Selasa, 26 Agustus 2008

Kepompong

Mimpi aneh itu datang lagi. Kenapa orang-orang yang dekat denganku mati dengan tidak wajar. Dicungkil dari dunia dengan paksa.

Pukul 15:30
Kukuatkan hati ke the writers' circle. Uang seribu kurogoh dalam saku jeans tua buat ibu-ibu pengemis di pasar Simpang Dago untuk mengusir sial. Tapi entah kenapa di rembang petang itu ibu dan anak-anak mereka hilang seperti ditelan waktu.

Di Reading Light sore itu masih seperti senja yang lalu-lalu. Bohlam lampu yang bernaung dalam tudung yang muram. Dua meja panjang yang mungkin telah bertahun-tahun menjadi budak. Meja dengan desain kaku dan sebuah jam dinding yang senantiasa menunjukan pukul satu.

Para kepompong datang satu-satu. Andika, aku, Indra, Erick, Nia, Uli, dll. Sambil menunggu anggota lain, Indra mengabarkan kalau ia telah bekerja sebagai editor di Jakarta. Kabar ini seperti efek domino, Andika bilang kalau ia ditawarkan bekerja di toko buku seperti impiannya. Myra kerja sebagai script writer dan Devi yang dipanggil wawancara untuk jabatan editor di penerbit pemerintah.

Pertemuan kali ini tampak tak biasa karena Erick ‘bule’ sebagai moderator mengarahkan kami untuk menganalisa sebuah novel: Twilight. Setelah Andika membaca sepenggal cerita dari dua bab yang berbeda kami berlatih menjadi ‘kritikus sastra’. Mencoba menganalisa, barangkali terdapat beberapa varian yang dapat dipilih dan dikembangkan untuk mempertajam, minimal mempercantik tulisan.

Gwyneth Paltrow: “Brad, kenalin ini anak gua.”


Dan, ya ampun! Di sela-sela itu seorang perempuan berkaca mata besar dan lebih nampak sebagai pengembira nyelonong masuk, Maknyes. Selamat bergabung! Lengkap sudah.

Nia bilang kalau latar yang dipilih kurang cocok. Seharusnya cerita vampir punya suasana latar yang agak kelam. Lalu Indra (kacamata) mengatakan kalau novel Twilight terlalu remaja. Kalau diarahkan dalam alur yang kuat dan dalam (filosofis) novel imajinatif ini akan menjadi lebih menggigit.

Lain dengan yang lain, senyum Indra mengembang saat mencium bau kaki


Si pink, Myra menemukan kalau kalimat-kalimat pengaguman tokoh perempuan yang cinta mati kepada vampir ganteng itu lebih merupakan kalimat penulis. Tokoh hanya sebagai alat untuk menumpang. Dan Erick lebih suka kalau ceritanya dibikin komedi. Sang gadis yang ceroboh dan punya sifat obsesif kompulsif jatuh cinta pada vampir.

Sementara menurut Uli latarnya tidak detail. Sama seperti Ina, Devi bilang novelnya kurang romantis. Dan Andika yang telah membaca habis novel Twilight mengatakan kalau ia sangat tidak suka jika cinta dimunculkan hanya karena fisik semata.

Oh Tuhan, hampir aku lupa, Maknyes nyerocos kalau bahasanya terlalu formal seperti orde baru. Pola kalimatnya S-P-O-K. Dan menurut dia lagi, wanita yang patah hati tuh nggak pening tapi sesak napas. 

Perkataan Andika memancing komentar. Cinta adalah pilihan. Cinta adalah wilayah rasa. Begitu kata Myra. Peserta yang lain urun rembug. Diskusi menjadi semakin hangat

Aku rasa sebaiknya para kepompong memperhatikan lingua franca. Dalam diskusi ketika hendak menyerang pendapat orang lain sebaiknya menggunakan logika kalimat bukan menyerang psikologis agar tidak jatuh dalam kesalahan logika.

Pukul 18:10
Diskusi selesai.

Ketika menulis ini entah kenapa aku bisa membaui seperti apa suasana ketika kelompok Frankfurt duduk untuk bertukar pikiran. Mereka berdiskusi, membaca, merenung lalu kembali bertemu untuk bertukar pikiran, sesekali ditemani secangkir coklat panas yang mengebul (ngomong-ngomong kemarin ada roti keju, ). Tak heran kelompok ini melahirkan Karl Marx dan Webber di kemudian hari atau Limited Group di Yogyakarta yang melahirkan tokoh-tokoh nasional sekarang, Dawam Rahardjo, Johan Effendi, Kuntowijoyo, dan pemikir pemberontak yang pikirannya melebihi jaman, Ahmad Wahib.

Mungkinkah?

Wallahu ‘allam.

Anas Gembu

Wajah Anas adalah salah satu dari wajah-wajah lama di the writers’ circle. Meskipun sudah keluar dari Universitas Islam Bandung dengan predikat sarjana, lelaki penyuka hal-hal berbau islam ini masih bisa dijumpai di kamar kos-nya di Jalan Tubagus Ismail. Bertanyalah pada Anas tempatnya berasal di Bima, Nusa Tenggara Barat, kalau anda beruntung ia akan menceritakan mulai dari perwatakan masyarakat sampai para joki kecil.


Anas ketika mengemukakan pendapat

Selasa, 19 Agustus 2008

Ghost World


Birch dan Buscemi ngedengerin pengarahan Zwigoff


Kembali lagi bersama saya, Erick, kali ini Writer's Circle menonton film Ghost World karya Terry Zwigoff, yang diangkat dari komik berjudul sama karya Daniel Clowes.

Minggu ini ada peserta baru bernama Ari, teman satu tim Ina untuk urusan bikin film. Peserta lain yang datang adalah Aji, Wahyu, Pacarnya Ari, Uli, Ina, Andika, dan satu lagi yang baru dateng, saya lupa terus dengan namanya, tapi nickname dia MakNyes, kerjaannya jadi presenter di SkyFM.

Kembali ke film yang kami tonton, Ghost World bertutur mengenai kehidupan Enid dan pandangannya yang skeptis mengenai dunia sekitar. Enid memiliki sahabat yang jauh lebih ‘normal’ bernama Rebecca. Mereka berdua baru saja menyelesaikan sekolah. Sementara Rebecca berkonsentrasi mencari uang demi menyewa apartemen, Enid malah harus mengikuti kelas tambahan untuk perbaikan nilai di mata pelajaran seni.

Keseharian mereka diisi oleh kegiatan yang iseng dan menyebalkan orang lain, seperti mengerjai via telepon ke orang yang memasang iklan di rubrik umum, mengomentari pasangan yang satanik banget, dan lain-lain.

Masalah mulai muncul ketika Enid nekat mengikuti orang yang memasang iklan tersebut, dan pada suatu kesempatan, mereka pun berkenalan.

Film ini membawa penonton untuk merasa sebal sekaligus simpati pada Enid sebagai karakter utama. Dia adalah anak yang merasa ditolak oleh semua manusia. Bersikap skeptis adalah jalan hidupnya saat ini. Karakter utama dibawakan dengan sempurna oleh Thora Birch. Bahkan sikap acuh dan dingin a la Thora bisa jadi daya tarik tersendiri.

Saya menangkap film ini bernuansa surealis. Semua karakter utama dan pendukung dibuat sedemikian aneh, perilaku serta penampilannya. Walaupun begitu, beberapa adegan terasa sangat manusiawi, di mana saya merasa dunia itu menyebalkan. Saya pikir ada karakter Enid dalam diri masing-masing, ada kekesalan dan kekecewaan dalam diri kita terhadap dunia dan orang-orang sekitar.

Mungkin ini hanya sebuah fase yang harus dilewati, seperti juga pubertas.

Uli mengatakan ia suka dengan pertemuan Enid dan kakek penunggu bus-yang-tak-kunjung-datang. Adegan ini mengubah persepsinya mengenai orang-orang aneh. Karena di film diceritakan bahwa Enid demikian putus asa sehingga ia menyatakan bahwa kakek itulah satu-satunya yang bisa dijadikan sandaran.

Becca, kakek penunggu bus, dan Enid di hari punk-nya


Uli juga mengakui bahwa film ini memang agak surealis, membuatnya teringat dengan film Fur-nya Nicole Kidman yang juga mengangkat karakter-karakter aneh. Lucunya lagi, semua karakter aneh pada Ghost World memiliki hubungan yang juga aneh.

Tambahan, Uli sempat menyangka persahabatan dua karakter utama sebagai ‘lebih dari persahabatan’.

Hampir senada, Maknyes juga menangkap kesan Rebecca dan Enid itu lebih dari sahabat. Sepertinya mustahil dua orang bisa terus bersahabat, walaupun seorang Rebecca bisa bekerja dan punya penghasilan, sementara Enid gagal melulu, ditambah selalu adanya konflik yang terpendam diantara keduanya.

Dari Ari, dia mengaku kalau menonton film ini sekitar pukul sepuluh malam, pasti ketiduran. Tapi dari sisi visual, cukup menarik, dan karakterisasinya kuat.

Andika mengaku sempat bersimpati pada karakter Enid, tetapi pada saat menonton kedua kalinya dia jadi sebal. Menurutnya judul Ghost World mengacu pada dunia yang ingin dituju oleh karakter utama. Karena ia merasa ditolak oleh semua orang, ia merasa lebih baik pergi dan menghilang entah kemana.

Ending-nya menyiratkan keinginan Enid itu terkabul. Jauh berbeda dengan versi komiknya yang lebih ekstrim, dimana Enid digambarkan berwajah jauh dari menarik, dan hubungan persahabatan dengan Rebecca tampak lebih diwarnai konflik. Bagaimana dengan ending pada versi komik? Saya memilih untuk tidak menjawab.

Jika penasaran dengan film ini, saya sarankan untuk menyewa DVD-nya di Rumah Buku.


Selasa, 12 Agustus 2008

Kakek dan Beruang Membantu Kami Menulis

Sabtu, 9 Agustus 2008 para peserta Writers’ Circle in Indonesian kembali berkumpul di ruang belakang toko buku Reading Lights, di mana tersedia hanya sebaris sofa empuk, banyak kursi kayu, cahaya temaram kekuningan, dan musik yang mengalun sayup dari speaker di pojok ruangan. Seperti biasa, kami berkumpul mulai pukul 4 sore. Minggu ini bisa dibilang lebih berwarna daripada pertemuan minggu-minggu kemarin. Peserta yang hadir lumayan banyak. Ada sebelas orang, yakni Anas, Trisna, Dea, Indra, Opik, Aji, Selvi, Neni, Ina, Andika dan saya. Bedanya, Erick Sang Fasilitator tidak datang kali ini. Dia sedang mengikuti konferensi pecinta komik, kartun, cult TV series, dan action figures di gedung KOMPAS Bandung.


Berhubung Erick menghilang, Andika pun jadi fasilitator dadakan. Ia datang membawa sebongkah bungkusan koran yang di dalamnya terdapat dua buah patung keramik kecil. Yang satu patung seekor beruang mungil berompi biru, yang lainnya seorang kakek. Bentuk si kakek mengingatkan saya pada dewa dalam tradisi Cina, seperti yang suka saya tonton di serial Kera Sakti, haha! Sang kakek berjanggut dan berjubah putih itu tengah memegang pancingan. Matanya mengintai kehadiran ikan di ujung kail miliknya. Perkenalkan sang kakek bernama Shifu, sedangkan si beruang mungil adalah Beru.


Lalu mengapa Andika tiba-tiba menggiring pasangan beruang dan kakek tua itu ke pertemuan kali ini? Rupanya kehadiran dua tokoh itu bertugas membantu kami mengisi kertas kosong di pangkuan. Bagi banyak penulis, terutama yang pemula, halaman putih bersih yang masih belum ditulisi apa-apa kadang terasa menyeramkan, membingungkan, dan membuat stress. Dengan bantuan sang kakek dan si beruang, kami mencoba menaklukan perasaan itu.


Pertama, kesebelas orang yang hadir diminta menuliskan latar belakang salah satu patung yang tersedia selama lima menit. Beberapa orang, terutama Anas mulai mengobservasi kedua patung mungil itu secara mendalam: dilihat, diperhatikan, didekati, disentuh, digenggam, dan diangkat.


Selanjutnya, Andika mendikte sebuah kalimat yang akan menjadi awalan cerita yang akan kami tulis. Isinya:

Shifu tengah memegang erat pancingannya ketika Beru melangkah gontai di semak-semak di tepi danau.


Seketika kalimat itu pun tersalin di halaman. Sementara beberapa peserta langsung melayangkan khayalan sebebas-bebasnya, beberapa lainnya kembali memegang-megang patung Beru dan Shifu sepuas-puasnya. Memang, kalimat pembukanya terasa sederhana dan lumrah saja. Namun justru ini tantangannya, menjadikan kelanjutan ceritanya seliar mungkin. Hasilnya, munculah kisah dari bibir masing-masing peserta yang bisa membuat pendengarnya tersenyum, merenung, atau bahkan tergelak lepas.


Dea dan Aji menyajikan cerita modern yang juga kocak pada saat bersamaan. Dea mengisahkan Shifu adalah penyihir jahat yang mengubah telur-telur Becky, si bebek teman Beru, menjadi bebek toilet. Ternyata Shifu adalah singkatan Sihir dan Fulus, maka pantas saja dalam cerita Dea identitas Shifu sebenarnya adalah seorang kapitalis.


Dea Sedang Baca Karya


Aji menceritakan Beru dan induknya yang menuntut pertanggungjawaban manusia atas naiknya suhu bumi. Tak hanya itu, Beru dan induknya pun sempat ditembaki helikopter. Shifu mengalami kesulitan tidur karena panasnya udara. Ujung-ujungnya, untuk meredakan kegerahan mereka pun mencari penjual es krim Walls dan Campina. Cerita Aji membuat saya mengidamkan makan es krim!


Kemudian saya bercerita tentang Shifu yang menunggu kematian istrinya sehingga ia dapat menikah dengan Wei Wei, pembantu mudanya. Saat Shifu sedang memancing, Beru muncul. Beruang itu mengancam nyawa Shifu karena telah membabat hutan untuk dijadikan persawahan. Di akhir cerita, Shifu diselamatkan oleh sang istri yang justru pada awalnya diharapkan cepat mati.


Anas kembali menunjukkan kelihaiannya menulis kisah kemanusiaan. Kali ini, ia menceritakan manusia serakah yang dikutuk menjadi beruang. Kemudian, Shifu menasihatinya untuk berdoa dan memohon ampun. Kisah ini Anas sampaikan dalam karangan yang terhitung pendek tapi dipenuhi dengan deskripsi tokoh yang cukup prima.


Selvi pun mengambil tema kutukan dalam cerpennya. Dikisahkan Shifu adalah seorang yang sakti. Suatu kali, ia mengutuk istrinya jadi beruang yang berakibat pada hilangnya seluruh kekuatan Shifu. Setelah lama berpisah, mereka pun dipertemukan kembali. Sayangnya, Shifu sama sekali tidak ingat dengan istrinya.


Indra, yang terhitung newcomer, memukau pendengar dengan keahlian meliuk-liukkan kalimat sehingga terasa mengalir lembut. Kali ini ia mengisahkan tentang perebutan ikan antara Shifu dan Beru, yang berujung pada kebencian satu sama lain. Saya rasa Indra sudah sangat sering membaca dan mengarang. Pada pertemuan sebelumnya pun, ia dengan lancarnya menjelaskan cerita tentang banyak penulis.


Banyak peserta yang datang telat kali itu. Konsekuensinya, Andika harus menjelaskan tema penulisan lagi dan lagi. Sayangnya, Opik dan Neni datang sangat telat sehingga arahan yang diberikan kurang maksimal. Walaupun format tulisannya salah, karya mereka tetap mendapatkan apresiasi yang hangat.


Opik meneruskan hobinya menuliskan cerita bergaya narasi. Kisahnya cukup indah dan terasa nyata. Menurut Andika, kehadiran patung Shifu dan Beru sebagai tokoh cerita membuat kisah semakin nyata dan mudah dipercaya.


Neni bercerita tentang perjalanan Shifu di hutan. Awalnya saya pikir kisah ini berlatarkan jaman baheula, sampai Shifu mengeluarkan handphone dan mengeluh karena tidak menemukan sinyal.


Andika menjadi orang terakhir yang membacakan ceritanya tentang Shifu dan Beru ini. Kisahnya tentang Beru sang beruang kecil yang merasa berbeda dengan beruang kebanyakan. Sejak kecil Beru ditinggalkan ayahnya yang berpoligami. Karena tidak mendapat asuhan, Beru tumbuh dengan caranya sendiri. Beru si beruang berompi menjual buah-buahan kepada banyak hewan. Takdir mempertemukannya dengan Shifu. Percekcokan keduanya berakhir tragis. Saya rasa topik kisah ini sangat universal dan mudah menyentuh. Sebab, banyak orang yang merasa berbeda dari lingkungannya.


Pertemuan Writers’ Circle kali ini ditutup pembacaan cerpen yang dibawa oleh Indra. Cerpen ini menceritakan keresahan Prof. Hari tentang istrinya. Hilangnya sang istri diketahui Prof. Hari dari lampu depan rumah yang belum dinyalakan, tatanan rumah yang berbeda dari biasanya. Prof. Hari menyisir seluruh ruangan di rumah sambil memikirkan berbagai kemungkinan tentang sang istri. Hingga akhirnya, ia menemukan sepucuk surat yang meskipun puitis tetapi isinya menyakitkan. Cerpen Indra mendapat pujian dari para peserta. Kebanyakan peserta mengaku terlena dengan narasi yang menarik dan bikin penasaran itu.


Penulisan kali ini berjalan dengan menyenangkan dan dipenuhi dengan eksplorasi yang khas dari tiap peserta. Sayang sekali Erick melewatkannya... :-)


Bersama ini, saya juga mengucapkan belasungkawa atas wafatnya kerabat Trisna. Semoga segala amal baiknya diterima oleh Tuhan YME. Amin.


Yuliasri Perdani


Yuliasri Perdani atau Uli adalah mahasiswa jurusan Jurnalistik FIKOM Unpad yang belum bercita-cita menjadi jurnalis. Ia suka menonton film apapun selama bukan film horor. Demi menunjang hobinya, uang sakunya ia rela habiskan untuk membeli/menyewa DVD bajakan. Uli suka membuat film, menulis skenario, dan es krim Walls rasa jeruk nipis yang ditengahnya ada jelly. Slluuurrrrp!

Selasa, 05 Agustus 2008

OBITUARY TEST







Hai! Sabtu, 2 Agustus 2008 ini akhirnya gue bisa main ke Reading Lights lagi setelah bersibuk ria dengan kepanitiaan dan shooting yang telah menelan gue ini. Pertama-tama gue bertemu Nia yang masih kebingungan karena suasana sepi. Padahal biasanya Andika atau Fadil sudah nangkring duluan. Akhirnya kami memulai workshop menulis pada pukul 16.25 WIB saja. Ada sang fasilitator Erick, Ina alias gue, Uli, Nia dan Trisna, seorang pendatang baru yang nggak baru-baru amat. Dia pernah datang sewaktu Klab Nulis masih di Jalan Kyai Gede Utama.


Tema minggu ini adalah obituary yang berarti berita kematian. Hm, tampak berat ya? Sebetulnya nggak juga, kok. Jadi kita diminta menulis tentang kematian diri sendiri tetapi melalui sudut pandang orang lain, misalnya: teman, sahabat, atau keluarga. Sekiranya Myra hadir pasti dia excited banget, secara tulisan dia nggak jauh dari masalah kematian. Berhubung Myra sedang sakit di Jakarta jadi dia nggak ada, deh. Buat Myra: “Cepet sembuh yaaaaaa!”


Setelah beberapa saat mengisi buku tulis, kami membacakan tulisan masing-masing. Erick mendapatkan giliran pertama,


Erick Sulaiman meninggal di usia 68 tahun. Selama hidup ia berkiprah di dunia penulisan dan cergam. Meski pahit dalam menerbitkan karya, tetapi ia menjadi teladan bagi yang muda-muda. Kedua anaknya berwiraswasta. Pernah mengajar di sebuah perguruan tinggi dan sempat berkelakar mengenai gaji rendah yang diterimanya. Satu hal yang selalu didengungkan seorang Erick Sulaiman, “Gambar gue memang yang paling jelek di studio tapi bukan alasan untuk berhenti menggambar.”


Selanjutnya Trisna membacakan tulisan berjudul, Akhir Sebuah Perjalanan Menuju Kedamaian. Berbeda dengan tulisan Erick, Trisna menuliskan seandainya kematiannya memang terjadi pada hari ini, Sabtu / 2 Agustus 2008.


Seorang Trisna meninggal di usia 40 tahun dengan damai dan penuh penghayatan. Hidupnya selalu dilalui dengan ceria dan bahagia. Namun, pada akhirnya ia menyadari bahwa kematian tak terdefinisikan hingga datang sendiri. Ia merasa nyaman dengan kemirisan tanpa lirik lagu Pink Floyd,
The Great Gig in The Sky keluaran tahun 1973.


Menurut Uli, tulisan Trisna ini damai. Uli sendiri lantas membacakan obituarinya,


Yuliasri Perdani meninggal dunia diiringi rintik hujan di rumah tua di kawasan Dago atas, setelah satu bulan terbaring di kamarnya karena pencernaan yang parah akibat kebiasaan makan saat muda. Merupakan seorang penulis skenario ulung yang berhasil mendapat penghargaan dari Hellofest, FFI dan Cannes. Sebagai pencipta karya yang “panas” dan diteror oleh ekstrimis Islam hingga anak tertuanya, Rio, diculik oleh pembencinya. Yuliasri Perdani bertutur bukan tentang nafsu biadab tapi tentang hubungan yang kompleks.



Sementara itu Nia menuliskan kematiannya:


Psikolog terkenal dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di samping makam suami dan kedua orang tuanya. Kematiannya masih menyimpan misteri setelah sebelumnya tubuh kakunya ditemukan di pinggir pantai. Dalam usia 54 tahun pernah mengabdi di Universitas Indonesia sebagai dosen yang terkenal dengan penelitian fenomenologi yang masih dinilai aneh. Setelah seminggu tidak pulang ke rumahnya dengan berbagai spekulasi. Entah gara-gara perseteruan dengan musuhnya atau kematian suaminya.



Menurut kami cerita ini tragis.


Lalu giliran gue. Seharusnya gue ada di urutan ketiga tetapi berhubung gue yang mengisi jurnal dan mesti menyimak tulisan yang lain, jadi gue membaca paling terakhir. Dan inilah tulisan gue:


Seorang Ina Khuzaimah yang bernama asli Herlina sang penulis beragam cerita, akhirnya meninggalkan seluruh keluarga dan kehidupannya pada akhir minggu lalu. Beliau pergi dengan tenang di saat seluruh orang yang dicintainya berada disampingnya.

Ina Khuzaimah, yang berkutat dengan dunia tulis menulis yang bermula dari sekadar hobi, akhirnya mampu berkiprah sukses dengan segala tulisannya. Berawal menjadi seorang kontributor freelance di sebuah free magazine dan berkecimpung di dunia film sebagai penulis skenario juga production manager. Seorang Ina mampu berbagi perasaannya dengan orang lain melalui tulisannya. Selama hidup ia menjadi seorang guru privat sekaligus belajar menjadi sosok yang bisa mendidik untuk anak-anaknya dan mendampingi suami disegala kesibukannya.

Beliau berhasil memiliki perpustakaan pribadi di sudut-sudut rumahnya dan mendirikan perpustakaan gratis untuk orang yang membutuhkan karena baginya, berbagi ilmu adalah lebih baik dibandingkan berbagi hal lain apapun.

Karya-karyanya memberikan angin segar bagi kepustakaan nasional dan menjadi sumber inspirasi bagi para pembacanya. Ketidaksukaannya terhadap tulisan dan film percintaan memaksanya mendobrak kebiasaan dan kelatahan di bumi Indonesia ini dengan cerita yang fenomenal dan inspiratif. Salah satunya film yang berjudul “SISI NADIA”, selain berperan sebagai penulis skenario juga sebagai sutradara.

Baginya membangun bangsa bukan hanya di dunia politik, melainkan juga dengan memberikan pilihan tulisan dan film yang berbeda sebagai ajang pembangunan karakter terutama untuk generasi muda.

Waduh jadi malu, membeberkan sevulgar ini dalam obituary sendiri. Menurut Uli tulisan gue padat dan berisikan sebuah cita-cita panjang. Ada hal-hal yang mesti gue capai dalam hidup ini.

Setelah semua orang membaca tulisannya, datanglah Andika dengan santainya. Akhirnya dia membacakan resensi film Nine Lives yang ditulis dan disutradarai oleh Rodrigo Garcia. Film ini bertutur tentang kehidupan sembilan wanita dalam segmen yang terpisah. Seperti biasa, kami pun bubar dan menuju lantai bawah. Rupanya di sana ada Selvi dan saudaranya yang urung bergabung karena sudah terlambat satu setengah jam.

OK, sampai ketemu minggu depan dengan tema dan penulis yang berbeda tentunya!


Ina Khuzaimah


Ina Khuzaimah adalah seorang kontributor
freelance disebuah free magazine yang menjadi awal berkecimpungnya di dunia jurnalistik, sebuah cita-cita pada masa SMP yang mulai menjadi nyata. Menjadi seorang production manager di tiga film pendek. Hobi membaca dan menulis fiksi di sela-sela kejenuhan kerjaan dan mengomentari orang lain, siapapun itu (kenal atau nggak) yang kurang sreg di hati. Berhasrat menerbitkan novel dan skenario film yang mendidik dan menginspirasi.

Data Tentang Penulis

Sundea adalah perempuan yang memiliki nama asli Ardea Rhema Sikhar dulunya selalu dikuncir buntut kuda, gendut, suka bawa botol air, dan suka nulis-nulis. Setelah lulus dari Universitas Padjadjaran, Dea - nama panggilannya - sudah tidak dikuncir buntut kuda, sudah tidak gendut, (sepertinya) sudah tidak bawa botol air, namun masih suka nulis-nulis. Mau lihat tulisannya, silahkan berkunjung ke http://salamatahari.blogspot.com

Farida Susanty adalah mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran yang kecanduan siaran televisi berlangganan. Gadis serius ini akan melakukan banyak hal demi tidak ketinggalan hitungan mundur tangga lagu di MTV. Sekonyong-konyong tubuhnya akan terpaku di depan televisi apabila ada film-film seru di channel HBO. Genre film favorit Farida beragam di kisaran indie, teen-flick, drama, dll. Meskipun membenci klise dan pretentiousness, gadis yang besar di Tasikmalaya ini akan memasukkan nonton-bareng-Juno-dan-Twilight ke dalam agenda sosialnya.

Neni Iryani adalah penggemar Andrea Hirata yang membelot lantaran teman-temannya tidak menyukai pengarang keriting itu. Tumbuh besar di Lampung, lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Perguruan Indonesia ini tengah mengadu nasib di ibukota. Sampai sekarang ia bekerja sebagai sekretaris di agen pemasok pesawat terbang. Tulisan Neni tentang ‘kejamnya’ Jakarta bisa dicek di http://whiple-niafa.blog.friendster.com/.

Satyo Aji Karyadi, lebih akrab disapa Aji, adalah peserta writers' circle yang kedatangannya paling sulit diprediksi. Kadang ia datang setiap minggu, tetapi kadang-kadang ia lama tidak muncul hanya untuk muncul lagi dan membuktikan kebertahanannya. Pria tinggi dan berkacamata ini sebetulnya pendiam, tetapi ada tiga fakta yang patut diketahui tentangnya. Pertama, Aji telah mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Kedua, seperti yang diakuinya, Aji suka menulis tentang politik dan sepak bola (Kadang-kadang tajuk tulisan politiknya cukup ajaib. Membandingkan Stalin dengan Charlie Chaplin, misalnya). Ketiga, dalam tulisan ini Aji mengutip lagu Message in a Bottle-nya The Police. Apakah laki-laki ini suka The Police? Apakah kesukaannya ini merupakan indikator dari usia Aji yang sebenarnya? Ah, barangkali cuma anak-anak the circle dan malaikat yang juga tahu.

Fadil adalah satu-satunya peserta the circle yang mampu untuk membuat makrame dan gaun pengantin. Ia juga pemain scrabble yang piawai. Buku favoritnya adalah Mystic River karangan Dennis Lehane. Frase favoritnya adalah berserobok pandang. Penyanyi favoritnya tentu saja Sherina Munaf. Karena Fadil semakin jarang berkunjung ke Reading Lights akibat kesibukannya di Jakarta, setiap kehadirannya selalu dinantikan oleh peserta the circle yang lainnya.

Ali Singatuhan adalah sebuah pseudonim salah satu peserta Reading Lights Writers’ Circle. Ia misterius. Dari pseudonimnya terkesan bahwa orang ini menyukai spiritualisme islam. Paling tidak ia tahu bahwa Singa Tuhan adalah sebutan penyair Jalaluddin Rumi bagi Imam Ali, atau tidak? Atau peserta ini kebetulan suka puisi-puisi Rumi, atau kebetulan mempelajari Imam Ali, atau kebetulan saja membaca frase Ali Singa Tuhan di suatu tempat, atau tidak? Entah apa cerita di balik pseudonim ini.

Wajah Anas adalah salah satu dari wajah-wajah lama di the writers’ circle. Meskipun sudah keluar dari Universitas Islam Bandung dengan predikat sarjana, lelaki penyuka hal-hal berbau spiritualitas islam ini masih bisa dijumpai di kamar kos-nya di Jalan Tubagus Ismail. Bertanyalah pada Anas tentang tempatnya berasal di Bima, Nusa Tenggara Barat, kalau anda beruntung ia akan menceritakan mulai dari perwatakan masyarakat sampai para joki kecil.

Yuliasri Perdani atau Uli adalah mahasiswa jurusan Jurnalistik FIKOM Unpad yang belum bercita-cita menjadi jurnalis. Ia suka menonton film apapun selama bukan film horor. Demi menunjang hobinya, uang sakunya ia rela habiskan untuk membeli/menyewa DVD bajakan. Uli suka membuat film, menulis skenario, dan es krim Walls rasa jeruk nipis yang ditengahnya ada jelly. Sluuurrrrp!

Ina Khuzaimah adalah seorang kontributor freelance di sebuah free magazine yang menjadi awalnya berkecimpung di dunia jurnalistik, sebuah cita-cita di masa SMP yang mulai menjadi nyata. Gadis berjilbab ini telah menjadi seorang production manager di tiga film pendek. Selain membaca dan menulis fiksi di sela kejenuhan kerja, Ina hobi mengomentari orang lain yang kurang sreg di hati, siapapun itu. Ina berhasrat menerbitkan novel dan skenario film yang mendidik dan menginspirasi.

Nia Janiar yang akhir-akhir ini lebih sering menulis karya non fiksi di Ruang Psikologi, bercita-cita menjadi seorang penulis ketimbang pengajar - sebagaimana profesinya yang digeluti saat ini - walaupun sekarang kegiatan menulisnya baru sebatas mengirim ke berbagai lomba. Belum menerbitkan buku sama sekali (kecuali skripsi).

Andika Budiman adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, esei ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, ia aktif memberi kritik serta saran-sarannya dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup, dengan bernapas.

Myra Fathira adalah regular di setiap pertemuan Reading Lights Writers’ Circle. Gadis misterius ini masih tercatat sebagai mahasiswa Sastra Inggris angkatan 2004 Universitas Padjadjaran sebagaimana tercatat juga sebagai groupies-nya Nine Ball. Jangan langsung menyapa Myra bila melihat ciri fisiknya pada orang yang Anda temui. Karena bisa jadi itu Mira, kembarannya. Anda baru boleh menyapa kalau gadis itu memakai baju pink. Satu-satunya kesempatan di mana Myra berbaju hitam adalah sehari setelah tulisannya dikritik Rendra.

Erick S. adalah fasilitator kegiatan Reading Lights Writer’s Circle in Indonesian yang berlangsung setiap Sabtu jam empat sore. Sehari-hari ia aktif di gereja, juga mengajar sebagai asisten dosen di Itenas, dan yang terpenting mengusahakan agar proyek komiknya bisa segera terbit. Ini bukan promosi karena ia sudah tidak available. Sekadar kegiatan tambahan, ia sering membuat komik strip mingguan, yang agak sinting, di ericbdg.blogspot.com

Martina Alibasyah yang memiliki hobi melukis dan menggambar ini sempat mengalami perpindahan sekolah berkali-kali di hidupnya. Marty, nama panggilannya, menyukai penulis Paulo Coelho. Kedatangannya yang selalu meramaikan suasana ini begitu ditunggu-tunggu oleh writer's circle.

Azisa Noor adalah perempuan dengan segudang bakat. Selain menulis, bermain cello dan memainkan musik klasik, ia pun jago menggambar. Bakatnya dalam menulis dan menggambar ini telah ditelurkan dalam sebuah karya komik yang berjudul Satu Atap. Karyanya bisa dilihat di toko buku terdekat.

Pradana Pandu Mahardhika "Write something about myself? I wouldn't have to stoop that far if I had a horde of imperial scribes toiling day and night to chronicle my (not-so-) world-shaking exploits."

Sapta P. Soemowidjoko bergelar sarjana science yang pada akhirnya terjun ke dunia seni. Hobinya menulis, menggambar, dan memotret yang pada akhirnya digeluti secara profesional. Semasa kuliah pernah menjadi penyiar dan produser di beberapa radio dengan genre anak muda. Terakhir, ia pernah terpilih menjadi art director LA Indie Movie dalam film Dummy Bukan Dami sekaligus menjadi pemeran utamanya. Visual merchandise and promotion untuk Corniche adalah pekerjaan tetap yang tertulis dalam kartu namanya.

Retno Wulandari. Panggil saja Neno. Sejak kecil senang membaca, sudah besar dapat berkah bisa berteman dengan sekumpulan penulis kece di RLWCe. Rasanya seperti dimanjakan, kalau sebuah cerita bisa dibacakan langsung oleh si pencerita. Kemarin itu, saya sendiri tidak menulis, namun berkontribusi sebagai time keeper saja. Senangnya ada di sana.

Rizal Affif adalah seorang konsultan HR meskipun sebenarnya lebih mencintai dunia menulis dan desain. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan diri disela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi dirinya. Selain menulis di RLWC, ia juga secara konstan menulis karya bertema spiritualitas—dan menuangkan eksperimen desain webnya—dalam blognya http://thesoulsanctuary.us. Ia juga sedang menyusun rencana untuk beralih profesi yang lebih sesuai dengan passion-nya.

Ryan Marhalim. Seorang bocah dengan banyak impian. Salah satunya untuk menjadi penulis novel ternama bak Pramoedya Ananta Toer. Kegiatannya selain menggentayangi Reading lights Writers' Circle adalah menghadiri sebuah kelompok okultisme (occultism).


Dua Cerita

Sesi pertemuan kali ini dihadiri oleh (ki-ka): Uli, Anas, Wahyu, Indra, Selvi, Andika, dan saya. Kegiatan kali ini adalah membacakan karya yang sudah ditulis dari rumah. Andika menjelaskan kepada Indra, seorang pendatang baru, bahwa jika penulis mempunyai karya, silahkan dibawa ke forum Reading Lights Writers’ Circle. Karya itu akan di-share dengan teman-teman lain yang tak bakalan menanggapi dengan kritikan menyakitkan, tetapi dengan apresiasi kepada karya yang bersangkutan.


Ok. Dari sekian banyak orang, hanya dua orang yang membawa karya: saya dan Andika. Karena punya saya lebih pendek, maka sayalah yang pertama kali membacakan karya. Saya menulis cerita pendek yang berjudul ‘Tentang Laura’. Cerita pendek ini berisikan monolog seorang perempuan bernama Sati yang sedang di-tattoo gambar
Atman.

Selama di-tattoo, Sati teringat pada teman lamanya, Laura. Ia pun kembali pada masa kecilnya yang indah, sebagaimana pada saat-saat sedih ketika ia harus berpisah dengan Laura. Perasaannya bergejolak karena selama berpisah Sati sering mendengar kabar yang tidak enak mengenai temannya itu.

Sati tersentak saat melihat foto perempuan setengah telanjang dengan tattoo naga yang melingkar liar di punggungnya. Ia tersadar bahwa perempuan itu tak lain adalah Laura. Penampilan temannya itu berubah sangat drastis, satu-satunya yang membuatnya merasa mengenal Laura hanyalah sebuah tattoo Yin Yang dengan inisial S dan L di dalamnya. Sati ingat Laura pernah berjanji akan merajah tubuh dengan namanya dan nama Sati sebagai pertanda keabadian dan simbol bahwa mereka tak akan terpisahkan.

Sati lantas memutuskan turut menggambar tattoo Yin Yang di tubuhnya sebagai tanda kerinduannya kepada Laura. Ia ingin mereka saling bertemu, saling mengenang masa kecil, saling bersahabat, saling mencintai, saling bertukar cerita tidak suka laki-laki, atau sekadar saling bertanya, "Apa kamu masih suka dengan perempuan?"


"Gue suka, tulisannya lancar,” komentar Andika. “Sebaiknya tokoh Edo (penggambar tattoo) lebih dideskripsikan sehingga pembaca tidak kaget dengan tokoh Edo yang tiba-tiba ada."


Anas berkomentar, "Plot ceritanya sangat cepat perpindahannya, seperti tulisan saya dan Fadil. Saya juga belum tahu bagaimana menyiasatinya."


"Mungkin karena monolog, temponya jadi cepat,” sahut Andika. “Kalau seperti itu, sebaiknya disiasati dengan deskripsi."


Wahyu bertanya, "Atman itu apa sih?"


"Atman atau Aum itu
simbol, seperti lafadz Allah-nya Islam," jawab saya.


"Memangnya itu bahasa apa ya?" tanya Indra.


Saya menjawab, "Ini berasal dari agama
Hindu."


Peserta
the circle pun membahas buku The Da Vinci Code karangan Dan Brown yang begitu tebal padahal hanya terjadi dalam waktu satu hari. Menurut mereka plot-nya cepat sehingga tidak terasa bosan membacanya. Setelah itu, Andika mulai membacakan cerita pendeknya.


Cerita pendek Andika berkisah mengenai Ranto yang mempunyai sahabat seorang penulis bernama Hani. Suatu hari, Ranto pergi ke toko buku Reading Lights dan menemukan Hani sedang menyampul buku. Hani berkeluh kesah karena naskahnya dikritik oleh istri editor penerbitan Jalastocking. Ia kesal karena karyanya dikritik tanpa ditanya latar belakangnya menulis terlebih dahulu. Kemudian cerita bergulir ketika pembicaraan Ranto dan Hani menyerempet nama Francis, seorang komikus, yang menulis kisah Ranto
coming out Ranto seorang homoseksual. Ranto tidak menyukainya namun ia memendamnya.

Cerita berlanjut, Ranto menyudahi pembicaraan dan bersiap pergi ke travel dan ke Jakarta untuk mengikuti sebuah workshop penulisan. Di pul travel, ia kehilangan dompetnya. Ranto lantas kembali ke Reading Lights, melihat apakah dompetnya tertinggal di sana atau tidak. Ternyata dompetnya tidak ada, ia memutuskan kembali ke tempat travel sambil mencari dan bertanya kepada ibu-ibu yang menjual jamu, bapak yang bermain karambol, dan lainnya, apakah mereka melihat dompetnya. Hasilnya nihil. Ranto melapor ke polisi tetapi polisi tidak menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kesal, ia kembali ke Reading Lights. Ranto kesal sekali karena ia tidak bisa pergi ke Jakarta. Dengan hilangnya dompet, Ranto merasa tidak takut kehilangan apapun termasuk teman sehingga ia memutuskan untuk menelepon Francis, dan mengatakan kalau ia tidak suka dengan Francis yang menulis kehidupan pribadinya. Cerita pun selesai.


Uli berkomentar, "Gue masih enggak ngerti tentang komik yang dibuat Francis. Sepertinya kurang dijelaskan tentang komik yang menceritakan kehidupan pribadinya Ranto."


"Mungkin bagi kita cerita itu tidak masalah karena ini komunitas kita dan kita merasa dekat dengan cerita itu,” komentar Anas. “Tapi kalau orang lain yang tidak tahu bagaimana?"


Andika menjawab, "Gue sudah berusaha keras untuk menggambarkan situasinya agar orang yang tidak tahu bisa mengerti."


Uli berkomentar lagi, "Gue enggak ngerti tentang istilah ‘keluar dari lemari’ di cerpen tadi. Itu apa sih maksudnya?"


"Iya, sebaiknya dijelaskan," tambah Indra.

Di Bahasa Inggris kan ada istilah closet homosexual,” terang Andika. “Kalau diterjemahkan maka akan jadi homoseksual dalam lemari. Jadi coming out gua terjemahkan sebagai keluar dari lemari.”


Anas bertanya, "Apa sih yang menyebabkan Ranto menjadi homo?"


Andika menjawab, "Sebenarnya enggak penting ya karena bukan itu yang mau dibahas dan enggak ada hubungannya sama cerita ini. Gue mau menceritakan tentang orang suka memendam perasaan, yang tidak jujur sama dirinya sendiri, bukan tentang kenapa ia bisa homoseksual."


Anas memandang saya. "Kan disini ada anak psikologi, mungkin bisa dijelaskan kenapa Ranto bisa homo."


Saya - yang hanya mendengarkan dan menulis apa yang saya dengar untuk blog ini - jadi merasa kena batunya. Saya protes, "Lho, Dika yang nulis, kok gue yang kena batunya?"


Setelah saya menjelaskan mengenai homoseksual, Andika meminta pendapat ke Wahyu. Wahyu bertanya, "Lo nulis berapa halaman?"


"Sebelas halaman," jawab Andika.


"Kalau gue sih, gue enggak bisa nulis sepanjang itu. Bawaannya ingin cepat selesai terus."


Saya bertanya ke Andika, "Dik, ceritanya si Ranto berlari dari Reading Lights ke travel. Travelnya seberapa jauh sih?"


Andika menjawab, "Itu lho, Ni, yang di Cihampelas."


"Wah… lari dari sini ke travel?" tanya saya lagi.


"Mungkin gue kurang menjelaskan jaraknya kali ya. Mungkin kalau orang lain yang baca, enggak tahu jarak dari sini ke travelnya bagaimana," ujar Andika.


Saya kembali bertanya, "Sebelumnya Ranto cerita kalau dia melewati tukang fotokopi, bapak yang main karambol, dan ibu yang menjual jamu. Lalu ketika ia kehilangan dompetnya, ia bertanya ke tukang fotokopi, bapak yang main karambol, dan ibu yang menjual jamu. Kok kayaknya terjadi pengulangan kata-kata ya?"


Andika menjawab, "Sebenarnya gue mau menekankan kalau ini jalan yang sering Ranto lewati tapi ia tidak pernah memperhatikan orang disekelilingnya, yaitu para penjual itu. Nah, gue mau menekankan bahwa orang hanya akan memperhatikan orang lain ketika ada butuhnya saja."


"Kayaknya kalau orang mencari dompet yang hilang di trotoar di malam hari, susah deh,” komentar Uli.


Saya bertanya, "Terus kok tadi ada tokoh di Reading Lights yang hanya dipakai inisial I dan R saja?"


"Bagi gue, tokoh I dan R itu enggak penting,” sahut Andika. “Jadi enggak diceritakan dan enggak digambarkan lebih lanjut. Jadinya gue kasih inisial saja."

Saya bertanya lagi, "Memangnya ada ya cerpen yang pakai inisial?"

"Sementara ini sih yang ada dipikiran gue adalah memberi inisial," jawab Andika setelah berpikir cukup lama.


Cerpen Andika menuai banyak pertanyaan karena ceritanya panjang sekali. Masih ada beberapa orang yang belum mengerti cerita Andika dan apa hubungannya kehilangan dompet dengan kasus Ranto dengan Francis. Intinya, Andika ingin menjelaskan bahwa, "Biasanya kalau orang kehilangan dompet itu seperti kehilangan segalanya karena di dompetnya ada uang, KTP, ATM, dan lainnya. Jadi dompet sangat berharga. Nah, karena kehilangan itu, Ranto sudah tidak takut untuk apa-apa lagi, termasuk mengatakan perasaan tidak sukanya ke Francis."


Saya berkomentar, "Oooo.. jadi kehilangan dompet itu menjadi
trigger marahnya Ranto ke Francis ya?"


"Iya."


Saya berkomentar lagi, "Jadi, kalau cerita ini tentang Ranto dan Francis, kenapa tadi bercerita banyak sekali tentang Hani? Bukannya sebaiknya menceritakan Francis?"


Andika menjawab, "Gue tuh ingin menggambarkan bahwa Ranto bersahabat dengan Hani tanpa menggunakan kata ‘Ranto bersahabat dengan Hani’ tapi gue ingin mendeskripsikan situasinya dan membuatnya lebih panjang."


Diskusi mengenai cerpen Andika pun berakhir. Andika menulis catatan-catatan kecil di kertasnya. Hujan turun. Sambil menunggu hujan reda, kami berdiskusi mengenai film dan buku-buku. Beberapa menit kemudian hujan akhirnya berhenti.

Niaw Miaw

Nia adalah anak tunggal yang kemungkinan besar tidak bakal dapat warisan. Calon sarjana psikologi ini sedang mencoba aktif kembali dalam komunitas penulis Reading Lights Writers’ Circle. Sesuai dengan tahun kelahirannya, penampilan penyuka Radiohead ini segarang macan. Selalu merahasiakan nama lengkap, Nia aktif sebagai kontributor Psigoblog dan aktif menulis blognya sendiri: mynameisnia.blogspot.com.

Talk To Her



Agenda pertemuan mingguan Reading Lights Writers’ Circle kemarin adalah nonton film bareng. Acara ini rutin dilakukan the circle setiap sebulan sekali. Siapapun boleh menentukan film yang akan ditonton. Adapun syarat-syaratnya adalah: durasi film di bawah dua jam, bersifat fresh di Rotten Tomatoes (ratingnya 60% ke atas), plotnya tidak konvensional, dan tidak mengandung nudity.


Setelah menonton dua film bernuansa muram pada acara nonton bareng sebelumnya (
There Will be Blood dan Persepolis), kali ini saya berinsiatif memilih film yang lebih ringan dan ‘positif’ atau yang komedi sekalian. Maka film yang muncul di benak saya adalah Me and You and Everyone We Know dan Ghost World. Celakanya, saya tidak menerima pesan singkat Erick, fasilitator the circle, yang mengonfirmasi bahwa agenda minggu ini memang nonton film bareng. Alhasil saya baru ke tempat rental DVD pada saat-saat terakhir, hanya untuk mendapati bahwa Me and You … dan Ghost World ternyata dipinjam orang! Kecewa berat, saya tak mampu berkonsentrasi dalam memilih film. Akhirnya film yang terpinjam malah sebuah film yang tidak ringan, tidak positif, dan bukan ber-genre komedi. Judulnya Talk to Her, disutradarai Pedro Almodovar. Hahahahaha.


Sebelum keping DVD dimasukkan ke dalam
player-nya, saya menceritakan sedikit latar belakang film ini kepada teman-teman yang lain: Erick, Aji, Selvi, dan Nia. Kegemaran Pedro Almodovar adalah mengangkat karakter-karakter yang terpinggirkan. Mulai dari guru sekolah katolik paedophile, sutradara homoseksual, biarawati penderita HIV/AIDS, istri pembakar suami sendiri, sampai perempuan sedang nervous breakdown. Dengan penuh penyesalan, saya mengakui ada adegan telanjang dalam Talk to Her. Pembelaannya, “Kita bersedikit, lagipula bukannya semua sudah dewasa?”


Akhirnya kami pun menonton
Talk to Her. Menurut Wikipedia, film-film Almodovar bertutur dengan narasi kompleks melodrama yang melibatkan penggunaan budaya pop, lagu-lagu populer, lelucon keji, warna film yang pekat, dan dekorasi yang glossy. Meskipun film ini tidak seramai film Almodovar pada era 80-an tetapi tetap saja film ini memakai formulasi tersebut. Di mana selain narasi yang berbelak-belok, film ini juga memasukkan pertunjukan tari ‘Trenches’, sebagaimana pertunjukan musik di mana Bob Dylan-nya Brazil, Caetano Veloso, membawakan lagu Cucurrucucú Paloma secara akustik dalam sebuah adegannya. Gila merinding! Kenorakan era 80-an masih meninggalkan jejaknya di adegan wawancara televisi. Almodovar juga menyisipkan sebuah film hitam putih yang sukses memancing tawa teman-teman the circle. Saya suka banget sama Talk to Her, tetapi menontonnya bersama teman-teman tidak hanya menimbulkan perasaan aneh tetapi juga menyenangkan.


Ruangan temaram.
In-focus memroyeksikan adegan pertunjukan tari terakhir. Waktu menunjukkan jam tujuh kurang lima belas. Riswan, pegawai senior Reading Lights Bookstore, muncul di ambang pintu ruang atas. Membuktikan eksistensinya ia pun bertanya, “Kalian masih belum selesai juga?”


Belum. Sebentar lagi,” jawab saya.


Tak lama kemudian
credit-ends bergulir di layar. Saya menyalakan lampu dan melihat ke sekeliling. “Bosan, nggak?”


Nggak, sih,” ujar Nia yang hari itu memakai kaos hitam.


Kami pun mulai membicarakan Talk to Her. Agak sulit mengingat adegan favorit karena film ini sangat menghanyutkan. Erick bilang alurnya lambat, tetapi nggak bikin bosan. Dia membandingkan Almodovar dengan Alfonso Cuaron. Lho, kok? Namun begitu Erick merekomendasikan Amores Perros, saya memahami yang dimaksudkannya sebagai Alfonso Cuaron adalah Alejandro González Iñárritu, sutradara Amores Perros, 21 Grams, dan Babel. Nia suka musik latar pertunjukan tari terakhir dan setting penjara yang modern tetapi sepi. Selvi tertawa terbahak-bahak ketika adegan wawancara televisi. Aji bilang teks nama yang muncul pada beberapa adegan mengingatkannya pada film Amores Perros, menurutnya teks tersebut berfungsi sebagai pembagi cerita. Nia tidak sependapat, karena sebetulnya teks tersebut tidak begitu berpengaruh banyak. Nia berteori bahwa kemunculan teks itu lebih menandakan hubungan chemistry di antara para tokoh. Hal yang Erick tangkap dari film ini, ada batas yang tipis antara mencintai dan terobsesi. Bila mencintai kita tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, bila terobsesi batas antara boleh dan tidak boleh menjadi kabur atau bahkan tidak ada. Bagusnya adalah Mr. Almodovar membuat kita bersimpati pada karakter yang terobsesi itu.Di penghujung pembicaraan, saat teman-teman sedang memakai sepatu, Nia bertanya, “Eh kita perlu difoto, nggak?”


Terlambat,” jawab Erick.

Tadi mau gua foto pas lagi nonton, tapi takut blitz-nya mengganggu,” sahut Nia. Namun demi kepentingan blog saya pun tetap mengambil foto aneh di atas. Melihat foto yang tidak memuaskan itu, Erick pun mengambil foto aneh di bawah.



Andika Budiman


Andika adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, essay ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, kritik serta saran-sarannya sangat berguna dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup.

The Circle Goes to Jendela Ide


Sabtu ini lain dengan Sabtu-Sabtu sebelumnya. Untuk pertama kalinya Reading Lights Writers’ Circle melakukan outing. Jika biasanya pertemuan mingguan diadakan di toko buku Reading Lights, maka kali ini the circle goes to Jendela Ide. Jendela Ide adalah sebuah tempat yang menyediakan ruang untuk anak-anak yang ingin mengeksplorasi berbagai bentuk seni. Mulai dari seni musik hingga seni murni.

Kegiatan yang dijadwalkan berlangsung sejak pukul dua ini dimulai setelah kedatangan Erick, Andika, Wahyu, Fadil, Ina, Aji, dan Niken sebagai salah satu fasilitator Jendela Ide. Setelah kami berkumpul—termasuk saya yang datang lebih awal, Erick kemudian menyampaikan petunjuk tentang apa-apa saja yang mesti dilakukan. Walaupun sempat terinterupsi oleh kedatangan Devi yang terlambat, pada intinya semua memahami bahwa tugas kali ini adalah:

  1. Mengamati semua lukisan;

  2. Memilih sebuah lukisan favorit sebagai bahan interpretasi.

Setelah mendengarkan historical background lukisan anak-anak dari Niken, pencarian lukisan terfavorit pun kami lakukan. Kami mendapatkan waktu tiga puluh menit untuk mengamati semua lukisan. Kami lantas mengelilingi markas persegi Jendela Ide yang berjendela banyak, yang dipenuhi lukisan, foto kegiatan, dan hasil karya anak-anak Jendela Ide lainnya.

Yang membuat saya sedikit takjub adalah ternyata hasil interpretasi kami tak jauh beda dari kesukaan dan ciri khas menulis masing-masing. Seperti saya yang suka warna pink dan tulisan-tulisan morbid. Favorit saya adalah lukisan pohon di mana warna pink mendominasi. Lukisan ini saya interpretasikan sebagai lukisan yang berhubungan dengan kematian. Saya pikir, kesendirian pohon dalam lukisan ini merepresentasikan kondisi sepi di alam kematian. Sementara itu daun-daun yang berguguran saya hubungkan dengan pendapat seorang teman yang sudah berstatus almarhum: “Hitunglah setiap helai daun yang gugur, karena sebanyak itu juga jumlah orang yang meninggal ketika itu.”

Lain saya lain Fadil. Ia mencoba menganalisis karakter orang yang melukis lukisan favoritnya. Ia memilih lukisan karya George, anak berumur 3 tahun yang menggambar badak dengan warna cerah. Menurut Fadil, selintas lukisan tersebut mirip peta kenegaraan. Fadil berpendapat garis-garis batas yang digambarkan kaku oleh pelukis mencerminkan keterikatan pelukis pada aturan-aturan yang ada.

Aji yang dikenal tertarik masalah perpolitikan malah menghubungkan lukisan favoritnya dengan kondisi politik di Indonesia. Lukisan Spider-Man karya Jihan membuat Aji berpikir, “Memang seberapa besar signifikansi super hero di negeri yang sudah sebegini kacau?” Terlepas dari penjelasan tentang mengapa lukisan Jihan lumayan mendekati aslinya, komentar Aji mengenai bagaimana lukisan Spider-Man ini mengingatkannya pada keterpurukan kondisi Indonesia membuat saya ingin tertawa.

Sementara itu sebuah lukisan tentang hutan menjadi pilihan Ina. Dalam lukisan itu terdapat pepohonan yang mengapit seekor binatang yang bagi Ina merupakan kucing hutan, tetapi kami anggap lebih menyerupai gajah. Selain itu, saya rasa interpretasi Ina agak normal dibandingkan yang lain. Ia menginterpretasikan warna langit yang abu-abu sebagai tanda kecerahan malam, sementara warna biru disekitarnya adalah indikator melimpahnya oksigen di hutan tersebut. Ina menambahkan, ia memilih lukisan tersebut karena keunikannya.

Devi yang ceria dengan penuh semangat memilih lukisan binatang peliharaan karya Alika. Saya curiga, jangan-jangan karena lukisan tersebut senada dengan warna bajunya saat itu: oranye. Namun Devi menjelaskan kesukaannya pada lukisan Alika dikarenakan lukisan tersebut penuh tawa dan kebahagiaan. Binatang peliharaan di lukisan Alika tampak lembut dan tersenyum hangat. Devi menginterpretasikan lukisan tersebut sebagai perwujudan sifat positif yang dimiliki oleh Alika, sang pelukis. Lukisan Alika kemudian membuat Devi termotivasi untuk tetap ceria, sangat sesuai dengan karakter Devi yang selalu optimis.

Wahyu memilih lukisan orang yang menurutnya agak mirip dengannya. Ia mencoba menebak-nebak apa yang sedang dilakukan orang di dalam lukisan tersebut. Mungkin orang tersebut sedang menyapa, atau sedang berdeklamasi, atau malah sedang mengucapkan salam perpisahan. Menurut Wahyu, bisa jadi orang tersebut merupakan gambar ayah pelukis yang ingin memeluknya. Namun Wahyu lantas menghentikan interpretasinya dan menyerahkan semuanya kepada si pelukis, sebagai satu-satunya orang yang mengetahui arti dari lukisan itu.

Saya sempat terheran ketika Andika yang pemikirannya biasa agak kritis malah merasa teridentifikasi dengan lukisan Tiara. Tiara membuat sebuah lukisan yang Andika pikir agak klise dan pretensius dengan warna awan yang biru, rumput yang hijau, dan kayu yang cokelat. Namun kemudian lukisan tersebut mengingatkan Andika akan masa lalunya, ketika dirinya juga merasa pretensius. Andika bercerita bahwa ketika kecil ia juga takut melakukan sesuatu yang tidak umum. Andika mengagumi keberanian Tiara yang mewarnai wajah dengan warna yang tidak umum: biru dan jari dengan warna hijau. Tiara menginspirasi Andika untuk berani dalam melakukan sesuatu.

Terakhir Erick. Setelah curhat tentang kebingungannya memilih lukisan yang diperkirakannya disebabkan oleh sifat agak plinplan-nya, akhirnya ia memilih lukisan planet monster karya Izzan, Hafizh, dan Thafah. Lukisan tersebut jadi favorit Erick karena menurutnya pelukis bisa mengubah pandangan orang yang beranggapan bahwa monster adalah mahluk yang menakutkan. Hal ini disebabkan karena pelukis menggambarkan monster dengan wajah yang tidak seram. Sepintas saya melihat kemiripan antara monster pada lukisan dan Erick, hehehe.

Saya merasa hari Sabtu ini menjadi Sabtu yang paling membahagiakan. Kami berhasil menyelesaikan permainan interpretasi lukisan di Jl. Taman Sari 73 Bandung. Sayang Anas datang terlambat sehingga tidak bisa merasakan serunya menginterpretasikan lukisan. Semoga Writers’ Circle sering-sering mengadakan pertemuannya di luar ruangan.

Myra Fathira

Myra adalah peserta regular di setiap pertemuan Reading Lights Writers’ Circle. Gadis misterius ini masih tercatat sebagai mahasiswa Sastra Inggris angkatan 2004 Universitas Padjadjaran sebagaimana tercatat juga sebagai groupies-nya Nine Ball. Jangan langsung menyapa Myra bila melihat ciri fisiknya pada orang yang Anda temui. Karena bisa jadi itu Mira, kembaran Myra. Lihat dulu pakaiannya. Anda boleh menyapa kalau gadis itu memakai baju pink. Myra selalu memakai baju pink. Satu-satunya kesempatan di mana saya melihat Myra berbaju hitam adalah sehari setelah tulisannya dikritik Rendra. Album foto Reading Lights Writers’ Circle Goes to Jendela Ide bisa dilihat di sini.