Minggu, 18 Desember 2011

Sastra Citra Rasa

Jurnal tentang sastra citarasa, lupa tanggal kapan -__-

Sabtu ini di Reading Lights kembali dilaksanakan kegiatan nulis. Yaah, karena belum ditentukan tema sebelumnya, jadi tema untuk sekarang dikocok dari pilihan-pilihan tiap orang yang datang. Tema yang terpilih adalah tema dari Dini. Sastra cita rasa. Sebetulnya Dini menulis tema sastra cita rasa dan blablablabla. Tapi kurang lebih yah intinya dan blablablanya kayaknya cuman pendukung si sastra cita rasa sendiri kali yah. Jadi ngga inget deh dan blablablanya. Haha.

Foto dipinjam dari Reading Lights

Saat menulis, kita kedatangan Wahyu--yang katanya teman lama di RLWC. Ya sebagai penulis jurnal yang kebetulan baru di RLWC, saya baru liat Wahyu. Wahyu datang saat waktu tinggal 20 menit. Awalnya Wahyu menolak untuk mengikutin kegiatan menulis dan hanya ikut mendengarkan hasil karya hari ini saja. Tapi karena didesak teman-temannya, akhirnya Wahyu menulis dengan sekitar sisa waktu 15-20 menit.

Penulis pertama yang membaca ceritanya adalah Wahyu. Wahyu menulis tips makan di meja makan. Eh salah, mungkin Wahyu tidak menulis cerita. Wahyu seperti menulis sebuah manual mengenai cara makan di meja makan. Dan tulisan dia pada saat itu paling outstanding kali yah. Selain menulis sejenis manual cara makan di meja makan, diakhiri dengan joke yang ringan.

Lalu penulis kedua, Nia. Nia menuliskan sebuah cerita mengenai cowok yang sedang diintrogasi ceweknya. Atmosfer yang dibentuk Nia di cerita kali ini sangat mengasyikan buat diikutin. Melalui suasana sebuah cafe, yang kata Nia sendiri, dia membayangkan suasana cafe-nya itu Reading Lights. Sayang saat bagian dialog beberapa saya lost ceritanya.

Lalu penulis ketiga Andika. Dia menuliskan cerita mengenai hubungan 2 cewek yang tinggal 1 sekolah. Andika menulis interaksi-interaksi dan segmen-segmen suasana suasana yang berganti ganti antara cewek 1 dan cewek 2 sangat dinamis. Even lagi-lagi saya agak kusut juga takut ketuker-tuker cewe yang ini apa yang itu. Sayangnya Andika saat membacakan masih belum menyelesaikan ceritanya jadi kurang terlihat sisi makanannya, karena kata dia. Dia sebetulnya akan menuliskan mengenai makanan-makanannya saat akhir cerita.

Setelah Andika, giliran Rizal yang membacakan ceritanya. Rizal menulis cerita mengenai seseorang yang awalnya sangat menyukai sup iga dari ibunya. Tetapi saat kali ini dia diberi sup iga hasil kurban dia merasa sangat mual. Rizal menuliskan bagaimana hubungan emosional tercipta antara sapi dan seseorang itu. Hanya lewat tatapan sang sapi pada dia. Agak geli sih ya waktu ditulis gini. Haha. Tapi waktu dibacain perasaan dapet deh rasa emosinya.

Penulis ke empat itu Sabiq, ato saya. Saya menuliskan mengenai hubungan antara ibu dan anak kelas 5 SD, mengenai ibu yang mulai sadar akan kesalahan dia pada anak itu karena membiarkan penyakit pada anak itu kambuh terus menerus. Hingga dia harus dioperasi dan kehilangan suaranya. Saya menuliskan sebuah suasana dimana sang ibu kembali mengakrabkan diri dengan sang anak. Meski di akhir ibu itu menolak kembali anak tersebut karena sang anak cacat dan meminta di-ke-panti-asuhan-kan. Cerita ini disebut ngga begitu logis karena terlalu kecil dah dapet penyakit yang kayakya untuk dewasa banget dengan penyusunan kata yang tidak begitu kekenak kanakan mengingat menggunakan tokoh aku dan si anak kelas 5 SD.

Lalu penulis ke 5 itu Uli. Uli nulis mengenai sebuah suasana pembicaraan pasangan suami istri yang sudah terpuruk, yang mereka berdua pernah sama sama selingkuh. Uli menuliskan latar bubur merah putih. Karena kata uli bubur merah putih mempunya makna yin dan yang. Uli menulis seperti mempunyai 2 klimaks pada cerita tersebut. Sayangnya saat klimaks pertama pada cerita Uli yang lebih dapet emosinya dibanding klimaks terakhirnya. Idk, mungkin gara-gara cerita mendukung klimaks terkakhir yang memang tidak terlalu lama seperti klimaks pertama menjadikan klimaks terakhir seperti tenggelam pada klimaks pertama.

Setelah uli, ada aji. Aji menuliskan cerita yang memiliki alur pendek tapi Aji menyisipkan joke-joke urban dan sebuah suasana yang merakyat sekali. Aji menulis mengenai 2 orang lagi ngobrolin dan makan mie ayam. Just it, tapi Aji mampu meraciknya jadi sangat menarik

Dan penulis terakhir Dini, yang milih tema. Dini menuliskan cerita dengan tokoh utama seorang wanita, ya Dini menulis cerita yang sentimentil sekali. Dengan emosi melalui suasana suasananya dapet banget. Di mulai dengan awal cerita yaitu nostalgia, saat sang wanita menceritakan mengenai pria yang dulu mereka pernah mengalami rasa suka sama suka tanpa ada keterikatan hubungan. Bagaimana mereka saling admiring satu sama lain tanpa lain. Yah.. itu sweet sekali.. , lalu dilanjutkan dengan sebuah reuni dan bertemu kembali sang pria. Dan diceritakan bagaimana dia masih suka si pria, meski sang wanita masih menyukainya.

Ternyata sang pria tersebut sudah menikah, dengan memperkenalkan istrinya. Lagi-lagi suasana suasana yang dibangun dini mengenai patah hati sang wanita sangat terbentuk lagi. Terlebih Dini menyanyikan sebuah lagu yang mendukung di tengah tengah cerita. Yah, yang mungkin, saya juga bakal nyobain kayak gitu menyisipkan sebuah lagu untuk lebih dapet feel-nya haha.

Sebetulnya beberapa cerita satu sama lain terlihat agak mirip. Seperti:
Sabiq dengan Rizal tentang ibu anak.
Nia dengan Uli tentang konflik hubungan cewek dan cowok.
Aji dengan Andika yang sama sama pertemanan 2 orang.
Yang paling keliatan sih yang 3 itu.

Akhir jurnalnya nggak ada ide, Ni. Sama kamu aja ho oh tambah-tambahin.


PS: Selain tanda baca, admin tidak mengubah isi jurnal demi menjaga keaslian gaya penulisan Sabiq. :D




Muhammad Sabiq Hibatul Baqi adalah peserta termuda (masih SMA) yang menulis data diri di Facebook sebagai: Raw. Sok nyeni. Sok eksperimentalis.  Kedatangannya pertama kali ke RLWC adalah saat menulis teknik puisi akrostik. Ia menulis puisi sederhana tentang bebek dengan sangat aneh (dalam konteks baik) sehingga keberadaannya langsung berbekas di benak writer's circle. Sabiq juga pernah berniat bolos try out karena memilih hang out dengan peserta writer's circle di H-1.

Senin, 12 Desember 2011

Culture Shock!

Beberapa teman saya pernah tinggal di luar negeri dalam jangka waktu yang lama. Dari cerita mereka, terdapat sebuah keterkejutan saat menginjak budaya/kebiasaan baru di negeri orang menginspirasi saya mengeluarkan tema culture shock.

Dalam tema ini, tulisan dikhususkan untuk melihat konflik atau friksi yang dialami tokoh ketika harus berhadapan dengan kebiasaan atau budaya baru yang jauh dari budaya asalnya. Masalah bisa keterbatasan bahasa, selera makanan yang berbeda, dan lainnya.

Kopi Americano-nya Reading Lights beserta lintingan kertas berisi tema nulis hari itu.

Regie bercerita tentang tokoh yang menjadi MC kompleks perumahan. Acara yang dihadiri tokoh adalah sebuah arisan ibu-ibu pejabat juga beberapa selebritis yang diisi dengan primer film Hollywood yang belum ada di bioskop yaitu Breaking Dawn.

Menurut Regie, culture shock yang ia ingin tampilkan adalah terguncangnya tokoh saat menemukan perbedaan stereotype ibu-ibu yang menyukai film remaja. Bagi saya, mungkin 'shock' yang ditulis Regie tersampaikan, tapi culture yang saya harapkan bukan seperti itu.

Rizal bercerita tentang seorang tokoh yang terbangun pagi karena kebiasaanya setelah menetap dua minggu di desa Karangpapang. Ia menemukan lingkungan fisik yang berbeda, kebosanan, kebiasaan-kebiasaan seperti tidak ada orang yang nongkrong di pinggir jalan, warga berangkat kerja pagi untuk berkebun, dan lainnya. Waktu terasa lambat dengan kebosanan menjadi inti yang masalah tokoh sehingga ia rindu pada kota. Tapi justru saat di kota, tokoh merindukan desa yang orang-orangnya begitu menghayati kehidupan.

Di dalam culture shock, terdapat empat fase penyesuaian diri dengan budaya baru. Cerita Rizal ini mencapai keempat fase tersebut. Saya pribadi suka cerita Rizal karena menunjukkan konflik tokoh ketika ia berada di kebudayaan baru. Dan setting cerita Rizal juga dekat dengan keseharian yaitu desa dan kota.

Berbeda dengan yang lain, Andika becerita tentang tokoh yang menjadi hantu namun masih menggentayangi tempat tinggalnya. Tokoh teringat dengan sejarah setiap benda yang masih tertata di rumah.

Mungkin Andika mau menceritakan kebiasaan manusia biasa dengan kebiasaan para hantu, namun diakui oleh peserta bahwa cerita Andika ini di luar tema culture shock. Selain itu, shock yang ditunjukkan tokoh pun tidak terasa karena tokoh sudah masuk ke tahap menerima bahwa ia asing di lingkungannya. Saya pribadi suka dengan diksi-diksi dalam tulisan Andika.

Jurnalis kita, Yuliasri atau akrab dipanggil Uli, bercerita tentang tokoh yang mau meneliti tentang FPI. Dalam mencari subjek penelitian, tokoh berkenalan dengan Bang Somad--seorang FPI bersuku Betawi. Tokoh mengikuti kehidupan Bang Somad selama seminggu dan menemukan hal-hal baru pada Bang Somad sebagai suku Betawi. Misalnya Bang Somad anak tuan tanah yang rela menjual aset untuk acara kawinan, doyan pesta pora sambil mabuk, tetapi jubah putihnya akan dipakai jika organisasi yang diikutinya itu dipanggil.

Uli bercerita tentang tokoh yang memaparkan sebuah kebudayaan yang jauh darinya yaitu sebuah budaya dimana prestis menempati urutan pertama dan apapun direlakan agar prestis tersebut tercapai. Misalnya rela membayar sawer mahal dan diakui banyak orang walaupun diri menjadi miskin.

Sesi menulis di RLWC

Tokoh dengan ribuan kilo jauh dari rumah dituliskan oleh Riri. Tokoh menjadi au pair di negeri seberang yang tentunya menemui beragam budaya baru seperti kebiasaan cium pipi di Eropa. Dan di sana, ada beberapa tugas di luar kesepakatan au pair seperti harus membersihkan rumah. Tokoh mengalami konflik yaitu tokoh harus makan di jam-jam tertentu, dipaksa menyesuaikan diri dengan kebudayaan orang Eropa. Jadinya tokoh sering mengambil roti dan memakannya diam-diam di kamar saat lapar.

Kalau saya bercerita tentang orang Jawa yang terkaget-kaget saat bertemu dengan orang Sunda di sebuah acara lamaran. Orang Jawa yang kalem, santun, berbicara perlahan itu terkejut saat menemui orang Sunda yang mukanya penuh perona, memakai kebaya yang dimodifikasi, dan gerak-gerik yang lebih bebas.

Farida menuliskan cerita yang lebih mudah dimengerti (menurut Regie). Ia bercerita tentang tokoh, seorang WNI, yang berkunjung ke negara orang yang budayanya bebas seperti perilaku seks bebas. Demi menghindari aksi tersebut, tokoh pergi ke tempat lain sampai menemukan sebuah 'welcoming party' yang joget-joget dan minum-minum.

Alienasi yang dipaparkan Farida begitu terasa. Dimana tokoh merasa seperti sirkus di tengah penonton yang disambut berbagai bahasa. Rasa cemas dan takut di lingkungan baru ia dekatkan dengan pengalaman keseharian, "Aku baru mengerti takutnya pembantu baruku ketika diwawancarai mama."

Ada Dani. Seharusnya ia membaca setelah Farida. Tapi ia memilih tidak mau membaca. Patut tak ditiru!

Tulisan culture shock ini tentu akan lebih baik lagi jika sebelumnya dilakukan sebuah riset tentang dua budaya yang mau dibandingkan. Misalnya saya sendiri jadi tidak bisa melakukan dialog dengan kata-kata Jawa karena tidak tahu dan kurangnya pengetahuan tentang budaya Jawa dan Sunda itu sendiri.




Nia Janiar adalah seorang travel writer yang akhir-akhir ini lebih sering menulis karya non fiksi, rela meninggalkan pekerjaannya sebagai pengajar agar bisa jadi penulis. Kunjungi blognya di: http://mynameisnia.blogspot.com/ 

Jumat, 09 Desember 2011

Konflik: Manusia VS Alam


Tema yang terpilih pada pertemuan Reading Lights Writers' Circle tanggal 12 November 2011 adalah konflik manusia melawan alam. Jenis konflik ini adalah salah satu kategori yang diciptakan oleh Sir Arthur Thomas Quiller-Couch, seorang penulis dan kritikus sastra dari awal abad ke-20. Pembagian jenis konflik menurut Quiller-Couch ini banyak dikritik karena batas-batas antara kategori-kategorinya tidak dapat ditentukan dengan jelas, tetapi alasan yang sama juga memberikan tantangan tersendiri dalam upaya menulis sesuai kategori konflik yang dipilih karena setiap penulis mau tak mau harus menciptakan penafsirannya sendiri tentang kategori tersebut. Perbedaan tafsiran ini tampak jelas di antara karya-karya yang ditulis hari Sabtu ini.

Tulisan yang pertama dibacakan adalah karya Dini, dan merupakan sebuah slice of life tentang persahabatan antara seorang gadis muda dan seorang lelaki dewasa yang menderita ombrophobia (ketakutan terhadap hujan). Uniknya, walaupun tema minggu ini adalah salah satu jenis konflik, cerita ini--sebagaimana layaknya slice of life--mampu bertutur tanpa adanya suatu konflik pusat yang mendorong pergerakan alurnya.

Cerita kedua dari David mengisahkan seorang pemuda yang sedang berusaha kabur dari rumah, tetapi dalam perjalanannya ke Lembang ia kehilangan dompet sehingga pada akhirnya ia terpaksa bergantung kepada kebaikan hati seorang pengemudi truk pengangkut yang bersedia memberinya tumpangan gratis. Sayangnya, tak ada tempat yang tersisa di depan truk, dan si pemuda pun terpaksa berdesak-desakan di bak bersama segerombolan sapi yang sedang berahi.

Berikutnya, Aji membacakan sebuah cerita humor tentang sepasang beruang kutub yang terusir dari rumah mereka akibat pemanasan global, tetapi akhirnya berhasil membalikkan keadaan dan menempatkan manusia sebagai binatang sirkus sebagai balasan atas segala kesulitan yang mereka derita akibat ulah manusia.

Cerita keempat dari Riri diangkat dari pengalaman pribadi tentang perjalanan mengamati kerusakan alam bawah air akibat penangkapan ikan dengan menggunakan jaring pukat dan bahan peledak. Kerusakan ini disimbolkan dengan kuat oleh sepotong bangkai lumba-lumba yang terdampar di pantai.

Saya sendiri bercerita tentang seorang vampir (pengisap darah) yang tak bisa keluar untuk berbelanja karena hari yang seharusnya medung tiba-tiba berubah menjadi terang.

Terakhir, cerita Nia mengisahkan hujan yang begitu lebat di kota Bandung hingga kota tersebut kembali berubah menjadi danau sebagaimana keadannya puluhan ribu tahun yang lalu. Terlepas dari kemustahilannya (karena tepian yang menahan Danau Bandung Purba sudah bocor), cerita ini cukup menghibur sekaligus menjadi pengingat bahwa bencana banjir tetap merupakan suatu bahaya yang nyata di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Cikapundung dan Citarum.



Pradana Pandu Mahardika hanya bisa dideskripsikan sebagai begini: "Write something about myself? I wouldn't have to stoop that far if I had a horde of imperial scribes toiling day and night to chronicle my (not-so-) world-shaking exploits."

Jumat, 02 Desember 2011

Agenda: Diskusi Film Little Miss Sunshine


Teman-teman, besok akan ada event spesial di Reading Lights Writer's Circle. Kegiatannya besok tuh kita enggak akan menulis, tetapi kita akan ikut serta dalam "16 Hari Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2011". Jadi besok kita akan nonton bareng film Little Miss Sunshine dan akan ada diskusi setelahnya.

Hari/tanggal: Sabtu/3 Desember 2011
Waktu: 16.30-selesai
Tempat: Reading Lights, Jalan Siliwangi 16 Bandung

Jadi RLWC adalah salah satu komunitas dari roadshow acaranya-nya Jaringan Mitra Perempuan. Untuk keterangan lebih lanjut, bisa baca poster di bawah ini ya. Bagi yang penasaran tentang kekerasan pada wanita atau isu feminisme, ayo datang dan ditanyakan nanti!



Salam hangat,
RLWC

Minggu, 20 November 2011

Sudden Death

Pernahkah Anda merasa waktu yang Anda miliki saat ini cukup untuk hidup? Apakah Anda pernah berpikir bahwa hidup di dunia terlalu singkat atau terlalu panjang?

“Mereka yang beruntung adalah yang tidak dilahirkan ke dunia dan yang mati muda, sedangkan yang tidak beruntung adalah yang mati tua.” Itulah kata-kata Sok Hoe Gie. “Kematian” itulah yang menjadi tujuan akhir setiap hidup manusia. Tapi pertanyaannya, kapan kita akan mati?

Waktu menunjukan pukul 17.00 ketika saya sampai di RLWC. Di sana sudah tersedia Nia Janiar, pasangan Rizal Affif & Neno, dan Farida Susanty yang sedang bercanda untuk memulai sesi RLWC kali ini. Entah siapa yang memulai tetapi kali ini tema yang kami pilih adalah sudden death. Waktu sebanyak 30 menit diberikan untuk mulai menulis.

Rizal membawa kita semua kepada dunia keluarga yang terdiri dari 3 orang anggota; Yusuf, Fatimah dan si kecil buah hati keluarga itu. Dunia memang tidak adil, si kecil yang baru berumur beberapa bulan meninggalkan keluarga tersebut dan membuat kebahagiaan hancur berkeping-keping. Semenjak itu Yusuf menyalahkan Tuhan, Yusuf menyalahkan Fatimah, dan Fatimah hanya membisu menahan pekikan caci-maki dari Yusuf.

Yusuf kian hari semakin menjadi-jadi, kekerasan menjadi kegiatan sehari-hari di saat makan, mandi, tidur, dan bahkan ketika Fatimah memohon kepada Tuhan. Yusuf, ketika pulang dari mabuknya, mulai memukuli Fatimah dengan botol. Kesedihan yang tidak tertahankan membuat Fatimah berteriak dan menangis.
Kepanikan adalah sesuatu yang seharusnya tidak pernah Yusuf ijinkan masuk ke dalam dirinya, begitu juga Fatimah. Yusuf mencoba menghindari caci maki tetangganya dan mencoba membekap Fatimah dengan bantal. Ketika itu Yusuf melihat anaknya di dalam lorong di tempat yang terang, ketika Yusuf mencoba menggapainya namun ia terjatuh ke dalam kegelapan. Cerita ditutup dengan Fatimah yang digiring polisi dan mayat yusuf yang tertusuk pecahan botol di matanya.

Moral of the Story: Jangan minum dengan botol beling, tetapi cukup kaleng alumunium.

Farida memilih menjadi korban akan kematian mendadak. Ia adalah seorang yang sudah bosan akan kehidupan sehari-harinya. Pagi hari, bangun, sarapan, mandi , siang hari, makan, malam hari, makan malam, dan tidur. MONOTON, itulah yang dibenci sang aku yang menginginkan kejutan sesuatu yang berbeda. Namun kejutan yang seharusnya membuat dia tertawa terbahak-bahak, senang, dan bahagia, malah tidak untuk kali ini.

Dalam hari yang gelap hujan sang aku pulang ke rumahnya yang sudah dia tinggali selama bertahun-tahun. Ketika sang aku masuk ke dalam rumah, dia mendapati sesosok wajah baru yang dia tidak kenal. Tidak sedetik sang aku sudah kehilangan lehernya. Bahkan dia tidak sempat tertawa terbahak-bahak atau bahagia karena “kejutan” ini.

Moral of the Story: Rutinitas tidak membunuh, kejutanlah yang membunuh.

Janiar memang menyukai alam. Dia juga mungkin menyukai lelaki alam: mendaki gunung. Radit dan ketiga temannya menembus hutan mendaki gunung untuk mencapai telaga yang konon airnya semerah darah. Tentu saja perjalanan ini tidak 1 atau 2 jam tetapi butuh waktu berhari-hari. Radit dan teman-temannya memutuskan untuk berkemah saat hari sudah gelap, terlalu berbahaya untuk melanjutkan di dalam kegelapan. Akan tetapi dalam kegelapan binatang liar masuk ke dalam tenda dan mengais-ais tas Radit dan kawan-kawan. Dilemparkan sebuah pisau dan binatang itu lari kesakitan. “Itu babi hutan!” kata teman Radit. Ketika semua telah siap pergi, Radit mencari-cari pisau di dalam tasnya dan teman-temannya telah mendahuluinya. Namun Radit tidak pernah menyusul teman-temannya karena alih-alih pisau, ia malah mendapatkan “dewa kematian” yang berupa ular kecil nan berbisa. Dan Radith akan selamanya menjadi lelaki alam.

Moral of the Story: Nature sucks, City GOOD

Saya ingin mengetahui bagaimana menjadi Tuhan. Apa yang Tuhan rasakan ketika mencabut nyawa seseorang? Sang aku adalah tuhan, aku membawa kita mengenali rencana Tuhan mengambil nyawa seorang suami bernama Hendra yang bangun pagi dan hendak bersepeda. Aku menginginkan Hendra dengan rencana yang telah Aku persiapkan dengan matang untuk mengambil kembali Hendra dari dunia manusia. Kubuat istri Hendra yang seharusnya bangun pagi dan bersepeda bersamanya tidak mampu bangun dilanda rasa kantuk.

Hendra harus sendirian bersepeda lalu Kubuat Brian—pemuda yang baru saja malam sebelumnya patah hati semakin sedih hingga bermabuk-mabukan dan pulang dengan pikiran muram. Kubuat adik-kakak yang bermain di pinggir jalan raya berkelahi sehingga sang adik melompat ke jalan menghindari pukulan sang kakak. Brian terkejut akan sang adik yang lari ke tengah jalan. Mobil Brian berhasil menghindari sang adik, tapi tidak Hendra yang sedang bersepeda.

Adegan ditutup dengan sang Aku melihat keadaan dunia; sang adik yang menangis ketakutan dan orang tuanya berlari menghampiri ketakutan, Brian yang berteriak akan penyesalan, bunyi telepon ke ambulans dan polisi, dan dalam beberapa saat kemudian akan Kudengar teriakan tangisan istri Hendra.

Moral of The Story: Jangan bersepeda jika istri masih mengantuk.

Manusia hidup bersama waktu, tapi kapan waktu akan meninggalkan manusia ?

Sekian jurnal RLWC untuk Sabtu, 19 november 2011.



Ryan Marhalim. Seorang bocah dengan banyak impian. Salah satunya untuk menjadi penulis novel ternama bak Pramoedya Ananta Toer. Kegiatannya selain menggentayangi Reading lights Writers' Circle adalah menghadiri sebuah kelompok okultisme (occultism).

Minggu, 06 November 2011

Berbicara Melalui Non Verbal

Awan hitam menggantung di seluruh penjuru langit. Baru-haru ini awan-awan hitam menjadi langganan pemandangan di bulan November. Seperti kata Guns N' Roses, sekarang adalah November Rain. Cuaca dingin serta repotnya harus hujan-hujanan membuat saya berprasangka pasti RLWC kali ini akan sepi. Betul saja. Saat saya datang, baru ada Mbak Riri, yang disusul oleh Farida dan Abi. Dan setelah menunggu, sepertinya tidak ada yang datang lagi.

Farida memberi ide menulis tentang rokok tapi cerita bergerak bukan berdasarkan dialog, melainkan gesture, mimik atau ekspresi muka, perilaku, dan lainnya. Aksi non lisan ini namanya non verbal. Latihan ini memberi kita kesempatan mengeksplorasi lebih luas untuk menajamkan pengamatan pada gerak gerik seseorang. Justru non verbal ini dapat memberikan pesan-pesan tersirat yang menguatkan sebuah tulisan. Selain bilang 'dia menangis', bisa dijelaskan 'keningnya mengkerut, bibirnya ditarik ke bawah, lalu perlahan-lahan matanya basah.' Rokok--yang sebenarnya bisa dipilih tema apa saja--mengerucutkan tulisan agar tidak terlalu luas. Cocok bagi yang jago atau sedang belajar tentang deskripsi.

Saya menuliskan tentang seorang istri yang tidak setuju dengan perilaku merokok suaminya. Mbak Riri menuliskan tentang seorang pria yang mencoba berhenti merokok kemudian diiming-imingi hingga dia merokok lagi, lalu ketahuan oleh pacarnya. Abi (dalam 15 menit karena terlambat) menulis dari sudut pandang rokok sebagai pembunuh kesehatan manusia. Dan Farida menulis tentang perempuan yang ikut-ikutan merokok agar ia bisa menemani sesaknya merokok, sebagaimana yang dirasakan laki-laki yang disukainya.

Semua cerita itu sama: tidak ada dialog, deskriptif, naratif, menekankan pada gerak-gerik, dan ditulis dengan baik.

Ngomong-ngomong, ini dia video klip November Rain. Semoga rahmat ini tidak malah menghambat sebuah aktivitas.







Nia Janiar. Seorang travel writer yang akhir-akhir ini lebih sering menulis feature wisata majalah. Rela meninggalkan pekerjaannya sebagai pengajar agar bisa jadi penulis. Nia belum menerbitkan buku sama sekali (kecuali skripsi). Dapurnya bisa dilihat di http://mynameisnia.blogspot.com/

Senin, 31 Oktober 2011

Kejahatan dalam Tulisan

Wah, buffering lagi, buffering lagi. Lagi-lagi, buffering. Iklannya sih, katanya, nggak pake buffering-bufferingan tapi, ternyata, lama bin lelet jadinya, I like slow. Ini mungkin yang dinamakan in the praise of slowliness di masa yang begitu mengagungkan keadaan yang serba cepat, instant, seketika itu juga.

Saya memutuskan koneksi internet setelah membuka situs Youtube dan menonton videoklip band-band favorit sewaktu SMA dulu. Bernostalgia sesekali ternyata mengasyikkan juga supaya hidup nggak terlalu stress.

Udah weekend aja nih, nggak berasa. Semua orang mungkin suka dengan hari Sabtu. Walaupun kadang-kadang rencana untuk ngilangin stress gagal terrealisasi karena macet berkepanjangan di jalan. Bukannya sembuh, malah tambah stress.

Di saat musim yang kadang panas dan kadang hujan, harus cepat-cepat pergi sebelum benar-benar hujan sehingga ada alasan pembenar untuk tidak pergi. Saudara kita yang bernama hujan ini, memang sering meledek kalau kita memutuskan untuk pergi, dia akan turun dengan derasnya. Sebaliknya, kalau kita memutuskan tidak pergi, dia pun tidak jadi turun. Entahlah, mungkin karena dia sayang sama kita kalau kita pergi dia akan menangis, kalau kita tinggal di rumah dia tidak jadi menangis. Mungkin dia juga mau mengetes sejauh mana kekuatan mental kita ah, baru segitu aja udah nyerah, cemen lu…


Untuk menyembuhkan penyakit writer’s block akut yang sudah terlalu lama saya idap, saya pun pergi ke Readinglights (perasaan, dari dulu, writer’s block melulu…). Mungkin alasan kemalasan saya semata hehehe. Sabtu memang harinya orang untuk banyak beralasan ini dan itu. Kalau saya pribadi sih, Sabtu adalah harinya untuk menonton sepakbola yang disiarkan langsung oleh televisi secara gratis. Apalagi kalau sudah mendung menggelayut, pertanda Tuan Hujan ini akan menitikkan air matanya wah, ada alasan pembenar untuk bermalas-malasan, bikin secangkir kopi hangat, sambil mata memelototi layar kaca. Nggak tahu deh, buat saya, sepakbola itu udah jadi bagian dari hidup. Sepi rasanya kalau nggak ada sepakbola. Saya sepertinya sudah dikutuk untuk selalu suka sepakbola. Nggak ada protes deh, buat sepakbola walaupun tetap ada juga hal-hal negatif dari sepakbola. Sudah telanjur jatuh cinta, sih…

Saya pun tiba di Reading Lights dan bertemu dengan Sapta yang sedang asyik dengan laptopnya. Biasalah, sedikit chit-chat antar teman jika sudah cukup lama tak bersua. Untungnya, saya udah punya kegiatan yang sedikit bisa membanggakan jika ada yang bertanya, “Sekarang, lagi sibuk apa, Ji?”. Lumayanlah, ketimbang jawaban yang itu-itu saja yang sudah tertebak seperti, yah, gitu, deh atau wah, sibuk apa ya? Nggak tahu, deh..atau bisa juga well, you know stuff like that atau yah you knowlah little this, little that ... Jawaban khas orang bingung atau yang nggak punya banyak kegiatan tapi selalu sok sibuk dan sok banyak beralasan seperti saya hehehe.

Bak membuka kotak Pandora (buset!), bermunculanlah satu persatu peserta Reading Lights Writer’s Circle (RLWC). Total ada tujuh orang yang datang, Sapta, Farida, Danny, Riri, Sabiq, David, dan saya.

Setelah berembuk tentang tema apa yang akan menjadi bahan tulisan, kita akhirnya memutuskan untuk menulis tentang crime (kejahatan). Tema ini kita ambil setelah mendengar cerita dari kawan kita Farida yang mendapat tugas dari kampus untuk mewawancarai narapidana di sebuah penjara di Bandung yang namanya saya lupa.


Cerita pertama datang dari Danny. Cerita ini memang belum selesai baru permulaan dari kisahnya secara keseluruhan. Inti ceritanya yang bisa saya tangkap sih, tentang seorang saksi pembunuhan yang akhirnya setelah dua puluh tahun kemudian, dibunuh oleh pembunuhnya itu sendiri. BAGUS.

Lalu giliran adik kecil kita, cieeeh… Mr. Highschool Boy, hehehe. Sabiq menulis cerita tentang seseorang perempuan yang akhirnya mengaborsi janin yang ada di rahimnya setelah hamil di luar nikah setelah menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Kayak gitu bukan sih, ceritanya, bro? Sorry ya, kalo salah. Salah-salah dikit, nggak apa-apa kali, ama temen ini. Prinsipnya sih, ceritanya bagus tapi, mungkin karena terburu-buru, ada beberapa bagian yang harus diperjelas. Not bad at all for the beginner. Alah, belagu bener ya gua? Kayak udah expert aja. Sorry kawan, hanya bercanda. Pokoknya mah, BAGUS.

Cerita selanjutnya datang dari somebody who pull the trigger alias sang pemicu timbulnya ide, Farida. Saya suka ceritanya karena sudah ‘jadi’ dan juga, menimbulkan rasa penasaran untuk membacanya terus sampai akhir cerita. Kisahnya tentang orang baik-baik, berpendidikan tinggi, yang hidupnya harus berakhir di penjara karena membunuh orang. Suatu hari karena dia terburu-buru, ia berdebat dengan seseorang yang menjengkelkan dan terpaksa memukul orang tersebut dengan dongkrak hingga mati. Dalam cerita itu juga dikisahkankan kalau keluarga si tokoh adalah keluarga yang bermasalah dengan ayah yang pengangguran, kerap menyiksa isterinya sehingga akhirnya dibunuh oleh kakak sang tokoh. Ia pun akhirnya, dibiayai oleh sang paman yang juga berwatak keras dan temperamental. BAGUS.

Kali ini, tidak seperti biasanya, Riri bisa menyelesaikan cerita sampai tuntas. Good for you, Riri. Dan bagusnya lagi, cerita yang dibuat juga unik, spesial karena tokohnya seekor anjing. Berbeda dari kebanyakan cerita-cerita peserta lainnya yang mengambil sudut pandangnya dari manusia. Kisahnya tentang seekor anjing yang majikannya adalah seorang pembunuh. Ceritanya semakin menarik ketika tanpa sengaja si anjing mengorek tanah dan menemukan tulang dari mayat yang dibunuh dan dikubur oleh majikannya di rumahnya. Mudah-mudahan sih bener begitu ya, ceritanya? Sorry ya, kalau terlalu banyak dikarang-karang dan terlalu banyak penafsiran hilang fokus sih, hehehe. BAGUS.

Lanjut, pada kisah karya Sapta. Sepertinya, kisah ini bagus kalau dijadikan sekuel atau lanjutan dari kisah karya Farida. Ceritanya, soal orang yang dipenjara karena sesuatu hal yang tidak disebutkan dalam cerita. Di penjara, dia dikurung dalam sel dengan 3 narapidana lainnya yang menjadikannya budak pemuas seks. Singkat cerita, malam berganti malam, “kekasih-kekasih” si tokoh saling membunuh untuk mendapatkan “cinta” dari si tokoh. Karena dianggap menjadi penyebab terjadinya peristiwa saling bunuh tersebut, pihak penjara akhirnya, memindahkannya ke ruang sel lain yang tersendiri. Mungkin betul rencana si tokoh untuk menuliskan kisahnya itu dalam bentuk buku, akan menjadi lebih tebal lagi. Wah, bisa jadi bestseller tuh, novelnya. BAGUS.

Kisah selanjutnya, datang dari kawan lama kita, David. Ceritanya sangat-sangat lucu, dengan dialog-dialog khas Sunda yang mengocok perut kita. Ceritanya, tentang seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dan sedang diinterogasi polisi. Kekuatan dari cerita ini walaupun belum sepenuhnya selesai adalah, percakapan informal yang memang biasa terjadi antara tersangka kejahatan dengan polisi di wilayah Bandung dan sekitarnya. Dialognya, kalau menurut saya, memang khas banget kalo pelaku kejahatannya kasus-kasus seperti maling ayam, maling jemuran, dan semacamnya. Bagian yang paling tidak bisa saya lupakan adalah ketika si polisi menanyakan nama tersangka dan dia menjawab Andre Otong. Lalu si polisi menuding, kalau dia bohong karena pakai kaos tulisannya Jajang. Dengan setengah mati ia meyakinkan kalau ia memang Andre Otong adapun kaos yang dipakainya memang milik temannya, Jajang yang ia pinjam setelah ia bermalam di rumah temannya itu. Udah gitu, sang polisi menemukan sebuah KTP atas nama Pepen Surepen kontan saja, membuat polisi makin curiga dan gemas. Si tokoh pun mati-matian meyakinkan kalau itu KTP temannya yang terbawa olehnya. BAGUS.

Terakhir, cerita buatan saya. Seperti biasa, saya menulis tentang cerita yang ringan-ringan saja. Itu mungkin spesialisasi saya untuk membuat cerita yang jayus bin garing, makanya, ditambahin air aja, biar basah wkwkwk… Jadi, ceritanya soal seorang bernama Bobby yang disidang karena kasus pencurian sepeda. Ini karena dia salah menafsirkan pernyataan seorang perempuan yang memintanya untuk mengambil “miliknya” yang paling berharga. Lalu, ia memilih mengambil sepeda milik perempuan itu dan didakwa melakukan tindak pidana pencurian. Entahlah, ada atau tidak pria setolol itu. Yah, namanya juga cerita hehehe. Ditambahin BAGUS nggak ya? Nggak usah deh. Wah, udah telanjur tuh, udah nggak bisa dihapus lagi.

Omong-omong, mau tahu alasan saya meletakkan kata bagus dengan huruf kapital pula di setiap ulasan karya rekan-rekan? Saya jadi teringat dengan almarhum Pak Tino Sidin guru melukis dan menggambar. Entah, masih ada yang ingat atau tidak dengan beliau. Saya suka sekali dengan acara belajar menggambar yang diasuh Pak Tino Sidin di TVRI zaman baheula pisan. Nah, di acara tersebut, Pak Tino selalu mengucapkan kata bagus setiap ia habis membacakan gambar karya anak-anak yang mengirimkan karyanya kepada Pak Tino. Ketika ditanya, mengapa Pak Tino selalu bilang kata bagus? Beliau berkata, “Sebenarnya, BAGUS itu singkatan dari Belajarlah Gambar-Menggambar Untuk Seni.” Akhirnya, saya jadi ikut-ikutan beliau deh, pakai kata bagus setiap kali habis mengulas karya rekan-rekan sekalian. Mungkin dalam hal ini, maknanya jadi, Belajarlah Tulis-Menulis Untuk Bahasa alah, garing banget…

O.K. There’s nothing left to say… Tetap asah penamu, mas bro, mbak sis. Sampai ketemu minggu depan!


Satyo Aji Karyadi, lebih akrab disapa Aji, adalah peserta writers' circle yang kedatangannya paling sulit diprediksi. Kadang ia datang setiap minggu, tetapi kadang-kadang ia lama tidak muncul hanya untuk muncul lagi dan membuktikan kebertahanannya. Pria tinggi dan berkacamata ini sebetulnya pendiam, tetapi ada tiga fakta yang patut diketahui tentangnya. Pertama, Aji telah mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Kedua, seperti yang diakuinya, Aji suka menulis tentang politik dan sepak bola (Kadang-kadang tajuk tulisan politiknya cukup ajaib. Membandingkan Stalin dengan Charlie Chaplin, misalnya). Ketiga, dalam tulisan ini Aji mengutip lagu Message in a Bottle-nya The Police. Apakah laki-laki ini suka The Police? Apakah kesukaannya ini merupakan indikator dari usia Aji yang sebenarnya? Ah, barangkali cuma anak-anak writer circle dan malaikat yang juga tahu.

Rabu, 26 Oktober 2011

To: Han

Salah satu karya peserta RLWC, Farida Susanty, akan difilmkan. Cerpennya yang berjudul Tuhan dalam bukunya Karena Kita Tidak Kenal diinterpretasikan oleh komunitas Semiotika Embun Pagi. Berikut adalah trailer-nya.


Untuk pemutaran secara penuh, akan dilakukan di sebuah acara:

Mangga Malam Mingguan
29 Oktober 2011, Pk. 19.00 WIB
di Story Lab, Bandung
Jl. Mangga No. 14, Bandung

Mari kita dukung hasil perkawinan dunia kepenulisan dan perfilman di Indonesia!

Minggu, 23 Oktober 2011

Mundur Pada Masa Lalu

Dalam realita kehidupan sehari-hari, waktu memang senantiasa melaju ke depan. Dari masa lalu, ke detik ini, lalu ke masa depan. Namun, dalam dunia tulisan, dalam dunia imajinasi, apa pun bisa terjadi. Termasuk waktu yang bergerak mundur ke belakang. Tema kami minggu ini.


Adalah saya yang terakhir kali membacakan cerita saya, karena saya juga menjadi penulis jurnal. Saya berkisah tentang tokoh aku mabuk-mabukan di kamarnya, karena ia baru mengundurkan diri, atau lebih tepatnya, memecat dirinya sendiri dari pekerjaannya yang gemilang. Pemecatan ini adalah buntut dari kinerja si aku yang terus menurun, akibat patah hati dengan rekan kerjanya yang memilih menikah dengan orang lain. Padahal si tokoh aku ini selalu siap dijadikan tempat curhat si rekan kerja. Rekan kerjanya ini, adalah cintanya pada pandangan pertama. Nia berkomentar bahwa cerita saya ini bisa menggambarkan emosi tokoh si aku, yang merasa patah hati dan ditinggalkan, dengan realistis.

Sebelum saya, ada Dani yang menyatakan bahwa ceritanya kali ini adalah cerita terburuk yang ditulisnya beberapa waktu terakhir. Dani bercerita tentang Tegar, yang mendapati Raisa jatuh dan tewas di hadapannya sepulang ia membeli telur di warung. Di warung itu orang-orang ramai membicarakan kecelakaan yang baru terjadi. Tegar memang kehabisan stok telur, dan ia jengkel karenanya, dan ia semakin jengkel ketika mendengar Raisa, mantan pacarnya, menangisi teman-temannya yang baru mengalami kecelakaan. Dalam kejengkelannya, ia berteriak pada Raisa, “Mati saja sana!” Saya berkomentar bahwa cerita Dani ini justru termasuk yang bagus dan sangat bisa dinikmati. Meskipun saya tidak percaya Tegar mampu bersikap sekejam itu pada mantan pacar yang ia putuskan sendiri. Mungkin lebih masuk akal jika Raisa dan Tegar tidak punya hubungan spesial, atau jika Raisa yang dulu memutuskan Tegar.

Sebelum Dani ada Nia, yang kembali menggunakan nama Musa Idris. Musa Idris adalah pria yang diinginkan oleh banyak wanita, tapi ia sendiri selalu menghindari wanita. Saat SMA, wanita yang disukainya pun meninggalkannya karena ia tidak pernah mau ditempeli. Dari masa lalunya terkuak bahwa dulu saat ia masih sangat kecil ia menyaksikan ayah dan ibunya bertengkar, sebelum kemudian ibunya meninggalkan rumah, tidak menghiraukan dirinya yang terus-menerus memanggil dengan tangisan. Menurut saya cerita ini adalah “psikologi banget”.

Sapta juga kembali menulis dengan tema sadis. Sapta berkisah tentang Cindy, gadis sakit jiwa yang baru saja membantai sebuah keluarga dengan bahan kimia yang dihidangkan sebagai minuman. Cindy pergi naik angkot dan membeli racun itu setelah mendengar Maya, anak kecil dalam keluarga itu, bercerita bahwa ayah ibunya sering membicarakan Cindy diam-diam di kamar. Cindy yang memaksakan diri untuk bergabung dengan keluarga ini, baik sebagai istri kedua atau pembantu, dengan ancaman. Ancaman bahwa Cindy melihat mayat yang pasangan itu buang ke sungai. Saya kesulitan memahami cerita ini, dan baru memahaminya setelah istri saya menjelaskan dengan alur maju. Mungkin karena gaya penuturan maupun bahasanya yang unik, atau saya saja yang terbiasa dengan hal-hal sederhana. Karena hanya saya yang tampaknya kurang paham.

Sebelum Sapta, Farida bercerita tentang seorang gadis yang baru mengalami kecelakaan lalu lintas. Ia berjuang menghubungi nomor seorang pria, dan kini suara yang mengangkatnya adalah suara seorang wanita. Pria itu adalah pria yang akhirnya memutuskan untuk meninggalkannya demi wanita lain. Pria itu adalah pria yang dulu sangat dekat dan akrab dengannya.

Dan, yang mendapat kesempatan membacakan ceritanya pertama kali adalah Abi, peserta baru yang datang minggu ini. Abi memulai ceritanya dengan 2 lembar kertas yang diremas. Ia benci kertas itu seperti ia membenci alkohol, yang ia minum bersama seorang pria di Eropa sana. Tokoh aku ini merasa sakit hati karena tujuan awalnya untuk berkuliah di sana sudah berbelok. Di akhir cerita, sang pria menawarkannya 2 lembar kertas. Satu tiket pulang ke Indonesia. Satu lamaran pernikahan. Di sinilah pembukaan cerita berlangsung; tokoh aku meremas 2 lembar kertas tersebut. Sapta berkomentar bahwa Abi punya pemilihan kata yang bagus dalam menulis. Saya setuju.

Dan demikianlah. Adalah Sapta yang memilih tema “alur mundur” untuk sesi menulis kali ini. Demikian sesi menulis 22 Oktober 2011 dimulai; demikian pula jurnal ini berakhir.




Rizal Affif. Seorang pria yang sedang merintis lagi jalan untuk kembali ke impian lamanya menjadi penulis. Setelah beberapa tahun terdampar di dunia konsultansi Human Resource Management sebagai freelance Assessor. Sebuah konsekuensi akibat banyak menunda menulis selama kuliah dan semasa SMA.

Kamis, 20 Oktober 2011

Keluarga yang Tak Kukenal

Bagaimana rasanya menulis tokoh fiktif yang diinspirasi dari anggota keluarga yang justru tidak/kurang dikenal? Deskripsi kasat mata yang terakhir dilihat serta potongan informasi yang pernah didengar menjadi modal utama pembuatan tokoh, sisanya mengarang indah.

Fasilitator kala itu, Andika, membagi penulis menjadi dua sesi. Sesi pertama adalah mendeskripsikan fisik identitas saudara yang tidak kita kenal (nama boleh disamarkan) selama lima menit. Setelah itu, kita membuat cerita fiksi tentang tokoh dengan menggunakan karakter saudara kita itu.

Dika cerita tentang Lala, sepupunya yang sering menulis tentang keluarga di blog. Dari blognya itu, Dika mendapatkan gambaran om (bapak Lala) yang tidak pernah sama sekali bertemu. Ceritanya sendiri tentang perceraian yang terjadi pada orang tua Lala karena ibunya ingin mengaktualisasikan diri. Dalam kisahnya, Dika dapat mengemukakan detil rutinitas Lala yang begitu cermat. Namun detil dalam sebuah cerita sangat pendek ini, dirasa membuat cerita jadi serba terburu-buru.

Berbeda dengan Dika, Regie mengambil jalan yang berbeda dalam membuat cerita fiksinya. Ia membuat cerita pendek dengan format Cerpen. Berkisah tentang seorang perempuan yang tinggal di Jepang, suka cosplay, dan punya toko. Dia menceritakan aktivitas-aktivitasnya selama di Jepang termasuk menceritakan tentang pembunuhan yang sering ia lihat selama di Jepang. Tokoh tidak menyadari bahwa gunting merah miliknya adalah gunting yang menusuk orang-orang tersebut. Fine twist, Regie!

Salah satu peserta yang baru datang ke dua kalinya, Angi, menulis tentang pelukis bernama Yuky yang menunggu seorang perempuan Indo-Australia bernama Nona. Dengan pilihan kata yang manis, Angi dapat membuai para peserta lainnya untuk menikmati ceritanya. Namun sayang, tokoh perempuan Indo-Australia yang lama tinggal di luar negeri kurang terasa tabiat acuh tak acuh ala bule-nya ;)

Nira adalah orang Jawa asli. Bercerita tentang Nira, seorang mahasiswi, yang menjadi murung karena orang tuanya tidak bisa datang ke kota karena masalah keuangan. Masalah keuangan ini membuat Nira membikin batas dengan orang lain. Itu yang dipilih Rizal--yang saat membacakan agak kurang percaya diri karena merasa tulisannya buruk. Ia mengambil salah seorang saudaranya yang betul-betul tidak ia kenal sehingga ia merasa kesulitan mau menulis cerita macam apa. Ia bercerita tentang saudaranya yang sederhana tapi banyak yang suka bergaul dengannya.

Format dialog ditawarkan oleh Sapta. Ia berkisah tentang saudara sepupurnya yang kembar bernama Martini dan Martina yang salah satunya mengalami cacat mental dan tidak identik layaknya utara dan selatan. Beberapa peserta lain ada yang tidak suka karena tidak gelap seperti biasanya. Justru menurut salah seorang peserta, format yang dipakai Sapta ini sangat memudahkan untuk memberi pesan tanpa banyak deskripsi dan membuat plot terasa cepat.

Berbeda dengan karya-karya Ryan sebelumnya, karya Ryan kali ini sungguh enak didengar. Ia berkisah tentang konflik keseharian dimana tokoh mengalami diskriminasi kasih sayang oleh ibunya, punya adik yang menyebalkan, dan juga dijodoh-jodohkan.

Sementara itu, Aji membuka ceritanya dengan teras yang sangat membuat pembaca sangat tertarik dengan karyanya. Bagaiamana tidak, ia becerita tentang Abdul Karim Hassan, tentara muslim yang didiskriminasi, yang harus dipenjara karena ia muslim dan rajin beribadah, yang Qurannya diinjak dan dikencingi oleh Santo. Sebetulnya Aji mau bercerita keterkaitan saudaranya dengan tokoh Santo. Namun rupanya ia salah fokus sehingga karakter yang dominan dimiliki oleh Abdul Karim Hassan.

Dan pertemuan ditutup oleh Riri. Riri bercerita tentang instruktur fotografi bawah air. Ia terinspirasi dengan saudaranya yang suka foto dan diving, maka ia mengimajinasikan sebuah tokoh yang merupakan perkawinan karakter keduanya yaitu menjadi instruktur fotografi bawah air.

Jika ada istilah 'tak kenal maka tak sayang', maka di penulisan mungkin penulis tidak butuh sayang-sayangan, tetapi inspirasi dalam menulis yang justru bisa datang dari orang yang tidak kenal. Jangkauannya bisa yang paling dekat: keluarga.

Selasa, 11 Oktober 2011

Pergantian Musim

Pertemuan RLWC 8 Oktober 2011 sempat akan bertema satu kalimat utuh yang diusulkan oleh tiap peserta, yang nantinya akan dipilih acak untuk dipakai dalam tulisan. Karena suasana gerimis dan Dani mengusulkan tema pergantian musim/cuaca, semua setuju dan ambil tema tersebut.

Dani bercerita tentang seseorang yang berselimut koran dan kehujanan, sementara di emperan toko dan bangku taman sudah terisi pengemis dan tuna wisma. Saat baru menemukan sepetak tempat yang hanya cukup untuk duduk, ada yang memanggilnya “Joni?”. --- cerita terputus, lengkapnya bisa dibaca di http://www.facebook.com/notes/pradana-pandu-mahardhika/cerita-iseng-20/10150338311109223 --- tambahan cerita secara lisan: yang manggil teman sekolah Joni yang sekarang kerja kantoran yang nanya ngapain duduk disitu. Ternyata Joni berantem sama istrinya di rumah dan diusir, jadi menggelandang untuk semalam.
Komentar teman-teman: belum lengkap jadi belum bisa dikomentari secara utuh.

Ryan menulis tentang seorang anak kecil bernama Indah yang terbangun dari tidurnya ditengah hujan. Indah minta ijin Parto (ayah Indah) untuk bermain diluar, dan diijinkan. Sambil minum kopi Parto memandangi foto keluarga, Parto-Indah-Anita (almarhum istrinya yang meninggal karena leukemia). Flashback ke suatu malam saat mereka berkumpul & berbincang-bincang. Anita berkata pada Indah bahwa dia akan pergi lama, karena tahu akan segera meninggal. Anita berpesan pada Parto supaya membiarkan anak mereka bermain saat dia akan datang di kala hujan.
Komentar Dani, masa kininya nggak keliatan, inti ceritanya di masa lalu.

Angie bercerita saat langit mendung & kelabu, menyeruput cokelat hangat. Ada yang melambai, siapa itu, laki-laki atau perempuan? Orang itu menuntunku, menembus kelabu. Awan gelap tersingkap, cerahpun datang. Ada ramai, ada tawa. Warna-warna yang indah. Dibalik mendung yang kelabu ada musim semi yang menanti, asal kita cukup berani.
Komentar Rizal: jarang orang ‘berkhayal’ seperti itu, banyak metafora.

Pipit menulis semacam artikel / opini mengenai pawang hujan. Musim di Indonesia ada dua yaitu kemarau dan hujan. Ada yang namanya pawang hujan, biasanya disewa oleh penyelenggara acara outdoor. Benarkah cuaca bisa diatur? Belum pernah ada bukti. Apakah harus ada pengawasan terhadap pengendalian cuaca?
Komentar: seperti jurnalistik.

Sapta menulis puisi. Tentang 2012 di mata lelaki, ibu-ibu, dan anak kecil.
Komentar: siapa kau dan aku? Jawabannya: kau = manusia, Aku = Tuhan.
Andika bercerita mengenai dua tahun ini Indonesia dilanda hujan. Roni menyiram halaman setelah mengerjakan PR, suka mencium bau tanah basah. Saat hujan datang, Roni tak perlu lagi menyiram halaman. Inti cerita hujan mau dijadikan tokoh antagonis, anak kecil yang tadinya suka hujan jadi benci tetapi saat kemarau rindu hujan.
Komentar: penggambarannya jelas untuk kondisi yang suka hujan

Rizal bercerita tentang hujan yang datang membawa kehidupan bersamanya. Kata Ibu selama dalam kandungan, si bayi (aku) tenang saat hujan. Waktu masih kecil, (aku) yang sedang menangis bisa terdiam saat hujan. (Aku) suka melihat hujan dari balik jendela. Hujan datang saat Ibu berlari menjemputku, kilat menyambar. Musim hujan kali ini berbeda, tak ada kilat yang datang. --- inti cerita: ibunya meninggal tersambar petir tapi si tokoh utama tetap suka hujan sejak kecil
Komentar: terlalu telling, bisa dibuat lebih showing.

Farida yang terlambat datang masih sempat menulis sebuah cerita tentang hantu dalam perjalanannya ke pertemuan RLWC.
Komentar: beberapa notice ada hantu di cerita tersebut tetapi agak bingung dengan sudut pandang tokoh utama

--- kepotong, waktu habis ---
Komentar: bagian awal terlalu panjang, bikin lost. Menarik saat masuk ke dialog, sayang terpotong di bagian yang ditunggu-tunggu.




Yudhinia Venkanteswari. Author of @JalanJalanHemat ke Eropa, globetrotter wannabe, ngaku backpacker tapi ga punya backpack, open water diver, zealous worker, it's just me anyway...

Minggu, 02 Oktober 2011

Tentang Teh, Pergi, dan Menunggu

Enam orang di Reading Lights sore ini. Ada 3 kata yang dimasukkan ke kepala kami sore ini, untuk ditumpahkan jadi kata-kata. Teh, pergi, dan menunggu. Diinterpretasikan menjadi 6 cerita, seperti apa jadinya?

Sapta membacakan tentang teman lama yang kembali, dengan hati retak yang mengakhiri cerita. Nia bercerita tentang wanita yang belum mendengar kabar dari suaminya yang pergi berperang, di lautan. Diakhiri dengan ending yang manis dimana harapan menyelimutinya. Menaikkan kembali mood dari cerita pertama.

Sabik dipilih oleh Nia sebagai pembaca berikutnya. Tentang pasangan yang bertengkar dan ditengahi oleh teh. Katanya belum selesai tapi diselesaikan dengan improvisasi. Mbak Riri menjadi orang yang dipilih selanjutnya. Orang yang menunggu orang lain, yang tidak berkeberatan menunggu dengan tehnya. Menunggu laki-laki bermata biru, seorang asing yang ditunggu setiap hari. Konsep tentang tea stick menarik perhatian Sapta. Semua orang jadi tertarik. Mbak Riri menjelaskan tentang teh dalam bentuk pensil, yang diaduk-aduk ke airnya untuk membuat teh. Regie dan Sabik merasa cerita Mbak Riri sendiri manis. Sabik menceritakan cerita non-tulisan yang lebih manis lagi, tentang orang yang sampai dilamar karena sering satu angkot. Ternyata cerita-cerita hari ini banyak yang manis ya?

Pas bagian saya cerita, orang-orang bingung dengan ceritanya karena tidak tertangkap dengan didengar. Saya harus menjelaskan bahwa itu adalah cerita tentang lesbian yang salah satunya sedang menyatakan cinta pada yang lainnya. Yang satu yakin bahwa hubungan mereka akan bertahan, yang satu tidak. Yang satu liar, yang satu “jinak”. Yang lain menyarankan lebih baik membacanya dalam teks.

Regie membaca terakhir. Satu remaja yang sedang berdandan, bersiap untuk menemui seseorang. Yang ternyata sesama perempuan juga, senada dengan cerita saya. Prolog cerita saya, katanya. Mbak Riri bertanya mengenai keberadaan kata teh, Regie menjawab tentang teh chamomile.

Saya bertanya kenapa tidak ada yang menulis tentang menunggu angkot sambil teh, kemudian angkotnya pergi. Kemudian peserta RLWC mulai berdiskusi tentang cerita yang lebih pendek, dan tentang angkot. Dengan itu, setelahnya, sesi menulis berakhir, ditutup oleh Regie.





Farida Susanty adalah mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran yang kecanduan siaran televisi berlangganan. Sekonyong-konyong tubuhnya akan terpaku di depan televisi apabila ada film-film seru di channel HBO. Genre film favorit Farida beragam dikisaran indie, teen-flick, drama, dll. Meskipun membenci klise dan pretentiousness, gadis yang besar di Tasikmalaya ini akan memasukkan nonton-bareng-Juno-dan-Twilight ke dalam agenda sosialnya. Ia sudah menelurkan 4 buah buku yaitu Dan Hujan Pun Berhenti, Karena Kita Tidak Kenal, serta dua antologi. Kunjungi blognya http://lovedbywords.tumblr.com/

Kamis, 29 September 2011

Interpretasi Gambar

Writer's circle pernah membuat cerita hasil interpretasi dari lukisan, musik, dan gambar. Seperti salah satu kegiatan yang pernah kami lakukan sekitar satu bulan yang lalu. Kami melakukan interpretasi pada sebuah gambar dan harus dituangkan dalam bentuk cerita pendek.

Fasilitator kala itu menjelaskan bahwa interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu; tafsiran (KBBI). Gambar yang fasilitator berikan adalah sebagai berikut:

Fotografer: Boryana Katsarova
Diambil dari website National Geographic

Untuk memperluas interpretasi, lakukan pengamatan detil pada foto. Perhatikan kabel telepon, parabola kecil, tekstur tembok, jejak tangan, dan bahkan sebuah lubang di salah satu sayap. Tuliskan kesan atau pendapat yang dibalut dalam sebuah cerita pendek. Jika foto di atas mengesankan tentang sebuah harapan di daerah konflik, maka bikinlah ceritanya!

Tentunya dalam interpretasi tidak ada yang salah dan benar karena sifatnya subjektif, namun tetap harus relevan. Interpretasi semacam ini berguna sebagai penggugah ide dalam tulisan. Dan biasanya dengan bantuan gambar, munculnya ide menjadi termudahkan.

Rabu, 28 September 2011

Story and Plot To Bring Your Story To Life

Reading some great novels, most of the time I am amazed of how the writers compose the stories, make us “the reader” unconsciously involved into either the character’s mind or vicious actions the writer created. They are also succeeded in playing our emotion; we laugh and cry for things that are not even happening! Things they successfully (and can be also painfully) made up. But then when I enrolled in Melbourne’s creative writing short course, I discovered that like a magician a writer has also tricks. Once they put them into a book, people will not mind to spend their money or to queue outside the bookstore waiting for their new released book. Want to peep up what’s their hidden trick? Plot and Story are one of them.


To reveal what plot and what story is, let’s just flash back to the time we are thinking of some ideas for our own novel. When we think about some physical actions on the story, it means we have planned to bring plot into our novel. For example, I conceived some ideas for my stories; My character was being raised in a country inhabited mostly by the conservative Moslems. The Moslem’s environment had somehow blocked her knowledge of any other religions and had forced her to believe only the religion she was raised. Some terrifying events caused by people in her religion had triggered her doubts and her being skeptical about the religion she was raised. She began to raise a lot questions about her faith; particularly her religion. She then doubted her religion before came the revelation.

They contain a physical action that has the potential to move the story. So whenever you have this kind of form on your mind, you have arranged some plots for your novel. To form some plots, you can start rising a question like “what will happen next after this?” This question somehow will create plots!

But a novel without story is like a mere series of action. It doesn’t seem to have a soul, there is nothing to make the reader emotionally involved into the story of your novel. So what do you need to fulfill this lack of emotion? Story is the answer!

Contradicts with plot, story has a magical power to provide your novel with emotion. The chapter when your character is feeling tortured and when your character shed tears, there when you put story into your novel. When you combine these emotional journeys together with the physical ones, you have successfully created both the body and soul in your single novel. Let’s see how it works together and creates a vivid reliable and enchanting novel.


I borrow the example from a part of the plot’s explanation above I grabbed from my novel then I combine it with the story;

Some terrifying events caused by people in her religion had triggered her doubts and her being skeptical about the religion she was raised. She witnessed people spread hatred in the name of his only God. They screamed, “Burn the infidel! Let’s send them to hell.” The wrathful words were intended to the people who were now screaming and escaping from the mighty church that was now full of grey smoke. I was trembled as I saw a man shouting “Allahuakbar”’ before then he threw the running woman with a rock as big as a head of an infant. The reason is just unbelievable, they blamed the church’s singing ritual that had bugged their Sunday night, forgot that Adzan is cried out five times a day sometimes with broken mosque’s loudspeaker. I trembled and my head was burned with anger. With regret I saw people spread hatred under the name of my God, but nothing I could do besides stood and stared. And all my life, I have never been that ashamed.

Look at the words. Those marked with the blue ink are plots and with the read ink are stories. The plots show action while the stories show emotion. Clear enough? In conclusion the plot is the element that keeps your story moving, while the story makes the story alive. So, what are you waiting for? Grab your PC or pencil and book! Start bringing your story to life! The story and plot are just one from so many techniques in writing await to reveal. But practicing it bit by bit makes you ready to face other tough techniques. If you think that techniques are not beneficial enough for your novel, it’s your call! But remember, lessons are actually made to make things easier. So, happy learning!




Myra Mariezki Fathira. Seorang perempuan yang konsisten mengenakan baju pink diberbagai kesempatan. Lulusan Sastra Inggris UNPAD angkatan 2004 ini pernah bekerja sebagai copywriter dan jurnalis. Namun sekarang ia memutuskan keluar dari pekerjaannya untuk mengejar passion-nya sebagai penulis.

Selasa, 20 September 2011

Alter Ego

Saya, Regie, Nisa, Yara, Riri, Ryan, Sabiq, Sapta, Dini, Dika, dan AM datang berurutan. Pertemuan berlangsung 20 menit lebih lambat. Mungkin karena mendung yang identik dengan kemacetan yang terjadi di Bandung minggu-minggu ini. Saat semua berkumpul, Regie menjadi fasilitator di Sabtu (17/09) itu.

“Kita akan menulis tentang alter ego. Tulis sebuah cerita tentang diri kita yang lain. Saya ingin diri sendiri menjadi apa, bukan menjadi orang lain, tetapi menjadi siapa. Saya melihat saya sendiri kalau bisa jadi orang lain. Misalnya Bruce Wayne yang punya alter ego Batman, Clark Kent yang punya alter ego Superman. Waktu 30 menit.” Regie berujar.

Secara teori, alter ego (bahasa Latin dari ‘the other I’ atau ‘saya yang lain’) adalah diri ke dua atau kepribadian ke dua dalam seseorang. Dalam tulisan, alter ego menjelaskan karakter dalam tindakan berbeda namun memiliki beberapa kesamaan secara psikologis. Ini juga bisa jadi karakter fiksi yang mana perilakunya, perkataannya, dan pemikirannya bertujuan mewakili penulisnya. Kesimpulannya, alter ego dapat diaplikasikan sebagai peran atau topeng yang dipakai oleh seorang aktor.

Begini kira-kira intisari cerita dari setiap peserta:

Regie:
Penulis memiliki alter ego bernama Regin, seorang vampire perempuan yang memiliki tubuh yang sempurna dan punya ledakan feromon yang fantastis. Si vampire perempuan ini juga sangat menarik dan berhasrat dengan pria-pria muda. Karakternya adalah memiliki persepsi indera yang sangat peka, terutama saat berhubungan seksual. Lalu pada saat itu, ia akan mengigit untuk menyemprotkan adrenalin ke dalam tubuh para pria.

Dini:
Awalnya Dini menceritakan tokoh yang bernama Chyrill yang memiliki rambut seperti Medusa. Saat itu Chyrill sedang berperang dengan para vampire dan zombie. Di akhir cerita, ternyata Chyrill adalah tokoh game yang jadi alter ego dari seorang gamers bernama Agit. Agit—seorang fanatik game—sangat menghayati jiwa pada karakter game tersebut.

Andika:
Tentang seorang tokoh tanpa nama yang bekerja di sebuah tempat dimana ia harus menceritakan pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui kepada semua kalangan dari siswa-siswi hingga bapak-bapak yang berparfum menyeruak. Saat setelah bersama para bapak, ia merasa tidak enak badan hingga merasa tenggelam di jurang yang dalam dan tersesat dalam labirin yang tidak berujung. Sampai ia bangun, ia menemukan tempat kerjanya berbeda—seperti berada di sebuah pesta zaman kolonial. Ia pun memakain pakaian berbeda yaitu jas dengan dasi kupu-kupu. Dengan karakter yang sama: seorang pelayan.

Sabiq:
Tentang anak-anak TK yang mengidolakan Michael Collins dan menciptakan khayalan-khayalan balas dendam andaikan Michael Collins yang turun ke bulan. Tulisan Sabiq ini sempat menyisakan pertanyaan bagi peserta lain tentang maksud ceritanya. Begitu ia menjelaskan, idenya Sabiq ini begitu cerdas dan ia dapat melakukannya dengan ‘show’, tanpa ‘tell’.

Dani:
Dyah yang sulit mengajarkan sistem persamaan linier kepada teman-temannya. Tapi ada satu laki-laki populer yang tiba-tiba datang bernama Herman yang mengambil alih penjelasan Dyah terhadap teman-teman perempuannya. Teman-teman perempuan Dyah ini tidak bisa menahan untuk tidak genit kepada laki-laki yang badannya berkeringat habis berolahraga. Herman ini sering dikeliling para wanita dan Dyah agak risih melihatnya. Entah apa label perasaannya, tapi yang jelas Dyah merasakan sesuatu yang bergetar saat ia menyentuh tangan Herman.

Cerita Dani ini diakui sebagai alter ego-nya jika ia adalah seorang wanita karena di keluarga Dani semua saudara perempuan ada unsur Dyah di namanya.

Farida:
Farida menulis tentang keseharian gadis bernama Ria, dengan alter ego bernama Rose. Sifat mereka bertolak belakang. Ria setiap siang merupakan anak baik-baik, malamnya berubah menjadi stripper bernama Rose. Mereka berdua dapat berkomunikasi melalui cermin. Suatu hari, seorang laki-laki mendekati Ria. Ria menolak, tetapi ketika ia menjadi Rose, dibuailah lelaki itu.

Menurut Ryan, sosok Ria adalah Farida dan sosok Rose adalah apa yang menjadi keinginan Farida.

Ryan:
Cerita dibuka dengan adegan Lea yang setengah telanjang bersama seorang dengan lelaki. Lalu adegan selanjutnya adalah Lea membawakan jas terhadap lelaki itu lalu ia memakaikan jasnya, dibalas dengan sedikit remasan di payudara sebelum berangkat kerja, lalu Lea masuk ke rumah. Di dalam rumahnya, Lea melihat sebuah foto keluarganya. Matanya terpejam membayangkan apa keluarganya jika melihat Lea yang seperti ini. Padahal ia lulusan Stanford, diberi gelar piagam sebagai dokter termuda. Beban-bebannya membuat ia ingin keluar dan ekspektasi sosial. Bersama para lelaki-lelaki ia justru merasa bahagia.

Yara:
Diawali seorang tokoh yang lagi bercermin dan melihat bayangan alter ego yang berubah-ubah. Kadang rambutnya pirang, kadang matanya biru, kadang terlihat lebih pendek, dan terlihat lebih muda. Profesi para alter ego-nya bermacam-macam; ada yang menjadi novelis, ada yang menjadi penyanyi, bahkan ada yang menjadi pencuri demi menghidupi adiknya. Lebih jelasnya bisa dilihat di sini.

Nissa:
Tulisan Nissa lebih ke arah personal writing dan reflektif. Dia menuliskan tentang alter ego seorang tokoh yang lebih berani untuk berbuat sesuatu yang lebih untuk orang lain karena merasa diri sekarang terlalu penakut. Di ceritanya, alter ego yang ditulis Nissa berkiblat pada sosok ibu yang lebih berani.

Sapta:
Sapta membuat empat alter ego. Pertama, ia menulis tentang seseorang yang memakai peci, dengan tanda kehitamana di dahinya, memiliki sifat sabar serta lapangan hati yang kadang membuatnya tersisih dan terasingkan. Walaupun orang ini alim, namun alimnya tidak membuat ia berpikiran pendek—seperti orang-orang yang melakukan bom bunuh diri. Candi dan pertapaan merupakan rumahnya. Selain itu ia membuat alter ego yang sangat duniawi—menganggap dunia masih selama 1000 tahun lagi, dan juga ada alter ego yang sangat kuat secara fisik—yang tidak dituliskan secara tersirat apa makhluk itu.

Riri:
Riri adalah peserta baru di sesi kemarin. Perempuan yang baru menelurkan sebuah buku berisi catatan perjalanan ke Eropa ini bercerita tentang orang yang memiliki karakter workaholic antisocial yang sedang bekerja hingga petang sementara rekan-rekannya teng go alias sudah ‘teng’ jam selesai jam kantor, langsung ‘go’ pulang ke rumah! Tapi di luar rutinitas itu, tokoh sering melakukan perjalanan dan menulis catatan perjalanan. Di luar rutinitas, alter ego-nya muncul sebagai seorang pelancong. Cerita bisa dilihat di sini.

AM:
Cerita yang kaya akan dialog oleh AM ini bercerita tentang seseorang yang alter ego-nya keluar setelah menghabiskan 6 botol bir dan bertingkah aneh. AM ingin menyatakan justru pada saat orang mabuk, sesuatu yang ditutup-tutupi malah akan keluar. Seperti halnya alter ego yang keluar di saat dibutuhkan.

Nia:
Saya bercerita tentang Nayang Wulan yaitu remaja yang memiliki intuisi yang kuat, berdarah dan berbudaya Jawa, serta lekat dengan nilai-nilai tradisional. Cerita bisa dilihat di sini.

Menulis dapat menyuarakan pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan penulis yang ingin dipenuhi. Oleh karena itu, penulis dapat menciptakan tokoh alter ego yang karakternya tidak jauh dengan diri penulis. Menurut saya, kekuatan tokoh yang dekat dengan diri akan jauh lebih kuat ketimbang tokoh yang berbeda sama sekali.



Nia Janiar. Petualang, penulis, dan pencinta seni. Suka mendorong dirinya hingga ujung perbatasan zona nyaman. Kunjungi blognya di: http://mynameisnia.blogspot.com/

Jumat, 09 September 2011

RLWC di Majalah Kartini


Reading Lights Writer's Circle ada di Majalah Kartini edisi 08-22 September 2011.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Pengumuman Libur

Hari Sabtu depan (27/08) sesi RLWC diliburkan untuk menghayati detik-detik menjelang Hari Raya Idul Fitri. Sampai bertemu setelah lebaran!

Selasa, 16 Agustus 2011

Writer's Circle di Belia

Selasa (09/08), Reading Lights Writer's Circle diliput di koran Pikiran Rakyat rubrik Belia.



Jika ingin bergabung namun masih malu-malu dan mau lihat dulu alur kegiatannya, ingin tahu materi/konsep penulisan selanjutnya, atau update jurnal, bisa bergabung di grup Facebook Reading Lights Writers' Circle.

Senin, 15 Agustus 2011

Teknik Puisi: Akrostik

Neni sedang menjelaskan sesuatu

Sabtu lalu (13/08) sesi writers' circle digawangi oleh Neni Iryani yang akan menjelaskan tentang puisi. Berbekal dengan kertas fotokopian, Neni mengenalkan puisi akrostik sebagai teknik dasar pembuatan puisi. Disebut-sebut puisi ini dipelopori oleh Lewis Caroll--pengarang Alice in Wonderland. Puisi akrostik kalimatnya awal/akhirnya dibentuk dari huruf-huruf yang membentuk kata jika dilihat secara vertikal. Contoh awal puisi yang dibentuk dari kata SEA bisa menjadi:

Swift winds skim the shores
Echoes from the deep blue green
As we wave froth dan foam
(Nanka)

selain mengawali, bisa juga diakhiri dari seperti puisi DESA:

Bukanlah untaian sajak dalam dongeng ataupun lakon dalam seribu babaD
Hanyalah mimpi dan harapan yang terbawa angin kala sorE
Tatkala tatap tak lagi terkalang bataS
Dalam Imaji berbalur asa yang tak lagi terukir dalam nyatA

Duduk berdekatan, saling menghangatkan

Kami--dua belas orang penulis--diminta menuliskan puisi akrostik dalam waktu 30 menit. Kata yang ditentukan untuk dibaca secara vertikal adalah nama sendiri--boleh lengkap atau panggilan. Dari semua peserta, beberapa orang mengakui bahwa mereka mengalami kesulitan dalam membuat puisi akrostik ini. Selain jadi terpaku harus huruf-huruf tertentu, pencarian kosa kata bagi huruf-huruf yang tidak lazim juga sulit, misalnya Q, X, Z, dan lainnya. Kesulitan ini membuat ada beberapa peserta yang tidak menyelesaikan puisinya.

Karena terlalu banyak, saya hanya akan menuliskan salah dua puisi yang dibuat oleh Sabiq dan Sapta sebagai perbandingan untuk melihat akrostik awalan dan akhiran yang mereka tulis:

Akrostik di awal:

Sindikat berpredikat
Angkasa raya
Berbuah negara
Intipan letupan
Quack Quack
(Sabiq)

Akrostik di akhir:

Terlampau luas dosa berbatas tegaS
Degup jantung yang berbait terkait larA
Bertanya, menjawab dan semua tak mampu membuat haraP
Dosakah bila tak memihak karena lidah tercekaT
Terlanjur kecewa! aku bahagia diatas lukanyA

Tidak hanya akrostik, ada teknik lain sebagai pembuatan dasar puisi yaitu mindmap. Misalnya jika kita mau menulis tentang gunung berapi, cari hal-hal yang berkaitan gunung berapi dan bentuklah sebuah mindmap. Namun apapun tekniknya, namun efektivitas kata, rasa, dan jiwa dalam puisi tetap menjadi poin penting agar puisi itu tetap hidup.




Nia Janiar adalah seorang travel writer yang suka jalan-jalan dan menuliskannya untuk berbagai media. Tulisan-tulisan pribadi dan non pribadinya bisa dilihat di http://mynameisnia.blogspot.com/

Sabtu, 13 Agustus 2011

Makhluk Asing dari Tubuhmu

Sabtu, 6 Agustus 2011

Ada yang pernah membaca Majalah Hid*y*h? Saya bertanya di awal sesi penulisan. Sebagian mengiyakan, sementara Ryan menggelengkan kepala.


Saya memiliki memori yang lekat mengenai majalah islami ini. Saat SMP kadang saya dan teman membelinya karena penasaran dengan gambar kartun dan judul di halaman depannya. Gambar kartunnya biasanya menunjukkan kehebohan, wajah terhenyak, orang sakit, atau liang kuburan. Judulnya pun tak jauh beda, misalnya “Perut Jenazah Menyemburkan Api” atau “Akibat Selingkuh, Hamil di luar Kandungan.”


Penulisan kali ini mengambil topik dari kejadian-kejadian yang biasa dituliskan di majalah tersebut. Bagaimana penulis memaknai “azab” tersebut? Hasilnya sungguh menarik.
Hari ini, Riko menjadi pembaca pertama. Anggota baru Writers Circle ini membaca ceritanya dengan semangat.

Riko: Seorang ibu mendapat kabar bahwa anaknya sekarat tersambar petir. Dengan pedih, sang ibu menyaksikan anaknya menghembuskan napas terakhirnya sambil memanggil, “Ibu.” Kini, sang ibu merasa sangat terpukul hidup sendirian dan kehilangan tunjangan yang biasa diberikan anaknya. Ia menyesali bahwa kematian anaknya itu, tak lain, disebabkan oleh sumpah dalam amarahnya sendiri, “Mati disambar petir, kamu!”

Sapta, yang mengenalkan Riko dengan Writers Circle, mendapat giliran kedua membaca.
Sapta: Seorang penari Ronggeng mendambakan dirinya nasib teman sesama penari yang dinikahi menjadi istri ke-7 Pak Lurah. Ia membayangkan bagaimana enaknya hidup dengan menyandang status tersebut. Akhirnya, sebuah mimpi menyadarkannya bahwa nasib temannya tidaklah indah. Dalam mimpi itu, teman dalam keadaan telanjang digiring oleh beberapa orang, dan dari tubuhnya keluar hewan-hewan. Saat ia bangun, diketahui temannya sudah meninggal.

Fadil baru datang di tengah sesi pembacaan. Ia tidak menulis tapi ikut mengapresiasi tulisan. Cerita Sapta, kami pikir, cukup surealis sekaligus mengingatkan pada kekejaman khas “Clockwork Orange”-nya Stanley Kubrick.

Ryan: Sebuah keluarga juragan kelapa sawit yang tidak harmonis. Sang ayah meninggalkan keluarganya. Sang ibu yang kesepian akhirnya terlibat cinta terlarang dengan anak pertamanya. Cinta tersebut berakhir dengan kematian anak pertama yang tragis. Tak disangka, anak kedualah yang merencanakan ini semua. Ia juga memiliki hati pada sang ibu.

Cerita Ryan cukup tragis, kejam, dan memiliki kerumitan yang menarik. Sesi menulis diakhiri dengan cerita perkawinan muda.

Uli: Di sebuah desa, seorang gadis berusia 12 tahun dipaksa menikah oleh keluarga dan tokoh desanya. Sang gadis mungil tahu pernikahan ini hanyalah penembus hutang orang tuanya kepada. Sang gadis melawan tapi gagal. Ia dinikahkan dengan pria tua yang sudah beristri. Gadis itu dipaksa berhubungan seksual dan akhirnya terjadi pendarahan organ internal yang berakibat pada kematiannya. Sang suami yang tak mau disalahkan, mengatakan gadis itu mati bersimbah darah karena azab melawan suaminya. Seluruh desa mempercayainya.

Dalam teori konstruksi realitas Berger & Luckmann disebutkan, setiap kejadian bisa manusia maknai apa saja, tergantung pada sistem kepercayaan yang dianut individu. Berdasarkan hal tersebut, saya memandang pemaknaan atas azab hanyalah sebuah pilihan.

Toh, bila sebuah majalah menggunakan kejadian itu sebagai alat penguatan iman yang berlandaskan ketakutan pada azab, itu terserah mereka. Di sisi lain, kami memiliki pandangan alternatif mengenai fenomena-fenomena tertentu. Bisa dimaknai fenomena medis baru, rekayasa kejadian, nasib, atau... ya memang azab.




Yuliasri Perdani atau bisa dipanggil Uli, adalah seorang pecinta film sejati. Uli, yang memiliki pengetahuan tentang film cukup baik, pernah menjadi cameo di film karyanya bersama teman-temannya.

Minggu, 07 Agustus 2011

Mengupas Spiritualitas

Saptapasta: Ting, apa kabar? Mau liat RLWC ngga? Hari ini kita mau ngumpul dan nulis..
Ryan othink: OK! Jam berapa?
Saptapasta: Jam 4 di Reading Lights, Gandok, Ciumbuluit, sebelah Siliwangi Billiyard
Ryan othink: OK, Siap!!
Saptapasta: C U there!!

Diawali pesan lewat BBM, akhirnya saya bergegas menuju Reading Lights. Seperti biasa Bandung nampak sibuk di hari Sabtu. Keterlambatan para peserta RLWC, termasuk saya, adalah bukti nyata kesibukan Bandung. Justru teman yang saya ajak tadi, datang sebelum pukul 4. Jadwal resmi RLWC adalah Sabtu jam 4 sore, meski belakangan sering ngaret.


Setelah mengenalkan teman saya yang baru bergabung di RLWC, kami akhirnya menentukan tema.

“HIDAYAH!” Kata Nia.

“HAH?” Saya melongo.

“Kan kesepakatan minggu lalu, menjelang puasa..,” kata Nia.

Setelah tawar menawar yang sengit akhirnya hari itu kami tidak jadi menulis tema Hidayah dengan genre mendayu-dayu seperti cerita di sinetron. Hari ini kami enggan menulis “Kuburan yang di kerubuti belatung” atau “Kulit bernanah karena berzinah”. Tema kali ini yang kami sepakati adalah Pengalaman spiritual.

“Itu kan luas, ya?” kata saya.

Seluas apa cerita Pengalaman spiritual yang kami hasilkan?

Seluas pengertian cerita pengalaman spiritual saya tentang tokoh yang koma. Cerita saya berbeda dengan pengalaman “kesaksian” mengenai pasien yang koma di televisi. Tokoh dalam cerita saya justru bertemu dengan seseorang di langit ketujuh dan berbicara dalam bahasa yang tokohnya tidak mengerti. Saat sang tokoh siuman, justru pengalaman spiritualnya menyebabkan sang tokoh mempertanyakan agama yang diyakininya.

"Doa? Seperti apa? Dalam bahasa apa? Bahkan di langit ketujuh aku tak mengerti dia berbicara dalam bahasa apa.

Aku lumpuh dan aku tak menemukan pelajaran dari ini semua. Salahkan saja perjalananku menuju langit ke tujuh. Salahkan saja gambaran yang terparti dalam ingatanku. Aku tak merasa bersalah karenanya."

Seluas apa pengalaman spiritual yang Rizal hasilkan?

Tokoh yang ditinggalkan sahabatnya karena kematian memisahkan mereka. Lewat sepucuk surat, sahabatnya berpamitan dan memintanya untuk datang ke kampung tempat sahabatnya mengabdikan dirinya. Saat tiba di kampung itu barulah tokoh utama sadari betapa berjasa sahabatnya ini dimata warga sekitar. Perpisahan di tepi pantai dengan “spirit” sang sahabat adalah pengalaman spiritual yang dimaksud.

“Aku memaafkanmu..”

Pengalaman spiritual selanjutnya lewat cerita Nia lebih luas.

Sang tokoh yang terhasut oleh temannya yang religius. Hasutan yang berakhir dengan pengalaman spiritual lewat jamur tai kebo. Seperti efek LSD sampai tahap narkose. Kalimat-kalimat yang dihasilkan oleh sang tokoh teruntai indah seperti mantra, seperti puisi pujangga, tentang dosa, tentang hidup dan kematian. Halusinasi.

"Suara-suara yang aku dengan menjadi benang-benang halus yang masuk ke telinga, lalu menggelitik benda-benda yang melayang di atas sana, termasuk si jam dinding yang berbengkok-bengkok jarumnya. Tik tok tik tok, jarum berdetik mundur ke belakang."

Bukan Dea, bila tak bermain dengan kata-kata. Ia memaknai lebih luas lagi bagaimana pengalaman spiritual bisa dihasilkan. Disaat Spiritual yang sudah tidak merasa lagi menjadi Spirimudal. Lewat berkas cahaya yang di hasilkan oleh Spiritus.

Disusul cerita Fadil. Diceritakan tokoh Yahudi yang sedang berdoa lewat tembok ratapan. Kehusyuan sang tokoh yang bedoa ini adalah pengalaman spritualnya.

“Suara-suara yang tidak masuk lewat telinga melainkan pori-pori tubuhnya.”

Dani adalah peserta terakhir yang membacakan ceritanya. Ryan memutuskan untuk tidak menulis karena datang terlambat, sementara Retno dan Othink setia mendengarkan sesi pembacaan RLWC hari ini.

Sebelumnya Dani sudah memberikan peringatan, “Mungkin cerita yang gua buat nggak nyambung ama spiritual.”

Cerita seorang tokoh yang menyerahkan benda kenang-kenangan kepada seorang wanita berambut merah. Wanita ini adalah istri dari prajurit yang sebenarnya dibunuh dalam peperangan oleh sang tokoh. Niat baiknya timbul karena entah kenapa rasa iba tiba-tiba muncul. Sayangnya niat baiknya ini berubah! Sang tokoh jatuh cinta pada wanita berambut merah, haruskah dia mengatakan yang sejujurnya?

Sesi RLWC kali itu seperti biasa kami akhiri dengan banyak diskusi. Minggu depan sudah masuk bulan puasa. Selamat berpuasa untuk yang menjalankannya! Semoga bulan ini bulan yang tepat untuk merangkai pengalaman spiritual kita.






Sapta P. Soemowidjoko. Bergelar sarjana science yang pada akhirnya terjun ke dunia seni. Hobinya menulis, menggambar, dan memotret yang pada akhirnya digeluti secara profesional. Semasa kuliah pernah menjadi penyiar dan produser di beberapa radio dengan genre anak muda. Terakhir, ia pernah terpilih menjadi art director LA Indie Movie dalam film Dummy Bukan Dami sekaligus menjadi pemeran utamanya. Visual merchandise and promotion untuk Corniche adalah pekerjaan tetap yang tertulis dalam kartu namanya.

Senin, 25 Juli 2011

Tenggelam dalam Masyarakat Urban

Sesi RLWC 23 Juli 2011 tidak seperti sesi RLWC umumnya akhir-akhir ini. Pertama, jumlah peserta yang hadir kali ini relatif lebih banyak dari biasanya, karena ada Uli yang sudah cukup lama tak datang, dan ada dua orang peserta baru. Kedua, kami tidak mencari-cari tema sekenanya karena Nia sudah menetapkan tema dengan tegas—tema, yang, harus saya akui, bagus sekali. Ketiga, setelah hampir setahun, saya akhirnya kembali bersedia menulis jurnal, hehehe :D

Tema kami minggu ini adalah masyarakat urban; Nia menyatakan bahwa penekanannya adalah relasi tokoh dengan masyarakat urban, bukan dengan perkotaan itu sendiri. Waktunya kali ini juga cukup diperpanjang, yakni 45 menit dan bukan 30 menit seperti biasanya.

Foto oleh Randy Olson

Hasilnya: setiap peserta membahas kehidupan masyarakat urban dari sudut pandang yang kaya dan berbeda-beda.

Saya bertutur tentang masyarakat urban kelas bawah yang terhimpit masalah perekonomian, dan berujung pada kejahatan. Tokohnya adalah Rudi, pemuda desa yang menjual harta warisannya di desa demi iming-iming hidup sejahtera di kota, seperti Yana, tetangganya. Ternyata menjadi buruh di kota tidak seindah yang ia bayangkan, bahkan lebih buruk lagi dari bertani, karena mereka hidup dalam ruang pengap dan harus hutang sana-sini untuk hidup. Pada akhirnya Rudi ditipu oleh Yana dan kehilangan segalanya. Kehidupannya menjadi sangat kontras dengan para pemuda kota dari kalangan yang berbeda, yang tampaknya hidup santai-santai tapi bisa hidup mewah. Cerita ditutup dengan Rudi yang terpaksa memecah kaca jendela mobil untuk bertahan hidup; dan bagaimana aksi terakhirnya itu membawanya kembali pada kedua orangtuanya, dan pada sawah yang dirindukannya, dalam kematian.

Cerita ini diikuti dengan diskusi mengenai nasib buruh pabrik, yang menurut Sapta gajinya tidak terlalu kecil, justru lumayan besar. Harus saya akui, cerita ini memang ditulis berdasarkan kisah yang terjadi beberapa tahun yang lalu, dan bisa jadi kurang relevan dengan situasi saat ini. Uli berkomentar bahwa aksi pemecahan kaca jendela mobil juga marak saat ini, karena orang silau dengan benda-benda yang ada di dalamnya.

Berikutnya, Sapta bercerita tentang masyarakat urban yang dilanda kehampaan dan melarikan diri pada pelacuran. Tokohnya adalah Mustofa, seorang kepala rumah tangga yang hidupnya serba berkecukupan. Di rumah, Mustofa menampilkan diri sebagai kepala keluarga yang alim, yang mengajak istrinya shalat berjamaah. Namun, dengan berbohong pada istrinya, Mustofa mendatangi tempat pijat plus plus untuk melepaskan birahinya. Cerita ditutup dengan Mustofa meminta kenalannya untuk memberikan rekomendasi “tempat pijat” lain selain Heri.

Saya dan Uli berkomentar bahwa kami sudah bisa menebak arah ceritanya, dan saya menambahkan bahwa tadinya saya berharap Sapta akan memberikan kejutan atau twist di bagian akhir yang tidak saya duga, seperti yang biasa ia lakukan. Sapta menjawab bahwa pada cerita ini ia memang menggambarkan tokoh masyarakat urban secara gamblang saja (dan baru sekarang saya sadar, ternyata twist-nya adalah nama pelacurnya, yakni Heri, seorang pria). Cerita ini juga diikuti dengan diskusi mengenai maraknya “tempat pijat plus plus” tersembunyi di apartemen-apartemen seperti yang Sapta ceritakan, sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan kaum urban.

Uli melukiskan masyarakat urban kelas atas yang berorientasi pada harta dan jauh dari keluarga. Tokohnya adalah Robo, seorang pemuda yang awalnya membenci kaum kapitalis, hingga sulit mendapatkan pekerjaan di mana-mana. Ketika proposal bisnisnya disetujui dan berkembang pesat, gaya hidupnya pun meningkat. Hubungannya dengan putri seorang pengusaha membuatnya semakin serakah, hingga pelan-pelan ia pun menjadi kapitalis dan mengorbankan orang-orang yang mempercayainya, termasuk keluarganya sendiri, demi bisa hidup mewah. Pada akhirnya, ketika Robo berhasil menyelenggarakan pesta pernikahan yang mewah, ia dikelilingi para pengusaha dan pejabat, tapi tidak ada keluarga.

Saya suka cerita Uli ini karena berhasil memotret dua aspek masyarakat urban sekaligus, yakni kecenderungan lingkungan urban yang menuntut masyarakat menjadi kapitalis, serta kecenderungan kaum urban yang jauh dari keluarga.

Nia memotret lingkungan urban yang tidak ramah dan penuh ancaman bagi kaum wanita. Tokohnya adalah Rani, seorang mahasiswi yang sedang berkeliling kota kelahirannya, Bandung. Pertama ia bertemu anak-anak yang tampak lugu, namun tanpa malu mengajaknya--sebagaimana yang disebutkan tokoh anak--ngentot. Kedua ia dihadang dan diganggu oleh para pemuda di jembatan. Belakangan, ketika Rani berhasil meloloskan diri dan meminta bantuan polisi, polisi pun meminta bayaran padanya.

Kami berkomentar bahwa cerita Nia ini agak berbeda dari tiga cerita sebelumnya, karena dalam cerita ini tokoh utama hanya menjadi pengamat dan korban. Uli menambahkan cerita Nia ini juga berbeda dari segi waktu dan setting yang terbatas. Nia bercerita bahwa ceritanya kali ini diilhami dari kisah nyata yang ia alami dengan anak-anak di dekat rumahnya. Saya pribadi tertarik dengan kisah anak-anak yang tanpa malu-malu mengajak wanita yang mereka lihat untuk berhubungan seks; nyatanya dalam masyarakat urban, anak-anak pun kerap menjadi korban karena mendengar, melihat, dan belajar hal-hal yang tidak seharusnya mereka ketahui dulu.

Tiwi menggambarkan bagaimana tekanan lingkungan kerja masyarakat urban dapat mengubah watak seseorang. Tiwi bercerita tentang Wulan, gadis yang sudah 3 bulan bekerja di Jakarta. Dalam cerita ini Wulan mulai sering jengkel dengan orang-orang Jakarta, apalagi dengan rekan-rekannya di kantor. Ia sering ditindas oleh pegawai senior yang konon dulu selugu dirinya, hingga akhirnya Wulan berani membentak pegawai senior itu; dan mendapati dirinya mulai berubah menjadi monster, seperti pegawai senior itu. Menjelang perayaan 3 bulan ia bekerja di tempat itu, Wulan pun memutuskan untuk mengayuh sepedanya, meninggalkan pekerjaannya, dan kembali ke Bandung.

Berawal dari pertanyaan Sapta, Tiwi pun menuturkan bahwa cerita ini diilhami pengalaman nyatanya selama bekerja di Jakarta. Uli menambahkan bahwa ia mengalami hal yang sama, bahwa setelah sekian waktu bekerja di Jakarta, ia mendapati dirinya menjadi lebih mudah marah dan mudah menghardik orang lain. Saya menambahkan bahwa cerita Tiwi ini adalah versi lain dari tema yang saya angkat; bedanya, saya mengangkat masyarakat kelas bawah sehingga tekanannya adalah ekonomi dan berujung pada kejahatan, sementara Tiwi mengangkat masyarakat kelas menengah yang tekanannya lebih bersifat psikologis dan berujung pada perubahan watak.

AM melukiskan masyarakat kelas urban yang teralienasi dari pekerjaannya. Ceritanya memuat dialog antara Rudi dan Bayu, di mana Rudi mengeluhkan pekerjaannya yang 5 hari seminggu dan 8 jam sehari, serta minim hubungan antarmanusia, hingga tubuhnya sudah sangat terpola, seperti robot. Bayu pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan akhirnya “menceramahi” Rudi karena meskipun kebutuhan-kebutuhannya sudah terpenuhi, Rudi masih saja mengeluh.

Beberapa dari kami terutama mengomentari gaya ceritanya yang berbentuk dialog. Saya merasa kesulitan mengikuti siapa yang sedang berbicara dan berkesimpulan mungkin cerita seperti itu lebih enak dibaca sendiri daripada dibacakan. Sapta dan Uli berkomentar tentang banyaknya penggunaan kata “ia berkata”, sehingga terasa kurang kaya. AM mengatakan bahwa ia sengaja memilih bentuk dialog karena itu adalah kelemahannya, dan ia ingin mengasah kemampuannya di bidang itu.

Uli juga berkomentar bahwa cerita AM ini mengingatkannya akan sebuah film, dan akan lebih menarik kalau tokoh Rudi dalam cerita itu menunjukkan “tubuh yang terpola” itu secara ekstrim, misalnya hingga ia bisa menghitung berapa sikatan saat sikat gigi. Saya suka idenya Uli.

Omong-omong “menunjukkan”, saya juga berkomentar bahwa cerita AM kurang sesuai dengan selera saya pribadi, karena kurang “menunjukkan” dan lebih banyak “mengatakan”. Preachy, istilah yang saya gunakan. Saya merasa AM menggunakan tokoh Bayu yang “menceramahi” Rudi untuk “menceramahi” pembaca mengenai pemikirannya, sementara saya lebih suka cerita-cerita yang menyampaikan pesan secara halus melalui pengalaman si tokoh dan bukan melalui “ceramah”-nya. AM berkilah bahwa dialog ini hanyalah penulisan ulang pengalamannya berdialog dengan seorang temannya, dan tidak dimaksudkan untuk menguliahi pembaca. Namun memang ini masalah selera pribadi.

Terakhir, Dani menggambarkan masyarakat urban yang saling terasing dan tidak saling mengenal. Tokoh aku yang berjalan dari pintu mal ke pintu mal lain untuk menghindari panas bertemu dengan banyak manusia, banyak wajah, namun semuanya asing. Di kamar kontrakan ia telah ditunggu kekasihnya dan bercinta. Namun setelah itu kekasihnya pergi dari kamarnya, dan ketika tokoh aku mengejarnya, ia tak dapat menemukan kekasihnya itu, karena ada begitu banyak wajah dan semuanya asing.

Saat mulai membacakan, Dani mengatakan bahwa alur ceritanya berantakan. Namun saya pribadi sangat mengapresiasi tema yang ia angkat, yakni keterasingan satu sama lain, karena tema ini belum diangkat oleh penulis yang lain. Uli juga berkomentar bahwa sekarang Dani tidak lagi melulu bercerita tentang perang dan tentara. Seorang dari kami menanggapi Uli bahwa sekarang Dani juga mulai banyak bercerita tentang kisah percintaan dan tidak hanya terjebak dalam tema perang.

Secara keseluruhan, kami memang memotret masyarakat urban dari aspek yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya, kami menyampaikan hal yang sama: adanya waban keterasingan dalam masyakarat urban, dan bagaimana hal tersebut berdampak pada kehidupan si tokoh. Kami memandang lingkungan masyarakat urban secara negatif. Ada yang tertarik menggambarkannya dari sudut pandang yang lebih positif, mungkin?



Rizal Affif adalah seorang konsultan HR meskipun sebenarnya lebih mencintai dunia menulis dan desain. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan diri disela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi dirinya. Selain menulis di RLWC, ia juga secara konstan menulis karya bertema spiritualitas—dan menuangkan eksperimen desain webnya—dalam blognya http://thesoulsanctuary.us. Ia juga sedang menyusun rencana untuk beralih profesi yang lebih sesuai dengan passion-nya.