Kamis, 05 April 2012

Ketika Bulan Menjadi (Teman)ku

Ada cenderamata yang dikirimkan dari Ryan, salah satu peserta RLWC, yang kini sedang mengenyam pendidikan S2 di Southeast University of China. Kami mengunggah karyanya di blog karena blog ini memang terbuka untuk para peserta yang ingin menaruh karyanya. Karya Ryan di bawah ini belum melalui proses edit dan berharap dikomentari:

------

Ketika Bulan Menjadi (Teman)ku

Bunyi deburan ombak di pantai laut selatan terdengar seperti teriakan caci maki dan penolakan, “Kemari-kemarilah,” bunyi deburan ombak menghantam tepi karang. Angin malam bertiup kencang, seperti memelukku, menghapus air-air hangat dalam cucurannya, dan disinilah aku berdiri bersama kekasihku, cintaku, setengah jiwaku.

Cintaku, kita bertemu disaat malam dan selalu berpisah di saat fajar, mungkin takdir yang mengijinkan kita bertemu di hari itu, atau mungkin segala sesuatunya sudah diatur dan tersirat sejak sebelum manusia dapat berjalan di tanah ini, aku tidak tahu, aku tidak mengira-ngira, tapi aku tahu, tidak pernah dapat bersama. Kau dan aku dibatasi oleh ulasan tangan Tuhan, dan perintah-Nya yang menaklukan hamba-hamba-Nya memisahkan semuanya diantara kita berdua.

Ketika langit sudah tidak menjadi penghiburku, kualihkan pandanganku kepada Dajal, sang malaikat maut, dengan harapan membayar kepadanya setengah jiwaku aku dapat memilikimu, dengan setengah jiwaku aku dapat memberikan setengahku disampingmu, tapi singa tetaplah singa walaupun kau dandani singa itu seperti kucing, dajal menerima dan mengambil setengahku lalu dengan tawa disertai telunjuknya mempermalukan aku dihadapan seluruh dunia, memperlihatkan betapa rendah dan menjijikannya diriku. Kukutuk Dajal atas sikapnya kepadaku, kukutuk Tuhan atas suratan takdirnya atas kita, kukutuk malaikat-malaikat yang hanya dapat mengikuti perintah-Nya tanpa dapat menolongku, dan lagi kukutuk diriku sendiri atas menyedihkannya diriku.

Tanganku tidak cukup panjang untuk meraihmu memang, dan kakiku tidak cukup kuat mengejarmu memang, tapi aku tahu hatiku cukup untuk menginginkanmu, tidak cukupkah itu? Ayahanda, mengapa kau biarkan aku menjadi mahluk menyedihkan ini, tidak tahu menahu soal malu dan hormat, hanya cinta mati saja. Ibunda, dimanakah engkau sekarang? Mengapa engkau tidak berada disampingku atau di punggungku, mencoba mendorongku, mendukungku, mencoba mengatakan,”Ibu ada disini nak.” Dimanakah engkau sekarang?

Kini aku tahu aku tidak memiliki seorangpun, aku hanya punya engkau cintaku, bukan, aku hanya punya cintaku kepadamu. Kesetiaan? HA!!! hanyalah kata-kata penuh dengan dusta dan racun, dibuat untuk menghangatkan hati para manusia bodoh, tuli, dan bisu. Cintaku, aku telah mengejarmu sampai menuju gerbang pintu dunia di ujung cakrawala, hanya untuk mengharapkan balasan dari cintaku, dari ungkapan isi hatiku. Kau mempermainkan hatiku , kau memberikanku senyum disertai dengan harapan kosong, dan pergi tanpa melihatku terpuruk di tanah, dan kau tidak memalingkan wajahmu kepadaku, sekalipun tidak.

Disinilah aku, di laut milik ratu selatan, berharap tubuhku bisa menjadi bayaran yang pantas atas permohonanku kepada sang ratu untuk melepas rohku untuk berada disampingmu, penyesalan memang ada, kekecewaan dan kepahitan memang terasa di bibir yang kelu ini, tapi aku ingin tidak menyesal, bersama dengan permintaanku kepada sang ratu, aku ingin berada disana, Hai, Pencuri Hatiku. Hai, Mahluk Malam. Hai, Rembulan. Diamlah di ujung langit malam sana bersama dengan mahluk mungil bercahaya itu, janganlah bersembunyi dibalik kapas langit, tidak perlu malu, tunggulah aku disana, aku hanya tinggal memberikan tubuhku kepada sang ratu dibawah sana, dan jiwaku akan bersamamu, disampingmu selamanya.



Ryan Marhalim, hanyalah mahluk biasa kelahiran 1988, Juli, tahun Naga yang penuh dengan angan-angan belaka yang menjadi salah satu anggota RL dengan harapan setinggi langit, sudah lulus dari Unversitas Kristen Maranatha berlatar belakang jurusan akuntan akan tetapi melarikan diri ke arah sastra. Salah satu latar belakang Ryan menulis adalah karena kesukaannya kepada sastra dan novel, salah satu novelist favoritnya  adalah Pramodya Ananta Toer dengan judul  “Bumi Manusia” sedangkan pengarang luarnya adalah John Grisham, hobinya adalah membaca berbagai macam buku dan silahkan menghadiahi buku-buku seperti filsafat, psikologi, sejarah, dan juga hobi mengarang. Saat ini berada di negeri bambu, tertinggal sendirian dan terlepas dari teman-teman RLnya demi menempuh gelas Master. Tetapi karena kesukaannya kepada sastra Ryan tetap menulis dan akan terus menulis.

Selasa, 03 April 2012

Benang Merah dalam Kumpulan Cerita


Foto oleh Sapta P Soemowidjoko


Hari Sabtu (31/03), 9 peserta writer's circle latihan membuat lima cerita dari satu tema yang dipilih sendiri sebagai benang merah. Konsepnya seperti membuat kumpulan cerpen, namun karena keterbatasan waktu, peserta membuat cerita mini (sepanjang 5-10 kalimat). Misalnya Andika memilih tema "dua orang sedang berdiri di atas trotoar dan menunggu taksi", maka Andika harus membuat 5 cerita dengan variasi karakter, plot, dan setting namun harus mengenai dua orang yang sedang berdiri di atas trotoar dan menunggu taksi.

Latihan semacam ini berguna bagi penulis yang ingin membuat kumpulan flash fiction, cerpen, dan lainnya. Penetapan tema utama sebagai benang merah perlu dilakukan di awal agar penulis tahu apa yang harus ditulis dan kesamaan antar ceritanya jelas. Penetapan tema di akhir dari karya-karya yang sudah selesai biasanya cenderung membuat garis merah yang dipaksakan.

Dialog yang Efektif

Sabtu (24/03), 15 peserta RLWC latihan menulis dialog tentang dua karakter memiliki perbedaan cara pandang dalam suatu masalah sehingga menimbulkan konflik. Dari latihan ini diharapkan dapat membuat dialog yang efektif, membuat dua tokoh terlihat karakternya, namun tetap menyampaikan pesan.

Berikut ini ada contoh dialog yang efektif, dapat menonjolkan karakter dua tokoh yang berbicara, dan tetap menyampaikan pesan. Diambil dari buku Bisik-Bisik oleh Reda Gaudiamo:


...

"Umurmu ... berapa sekarang?"
"Dua puluh lima."
"Masih muda sebetulnya."
"Tapi semua temanku sudah kawin sekarang."
"Kalau teman-temanmu masuk selokan, kau juga buru-buru terjun menemani mereka?"
"Kak!"
"Habis masak kawin karena mengikuti teman. Kau sendiri, memang mau kawin atau tidak?"
"Mau, Kak."
"Kenapa kawin?"
"Daripada dosa, Kak!"
"Kuhajar, kau!"
"Kak!"
"Dengar, kawin itu bukan soal dosa atau tidak dosa. Kawin itu karena kau sudah menemukan orang yang tepat. Karena kau cinta padanya!"

...

"Hei, aku tidak mengada-ada. Kau ingat temanmu, si Basri?"
"Ya, ya, aku ingat."
"Kapan dia kawin? Enam bulan lalu. Kapan cerai dia? Minggu lalu. Macam mana, tuh?"
"Aku tak akan begitu, Kak. Kami tak akan begitu. Janji."
"Jangan janji padaku. Janji pada dirimu. Tetapi sebelum kau bisa penuhi janji itu, kau harus tahu, dengan siapa kau mengikatkan diri."
"Dia gadis baik-baik."
"Aku tidak bilang apa-apa tentang dia."
"Khawatir aku, jangan-jangan Kakak tak suka."
"Aku bukan tak suka. Aku hanya tak senang melihat kalian terburu-buru kawin hanya dengan omongan orang, desakan orang tua, takut dosa. Aku tak tahu apa kata ahli agama, tetapi aku rasa, akan lebih berdosa lagi kalian kalau menikah terburu-buru dan tergesa-gesa bercerai hanya karena tak saling kenal, tak saling cinta."
"Kak, kalau orang tuanya tetap tak mau perkawinan ditunda, bagaimana?"
"Ya, tidak usah kawin!"
"Ampun!"
"Perempuan itu banyak! Melimpah-limpah. Bukan cuma dia seorang di dunia ini."
"Tapi aku ingin kawin. Aku ingin punya istri."
"Punya istri?"
"Lalu apa?"
"Bukan mau punya istri, tapi mau jadi suami."
"Apa bedanya?"
"Banyak."
"Kalau jadi suami, kau jadi pasangannya."
"Kalau punya?"
"Kau jadikan dia barang, milik."

...



Pendalaman Emosi: Terasing

Kemarin (17/03), 14 peserta writer's circle menulis pendalaman emosi "terasing". Mengacu pada KBBI, terasing memiliki arti 'terpisah dari yang lain'. Dalam sesi ini, writer's circle berlatih bagaimana agar pembaca ikut merasakan emosi terasing di dalam cerita.


Minggu, 01 April 2012

Menunggu dan Cemburu


Jurnal Reading Lights Writer’s Circle (3 Maret 2012)
“Menunggu dan Cemburu”

            Sabtu sore itu, di Reading Lights ada 7 orang yang berkumpul: Saya, mbak Rie, Dani, dan empat wajah baru: Indra, Rey, dan dua orang anggota paling baru, Asri dan Mia yang dua-duanya kuliah di ITB. Setelah menunggu dan tidak ada lagi yang lain yang datang, kami pun memilih tema dengan cara seperti biasa, kocokan kertas. Ternyata yang terpilih adalah tema dari saya: “Menunggu dalam kaitannya dengan cemburu kepada orang terdekat”. Kami pun memulai sesi menulis hari itu selama setengah jam.

            Setelahnya, kami pun bergiliran membacakan tulisan kami. Yang pertama membaca adalah Indra. Ia menulis tentang seorang tokoh pria yang selalu disalahkan dalam keluarganya, terutama ketika Ayahnya masuk rumah sakit dan meninggal. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa sang tokoh merasa cemburu kepada kakak perempuannya, yang selalu bersikap ketus padanya setelah mereka dewasa. Mbak Rie berkomentar bahwa ceritanya terkesan nyata, dan bertanya apakah itu curhat dan Indra punya kakak perempuan. Jawaban dari penulisnya tidak, itu hanya cerita fiksi.

            Berikutnya yang membacakan adalah Dani. Dani bercerita tentang situasi di stasiun ketika masa Perang Dunia, dengan tokoh seorang gadis yang menunggu suaminya pulang wajib militer, tanpa ada kepastian apa pria itu masih hidup ataukah sudah mati. Cerita Dani, meski diakui beralur lambat, cukup unik karena kecemburuan yang diangkat adalah rasa cemburu kepada orang lain yang kerabatnya sudah meninggal. Rey berkomentar kalau latar cerita itu seperti di Korea, menilik deskripsi musim gugur dan perubahan warna daun yang digunakan Dani dalam ceritanya.

            Setelahnya, giliran mbak Rie. Mbak Rie menulis tentang pasangan kekasih yang bertengkar di hari kasih sayang. Pasalnya, sang wanita mengetahui melalui gadgetnya kalau si lelaki pura-pura invisible tiap kali dia online, dan selingkuh dengan teman dekatnya. Mbak Rie menulis cerita ini dengan harapan bisa membuat sebuah cerita yang utuh tanpa harus berpanjang-panjang ataupun bertele-tele. Cerita ini berhasil memancing perdebatan dengan Dani bahwa dari jumlah kata, cerita tersebut bisa masuk ke Flash, Fiksi Mini, atau rubrik Cermin (Cerita Mini) di Kompasiana.

            Asri dan Mia yang baru pertama kali datang, turut menyumbang tulisan untuk sesi hari itu. Cerita Asri masih pendek, baru berupa introduction namun tak menghalangi kami untuk memberi masukan. Sedangkan cerita Mia mengambil 3 sudut pandang, tentang seorang mahasiswa yang sering dititipi absen oleh kawannya. Karena kawannya itu lebih pintar darinya dalam tugas dsb., tak urung itu membuat sang tokoh cemburu. Meski antar paragraf belum terjembatani dengan baik, konflik dalam cerita Mia cukup tertera dengan jelas.

            Setelahnya giliran Rey. Ternyata Rey membuat dua puisi tentang menunggu kekasih, yang satu bernada positif dan yang satunya lagi negatif. Bagi saya, saya lebih terkesan dan menyukai yang negatif, karena proporsi detil serta deskripsinya lebih kaya. Hal ini diamini oleh mbak Rie. Kedua puisi itu kami kritisi. Indra berpendapat ibarat sebuah prosa, kedua puisi itu hanya kurang pada alur serta tokoh. Dani, yang tidak terlalu banyak komentar, saya ajak menulis puisi juga, namun ia menolak karena lebih terbiasa menulis prosa dibandingkan puisi.

            Otomatis, sebagai fasilitator hari itu, sayalah yang mendapat privilege untuk membacakan paling akhir. Cerita saya hari itu agak panjang durasinya, tentang seorang pria bernama Bilawa yang putus cinta karena selingkuh, ditemui kawannya di sebuah kafe dan akhirnya harus menunggu demi sebuah happy ending versinya sendiri. Mbak Rie dan Dani sepakat kalau bahasa tubuh serta penceritaan dari tokoh Bilawa masih terlalu feminin dan tidak mencirikan seorang pria. Masukan ini saya catat betul. Hari itu saya belajar bahwa menunggu, cemburu, dan juga konflik yang terkait antar keduanya haruslah dibangun dengan cara seapik mungkin. Baik bentuk tulisannya puisi, cerpen, ataukah fiksi mini, segala aspek serta unsur kepenulisan semisal tokoh, dialog, dan tentu saja plot tidak boleh dilupakan, demi membangun sebuah cerita yang mengena di hati orang yang mendengar atau membacanya.

            Selepas sesi hari itu selesai, kami pun bubar sebelum hujan benar-benar turun dan membuyarkan segala kenangan. Saya, mbak Rie, Rey, Dani, Indra (yang baru datang lagi hari itu setelah sekian lama) pun pulang. Kepala saya masih membawa obrolan, masukan, dan aroma Cheese Mushroom Sandwich-nya Reading Lights petang itu. Dan endapan tanggal 3 Maret itu pun menghasilkan jurnal ini. Semoga saya bisa datang lagi nanti.


Catatan Penulis:
Tulisan Mbak Rie yang dimuat di rubrik Cermin Kompasiana bisa dilihat di tautan ini, atau di halaman Reading Lights Writer’s Circle di Facebook.



Dini Afiandri adalah salah seorang anggota yang (relatif) baru di Reading Lights Writers' Circle tetapi telah berhasil menyesuaikan diri dengan segala keanehan di sini. Siapapun yang ingin mengikuti jejak penulis bergaya "romantisme brutal" ini (menurut kata-katanya sendiri, lho) dapat langsung mengunjungi pertemuan kami setiap hari Sabtu jam setengah 5 sore di salah satu sudut Reading Lights. Eh, kok malah jadi promosi ya?