun Devi menjelaskan kesukaannya pada lukisan Alika dikarenakan lukisan tersebut penuh tawa dan kebahagiaan. Binatang peliharaan di lukisan Alika tampak lembut dan tersenyum hangat. Devi menginterpretasikan lukisan tersebut sebagai perwujudan sifat positif yang dimiliki oleh Alika, sang pelukis. Lukisan Alika kemudian membuat Devi termotivasi untuk tetap ceria, sangat sesuai dengan karakter Devi yang selalu optimis.
Wahyu memilih lukisan orang yang menurutnya agak mirip dengannya. Ia mencoba menebak-nebak apa yang sedang dilakukan orang di dalam lukisan tersebut. Mungkin orang tersebut sedang menyapa, atau sedang berdeklamasi, atau malah sedang mengucapkan salam perpisahan. Menurut Wahyu, bisa jadi orang tersebut merupakan gambar ayah pelukis yang ingin memeluknya. Namun Wahyu lantas menghentikan interpretasinya dan menyerahkan semuanya kepada si pelukis, sebagai satu-satunya orang yang mengetahui arti dari lukisan itu.
Saya sempat terheran ketika Andika yang pemikirannya biasa agak kritis malah merasa teridentifikasi dengan lukisan Tiara. Tiara membuat sebuah lukisan yang Andika pikir agak klise dan pretensius dengan warna awan yang biru, rumput yang hijau, dan kayu yang cokelat. Namun kemudian lukisan tersebut mengingatkan Andika akan masa lalunya, ketika dirinya juga merasa pretensius. Andika bercerita bahwa ketika kecil ia juga takut melakukan sesuatu yang tidak umum. Andika mengagumi keberanian Tiara yang mewarnai wajah dengan warna yang tidak umum: biru dan jari dengan warna hijau. Tiara menginspirasi Andika untuk berani dalam melakukan sesuatu.
Terakhir Erick. Setelah curhat tentang kebingungannya memilih lukisan yang diperkirakannya disebabkan oleh sifat agak plinplan-nya, akhirnya ia memilih lukisan planet monster karya Izzan, Hafizh, dan Thafah. Lukisan tersebut jadi favorit Erick karena menurutnya pelukis bisa mengubah pandangan orang yang beranggapan bahwa monster adalah mahluk yang menakutkan. Hal ini disebabkan karena pelukis menggambarkan monster dengan wajah yang tidak seram. Sepintas saya melihat kemiripan antara monster pada lukisan dan Erick, hehehe.
Saya merasa hari Sabtu ini menjadi Sabtu yang paling membahagiakan. Kami berhasil menyelesaikan permainan interpretasi lukisan di Jl. Taman Sari 73 Bandung. Sayang Anas datang terlambat sehingga tidak bisa merasakan serunya menginterpretasikan lukisan. Semoga Writers’ Circle sering-sering mengadakan pertemuannya di luar ruangan.
Myra Fathira
Myra adalah peserta regular di setiap pertemuan Reading Lights Writers’ Circle. Gadis misterius ini masih tercatat sebagai mahasiswa Sastra Inggris angkatan 2004 Universitas Padjadjaran sebagaimana tercatat juga sebagai groupies-nya Nine Ball. Jangan langsung menyapa Myra bila melihat ciri fisiknya pada orang yang Anda temui. Karena bisa jadi itu Mira, kembaran Myra. Lihat dulu pakaiannya. Anda boleh menyapa kalau gadis itu memakai baju pink. Myra selalu memakai baju pink. Satu-satunya kesempatan di mana saya melihat Myra berbaju hitam adalah sehari setelah tulisannya dikritik Rendra. Album foto Reading Lights Writers’ Circle Goes to Jendela Ide bisa dilihat di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar