Rabu, 31 Desember 2008

Interview with the (Reading Lights Writer's Circle) Writers

Setelah sekian lama tak hadir di Reading Lights Writers' Circle, hari ini jadi hari yang paling saya tunggu-tunggu. Dan saya cukup beruntung karena peserta sore ini cukup banyak, yang tidak seperti beberapa pertemuan sebelumnya.

Hadir delapan orang: saya sendiri; Andika dan Fadil yang datang paling awal; Myra yang mengajak sahabatnya bernama Frisca; disusul oleh Aji, dan terakhir (agak terlambat) adalah Nia yang ditemani sepupunya meski si sepupu tidak ikut berpartisipasi menulis.

Searah jarum jam: Andika, Fadil, Aji , Neni, Ruli, Myra, dan Frisca. Nia was taking the picture.

Andika lantas mengeluarkan majalah Writer's Digest yang tampak lusuh. Bagian atasnya keriting karena kehujanan. Andika lalu berujar bahwa tema menulis kali ini adalah menulis wawancara. Ia pun menyebut-nyebut isi atau kesimpulan yang ia dapat dari salah satu artikel di Writer's Digest tersebut tentang seluk beluk wawancara, khususnya kepada penulis. Andika bilang kebanyakan penulis paling suka jika ditanya tentang karya mereka, tapi kurang suka jika ditanya tentang seberapa jauh tulisan itu mewakili karakter atau pengalaman sang penulis itu sendiri. Alasannya adalah karena para penulis merasa diragukan kemampuannya untuk bisa 'berjarak' dari kehidupan pribadi mereka, dan ini bisa berarti mereka gagal menciptakan dunia yang sama sekali baru atau berbeda.

Sesi selanjutnya adalah Andika membacakan dua contoh wawancara Sundea dengan dua Teman Tobucil pada dua kesempatan yang berbeda. Yang pertama adalah wawancara dengan Mas Paskalis, seorang guru Agama Katolik. Mas Paskalis beranggapan bahwa Tuhan melihatnya sebagai adalah citra-Nya. Dan mendengar kata ‘citra’ ini, kemampuan asosiasi tingkat tinggi yang dimiliki Dea langsung ‘on’. Dea pun bertanya, ‘citra’ ini sabun atau lotion? Mas Paskalis menjawab dengan serius bahwa dia bisa jadi keduanya: ia bisa menyegarkan seperti sabun, karena mungkin melihat kelakuannya Tuhan akan tertawa; dan seperti lotion karena Tuhan selalu dekat sehingga jarak di antara mereka seperti butiran halus. Contoh yang kedua adalah wawancara Dea dengan Teman Tobucil bernama Selvi yang terkenal dengan ketidakjuntrungan dan ketidakkonsistenannya. Alhasil, wawancara mereka pun tidak jelas juntrungannya dan konsistensinya. Isinya terkesan main-main. Tapi inilah yang menjadikan wawancara mereka menarik dan lucu.

Tibalah giliran kami para peserta mewawancarai sesama peserta. Berikut hasil wawancara sore ini:

# Neni (saya) mewawancarai Aji

Sebelum ini, tak pernah sekalipun saya saling bertegur sapa dengan Aji. Saya pun bingung hendak menanyakan apa pada orang asing yang hanya saya kenal wajah dan namanya saja ini. Saya memutuskan tema wawancara ini adalah tentang cita-cita, tapi tema ini tidak berhasil dipertahankan alias melenceng. Dari wawancara ini, saya tahu bahwa Aji adalah seorang penulis freelance yang merupakan seorang Sarjana Hukum. Pantas saja tulisannya banyak menyinggung masalah politik. Aji mengaku tidak mau jadi pengacara karena profesi ini ‘dirty’. Dan alasan kenapa ia jadi penulis freelance adalah karena ia lebih suka menulis dengan hati; yang berarti ia ingin menulis sesuatu apa adanya tanpa pretensi apapun, tanpa ada pesan sponsor, tanpa ada yang ngomporin, tanpa melakukan pembenaran terhadap sesuatu yang tidak benar.

Selesai membacakan hasil wawancara, Niken ikut nimbrung memberikan beberapa masukan tentang teknik melakukan wawancara sehingga kita bisa menggali banyak informasi dari narasumber. Menurut Niken, hasil wawancara saya dan Aji kurang tergali karena pertanyaan yang saya ajukan hanya menghasilkan jawaban singkat. Niken bilang salah satu teknik untuk menghindari hal ini adalah dengan memancing narasumber untuk mengatakan lebih banyak dengan memakai kata ‘atau’, dll.

Sosok Aji yang kabur dan tidak jelas

# Nia mewawancarai Frisca

Nia pun baru kali ini berkenalan dengan Frisca yang memang baru pertama kali datang ke pertemuan ini, hanya Nia mendapat bocoran bahwa Frisca hobi menyanyi, dan ini ia jadikan topik wawancara dengan Frisca. Frisca yang kelahiran Batak tapi besar di Bandung sering ikut menyanyi di gereja dan choir. Padahal Frisca lebih suka nyanyi bersama band dan lebih suka musik rock. Pengalaman berkesan saat menyanyi adalah saat Frisca menyanyikan lagu anak-anak Filipina yang judulnya kalau tidak salah 'Pok-Pok Alim Fako' (judul ini ditulis berdasarkan pendengaran, jadi sepertinya bentuk tulisannya salah). Sewaktu latihan, Frisca susah payah berlatih hingga akhirnya ia bisa menyanyikan lagu ini dengan benar. Tapi sayang, saat tampil Frisca justru tidak bisa menyanyikannya dengan benar. Meski tidak diketahui para audiens, kesalahannya ini dapat mengganggu konsentrasi sesama teman menyanyinya.

# Myra mewawancara Fadil

Myra membuka tulisan hasil wawancaranya dengan membeberkan penampilan fisik Fadil yang seperti chinese dan tampak sedikit feminin. Rupanya Myra mengangkat tema tentang Femininitas dan Metroseksualitas. Saat Myra bertanya pendapat Fadil tentang beda feminin dan metroseksual, Fadil dengan tangkas menjawab bahwa jelas dua hal ini berbeda. Menurut Fadil yang mungkin agak terprovokasi oleh pertanyaan Myra, metrosesksual adalah sebutan bagi laki-laki yang hobi merawat diri, sementara sifat feminin bisa dilihat dari sikap. Wawancara pun berlanjut tentang gen feminin dalam diri laki-laki yang menurut Myra tidak bisa ditolak. Fadil menjawab bahwa laki-laki bisa menolak menjadi feminin meski terlahir kemayu dengan cara misalnya melakukan aktivitas laki-laki meski dia agak feminin (kemayu) dan bukannya malah menjadi perempuan. Mendengar ini Myra, menyangsikan Fadil yang sekolah menjahit, dan Fadil pun membeberkan sejarah dunia jahit menjahit dimana pada jaman dahulu kala menjahit adalah kegiatan laki-laki.

Saat Myra selesai membacakan, Andika berujar bahwa karakter Myra kuat sekali di tulisan tersebut. Menurut Niken, Myra bigos berat karena pertanyaan-pertanyaan Myra cenderung provokatif, seolah-olah hendak membuat Fadil mengakui ada feminitas dalam diri Fadil.

# Frisca mewawancarai Andika

Meski Andika dan Frisca baru bertemu, Andika sudah lebih dulu mengenal Frisca melalui tulisan Myra yang bercerita tentang Frisca. Tema wawancara Frisca-Andika adalah tentang Andika yang belakangan suka sekali menulis tentang homoseksualitas. Saat Frisca menanyakan sejak kapan suka menulis tema tersebut, Andika mengaku hobinya ini dimulai setahun lalu saat ia berusia 19 tahun. Tulisan Andika lebih fokus pada karakter dan berbicara tentang homoseksualitas. Contoh: homoseksualitas dilihat dari segi agama, atau tentang hubungan karakter dengan orang tuanya dan setting-nya adalah masa sekarang. Karena menurut Andika menulis tentang masa kecil seringkali traumatis, walaupun kadang menulis masa lalu bisa juga ‘healing the wound’. Biasanya karakter dalam tulisan Andika berakhir jadi korban atau karakter tersebut menyerah, tapi sang karakter akan sangat suka jika ada satu orang saja yang mendukung. Saat ditanya film homo favoritnya, Andika yang bisa dibilang ‘jurig film’ ini menjawab bahwa ia sangat suka Angels in America tentang orang America di era 1980-an di mana isu HIV/AIDS sedang hangat-hangatnya dan banyak orang yang lantas menjadi homophobic, dan Six Feet Under. Frisca menutup tulisannya dengan mengatakan, ‘Demikianlah sedikit curhat colongan dari narasumber’.

# Andika mewawancarai Nia

Andika membuka tulisannya dengan mendeskripsikan penampilan fisik Nia yang menurutnya tidak representatif sebagai guru piano. Nia mengenakan jeans dan jaket, dengan rambut sebahunya yang berminyak dan bukannya mengenakan high heels, dll.

Saat ditanya sejak kapan belajar piano, Nia mengaku sejak berumur 12 tahun. Dan pengalaman berkesan selama main piano diantaranya adalah saat berduet dengan pianis lain dimana interaksi keduanya agak kacau; manggung dengan piano besar berwarna kuning; dan resital biola.

Dalam mengajar piano, ternyata Nia yang juga mengajar piano pada ibu-ibu ini, menerapkan ilmu psikologinya terutamanya saat mengajar anak-anak. Reward and punishment adalah strategi yang ia gunakan agar mampu menularkan ilmunya dengan baik.

Di sesi komentar, saat ditanya bagaimana pendapat Nia tentang tulisan hasil wawancara Andika, Nia bilang dia merasa ucapannya selama wawancara agak terkontaminasi oleh pendapat dan asumsi Andika selaku pewawancara.

# Fadil mewawancarai Neni

Fadil menanyai saya tentang pekerjaan. Pertanyaannya yang pertama adalah apakah pekerjaan saya baik atau tidak. Saya menjawab baik dan tidak baik. Pekerjaan saya menjadi baik jika saya bekerja dengan sepenuh hati dan sebaik-baiknya, dan pekerjaan ini menjadi tidak baik karena apa yang saya kerjakan mendukung sesuatu yang kurang baik. Fadil menulis bahwa cita-cita saya sewaktu kecil adalah menjadi pelukis, penulis, guru, dan insinyur pertanian. Mendengar ini, saya tak mampu menahan diri untuk menginterupsi Fadil yang sedang membacakan tulisannya bahwa saya tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Meski pada jawaban berikutnya saya menjawab guru adalah salah satu contoh pekerjaan baik, yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Fadil pun bertanya apakah saya lebih memilih hidup bermakna dan bermanfaat bagi orang lain tapi secara materi kurang atau memilih hidup berlimpah harta tapi tidak bermakna. Dan sebagai manusia biasa saya memilih hidup bermakna, berbahagia, sekaligus berkecukupan harta.

# Aji mewawancarai Myra

Wawancara Aji dan Myra berkisar tentang rencana Myra yang ingin meneruskan kuliah Creative Writing. Myra lebih memilih kuliah di luar negeri yang menurutnya justru lebih murah. Wawancara pun beralih pada bacaan favorit Myra. Saat Aji bertanya suka baca apa. Myra menjawab suka filsafal. Filsuf favoritnya adalah Albert Camus yang menulis tentang karakter yang bunuh diri karena kesumpekan hidup. Setelah itu Aji pun menanyai Myra karya favorit yang pernah Camus tulis. Myra menjawab satu judul yang tidak jelas saya dengar sebagai karya yang paling ia sukai. Myra juga menyebut-nyebut buku The Stranger, film Man of Fire, dan musik klasik sebagai favoritnya.

Neni Iryani

Neni Iryani
adalah penggemar Andrea Hirata yang membelot lantaran teman-temannya tidak menyukai pengarang keriting itu. Tumbuh besar di Lampung, lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Perguruan Indonesia ini tengah mengadu nasib di ibukota. Sampai sekarang ia bekerja sebagai sekretaris di agen pemasok pesawat terbang. Tulisan Neni tentang ‘kejamnya’ Jakarta bisa dicek di http://whiple-niafa.blog.friendster.com/.


Neni menahan rasa pedas

Minggu, 14 Desember 2008

Menulis Kebalikan yang Kita Tulis

Setelah tidak ada update-an selama tiga minggu, akhirnya minggu ini saya kebagian lagi menulis postingan untuk blog ini. Mudah-mudahan bisa memuaskan rasa kangen pembacanya (kalau ada, hahaha).

Setelah minggu lalu urung datang karena demam tinggi, minggu ini saya datang satu jam lebih cepat karena kangen dengan Reading Lights. Rupanya menjelang natal, toko buku ini sedang berbenah diri. Dekorasi lampu warna-warni ditempel di depan meja pramuniaga. Beraneka macam lukisan digantungkan di dinding-dinding yang kosong. Dari speaker mengalun lagu-lagu bernuansa natal, jazz natal. Tata pencahayaannya pun diubah jadi lebih lembut. Hasil akhirnya cukup impresif, Reading Lights menjadi tempat yang cocok bagi anda yang suka membaca dan ingin mengajak pacar anda yang religius berbelanja buku bekas bersama dengan adiknya yang masih kecil. Huaa, all this people in love :(

Setelah melihat-lihat koleksi yang ada, saya pun duduk di karpet dan melanjutkan membaca Two Caravans, buku kedua pengarang novel A Short History of Tractors in Ukrainian, Marina Lewycka. Buku ini bercerita tentang imigran-imigran asal Eropa Timur yang mengadu nasib di Inggris. Seperti di novel pertamanya, juga ada banyak humor pada buku ini. Tak seberapa lama membaca, saya melihat Aji datang dan langsung naik ke atas, mungkin untuk sholat. Kedatangan Aji diikuti Ina, dan Nia yang sudah lama tidak datang. Nia datang dengan sepatu outbond, celana dan kaos warna hitam, jaket biru, dan daypack yang menggelembung di punggungnya. Belakangan Nia mengatakan bahwa dirinya tidak bisa lama-lama bersama kami lantaran harus berangkat ke Cikole untuk ... meng-OSPEK! Kontan kami menertawakan gadis itu, menuduhnya ingin melampiaskan kekesalan karena belum mendapatkan pekerjaan kepada anak-anak Psikologi UPI 2008. Setelah Aji menemukan kami, kami semua pun berbondong-bondong pindah ke atas.


Ruangan atas Reading Lights yang luas tapi sepi

Di atas pertemuan mingguan writers’ circle pun dimulai. Bertolak dari masukan Ina tentang writer’s block-nya, saya pun membacakan sebuah artikel tentang writer’s block karya Rie Yanti yang dimuat di Warung Fiksi. Artikel ini berjudul 9 Penyebab Writer’s Block, Kenali dan Hindari. Penyebab yang disebut: inkonsistensi dalam menulis, terlalu lama menunda tulisan, krisis PD, pandangan remeh orang terhadap profesi penulis, ego tinggi, kesehatan yang tidak prima, tempat menulis yang tidak pas, dan masalah pribadi. Meskipun hanya menulis sembilan, tetapi artikel ini juga membuka kemungkinan penyebab writer’s block lainnya.

Setelah membacakan artikel tersebut, saya meminta Nia melanjutkannya dengan membacakan Jika Otak Buntu Menulis dari diktat pelatihan menulis artikel dan feature untuk media-nya Farid Gaban. Di sini ada sejumlah kiat sederhana menghadapi writer’s block, yaitu: simpan tulisan favorit, ubah sudut pandang, ambil jarak, runtuhkan kerutinan, ganti alat tulis, ubah lingkungan kerja, dan bicaralah pada anak-anak! Bicara kepada anak-anak tampak menarik untuk dicoba, tetapi poin yang menjadi titik tolak latihan menulis kemarin adalah ubah sudut pandang.


Diiringi oleh kedatangan Dea, yang sempat kesasar ke reading room karena mengikuti anjuran Riswan, dan Stephanie, saya merangkumkan bab tujuh dari buku Write Where You Are: How to Use Writing to Make Sense of Your Life karya Caryn Mirriam-Goldberg, Ph.D. (Diterbitkan Kaifa For Teens dengan judul Daripada Bete Nulis Aja: Panduan Nulis Asyik di Mana Saja, Kapan Saja, Jadi Penulis Beken pun Bisa! Sebetulnya saya tidak bermasalah dengan judul Bahasa Indonesia, tetapi dalam judul Bahasa Indonesia buku ini ada kata-kata Jadi Penulis Beken pun Bisa! PD sekali!) Bab tujuh bercerita tentang bagaimana cara ‘memancing’ keluarnya tulisan. Bab ini memuat beberapa latihan yang menarik, tetapi ada satu yang sangat menarik dan membuat saya ingin mempraktekkannya. Menulis sebuah tulisan yang bertolak belakang dari tulisan yang kita buat sebelumnya.

Yang bertolak belakang di sini bisa apa saja. Bisa kata sifat, misalnya di tulisan pertama kita menulis ‘bersih’ di tulisan kedua kita ganti menulis ‘kotor’ dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, latihan menulis pun dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama kita mendeskripsikan bebas, apa saja boleh ditulis. Sesi kedua kita menulis kebalikan dari apa yang kita tulis pada sesi pertama. Namun tentu saja, saya tidak memberi tahukan tugas di sesi kedua pada saat sesi pertama. Ketika kami menulis, sementara Nia meninggalkan kami lebih awal karena sudah dihubungi temannya, tiba-tiba Uli datang dan bergabung bersama kami.

Dari instruksi ini, Ina menulis cerita yang cukup aneh di sesi kedua. Jadi apabila tulisan pertama Ina adalah tentang bagaimana seorang teman menyukai air putih sebagai air minum yang menyehatkan. Di cerita kedua si teman ini tidak lagi menyukai air putih, melainkan minuman yang lainnya.

Dea pun membingungkan kami semua di tulisan keduanya. Tulisan pertama Dea kan deskripsi tentang AC, jadi di tulisan keduanya dia mengganti AC menjadi perapian. Masalahnya, di tulisan pertamanya Dea juga mengibaratkan AC dengan bunglon sehingga di tulisan kedua, bunglon diganti dengan balon. Nah, si Dea ini tidak konsisten AC-nya mau dijadikan perapian atau balon. Akhirnya gadis itu pun bernyanyi-nyanyi. Balonku ada lima, hitam-putih ....

Stephanie cukup berhasil menerjemahkan konsep latihan ini. Jadi di cerita pertama ia menulis tentang perempuan yang kopi darat dengan laki-laki yang agak lebih muda, melalui situs perjodohan dunia maya. Hm, aroma pengalaman pribadi tiba-tiba menyeruak, hahaha. Di cerpen kedua Stephanie banyak mengubah usia dan kewarganegaraan tokoh-tokohnya.

Saya menulis tentang seorang dosen yang merasa demam ketika harus berhadapan dengan kertas ujian mahasiswanya. Di tulisan kedua, saya menulis tentang istri dosen yang berhadapan dengan rasa malas ketika menyiapkan makanan untuk keluarganya.

Terakhir Aji membicarakan tentang ... tulisan Aji berkisah tentang ... maaf saya lupa! Kalau tidak salah tentang seorang anak yang tidak suka kuliah hukum, tidak percaya dengan profesi pengacara di Indonesia, kerjanya berdemo menuntut keadilan, dan lain-lain. Kebalikannya, tokoh itu menjadi anak yang sangat percaya pada prosesi hukum di Indonesia, dan karirnya justru meroket bak perngacara-pengacara artis di televisi.

Ketika kami semua sudah selesai membacakan karya, tiba-tiba Farida datang. Uli kembali berkisah tentang pengalamannya sebagai turis Indonesia yang mengamati situasi demonstrasi di Thailand sebelum pedemo mengambil alih bandara. Dari ngobrol-ngobrol ini, muncul ide untuk menulis tentang pengalaman menggunakan angkot. Uli menceritakan pengalamannya dimintai tolong terus-terusan laki-laki di depannya untuk membukakan jendela, ternyata minta tolong itu merupakan isyarat bahwa ada laki-laki yang mengincar kantong Uli. Ceritanya di saku Uli ada ponsel, seorang pria dengan tas amat besar duduk di sebelah gadis itu dan mengincarnya. Berhasilkah? Gagal. Rupanya Uli menahan ponsel dari bawah, dan ketika pria itu bersekukuh Uli memutuskan turun meskipun belum sampai tujuan. Lalu Dea menceritakan pernah melihat bapak-bapak bermap di bus Jatinangor yang konon suka mengganggu perempuan, dan disinyalir sebagai seorang ekshibisionis yang suka bermasturbasi di tempat umum!

Berfoto tidak jelas di depan FSRD ITB

Pertemuan writers’ circle kali ini pun ditutup. Uli dan Stephanie sama-sama ke Rumah Buku sebelum datang ke pameran foto bunga di Jendela Ide, Sabuga, sementara yang lain pergi menyebar entah ke mana. Saya terdiam sendirian di dalam toko, melihat-lihat sekali lagi koleksi buku terbaru mereka, dan memutuskan duduk untuk membaca sebentar.

Senin, 24 November 2008

Menulis Berdasarkan Kutipan


Suasana pertemuan the circle pada hari yang lain

Di Reading Lights waktu sudah menunjukkan sekitar jam 15.30 ketika saya datang. Cuaca sore itu asyik nggak ujan sama sekali. Belum tampak tanda-tanda kehidupan dari anak-anak writers’ circle. Wah sepi, naga-naganya bakalan nggak ada nih the circle, pikir saya. Saya coba lihat ke atas, eh nggak ada juga. Padahal, jika belum mulai biasanya sudah ada yang nongkrong-nongkrong di bawah sambil ngobrol, makan, minum, baca, atau main scrabble.


Selidik punya selidik, ternyata Sang Moderator Mas Erick Skinhead dari Swedia berhalangan hadir. Meskipun begitu sudah ada cadangannya, yup you’re goddamn right, Bung Andika Bu Diman (Pak Dimannya mana?). Rupanya dia nongkrong di bawah tangga sambil baca buku soal perempuan Ukraina yang bermigrasi ke Inggris. Saya langsung tanya, “Kok, belum pada dateng, ya? Minggu lalu padahal banyak banget yang dateng.”


“Nggak tau. Minggu ini berlawanan dengan minggu lalu,” jawab Andika. Ia pun memutuskan jika sampai jam 16.30 belum ada lagi yang datang, maka kita pulang saja ke rumah masing-masing atau ngapain kek gitu. Abort the mission-lah pokoknya mah. Wah, kebeneran nih, pikir saya bisa sekalian ngetes kebenaran dari istilah penundaan bukanlah pembatalan.


Tidak lama kemudian, Rukmini pun tiba. Bener juga nih berarti bahwa sesuatu yang tertunda itu bukanlah sesuatu yang dibatalkan. Rukmini juga bilang kalau ada pameran ilustrasi cerpen Kompas di FSRD-ITB. Andika berkomentar setelah pertemuan the circle, kita ke sana saja bertiga.


Pertemuan pun dimulai. Sore itu, Andika membahas tentang menulis berdasarkan sebuah kutipan. Kutipan ini bisa berasal dari manapun entah cerpen, novel, film, dsb. Seperti acara arisan kita pun dipersilakan mengambil gulungan kertas berisi kutipan yang telah disiapkan, yang kata Andika berasal dari buku, cerpen, dan juga film.


Setelah mengambil kutipan, masing-masing diberi waktu untuk membaca, merenungkan dan langsung menuliskan apa yang terbersit di pikiran setelah membaca kutipan tersebut. Lalu, ketika sedang mikir mau nulis apaan, tibalah kawan-kawan kami secara berturur-turut Ina, Uli, dan Wahyu. Jadi, total ada enam orang yang hadir termasuk Bung Moderator.


Menurut ‘Pakar Linguistik dan Bahasa’, Andika, membaca kutipan dapat dijadikan semacam awalan yang mengajak kita untuk lebih banyak membaca. Kegiatan membaca di sini adalah membaca dalam arti luas. Tidak hanya membaca buku, majalah, surat kabar, atau internet, tetapi juga ‘membaca’ peristiwa dan kejadian sehari-hari di sekeliling kita. Singkatnya mah, membaca kehidupan. Dengan begitu membaca bisa jadi sumber inspirasi untuk kita menulis apapun dengan segala bentuknya. Termasuk juga meureun menyadap curhat teman untuk dijadikan cerpen, menguping pembicaraan orang di angkot, warteg, pasar, dsb.


There is so much hurt in this game of searching for a mate, of testing, trying, And you realize suddenly that you forgot it was a game, and tear away in tears.” Dari kutipan itu Andika membuat sebuah cerita tentang perempuan bernama Andini yang akhirnya menikah dengan seorang pria Arab dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Setelah menikah, lambat-laun Andini sadar bahwa ternyata pria yang dinikahinya kini tak sebaik dibandingkan ketika masa berpacaran dulu. Seiring dengan suksesnya karir Andini, ia pun makin tak mencintai suaminya. Di sisi lain, ia akhirnya menjadi tidak lebih baik dari suaminya tersebut.


Dari tema-tema cerita yang pernah saya dengar dari Bung Andika, kelihatan sekali kalau ia sangat terobsesi dengan kredo Girl Rules, Boy Drools. Orang ini betul-betul terobsesi dengan supremasi perempuan, kesetaraan gender, feminisme, dan yang sejenisnya. This guy seems to be a young, restless, radical, rebellion feminist or something like that. Suatu saat mungkin ada orang yang bersungut-sungut setelah membaca karyanya sambil bersumpah serapah,”Feminist!”


Young, restless, radical, rebellion feminist, chubby, fat, and chunky?


Wahyu kebetulan mendapat kutipan yang sama dengan Andika. Saya kurang bisa menangkap maksudnya karena tulisannya terlalu singkat. Wahyu bilang kalau ia sedang belajar untuk menulis lebih singkat, lebih padat, supaya tidak ngalor-ngidul. Sebuah pembenaran karena terlambat datang ya? He he he.


Rukmini membuat cerita lucu tentang bagaimana bertoleransi dan menghargai perbedaan. Sementara Ina, menulis esei tentang menghargai perbedaan menyatukan potensi demi kemajuan bangsa. Wuih, berat, man!


Uli kebagian kutipan dari buku terbarunya Dewi Sri Lestari. “Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak berisi tapi ketika disentuh seperti embun yang rapuh.” Kurang lebih tulisan Uli bercerita tentang veteran perang berjasa buat bangsa dan negara, tetapi jasa-jasanya itu tidak pernah dihargai.


Terbontot, maksudnya terakhir adalah tulisan saya. Saya mendapat kutipan dari filmnya Jim Carrey yang saya lupa judulnya. “You can erase someone from your mind. Getting them out of your heart is another story.” Saya nggak terlalu yakin apakah cerita yang saya buat nyambung apa nggak ama kutipan itu. Tapi, yang pasti, itulah yang terbersit pertama kali di pikiran saya setelah membaca kutipan tersebut.


Saya juga akhirnya bisa keluar dari ‘sangkar’ saya selama ini yaitu politik dan sepakbola. Saya menulis cerita soal cinta. Nggak ada alasan khusus sih, cuma lagi pengen aja. Keseringan dengerin lagu cinta kali, jadi melankolis deh. Mudah-mudahan sih, nggak ada yang tersinggung. Soalnya, orang yang duduk tepat di sebelah saya sedang putus cinta. “Oh, love can mend your life but, love can break your heart”. Tuh, kutipan lagi ‘kan? Wong judulnya menulis dari kutipan, kok.


OK. That’s all folks. Class is dismissed. Everybody’s out, out, out from here! Kita semua mau nonton pameran ilustrasi Cerpen Kompas. Sampe ketemu minggu depan.


Satyo Aji Karyadi


Satyo Aji Karyadi, lebih akrab disapa Aji, adalah peserta writers' circle yang kedatangannya paling sulit diprediksi. Kadang ia datang setiap minggu, tetapi kadang-kadang ia lama tidak muncul hanya untuk muncul lagi dan membuktikan kebertahanannya. Pria tinggi dan berkacamata ini sebetulnya pendiam, tetapi ada tiga fakta yang patut diketahui tentangnya. Pertama, Aji telah mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Kedua, seperti yang diakuinya, Aji suka menulis tentang politik dan sepak bola (Kadang-kadang tajuk tulisan politiknya cukup ajaib. Membandingkan Stalin dengan Charlie Chaplin, misalnya). Ketiga, dalam tulisan ini Aji mengutip lagu Message in a Bottle-nya The Police. Apakah laki-laki ini suka The Police? Apakah kesukaannya ini merupakan indikator dari usia Aji yang sebenarnya? Ah, barangkali cuma anak-anak the circle dan malaikat yang juga tahu.


Aji mencuri-curi lihat apa yang dibaca Farida

____

Keterangan:


1. "There is so much hurt in this game of searching for a mate, of testing, trying, And you realize suddenly that you forgot it was a game, and tear away in tears." Kutipan ini diambil dari buku harian Sylvia Plath pada usia awal 20-an, sebelum ia mendapat internship di majalah fashion dan menderita depresi. Jauh sebelum ia bunuh diri dengan kompor gas.


2. Kutipan Ina dan Mini adalah: "Jaman SD dulu, teman sekelas Cina semua. Waktu mereka tanya, orang apa. Saya jawab, Cina juga. Mereka tidak percaya. Cina kok hitam. Waktu lihat kalian berdua datang ke sekolah, mereka bilang aku pribumi. Sejak itu, mereka berhenti mengajak bermain. Di SMP, yang nyaris tidak ada murid Cina-nya, bertanya, orang apa? Saya bilang orang Ambon. Mereka juga tidak percaya. Ambon kok sipit. Waktu mereka lihat kalian, saya dipanggil Cina. Dan disingkirkan." Diambil dari buku kumpulan cerpen, Bisik-Bisik, karya Reda Gaudiamo.


3. "You can erase someone from your mind. Getting them out of your heart is another story." adalah tagline film Eternal Sunshine of the Spotless Mind, yang skenarionya ditulis Charlie Kaufman.


4. “Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak berisi tapi ketika disentuh seperti embun yang rapuh.” bukan diambil dari buku terbarunya Dewi Sri Lestari. Aji cuma bercanda. Kutipan ini diambil dari prosa Surat yang Tidak Pernah Sampai dalam buku Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.


5. Sebetulnya masih ada sebuah kutipan lagi yang disiapkan. Bunyinya begini, "Yeah. I just don’t know what I’m supposed to be. You know? I tried being a writer, but I hate what I write. And I tried taking pictures. but they’re so mediocre, you know. Every girl goes through photography phase. You know, like horses? You know? Take, uh, dumb pictures of your feet." Tidak ada peserta yang cukup beruntung mendapatkan kutipan dari film Lost in Translation ini.

Senin, 17 November 2008

Euforia! Ha … ha … ha!

Ada beberapa hal penting dalam pertemuan writers’ circle kali ini. Ketika kami baru duduk bersila, Erick memberikan pengumuman bahwa dikarenakan kesibukan, ia bakal jarang datang ke Reading Lights. Sang fasilitator ini mengharapkan ada orang yang menggantikannya.


Buat saya, ini cukup mengecewakan. Erick sudah lama menjadi pembimbing. Selain itu, ia juga suka memamerkan komik-komiknya atau menceritakan perkembangan dunia perkomikan yang memperkaya wawasan. Tapi, ya sudahlah… Semoga saja ia masih bisa menyisihkan waktu untuk bertemu dengan teman-teman doyan nulisnya di Reading Lights.


Erick memeragakan sendiri kaus kreasinya


Pertemuan kali ini cukup seimbang. Ada yang mau pergi dan ada yang baru bergabung. Namanya, Rukmini. Ia bisa dipanggil Mini atau Yuki. Mini adalah mahasiswa UPI jurusan Pendidikan Sekolah Dasar. Perempuan berjilbab ini sebenarnya telah lama menaruh minat pada latihan menulis di RL, tapi baru sempat hadir sekarang. Sama dengan Erick, kebetulan ia suka membaca dan menggambar komik.


Apabila dua minggu kemarin, Erick menyuguhkan tema penulisan rasa sakit dan rasa takut. Untuk kesempatan kali ini, kami mencari perasaan lain untuk ditulis. Perasaan-perasaan kelam menjadi usulan Erick. Mungkin, perasaan komikus ini lagi sendu ya …. Karena ingin mencari sesuatu yang baru, masing-masing peserta menerawang untuk mendapatkan perasaan yang lebih segar.


Usulan dan diskusi ini memakan waktu cukup lama, hingga akhirnya diputuskan euforia jadi tema tulisan kami kali ini. Mengapa euforia? Saya lupa siapa yang mengusulkannya. Yang jelas, euforia mengundang perdebatan yang lebih panjang lagi. Apa arti euforia?


Saya percaya euforia adalah versi lebay/berlebihan dari senang. Sebagian besar peserta setuju dengan definisi ini. Maka, kami pun mulai menulis. Lima belas menit ditambah lima menit, akhirnya kami selesai dengan coret-coretan di kertas.


Erick menjadi pertama yang membacakan karyanya. Kisahnya terinspirasi oleh temannya yang tergila-gila dengan permainan Diner Dash. Bagi yang belum tahu, dalam game ini pemain berperan sebagai Flo, yang bertugas sebagai pelayan di restoran. Permainannya cukup sederhana, yakni mengambil order pelanggan, menghidangkan makanan dan memberi tagihan. Namun, pada kenyataannya Diner Dash cukup sulit untuk ditamatkan. Kalau penasaran, coba saja trial-nya di Yahoo! Game.


Kembali ke kisah Erick. Kali ini ia bercerita tentang seorang yang merasa sangat bahagia dengan apa yang telah ia selesaikan di komputer. Euforia itu ditunjukkan dengan berteriak dan memeluk temannya.


Mungkin karena terinspirasi oleh kisah nyata, cerita Erick benar-benar terasa hidup. Sebagai tambahan info, saat teman Erick tamat Diner Dash itu, ia betul-betul meng-SMS seluruh sahabatnya untuk mengumumkan keberhasilannya.


Mini membacakan cerita yang benar-benar pendek namun manis. Bentuk tulisannya mungkin lebih cocok disebut sajak. Kata-kata yang terkandung cukup manis dan puitis, mengisahkan tentang kebahagiaan seseorang terhadap mentari. Menurut Erick, cerpen milik Mini jujur. Tanpa diduga, Erick kemudian memperlihatkan sketsa Minnie Mouse kepada forum. “Tadi saya gambar kamu,” ucap Erick pada Mini. Wah…wah… ada apa ini?!


Nia, sang lulusan psikologi UPI berkisah tentang euforia seorang anak remaja yang pergi ke Dugem alias Dunia Gemerlap. Dimulai dengan memakai tank top, dan berakhir pada ruang diskotik yang pengap oleh asap rokok.


Kali ini Andika tak seperti biasanya, ia menyajikan tulisan yang cukup pendek. Berkisah tentang perasaan paranoia yang menjelma jadi euforia. Selesai sharing mengenai karya Andika, Erick pamit pergi untuk urusan lain.


Wahyu juga mengikuti trend menulis singkat. Euforia seseorang yang tengah berkaca. Memandang bayangan pupil mata di cermin. Banyak detail bahasa tubuh yang dipakai Wahyu.


Gara-gara tulisan Wahyu, perdebatan mengenai makna Euforia diangkat kembali. Dan Wahyu memberikan definisi yang membuat orang seruangan tertawa terbahak-bahak. Saya tak akan membeberkannya terlalu banyak. Intinya, Wahyu menyebut-nyebut ‘hubungan intim’!


Satu teman lagi di kaus Wahyu


Anas menampilkan cerita yang khas, dengan kalimat-kalimat metaforanya. Pandangan seorang wanita terhadap pria yang akan meninggalkannya. Pria euforia itu bagaikan menara yang menjulang. Sementara, wanita memandang dirinya bagaikan bunga yang menunggu dihinggapi serangga.


Saya sendiri melanjutkan hobi saya untuk mengarang kisah nyeleneh. Jupri, seorang supir yang mendapatkan ‘durian runtuh’. Seorang pekerja seks komersil (PSK) bergaun putih ketat, hadiah dari majikannya. PSK itu digambarkan Jupri sebagai “Eva Arnas tanpa bulu ketiak”.


Ada yang tidak tahu Eva Arnas? Ia adalah artis seksi yang sempat main film bareng Warkop dan Barry Prima. Di zamannya, mencukur bulu ketiak belum menjadi trend.


Ari alias Omes, menyajikan euforia pria yang menyantap Indomie kuah setelah hujan-hujanan naik motor. Sementara Ina disebelahnya, berkisah mengenai kebahagiaan seorang remaja yang cerpennya dimuat. Banyak yang menyayangkan minimnya eksplorasi emosi pada tulisan Ina.


Fadil menceritakan momen, saat seorang pria menyatakan cinta kepada Monik lewat SMS. Kata Ina, perempuan bernama Monik memang kecengan Fadil. Kontan kami segera menggodanya. Saya sih cuma mau berpesan singkat. Kalau nembak, sebaiknya jangan pake sms. Banyak cewek yang menanggapinya dengan dingin.


Kisah cinta dilanjutkan dengan kisah penjudi bola yang menang taruhan. Kisah Aji ini mengingatkan saya pada film Gara-Gara Bola yang belum lama beredar di bioskop.


Selvi membacakan kisah euforia seorang perempuan yang mendapat beasiswa dengan suara yang lirih. Sangking lirihnya, suaranya tersamar oleh bunyi blender di dapur Reading Lights. Selvi juga mendapatkan kritikan tentang minimnya ekspresi.


Writers’ circle ditutup dengan kisah unik. Dea mengamati permukaan soda yang berloncat-loncat girang. Zzzp! Gelitik soda menghilang. Penggambaran Dea terhadap soda berkaitan dengan definisinya mengenai euforia. Awalnya, sangat ekpresif kemudian kembali tenang.


Sampai akhir pertemuan, saya belum mengenal baik mahluk bernama euforia itu. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English karangan AS Hornbry, Euphoria is state of well-being and pleasant exciment; elation. Di kamus Advanced English-Indonesian Dictionary karangan Drs. Peter Salim, M.A., euphoria berasal dari bahasa Yunani, yang artinya perasaan gembira dan bahagia.


Masing-masing kamus punya definisi sendiri mengenai Euforia. Namun, jangan sampai gaya penulisan terkekang karenanya. Dalam pertemuan ini kami (lebih tepatnya Andika) punya cara jitu untuk menuliskan perasaan. Gunakan majas metafora dan personifikasi sehingga emosi terasa nyata.


Selamat menulis (lagi)!


Yuliasri Perdani


Uli yang belum mau jadi kuli tinta

Foto Erick diambil dari blognya

Minggu, 02 November 2008

Sidang Para Hantu

Sabtu kemarin langit Bandung mendung berat. Gambaran duduk malas-malasan sambil baca buku dan menyesap minuman hangat jadi begitu menarik. Saya sampai di Reading Lights jam satu lewat sedikit, beberapa jam lebih cepat dari waktu dimulainya pertemuan mingguan writers’ circle. Hujan turun sangat deras ketika dengan pretensius saya mulai membaca biografi grup band Sonic Youth. Kurang lebih tiga jam selanjutnya pun dilalui dengan penuh rasa syukur: membaca, browsing isi toko, menemukan In the Company of Cheerful Ladies-nya Alexander McCall Smith(!), dan memecahkan rekor minesweeper Niken.

Kurang beberapa menit dari jam empat, saya dikejutkan dengan kedatangan pemuda kurus berkacamata yang mengenakan jas hujan metalik, David! Ini sudah lama sejak terakhir kali saya melihatnya. Rupanya sekarang David bekerja sebagai produser di radio swasta di Jalan Kacapiring. “Andika, makin gemuk saja,” komentarnya ketika melihat saya. “Mungkin jaketnya,” ujar saya beralasan. Namun David bersikukuh, “Nggak, kok. Pipinya makin lebar.” Saya berpura-pura mengabaikan pernyataan terakhir dan menunjukkan sosok Riswan kepada David. Sebentar kemudian, Dea, yang sudah lama absen dalam pertemuan writers' circle, muncul dan menceritakan kesibukan yang belakangan menghampiri setiap Sabtu sore. Gadis itu ternyata kangen kami. Nggak, deng. Dea hanya menyatakan kekangenannya dengan kegiatan writers’s circle secara umum. Kemudian Hawa tiba dengan dinaungi payung. Mahasiswi mikrobiologi itu pun menjadi peserta terakhir yang muncul pada sore hari kemarin.

David (dalam lingkaran putih)

Berhubung smoking area Reading Lights ditempati orang, kami beranjak ke lantai atas. Berhubung ruang menonton dipakai sholat, kami pindah ke ruang sebelahnya. Bantal duduk diambil dan disebarkan di sekeliling meja pendek. Saya lantas menyampaikan berita Erick briefing workshop cerita bergambar di CCF dan Nia wisuda di UPI. Yeah, right. Saya hanya mengatakan Erick berhalangan saja, kok.

Pertemuan dimulai dengan Hawa yang membacakan cerita menarik tentang kekhawatiran Amelia terhadap adiknya Sarah yang bakatnya berubah-ubah setiap jatuh di tempat yang berbeda. Dea suka idenya, David menikmati alur lancarnya, saya suka pilihan katanya. Hawa menceritakan kebingungannya tentang ke mana harus mengirim cerita yang cukup panjang ini, sepuluh halaman. Kami menyarankan untuk mengeditnya jadi lebih ringkas bila Hawa ngotot agar ceritanya bisa dimuat media massa. Namun, bila ia cukup puas dengan cerita yang selesai tidak diedit pun tidak apa-apa. Pada dasarnya ada perasaan senang abstrak yang hadir tiap kali sebuah karya sukses diselesaikan. Saya teringat pertanyaan Hawa sebelum membacakan cerpennya: “Judulnya ikut dibaca, nggak?”. Semua orang menghembuskan napas lega karena akhirnya cerpen gadis berjilbab itu terbukti jauh lebih penting ketimbang pertanyaannya.

Hawa (dalam lingkaran oranye)

Seperti usul Erick, latihan untuk minggu ini adalah menulis tentang rasa takut. Ketakutan bisa bersumber dari apa saja. Bisa karena peristiwa yang traumatis, sesuatu yang tak pernah dirasakan, sampai hal familiar yang diperbesar dengan skala gila-gilaan. Untuk yang terakhir, saya memberi contoh ratu monster tikus pada komik Bone yang cukup menjijikan. Saya membagi latihan ke dalam dua sesi. Pada sesi pertama, peserta diminta untuk mendeskripsikan apa sumber dari ketakutan tersebut. Selain deskripsi, kalau peserta merasa perlu, penjelasan mengapa hal itu bisa begitu menakutkan pun sebaiknya ditulis. Waktu yang diberikan kali ini hanya delapan menit. Sementara di sesi kedua tugas bagi masing-masing peserta berbeda, tergantung dari sumber ketakutan mereka. Apabila sumber ketakutan peserta lebih bersifat kebendaan, maka ia diharapkan menulis cerita tentang ketakutan itu dari sudut pandang orang ketiga. Namun kalau sumber ketakutan peserta adalah serangkaian peristiwa, maka ceritanya ditulis dengan sudut pandang orang pertama. Waktu yang diberikan untuk sesi ini adalah lima belas menit. Dapat diduga, itu tak cukup dan saya memberi tambahan sepuluh menit sebetulnya, tetapi demi menambah ketegangan saya mengatakan, “Tambahan waktu cuma lima menit!”

Dea membuka sesi pembacaan karya dengan cerita heboh tentang kepalanya yang tiba-tiba meletup jadi empat kali lebih besar. Dalam tulisannya Dea mengisahkan bagaimana si otak kebingungan dengan sinyal-sinyal yang diberikan alat pengindera tubuh. Cerpen ini berakhir tragis ketika si kepala copot dari lehernya dan menggelinding begitu saja. Alhasil Dea menjadi manusia tanpa kepala, di dalam dunia fiksi tentu saja. Dea mengaku cukup lepas ketika menulis cerita ini, sebagaimana kami juga tertawa lepas mendengar ceritanya.

Dea (dalam lingkaran biru)

David, yang seingat saya suka menulis cerita lucu dan eksplosif, ternyata kali ini menulis dengan tema yang agak serius. Pemuda yang belakangan jarang menulis ini bercerita tentang tokoh aku yang takut meninggalkan Tuhannya. Maju-mundur keputusan meninggalkan Tuhan mewarnai alur tulisan David. Komentar Dea tema ketuhanannya tak perlu dipertanyakan lagi, keren. “Apalagi meninggalkan Tuhan,” tambah saya.

Hawa menulis tentang ketakutan tokohnya terhadap kegelapan. Dalam kegelapan apapun bisa tampak seperti sesuatu yang lain. Seperti karakter cerita Hawa, yang menganggap bahwa kain motif polkadot adalah hantu. Bisa jadi setiap orang pernah mengalami rasa takut yang sama pada kegelapan.

Kemudian saya membacakan tulisan tentang ketakutan terhadap gereja. Saya menyalahkan majalah islami berhaluan ultra kanan yang dulu sering dibaca, bercanda. Berlatar di taman balai kota Bandung, Huda takut kepada bangunan Gereja Bethel yang terkesan seram. Akhirnya ia harus menghadapi rasa takutnya ketika bola yang dimainkannya bersama teman-teman tersepak sampai halaman depan gereja itu. Bagaimana kelanjutannya? Mudah-mudahan saya bisa membacakannya pada minggu depan.

Andika (dalam lingkaran merah)

Pertemuan the circle kali ini pun ditutup. David bercerita tentang The Golden Compass-nya yang belum terbaca satu halaman pun. Lalu Hawa mengisahkan Coralyn-nya Neil Gaiman yang menjadi inspirasinya dalam menulis cerita tadi. Saya merasa lebih culun dari biasanya karena menjadi penikmat fiksi fantasi terakhir yang belum terjamah Gaiman. Kecuali paling film Stardust, yang kata penggemar bukunya kurang nendang, dan Princess Mononoke yang adaptasi skenario Bahasa Inggrisnya dilakukan Gaiman. Mendengar cerita Hawa, saya balas merekomendasikannya Pan’s Labyrinth. Dea menimpali dengan cerita bahwa usahanya menonton seluruh film itu selalu digagalkan oleh DVD yang putus di tengah-tengah. Saya langsung memperingatkan bahwa film itu bertabur kekerasan dan Dea membatalkan niat menontonnya itu. Berhubung sedang membahas cerita tentang anak-anak, saya menyebut buku The Boy in the Stripped Pyjamas.

David pamit cepat terkait perjalanan jauh yang masih harus ditempuh ke rumahnya di Cadas Pangeran. Para gadis pulangnya searah, tetapi ternyata Hawa sudah akan dijemput seseorang. Sementara saya menunjukkan Hawa Dunia Adin, buku karya Dea yang sudah diterbitkan, penulisnya mengungkapkan kemarahannya pada operasional penerbit Mizan. Menjelang penghujung tulisan ini, kita semua tentunya berharap masalah Dea versus Mizan akan bermuara pada win-win solution. Maaf atas blabbing-blabbing yang memenuhi sekujur tulisan ini. Salam!

Andika Budiman

Foto David diambil dari album foto Friendster

Minggu, 26 Oktober 2008

Sikat Rasa Sakitmu!

Akhirnya bisa datang lagi ke Writers’ Circle. Setelah beberapa minggu absen karena libur lebaran dan ikutan 24 Hour Comic Day.

Pertemuan minggu ini (pada hari Sabtu) sebenarnya lumayan seru, walaupun agak telat mulai. Tadinya hanya saya, Mirna dan Andika yang menempati posisi. Lalu Niken meramaikan, dengan serabi bertatahkan telur. Tapi keburu diembat. Jadi langsung ke acara saja.

Andika membacakan empat cerpen beralur mosaik, yang bercerita tentang bagaimana teman-teman terdekat justru adalah orang-orang yang paling salah memahami karakter utamanya. Hmm... aren't we all? Tapi setiap orang pasti mengalaminya, sekecil apapun hal itu. Mirna memberikan banyak masukan dan memang pada intinya, cerpen ketiga dan keempat perlu diselesaikan, jangan langsung jadi. Tapi kalau menunggu jadi, berarti minggu depan baru bisa dibacakan, dan mood-nya pasti sudah menurun.

Kemudian Mirna membacakan pengenalan karakter yang baru ditulisnya. Tapi karena hanya ide mendadak, tidak ada kelanjutan dan rencana lebih jauh mengenai karakter itu. Menulis hanya karena ingin menulis, itu memang menyenangkan.

Saat waktu menunjuk pukul setengah enam, saya pikir minggu ini sudah tidak sempat untuk latihan lagi, karena biasanya menghabiskan waktu satu hingga satu setengah jam. Tapi kemudian Mirna mengusulkan untuk menulis tentang rasa sakit yang tidak terperikan.


Ide yang bagus, dan karena kita semua berjiwa masokis penulis, maka tantangan itu kami terima. Dalam waktu lima belas menit. Dan setelah waktu habis, inilah hasil yang didapat:

Mirna menulis tentang jemari yang keram, lalu merangkak menuju perut. Sakit bulanan menjelang datangnya sang bulan. Tidak tertahankan, apa lagi ketika olah raga sudah jarang dilakukan.

Badai Pasti Berlalu - Chrisye

Uli menulis tentang perjalanan ke kampus di Jatinangor. IPDN? Bukan, tapi UNPAD. Tidak selesai, karena ia bermaksud untuk membangun jalinan konflik yang rapi. Rencananya memang bagus, karena nantinya si tokoh akan bertemu preman, yang lalu menusuknya dengan pisau dibagian perut bawah. Tokoh utama jatuh dan termenung akan masa depannya yang tidak lagi bisa punya keturunan.

Cuts Like A Knife - Crushead

Saya sendiri menulis tentang serangan angin pendingin di toko swalayan:

Arin mengikuti kedua orang tuanya ke supermarket itu. Saat ia memasuki pintu geser otomatis, semburan angin dingin menyambutnya. Menerpa punggungnya. Arin masih terus berjalan. Pendingin di toko swalayan itu sangat baik. Hembusan tadi masih membekas di punggung. Perlahan, keringat mulai merembes dari pori-pori. Ia mulai merasa sesuatu yang tidak beres di perutnya. Tapi kakinya terus melangkah. Lalu angin kembali menerpa dari rak tempat pemajangan produk Daikin.

Langkah Arin terhenti. Perasaan aneh tadi berkembang, epritnya seperti dimasuki jari tengah, berenang kesana kemari, meregang dan mengendur di dalam usus besarnya. Keringat Arin semakin deras. Ia memegangi perutnya untuk meredam. Tidak berhasil. Ia mencoba untuk memanggil orang tuanya. Tidak ada suara yang bisa dikeluarkan. Satu langkah terasa begitu menusuk perutnya. Ngilu dan perih. Telapak tangannya basah. Wajahnya meringis. Pelintiran rasa sakit itu semakin kuat. Ususnya seperti keram dan kakinya tidak lagi kuat menganga.

Arin terduduk, memegangi perut, sementara angin pendingin ruangan semakin keras bertiup. Arin merayap pelan, kali ini matanya yang berair. Ia mulai mengerang. Jemarinya meremas perut demi menahan sakit yang tidak berkurang. Kakinya bersilang, mencoba menahan dorongan untuk buang air besar. Ia jatuh ke lantai, tertelungkup. Perlahan, dinginnya tegel marmer yang sudah berjam-jam disejukkan AC, merasuki perut Arin. Urat dahinya menegang, ia berteriak tanpa suara.

Crawling – Linkin Park

Lalu peserta baru minggu ini, Hawa, yang suka menulis cerita anak. Ia menulis tentang pengalaman nyata seorang teman, saat hendak mengangkat bongkahan beton penutup got. Lalu penutup got itu jatuh menimpa jemarinya. Darah berceceran, tulang pun terlihat.

Mirna berujar bahwa ini lebih terkesan sadis daripada ke rasa sakit itu sendiri. Tapi Uli berkomentar bahwa kesan satu-dua detik pertama setelah kejadian itu, karakter belum merasa sakit, adalah hal yang sangat realistis. Mau dicoba dengan stopwatch?

I feel it in my finger, I feel it in my toe ...” Love is All Around – Wet wet wet

Ferdi menulis tentang keripik singkong pedas yang efeknya buruk sekali pada pencernaan, dan minum bergelas-gelas air juga tidak membantu.

It's The End of The World as We Know It - REM

Andika menuliskan mengenai tragedi usus besar di toilet. Selengkapnya:

Ketika bangun dari tidur, badanku bersimbah keringat. Kuraba bagian sekitar pusar, terasa keras dan tegang. Perutku mulas luar biasa. Aku pun keluar kamar dan menuju kamar mandi komunal antara kamarku dan kamar kakakku. Bisa ditebak, kakak sudah ada di dalamnya terlebih dahulu. Aku terlunta tanpa sarana . Pintu kegedar-gedor cepat. Kakakku beralasan banyak, namun ia segera membuka pintu kamar mandi. Aku pun masuk. Di dalam perutku sakit seperti ada jarum-jarum kecil yang menusuki dinding saluran pelepasanku. Menyesal karena tidak suka makan sayur sudah begitu terlambat. Aku berkonsentrasi mengeluarkan ini. Tak lama aku sadar bahwa tahi ini bukan tahi biasa. Ia sangat konsentrat. Apabila aku mengeluarkannya dengan buru-buru maka pinggiran anusku akan terluka. Dan pinggiran anus yang terluka akan menimbulkan wazir yang luar biasa. Padahal baru kemarin aku sembuh dari wazir semacam itu. Air mataku mengalir di pipi. Aku berusaha mengeluarkan tahiku sedikit-sedikit. Ujung-ujung anus kutahan dengan tangan agar membuka dengan sewajarnya. Kini pantatku seperti ditusuk-tusuk jarum. Aku mengerang pilu. Kuteringat novel Chuck Palahniuk di mana anus salah satu tokoh terburai karena bermain-main dengan lubang di kolam renang. Aku bergidik. Rasa sakit ini telah menjalar ke pergelangan kakiku. Entah bagaimana bisa. Sakitnya makin terasa. Aku menyemprotkan air ke sekitar anus, berusaha melunakkan tahi kering yang menyumbat anusku. Rasanya seperti dicoblos-coblos coblosan surat suara yang tumpul. Aku pun menyumpalkan handuk ke mulut agar rintihanku tidak terdengar sampai ke luar. Aah ... aaah ... aaaah ....

King of Pain – The Police

Demikian jurnal minggu ini saya tulis dengan sebenar-benarnya dan sesubjektif-subjektifnya.

Written, Illustrated, and Scored by Erick S.