Rabu, 29 Desember 2010

Cinta . . . di akhir suatu masa

Meskipun Natal, rupanya Sabtu lalu Reading Lights buka seperti biasa. Siang itu cuaca cerah. Saya datang, mencoba melanjutkan sebuah tulisan yang belum jelas akan berakhir di mana. Setelah dua jam, teman-teman mulai berdatangan. Dani dan Anggi muncul di Reading Lights dengan berpeluh keringat … apa yang dilakukan keduanya?! Oh, rupanya mereka berjalan kaki dari Taman Bacaan Pitimoss di Jalan Banda. Tak lama kemudian, Maknyes datang dengan potongan rambut barunya. Seperti Anggi, sudah lama juga sejak gadis berkacamata ini menampakkan hidungnya di pertemuan writer’s circle. Dua dara ini sehari-hari sibuk di ibukota. Selanjutnya datang berturut-turut Neni, Rizal, dan Retno. Pertemuan pun dimulai.

Terinspirasi momen berakhirnya tahun 2010, Dani mengajukan sebuah tema yang kami anggap menarik. “Kita menulis tentang berakhirnya suatu era,” ujarnya. Lebih rincinya lagi, berakhirnya suatu masa yang akan membawa perubahan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. “Berakhirnya era internet!” ujar saya sambil membayangkan. “Berakhirnya Facebook!” timpal Maknyes. “Berakhirnya cinta romantis!” tambah Anggi, sekalian curhat. Setelah semua peserta berpikir-pikir mau menulis apa, latihan menulis pun dimulai.

Lima belas menit berlalu. Tulisan saya hampir beres, satu paragraf lagi selesai. Teman-teman yang lain masih asyik menulis. ”Tambah?” tanya Dani. Semua mengangguk. ”Berapa menit?” ”Lima menit,” sahut saya. ”Sepuluh menit saja,” akhirnya Dani memutuskan. Sepuluh menit berlalu, setelah saling tunjuk soal siapa yang membuat jurnal untuk pertemuan kali ini (”Saya utang satu jurnal!” protes Neni ketika ditunjuk. ”Saya utang dua!” seru Rizal tak mau kalah.), sesi pembacaan karya pun dimulai. Saya membaca pertama. Kali ini cerita saya agak menyerempet science fiction, saya sangat menikmati proses menulisnya, ide-ide seperti berlompatan dari kepala. Cerita ini tentang berakhirnya era ’cinta organik’. Setelah cerita selesai, Dani meminta saya untuk mem-posting-nya ke blog.

Maknyes lalu membacakan cerita yang diawali dengan potongan keseharian orang-orang yang berbeda. Ibu-ibu rumah tangga yang menangis sejadi-jadinya, pegawai-pegawai wanita yang menitikkan air mata, sampai ibu-ibu pejabat yang kehilangan satu-satunya teman ketika tidak ada kondangan. Apa gerangan yang berakhir tanggal 22 Desember 2022? Mengapa Anas, yang dua kali tinggal kelas, sekarang berjanji untuk belajar keras? Rupanya Fitri dan Farrel sudah dipastikan hidup bahagia selamanya. Sinetron Cinta Fitri berakhir di season kelima belas. Para peserta writer’s circle pun tertawa geli. Sekali lagi Maknyes menunjukkan kelihaiannya mengambil hal-hal teraneh dalam budaya pop, dan menceritakannya kembali dengan selucu-lucunya.

Sore itu, Dani menulis cerita yang di luar kebiasaannya. Ia menulis tentang kehilangan cinta! Alih-alih menulis tentang ‘pistol’, ‘ledakan’, ‘peluru’, ‘seragam’, atau ‘pasukan’, beginilah tulisan Dani: Hanya ada bantal dan seprai yang dingin tak bernyawa. Dengan sedikit enggan kupaksakan diri membuka mata. Benar saja, ranjang di sebelahku kosong melompong. Dan sudah begitu selama beberapa hari terakhir ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus kurasakan saat ini. Bodoh? Sedih? Marah? Maknyes pun tidak bisa menahan keheranannya. Saat Dani membaca, ia pun menyela, “Bo! Gua udah lama nggak dateng ke writer’s circle tulisan Dani kok jadi kayak begini?!” Pipi Dani pun bersemu memerah. Tulisan Dani berakhir ketika ternyata cintanya itu kembali. Berakhirlah masa-masa kesendirian si tokoh utama. Cinta tokoh cerita Dani, rupanya tidak ditujukan kepada manusia, tetapi kepada seekor kucing. “Antiklimaks, deh,” ujar saya dalam hati.

Selanjutnya Rizal membacakan ceritanya yang gelap. Tentang berakhirnya cinta juga, entah virus apa yang menyerang anak-anak writer’s circle sore itu. “Ini fiksi ya,” ujar Rizal, langsung membuat kami meragukan kebenaran pernyataan itu. Cerita ini diawali monolog panjang tentang pria yang patah hati karena ditinggal mantan kekasihnya menikah. Mendengarkan penuturan Rizal, saya sempat berpikir, “Oh, ternyata si Rizal begini,” sampai cerita berganti haluan seratus delapan puluh derajat, di mana si pria mulai menarik-narik pelatuk pistol penuh berisi timah panas; menembak mati pengantin pria, mantan kekasihnya, sebelum akhirnya dirinya sendiri. Dan semuanya berakhir. Rizal mengaku kaget sendiri dengan kekelaman ceritanya itu.

Sekali lagi, seorang peserta writer’s circle menulis tentang berakhirnya cinta: Neni. Dalam cerita yang kental beraroma curcol, Neni menulis begini: Semua ada waktunya: ada tanggal terbit dan tanggal kadaluwarsa. Ada masa dimana sesuatu yang awalnya hangat akan berubah menjadi dingin bahkan basi. Karenanya, jangan heran atas reaksiku saat mendengar kabar terbaru darimu. Rasaku padamu sudah basi sejak lama. Meskipun cukup lama waktu yang kubutuhkan berikut deretan usaha yang kuupayakan demi melupakanmu; saat rasa ini sampai pada tanggal kadaluwarsa, semua baik-baik saja. Kami tak kuasa menahan geli, karena tulisan Neni ini seperti cerita Rizal dari sudut pandang perempuan. Terlebih ketika Neni mengakhirinya dengan: Aku turut berbahagia saat mendengar kabar pernikahanmu. Lalu cepat lupa. Karena kini, sudah ada dia yang memenuhi hati dan isi kepala!

Anggi menutup sesi pembacaan kali ini dengan cerita tentang sebuah rezim yang sungguh digdaya. Pada masa itu, seorang laki-laki tidak bisa lagi memaksakan kebutuhan seksualnya kepada perempuan melalui force. Apabila laki-laki ingin bercinta dengan istrinya, ia harus membujuk si istri agar mau melakukannya, bisa dengan bunga, coklat, atau kata-kata rayuan. Pada prakteknya, kemauan si istri amat susah diikuti karena ia sampai menentukan waktu-waktu kapan si suami bisa mencumbunya. Telat sedikit, tidak ada jatah untuk bulan ini. Alhasil, si suami pun frustrasi dan bercinta dengan suami frustrasi lainnya. ”Khas Anggi banget, ya! Ada gay-gay-nya,” komentar Rizal. Saya pikir ada benarnya juga. Cerita-cerita Anggi banyak bermuatan seksual, tetapi tidak membahas kenikmatannya. Misalnya, tentang perempuan yang berselingkuh, anak perempuan yang dipegang-pegang ayahnya, dan rezim di mana perempuan memegang kendali dalam hubungan seksual. Hm.

Dani lantas resmi mengakhiri pertemuan writer’s circle. Kami tak beranjak dari tempat duduk masing-masing, saling bercerita, dan membahas tentang macam-macam. Saya tak habis pikir mengapa cinta justru menjadi tema pada sore hari itu.


- Andika Budiman

Kamis, 23 Desember 2010

Pengumuman Libur Akhir Tahun

Sehubungan dengan masa liburan Tahun Baru, toko buku Reading Lights akan tutup mulai tanggal 27 Desember 2010 dan akan dibuka lagi pada 4 Januari 2011. Oleh karena itu, pertemuan terakhir Reading Lights Writers' Circle pada tahun 2010 akan diadakan hari Sabtu, 25 Desember, dengan jadwal biasa (mulai jam 4 sore). Setelah itu akan ada jeda selama satu minggu sebelum kegiatan RLWC dimulai kembali pada hari Sabtu, 8 Januari 2011.

Bersama dengan ini pengurus blog RLWC ini (moga-moga mewakili segenap anggota) mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru bagi para pembaca yang merayakan hari-hari besar tersebut.

Menengarai Sisi Jasmani

Sore itu, tanggal 11 Desember 2010, saya datang lebih cepat di Reading Lights karena latihan panahan yang saya jalani setiap hari Sabtu juga selesai lebih cepat dari biasanya. Saat pertemuan Writers'Circle dimulai beberapa lama kemudian dengan pencarian tema, saya mengajukan usulan untuk menulis tentang keadaan fisik seorang tokoh; salah satu alasannya (yang tidak saya sebutkan saat itu) adalah karena saya terbiasa melakukan latihan fisik yang cukup berat sebagai pemanasan sebelum mulai berlatih panahan, dan saya teringat bahwa kreativitas pikiran saya cenderung tersumbat selama seminggu penuh jika saya terpaksa melewatkan latihan fisik akhir minggu tersebut. Selain itu, saya melihat adanya kecenderungan di kalangan penulis untuk memusatkan perhatian pada sisi perasaan, pikiran, dan rohani tokoh-tokoh mereka sementara melupakan pengaruh kelebihan dan kekurangan jasmani terhadap kepribadian tokoh-tokoh tersebut. Singkat kata, tema itu akhirnya diterima setelah penjelasan dan diskusi yang cukup alot tetapi juga menghasilkan "pemanasan" yang baik sebelum menulis, paling tidak bagi saya pribadi.

Saat waktu penulisan hampir berakhir, Nia mendapat panggilan telepon tentang suatu janji penting lainnya yang harus ia tepati di sore itu, jadi kami mendaulatnya untuk memulai pembacaan karya sebelum ia meninggalkan pertemuan. Ceritanya yang pendek tetapi padat mengisahkan seorang pemuda yang menggunakan kelainan kulitnya untuk berpura-pura menjadi makhluk halus dan menakuti sekelompok pembalak liar di kawasan hutan yang dijaganya.

Giliran pembacaan kedua diambil oleh Sapta. Tulisannya menceritakan sepasang pengantin baru yang melakukan bungee jumping sebagai bagian dari upacara pernikahan mereka, tetapi sayangnya si pengantin pria sangat berotot, sehingga bobotnya terlalu berat dan tali bungee yang mereka pakai putus. Gaya khas Sapta yang sarkastis sangat kental dalam cerita ini.

Lalu, Neni menceritakan seorang ibu hamil yang nekat melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga sebagai bentuk "olah raga" untuk kesehatannya sendiri dan bayinya. Sayangnya, saat melakukan salah satu kegiatan "olah raga" ini--yaitu mendoring kereta belanja yang berat saat sedang berbelanja di sebuah pasar swalayan--wanita ini berpapasan dengan suaminya yang sedang bercengkerama bersama wanita lain.

Berikutnya, Andika--yang baru datang setelah Nia pergi--menulis tentang guru kimia yang memiliki suara kecil dan tak berwibawa sehingga ia terus menjadi bulan-bulanan muridnya.

Saya sempat bingung karena ada beberapa gagasan cerita yang muncul di kepala saya hingga saya terpaksa memilih secara acak. Hasilnya, saya menulis tentang seorang malaikat yang dibuang dari surga karena tingkah lakunya terlalu manusiawi, tetapi begitu sampai di dunia manusia ia menjadi sakit-sakitan karena tak terbiasa menghirup udara yang telah dikotori dosa-dosa dan niat buruk manusia.

Pertemuan kali ini juga diwarnai oleh kedatangan seorang anggota baru bernama Purba, yang sayangnya belum dapat menulis secara optimal karena ia datang saat pembacaan karya-karya lain hampir berakhir dan akibatnya ia tidak mendapat waktu menulis yang memadai. Untungnya, sekarang ia sudah mengetahui tempat dan jadwal RLWC, jadi kami semua berani berharap bahwa lain kali ia akan datang lagi dan menambah kekayaan RLWC dengan gaya khas penulisannya.


- Pradana P. M.

Jumat, 19 November 2010

Dilarang Membawa Makanan dari Luar!

Tidak seperti judul di atas, hari ini kami melakukannya di Reading Lights.

Sore itu, ruang belakang Reading Lights tidak kosong seperti minggu lalu. Ada beberapa orang di bangku merah, bangku yang minggu lalu kamu duduki. Saya orang pertama yang datang, Rizal setelahnya, disusul Farida. Akhirnya sofa oranye dipilih menjadi tempat kami melakukan acara menulis bersama.

Persiapan yang tidak matang terlihat saat masing-masing diantara kami bertanya “ Hari ini temanya apa?”. Awalnya saya mengajukan tema ‘menulis dari lukisan yang saya pilih, dikarenakan lukisan di ruang atas tidak boleh di pindah dari tempatnya maka niat ini urung dilaksanakan.

Ryan datang. Setelah menyapa sekumpulan orang di bangku merah - yang ternyata dikenalnya – akhirnya gagasan tema hari ini muncul. Terinspirasi dari
Filosofi Kopi Dewi Lestari yang telah dibacanya, maka benang merah tulisan kami dalah filosofi (tentang) makanan. Waktu yang disepakati adalah 30 menit.

Diantara waktu menulis, berdatangan anggota RLWC yang lain. Nia, yang tampak lelah karena harinya dihabiskan untuk mengikuti workshop tentang anak autis. Uli datang beberapa menit setelahnya, Kebalikan dari Nia, Uli datang dengan sumringah. Dani adalah anggota yang terakhir hadir, berbeda dari biasa, hari ini Dani kelihatan tenang.

Banyaknya
Intermezzo membuat 'kesepakatan waktu' yang ditentukan mengalami perpanjangan. Hanya lima menit! tapi ini berarti bagi kami.


Akhirnya tuliskan kami siap dihidangkan! Siap disantap, selanjutnya dikunyah, ditelan, dan cerna sebagai masukan, kritikan atau (bahkan) penjabaran.

Karena ide awalnya datang dari Ryan, dialah orang yang pertama menyuguhkan filosofi makanannya, dengan gaya retorikanya Ryan menyuguhkan pisang sebagai santap pemubuka kami. Saya yang kemudian menyusul menyuguhkan ayam panggang untuk disantap, selanjutnya Rizal menyuguhkan minuman berupa espresso & latte.


Tidak adil rasanya bila kita hanya memakan sesuatu yang enak saja. Karena ini hidup, kita harus realistis, Farida dan Nia memperhitungkan alasan ini. Suguhan selanjutnya tidak begitu menyenangkan; Farida membawa makanan-makanan tidak enak, seperti coklat hambar dari warung, sementara Nia menyuguhkan jengkol untuk menjadi sebuah filosofi hidup seseorang yang sedang tinggal di luar negeri.


Untunglah ada Uli. Makanan selanjutnya yang dihidangkannya adalah kulit bebek
Duck King dan kulit ayam KFC. Penuturan cerita yang dibuatnya seperti membawa kita menyaksikan film kartun ‘Born To Cook’. Kudapan berupa biskuit melengkapi ‘perjamuan malam’ ini. Dani menjadikan biskuit sebagai makanan yang dipilih sebagai filosofi di ceritanya.

Setelah kami kenyang dengan semua hidangkan yang di bawa masing-masing anggota, mulailah kami menganalisa sebuah pertanyaan. Saya sendiri tidak begitu mengerti mengenani filosofi sehingga muncul pertanyaan “ Apa bedanya filosofi dengan analogi?”

Penjelasan Uli mengenai Filosofi saya simpulkan menjadi penjelasan yang ‘tak membingungkan’ bila dibanding saya harus mengenal atau memahami filosofi secara filosofis. “Seorang Filosof yang akan kita antut dan dipilih adalah berasal dari seorang Filosof yang penjelasannya atau penguraiannya bisa dimengerti, karena filosofi adalah tentang kecintaan.”

Akhirnya pertemuan berakhir. Karaoke, makan sushi, PVJ dan menyendiri adalah acara yang di pilih oleh para anggota secara terpisah sebagai acara lanjutannya.





Sapta P Soemowidjoko. Bergelar sarjana science yang pada akhirnya terjun ke dunia seni. Hobinya menulis, menggambar, dan memotret yang pada akhirnya digeluti secara profesional. Semasa kuliah pernah menjadi penyiar dan produser di beberapa radio dengan genre anak muda. Terakhir, ia pernah terpilih menjadi art director LA Indie Movie dalam film Dummy Bukan Dami sekaligus menjadi pemeran utamanya. Visual merchandise and promotion untuk Corniche adalah pekerjaan tetap yang tertulis dalam kartu namanya.

Minggu, 14 November 2010

Pembatasan Yang Tidak Membatasi

Jika biasanya para anggota Reading Lights Writers' Circle (sebagian besar) duduk di kursi saat menulis, maka pertemuan tanggal 6 November 2010 dapat dikatakan agak tidak biasa. Kami menemukan setumpuk bantalan duduk saat kami berpindah ke lantai kedua toko buku Reading Lights untuk menulis sehingga pada akhirnya kami mengatur kembali susunan perabot agar kami semua dapat duduk di lantai (atau paling tidak di bantalan). Ada pendapat yang menyatakan bahwa perubahan situasi seperti ini dapat memacu kreativitas. Entah benar entah tidak, yang jelas semua orang tidak kesulitan menemukan gagasan saat kami mulai menulis.

Kembali ke awal pertemuan, Neni sempat menggoda Sapta dengan permintaan untuk "menentukan batasan" sebelum kami semua masing-masing menuliskan tema untuk dimasukkan dalam undian hari itu. Celetukan ini mengilhami saya untuk menulis "pembatasan" dalam kertas undian saya, dan ternyata kata ini terpilih menjadi tema penulisan. Tanpa pikir panjang, saya mengutarakan hal pertama yang terlintas dalam benak saya, yaitu keterbatasan barang-barang konsumen seperti yang dialami rakyat Uni Soviet saat negara komunis itu masih berdiri karena sumberdaya ekonomi di sana lebih diarahkan untuk mendukung kinerja industri berat. Dari gagasan dasar ini saya mengusulkan bahwa "pembatasan" di sini mungkin dapat diartikan sebagai suatu halangan yang bukan berasal dari keterbatasan sejati, melainkan dipaksakan oleh suatu faktor dari luar.

Terdengar rumit, memang, tetapi--seperti telah saya katakan sebelumnya--tampaknya tidak ada yang kesulitan menemukan gagasan dari titik mula ini, termasuk Andika yang datang saat semua peserta yang lain sudah hampir selesai menulis. Kemunculannya merupakan satu lagi kejadian tak biasa yang mewarnai hari itu karena sebelumnya Andika tak pernah muncul dalam pertemuan RLWC sejak ia mengundurkan diri dari jabatan fasilitator beberapa bulan yang lalu.

Sementara Andika mulai menulis, Neni membuka sesi pembacaan dengan sebuah monolog tentang seorang wanita yang merasa tersanjung bercampur jengah atas banyaknya orang yang telah melihat, mengamati, dan mencoba menggali arti di balik senyumnya selama beberapa ratus tahun. Wanita ini ternyata Mona Lisa yang terabadikan sekaligus terpasung dalam bingkai lukisan sejak mata kuas Leonardo da Vinci menorehkannya di atas kanvas berabad-abad yang lalu.

Berikutnya, Sapta membawakan sebuah cerita tentang seorang wanita berjilbab yang hendak mengubah penampilannya. Tetapi, walaupun ia sudah bersusah-payah mempercantik dirinya dengan sepatu bertumit tinggi, dandanan yang indah (termasuk tatanan rambut yang dipamerkannya tanpa kerudung), dan baju baru dengan potongan yang provokatif, pada akhirnya ia dihadang di pintu depan oleh suaminya yang baru saja pulang dari suatu urusan di luar rumah; lelaki ultra-konservatif itu langsung menampar si wanita dan menghardiknya untuk mengenakan jilbabnya kembali. Pujian datang dari Nia dan Neni karena menurut mereka cerita ini benar-benar dapat menggambarkan jalan pikiran seorang wanita, terutama saat si tokoh utama berandai-andai tentang berbagai cara yang hendak digunakannya untuk memikat lelaki di luar rumah nanti.

Lalu Dini membacakan sebuah cerita dengan nafas fantasi yang sangat kental. Dikisahkan ada suatu keluarga kecil di negeri makhluk jejadian (shape-shifters). Kehidupan sehari-hari keluarga ini terganggu saat naga peliharaan sang raja mengamuk akibat tersedak batu permata yang ditelannya. Adik si tokoh utama--seorang (atau seekor?) anak (makhluk?) kecil yang terobsesi dengan ekor berbagai macam hewan--menghambur keluar untuk mengejar ekor si naga, sehingga si tokoh utama terpaksa menyelamatkannya sememntara sang ayah mengakhiri amukan sang naga dengan cara manjatuhkan sebuah tiang bangunan di atas perut naga tersebut agar batu permata di kerongkongannya kembali terdorong keluar. Berbagai tanggapan yang muncul umumnya setuju bahwa cerita ini berhasil menampilkan interaksi dalam keluarga dengan manis, tetapi bagian pembukanya agak membingungkan karena begitu banyak nama dan tempat baru yang diperkenalkan di dalamnya. Sempat terlontar wacana bahwa cara untuk menghindari masalah ini adalah memapas dan /atau menggabungkan segala macam nama, tempat, dan kejadian yang tidak benar-benar memegang peranan inti dalam cerita sependek ini.

Kisah keempat yang dibawakan oleh Nia mengambil latar kerusuhan etnis di Sampit (2001) antara suku Dayak dan suku Madura. Di tengah kekejaman dan penderitaan dalam peristiwa ini, diceritakan ada seorang lelaki yang mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan anak-anak kecil yang terlantar dari kedua suku. Lelaki ini menelusuri reruntuhan sebuah kampung untuk mencari satu lagi anak yang dapat diselamatkannya; saat ia memasuki sebuah rumah, tiba-tiba ada satu sosok kecil yang muncul dari persembunyian. Sayang sekali cerita berakhir di sini karena Nia kehabisan waktu. Semua peserta yang lain pun masih merasa penasaran tentang sosok kecil yang tak sempat diceritakan ihwalnya itu.

Rizal, pada giliran kelima, mengisahkan seorang pria yang begitu kesal dengan batasan-batasan waktu yang dikenakan kepadanya hingga ia sengaja memberontak dengan melanggar berbagai macam jadwal dan tenggat waktu dalam hidupnya. Tentu saja hal ini tidak begitu baik bagi kariernya maupun hubungannya dengan orang lain, tetapi baginya semua itu adalah harga yang setimpal bagi kebebasan yang didapatkannya dari kungkungan waktu. Kebiasaannya ini begitu meresap hingga iapun tak pernah langsung mengangkat telepon yang masuk; pada suatu hari, tindakan ini berakibat fatal saat ia baru mengangkat teleponnya setelah panggilan diulang beberapa kali dan ternyata seorang dokter telah berusaha menghubunginya sejak tadi tentang ibunya yang sakit parah. Begitu mendengar berita ini ia langsung bergegas pergi dan berharap bahwa kali ini adalah pertama kalinya ia mampu tak terlambat dalam hidupnya, tetapi dalam perjalanan ia malah tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas dan Sang Maut menjemputnya dengan kata-kata "Waktumu telah habis."

Dalam cerita keenam yang saya tulis, seorang pengembara mendatangi sebuah desa yang begitu kekurangan kayu bakar hingga satu-satunya api besar yang boleh dinyalakan adalah perapian di kedai yang merangkap sebagai balai desa. Ternyata ada segerombolan makhluk besar yang menyerang penduduk desa setia kali mereka keluar untuk mencari kayu bakar, dan si penjaga kedai menjelaskan kepada si pengembara bahwa kejadian seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya. Keesokan harinya si pengembara pun menunda perjalanannya untuk mencari tahu lebih lanjut tentang makhluk-makhluk yang mengganggu desa ini. Seperti halnya cerita Nia, cerita ini terpotong di tengah jalan karena keterbatasan waktu--suatu hal yang memicu diskusi tentang panjang yang "tepat" dan "alami" bagi setiap gagasan cerita. Ada pula beberapa komentar yang membahas cara cerita ini memasukkan rincian-rincian kecil tentang kejadian di sekeliling tokoh utama, terutama dalam kaitan (dan perbandingan) dengan cerita dari Dini.

Sebagai penutup, Andika mengisahkan seorang anak lelaki yang merasa kesal karena kakaknya (juga lelaki) yang beranjak remaja tak mau lagi berbagi kamar dengannya. Ia tak mengerti mengapa kakaknya selalu mengunci kamar dan memutar musik keras-keras atau asyik mengobrol dengan teman-teman yang tak pernah diperkenalkannya kepada adiknya. Pada suatu hari, si adik memberanikan diri untuk mengintip ke dalam kamar baru kakaknya saat ia melihat bahwa tirai jendela luar tak sepenuhnya tertutup, dan betapa kagetnya ia ketika ia sadar bahwa di dalam kamar kakaknya yang telanjang bulat sedang mencium seorang teman lelakinya. Peserta yang lain bergurau bahwa cerita ini diangkat dari pengalaman adik Andika walaupun tokoh si adiklah yang kebetulan mendapat nama "Andika" dalam kesempatan ini.


Selama beberapa tahun terakhir Pradana Pandu Mahardhika telah berusaha untuk menaklukkan dunia, menjadi penulis profesional, dan melakukan penelitian pribadi tentang beberapa sisi sejarah yang tak umum dibicarakan, tetapi sejauh ini ia masih jauh lebih berhasil dalam mempelajari seni panahan daripada dalam upayanya untuk mancapai tujuan-tujuan tersebut.

Selasa, 02 November 2010

Bahagia Dalam Bencana

30 Oktober 2010. Langit tampak muram—mungkin masih berduka bagi Negeri kita yang berulang kali ditimpa bencana. Saya sedang duduk manis di angkot Cicaheum-Ciroyom ketika, pukul 4 teng, ada SMS masuk dari Sapta. “Rizal Affif, di mana lu?”

Ternyata, di RL, baru Sapta yang datang. Saya yang datang pukul 4 lebih 5 terheran-heran melihat Sapta yang berantakan seperti baru kena bencana. Giliran saya bertanya, “kenapa lu?” Tidak lama setelah saya, Tegar datang. Tapi karena masih sedikit yang datang, ia izin ke depan.

Seperti biasa saya mengobrol banyak dengan Sapta, dan waktu pun berlalu. Setengah 5 sore, dan belum ada yang datang lagi. Pukul 5 kurang 10 menit, Nia muncul dan bertanya dengan heran, “kok belum mulai sih?” Ya orang baru bertiga, itu aja Tegar ngabur hahaha... Nia menjatuhkan diri ke kursi sambil mengeluhkan sesuatu, lalu mengeluh tentang disiplin waktu. Hehe, disiplin waktu tampaknya jadi bencana buat Nia hari itu, dan bencana buat kelancaran kegiatan RLWC tentunya.

Kata Nia, hari itu Tegar ingin memberikan tema. Jadi “diseretlah” Tegar dari ruang depan. Ternyata oh ternyata, bencana berikutnya: kata Tegar, ia belum sepenuhnya siap dengan tema yang ingin ia ajukan. Jadilah, daripada semakin berlarut-larut, saya berinisiatif, dengan mempertimbangkan berita dari Wasior, Jakarta, Mentawai, dan Merapi—saya mengusulkan tema BENCANA.

... yang kemudian ditambahkan oleh Sapta, menjadi “bahagia dalam bencana”, supaya ceritanya tidak melulu kelam.

Waktu penulisan pun disepakati selama 30 menit. Satu menit setelah mulai, Dani datang dan langsung menyusul menulis. Dua puluh menit berikutnya, Lulu menyusul dan hanya jadi pendengar.

Pada sesi ini, kami mencoba sesuatu yang baru: cerita kami dibacakan oleh peserta lain. Hal ini diusulkan oleh Sapta dan Nia, karena kata mereka klub ini klub menulis dan bukan klub drama, jadi harusnya karya penulis bisa dinilai terlepas dari bagaimana ia dibacakan.

Supaya adil siapa membacakan karya siapa, maka dilakukanlah pengundian. Pada pengundian pertama, saya dan Sapta kebagian membacakan karya kami sendiri, sehingga dilakukan pengundian kedua. Kami pun bertukar cerita.

Yang pertama membacakan cerita adalah Nia, yang membacakan cerita saya, yang berjudul “Mbah Maridjan”. Cerita ini merupakan gambaran fiktif mengenai menit-menit terakhir kehidupan Mbah Maridjan, bagaimana beliau mengetahui bencana yang akan melanda desanya namun tidak diizinkan berbuat apa-apa; dan bagaimana para Bahureksa mengangkat jiwanya ke Gunung Merapi, menyelamatkannya dan menjadikannya kekal, sebelum awan panas menerjang rumahnya. Cerita ini diikuti dengan pembahasan dan spekulasi lain mengenai kematian Mbah Maridjan; termasuk perdebatan apakah Mbah Maridjan meninggal di kamar tidur atau di kamar mandi.

Yang kedua adalah Tegar, yang membacakan cerita Sapta, yang berjudul “Adila, Shilla, dan Anak Kecil Berkulit Hitam”. Mengangkat tema banjir di Wasior, Papua Barat, cerita ini mengisahkan 3 orang yang saling terpisah: Adila, yang menyaksikan bencana itu melalui layar kaca, sebelum kemudian Ibunya mematikan TV tersebut dan mengisahkan bencana lain dalam hidupnya; Shilla, reporter bencana di Wasior yang senang bisa mendramatisir keadaan di Wasior demi kepuasan pemirsa, dan bagaimana ia terkena bencananya sendiri; serta Anak Kecil Berkulit Hitam, seorang korban di Wasior, yang hanya bisa melihat mayat Ibu dan adiknya dalam diam, berharap ayahnya akan menyelamatkannya. Pertanyaan pertama saya adalah, di mana bahagianya? Sapta bilang yang bahagia adalah si reporter yang bisa mendramatisir bencana untuk kepopulerannya sendiri :D saya juga tadinya berharap akan ada sesuatu yang mengikat ketiga cerita terpisah itu, tapi saya juga setuju dengan Nia: cerita itu bagus.

Yang ketiga membacakan seharusnya saya. Tapi Dani belum selesai dengan ceritanya. Jadi saya pas.

Berikutnya adalah Sapta, membacakan cerita Tegar. Cerita itu mengisahkan tokoh “aku” yang berdiri di tengah pembatas jalan raya dan merasa terancam oleh bunyi sirine yang menghampirinya dari dua arah. Ternyata kedua sirine itu sama-sama adalah sirine patwal yang mengawal mobil pengantin. Nia yang paling pertama protes, “itu bukan bencana alam!”. Tegar berkilah bahwa temanya memang bencana, bukan bencana alam. Saya sendiri tadinya mengira si tokoh aku terjebak di suatu tempat dan sirine itu adalah pertolongan. Justru dalam cerita ini saya kurang menangkap “bencana” yang dimaksudkan. Menurut saya, seharusnya dua iringan pengantin itu harusnya bertabrakan, biar beneran kelihatan ada bahagia dalam bencana, di mana pengantin-pengantin itu bisa mati bersama pasangan. Kata Sapta, “itu mah elu banget.”

Berikutnya, Dani. Meskipun ia belum menyelesaikan ceritanya, ia pun bersedia membacakan cerita Nia. Kali ini, Nia bertutur tentang seorang gadis yang sedang chatting dengan ibunya ketika tiba-tiba terjadi gempa. Terjebak dalam kamar karena pintu yang macet, ia akhirnya malah menjadi satu-satunya orang yang selamat, sementara teman-teman satu kosannya tertimpa reruntuhan saat mereka menuruni tangga. Saya memuji cerita Nia terutama karena penggambaran suasananya yang cerdas, sesuatu yang belum bisa saya lakukan dan masih harus saya pelajari.

Setelah itu Dani masih melanjutkan menulis cerita. Nia beberapa kali protes agar Dani menyelesaikan tulisannya. Sesi itu pun kami selingi dengan Sapta dan Tegar yang membacakan cerita mereka masing-masing, agar lebih terasa soul-nya. Barulah setelah sekitar setengah jam dari berakhirnya sesi menulis. Dani menyodorkan ceritanya pada saya. Saya menolak sebagai bentuk protes keterlambatannya. Tapi Nia yang sedari tadi protes ternyata berbaik hati mengambil cerita itu dan membacakannya.

Dani bercerita tentang dua orang petugas relawan di daerah bencana, bagaimana mereka sebenarnya jengah dengan pekerjaan itu, tetapi kemudian merasa bahagia setelah berhasil menyelamatkan 12 orang. Bagi mereka, menutup pintu ambulans untuk mengantarkan korban selamat adalah kebahagiaan dalam bencana. Sapta yang pertama mengomentari cerita Dani, ia menyatakan bahwa suasana dala cerita itu kurang terbangun. Saya setuju. Dani berkilah ia terpaksa melakukan itu karena waktunya kurang untuk menulis deskripsi situasinya :p Sapta melanjutkan bahwa cerita itu bisa menjadi bagus kalau dijadikan karya visual. Saya berpendapat Dani sebetulnya bisa menyelipkan deskripsi berupa pemilihan kata dalam narasi, jadi tidak perlu membuat deskripsi khusus yang berpanjang-panjang. Namun saya juga memuji bahwa kali ini Dani keluar dari mainstream ceritanya

Sesi kali ini berakhir pukul 7 malam--alhamdulillah, tanpa bencana, tapi dengan kebahagiaan.


Rizal Affif adalah seorang konsultan HR yang sebenarnya lebih mencintai dunia menulis dan web design ketimbang dunia industri. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan diri di sela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi dirinya. Selain menulis di RLWC, ia juga secara konstan menulis karya bertema spiritualitas—dan menuangkan eksperimen desain webnya—dalam blognya http://thesoulsanctuary.us. Ia juga sedang merencanakan pembuatan blog mengenai manajemen HR untuk menunjang karirnya.

Selasa, 26 Oktober 2010

Berbagai Rasa dari Tiga Kata


Hari Sabtu tanggal 23 Oktober, peserta RLWC yang datang mencapai 10 orang. Ada tujuh orang yang sudah berkumpul, sebelum Azisa, Regie, dan Dani bergabung. Hari itu, Neni mengusulkan sebuah cara pemilihan tema, yakni membuat sebuah tulisan yang mengandung 3 kata tertentu. Setelah setiap peserta mengajukan ide 3 kata miliknya dan dipilih secara acak, kata-kata yang terpilih adalah "kacang merah," "memacul," dan "rumah bordil." Ada sedikit kesalah pahaman karena ‘rumah bordil’ disangka sebagai rumah 'bordir', dan membuat dua orang peserta harus menulis lagi ceritanya dari awal.

Aryo, pemilik ide kata tersebut mengaku kesulitan karena semula ia hanya iseng. Namun akhirnya tulisannya jadi dan ia bacakan. Ia menggunakan kata-kata tersebut menjadi jus kacang merah, dan sisanya menjadi isi berita siang di televisi. Seperti tulisannya yang bertema horor pekan lalu, ia menyertakan nama beberapa peserta RLWC dalam ceritanya.

Giliran kedua adalah saya. Saya menulis cerita dengan latar Jepang, menggambarkan situasi rumah bordil pada saat musim dingin. Beberapa peserta berkomentar cerita saya bagus dan rapi, seperti reportase. Hal ini diamini peserta lainnya. Berikutnya, giliran pengaju tema hari itu, yaitu Neni. Ia membuat sebuah cerita yang berbeda, dengan sebuah kacang merah yang tidak bisa tumbuh di tanah sebagai narator. Bagi saya, cerita Neni keluar dari persepsi umum. Sedangkan menurut Azisa, cerita itu menjadi menarik karena rumah bordil tidak melulu harus berkonotasi seks.

Kemudian Nia yang bercerita. Ia menceritakan seorang tokoh bernama Burhan yang pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib, dan bertemu dengan seorang ibu tua di stasiun. Cerita Sapta agak mirip dengan Nia dalam hal berjuang hidup. Ia mengupas sisi domestik dari seorang pekerja seks, yang tetap harus memasak sehari-harinya dan menghadapi penghakiman dari orang-orang di sekitarnya setiap kali ia berbelanja. Sapta mengakhiri dengan peristiwa sang wanita 'mencangkul' kepala ibu-ibu di warung yang kerap menyindir profesinya.

Ketika giliran Farida, ternyata ia membuat dua buah cerita. Yang satunya iseng, dan satu lagi yang serius. Ketika cerita yang kedua dibacakan, meledaklah tawa semua peserta. Ternyata Farida dengan sengaja memplesetkan ‘rumah bordil’ menjadi rumah bordir di akhir cerita. Nia berkomentar bahwa Farida amat peka terhadap fenomena kecil di keseharian.

Azisa yang menyusul berikutnya, mengangkat cerita dengan detail-detail unik, seperti meja mahogani dan aneka rempah-rempah. Dalam ceritanya, Azisa tidak menyebutkan dengan gamblang ketiga kata yang menjadi tema. Sedangkan Tegar, yang membacakan setelah Azisa, mendapat komentar bahwa metafor-metafor yang ia gunakan dalam ceritanya menarik.

Dua cerita berikutnya mengandung unsur romantisme. Dani, dalam sebuah cerita berlatar rumah bordil di pinggiran Kairo, mencoba menghadirkan hubungan romantis antara tokoh utama dengan rekannya saat mereka mengunjungi tempat tersebut. Romantisme yang dibangun melalui dialog dan deskripsi suasana ini berhasil ditangkap dan disetujui Azisa. Aryo berkata bahwa pemilihan nama tokohnya kurang eksotis.

Cerita milik Regie mengundang reaksi yang menarik. Pasalnya, tulisannya kaya dengan kontak fisik eksplisit, tapi salah satu nama tokohnya Ryan, peserta yang ada di ruangan. Ryan sendiri menanggapinya, “Rasanya saya tak bisa komentar apa-apa.”

Ryan, yang datang terlambat dan menulis tanpa perpanjangan waktu, mengakhiri sesi hari itu dengan membacakan karyanya. Ia bercerita mengenai persaingan dua orang wanita pekerja di rumah bordil. Terasa ada kemajuan dalam cerita Ryan, yakni dari penggunaan dialog yang lebih dimunculkan dibanding tulisannya terdahulu.

Tema 3 kata hari itu menghasilkan tulisan-tulisan yang di luar dugaan. Kebanyakan peserta berusaha keluar dari kebiasaan, bereksplorasi, dan menunjukkan perkembangan masing-masing. Satu lagi sesi menulis di Reading Lights dengan berbagai hal yang mencengangkan, namun tetap fun.



Dini Afiandri adalah salah seorang anggota yang (relatif) baru di Reading Lights Writers' Circle tetapi telah berhasil menyesuaikan diri dengan segala keanehan di sini. Siapapun yang ingin mengikuti jejak penulis bergaya "romantisme brutal" ini (menurut kata-katanya sendiri, lho) dapat langsung mengunjungi pertemuan kami setiap hari Sabtu jam 4 sore di salah satu sudut Reading Lights. Eh, kok malah jadi promosi ya?

Jumat, 22 Oktober 2010

Antara Horor dan Haram


(Catatan Editor: Maaf bagi pembaca yang terlanjur merasa takut atau malah paranoid gara-gara entri jurnal kemarin. Sebenarnya itu cerita salah satu peserta yang ditulis waktu pertemuan tanggal 16 Oktober, tetapi dijadikan entri jurnal jadi-jadian untuk menambah bumbu pengalaman berjurnal ;P . Beginilah rupa jurnal asli yang ditulis Ryan: )

Ini adalah jurnal pertama sayaWriter's Circle pada hari Sabtu jam 17.00, tepatnya pada saat saya datang, sudah mengalami kejadian yang cukup “menyenangkan.” Kenyataan bahwa saat itu mati lampu dan hari gelap bukan karena jam 5, tetapi disebabkan oleh hujan, langit yang gelap, seperti sudah melwati jam 6 sore saja, tidak ada kesan romantis. Entah kebetulan atau tidak ketika saya datang, saya mendapati bahwa hanya 4 orang yang telah datang dan siap menulis. Dan yang paling kebetulan adalah bagaimana tema yang didapatkan untuk menulis adalah “Horor” atau tepatnya yang menyeramkan, suatu kebetulan yang menyenangkan bukan? Perlu saya jelaskan kenapa sih saya sebutkan kebetulan? Ya karena dalam memilih tema penulisan adalah pengundian. Dalam setiap ingin memilih tema yang kami lakukan adalah menulis tema kami masing-masing dan mengundinya. Ya, seperti yang saya tulis, sebuah kebetulan yang “menyenangkan”.

Secara total yang datang ada 6 orang, tetapi yang menulis 5 orang, sangat disayangkan untuk Bung Dani, terlalu telat. Dalam menulis, kami sendiri (beberapa dari kami) merasa kesulitan, tentu saja dalam penulisan tema “horor” adalah sesuatu yang baru bagi kami. Yang paling sulit dari kami adalah bagaimana kami membedakan apakah pembunuhan atau “
thriller” termasuk ke dalam tema horror dan apakah horor selalu memerlukan unsur “supernatural”, akibatnya saya menulis dan satu teman saya menulis dengan tema “thriller”. Secara keseluruhan salah satu yang kesulitan kami yang paling mencolok adalah cara menuliskan sikap “panic”, sulit sekali lho.

Kami menulis dalam keadaan gelap (terima kasih kepada Rizal atas ide nya untuk membuat lampu “neon” sederhana dari HP dan gelas ice Cappucino). Tapi langit berkehendak lain, maka di tengah lampu kembali menyala, ya, kembali ke
status quo. Secara singkat kami masing-masing membacakan cerita kami, dan saling mengomentari akan kelebihan dan kekurangan tulisan-tulisan kami masing-masing, akan tetapi yang paling menarik adalah satu tulisan teman yang yang berjudul “JURNAL”, tentu saja yang dia pakai adalah hari itu, tokoh-tokoh yang ada disitu, dan tempat itu. Dengan kata lain kami semua dibawa ke suasana horror. Dan tentu saja satu orang berhasil membuat cerita yan glucu. Hari yang menyenangkan, saya tidak sabar menunggu pertemuan berikutnya. Masih banyak kekurangan dalam hal ini, kita akan teruskan ke depannya untuk menjadi semakin baik.


K.Ryan Marhalim, seorang bocah dengan banyak impian, salah satunya untuk menjadi penulis novel ternama bak Pramoedya Ananta Toer. Kegiatannya selain menggentayangi Reading lights Writers' Circle adalah menghadiri sebuah kelompok okultisme (occultism).

Kamis, 21 Oktober 2010

Dalam Gelap


Sabtu itu [16 Oktober 2010 -red.] banyak teman yang tidak datang ke klub menulis di tempat kami biasa berkumpul. Mungkin karena hujan atau macet karena acara festival di pusat kota.

Sudah dari jam dua belas aku menunggu di ruangan belakang toko buku di pertokoan tua di daerah Bandung Utara. Sudah empat batang rokok habis sebelum akhirnya Nia datang. Langit sangat mendung saat itu. Meski baru jam empat sore, suasana sudah seperti akhir senja, gelap. Kami baru mengobrol sebentar saat Rizal dan Neni datang.

Setelah kira-kira jam setengah lima, kami memutuskan untuk memulai kegiatan menulis. Sekitar lima menit kami berdiskusi tentang tema yang akan diambil hari itu. Lalu diputuskan kalau kami akan menulis dengan tema horor.

Aku hanya tertawa dalam hati saat lampu mendadak padam, dan sepertinya tidak ada yang menyadari saat angin semilir sejuk sekejap melewati ruangan tertutup ini. Mungkin mereka berpikir hal itu normal, karena udara memang cukup sejuk dan angin di luar memang bertiup semilir.

Aku sudah cukup lama kenal tempat ini. Hanya sekali kualami kejadian angin mengalir kencang di ruangan belakang yang dikelilingi tembok ini. Memang hal itu tidak mustahil, angin yang mengalir masuk bisa saja masuk melewati kisi-kisi jendela. Tapi ada faktor lain yang membuat hal itu merupakan fenomena tak biasa.

Kejadian itu dikukuhkan oleh kedatangan dua orang teman lainnya, Ryan dan Sapta. Dua kali aku melihat bayangan gelap yang sedari tadi kukira hanya bayangan biasa, menyembul dari balik meja boks tua yang ada di tengah ruangan.

Aku berharap agar lampu segera menyala, karena bayangan tersebut sekarang berada di balik rak buku kecil di samping tempatku duduk. Sambil tetap fokus menulis, aku melihat siluet berbentuk wajah tanpa mulut. Matanya hitam kosong memperhatikanku.

Aku hanya berdoa dalam hati agar lampu cepat menyala. Sekejap sebelum lampu menyala, dari sudut mataku, aku melihat bayangan hitam pekat itu merayap dan meliuk-liuk ke depanku dekat kaki-kaki meja dengan cepat menuju salah satu tas seorang teman, dan masuk ke dalamnya tepat saat semua orang mendongak ke arah lampu.

Aku bergidik sekaligus lega, karena itu bukan tasku dan lampu sudah menyala.


- Ari

Selasa, 19 Oktober 2010

Satu Lagu, Banyak Cerita



Kegiatan Reading Lights Writers Circle kemarin [Sabtu 9 Oktober 2010] cukup unik. Ketika saya datang, selain para peserta Writers’ Circle, ada satu orang lagi yang akhirnya segera diperkenalkan pada saya. “Hari ini sesi interpretasi lagu,” kata Nia. “Lagunya buatan dia.” Dia menunjuk orang itu. Akhirnya saya tahu bahwa lagu instrumental itu berjudul After Midnight, dan orang itu bernama Tesla. Menurut http://soundcloud.com/, nama lengkapnya adalah Tesla Manaf Effendi (dan musiknya juga, termasuk After Midnight, dapat didengarkan di website tersebut).

Saya terlambat datang, jadi saya diperdengarkan lagunya untuk keduakalinya tanpa perpanjangan waktu. Jazz. Dengan nada-nada yang menyiratkan sesuatu yang intens sedang terjadi, kemarahan, dan akhir yang menghentak. Sesuatu segera terbayang di otak saya. Saya melirik pada sang kreator musik, diam-diam kagum. Lalu mulai saya tuliskan cerita yang terlintas di benak saya setelah mendengarkan lagu tersebut. Sedikit aneh, saya pikir.

Tapi ternyata interpretasi para peserta RLWC sore itu terhadap lagu tersebut memang berbeda-beda. Yang pertama membacakan adalah Myra. Ceritanya adalah tentang perselingkuhan anak dengan orang tua, dengan ending yang membuat para peserta lain terhenyak: karakter tersambar petir. Menggambarkan irama musiknya, yang menurut Myra seperti score sinetron, dengan akhir yang tiba-tiba. Tesla berkomentar bahwa cerita Myra cocok dengan lagunya, cerdas, dengan penyampaian yang puitis. Rizal berkomentar bahwa dia akan sulit menghandle cerita seperti itu, tapi Myra bisa. Pada saat itu juga, Tesla mulai bercerita bahwa dia memang tertarik pada musical score film-film.

Selanjutnya yang membacakan adalah Tegar. Interpretasi Tegar cukup unik, yaitu dia membuat cerita tentang orang yang sedang melakukan tes Kreplin. Menurut Tegar, repetisi dalam lagu After Midnight membuatnya teringat dengan repetisi yang menyebalkan di tes Kreplin.

Setelah Tegar, giliran Rizal yang membacakan ceritanya. Rizal membicarakan tentang seseorang yang melintasi air, dengan gelembung-gelembung. Peserta lain mengritik bahwa cerita Rizal kurang konflik dan banyak yang merasa bingung. Tesla berkomentar bahwa cerita itu seperti tari interpretasi.

Giliran Neni membacakan cerita. Neni bercerita tentang bunga di musim gugur. Yang menarik, ceritanya belum selesai sehingga dia membacakan “titik-titik…” sebagai akhir cerita. Para peserta lain, termasuk Tesla, menyatakan bahwa mereka penasaran dengan akhirnya. Saya juga tentunya. Seperti biasa, saya selalu mengagumi deskripsi Neni tentang alam.

Sapta, yang membacakan setelah Neni, membuat permintaan aneh ketika gilirannya tiba. Dia minta Nia memutar musiknya ketika dia membacakan cerita. Sapta ingin memberikan cue-cue mengenai apa yang ada di pikirannya ketika mendengar musik ini. Dia menyatakan bahwa dia membayangkan ini jenis video reverse, seperti videoklip The Scientist-nya Coldplay. Lalu Sapta membacakan ceritanya. Ceritanya ternyata berkaitan dengan matador dan digabungkan dengan legenda puteri duyung. Tesla menyatakan bahwa cerita Spata membuatnya teringat pada lagunya.

Selanjutnya yang membacakan adalah saya. Lagu After Midnight mengingatkan saya pada sebuah video Youtube tentang pencarian absurd wanita terhadap kecantikan sempurna. Itulah yang saya akhirnya tulis, tentang perjuangan hopeless seseorang dalam mencoba menjadi wanita yang “cantik” dengan operasi plastik dan sedot lemak, sampai dia menemukan bahwa dia tetap bukan jadi yang tercantik di sebuah ajang beauty pageant. Tesla menyatakan bahwa dia baru merasakan ada lagu After Midnight pada adegan dimana si wanita baru dibuka perbannya setelah dioperasi plastik. Sapta setuju.

Interpretasi selanjutnya adalah dari Fadil. Fadil datang terlambat, sehingga dia belum menulis banyak. Tapi Fadil menulis tentang werewolf yang ditangkap, yang akan dimangsa. Para peserta setuju bahwa cerita Fadil unik.

Setelah Fadil, Nia menyusul. Nia menulis mengenai Gajayana, kereta cepat. Tesla berkomentar bahwa ceritanya absurd dan berat. Selain itu, Rian menyusul dengan ceritanya, mengenai orang yang disebut aneh. Para peserta tertawa ketika Fadil berkomentar di akhir cerita, “Cerita yang aneh”. Cerita ini dikritik oleh saya, Rizal, dan Nia karena repetisi dari kata-katanya yang terlalu banyak. Peserta lain menyatakan memang style Rian seperti itu.

Terakhir yang membacakan adalah Dani. Ceritanya berfokus pada percakapan dua orang, dan Dani menyatakan bahwa dia mencoba mengungkap karakter dari tokoh melalui dialog.

Setelah Dani selesai membacakan, sesi menulis hari itu kemudian ditutup.


Farida Susanty. Pemenang Khatulistiwa Awards 2006-2007 untuk Penulis Muda Terbaik serta telah menerbitkan buku Dan Hujan pun Berhenti dan Karena Kita Tidak Kenal. Entah kenapa bisa tersasar ke tanah antah-berantah yang didiami Reading Lights Writers' Circle. Sementara menunggu beliau pulang ke dunia beradab, silahkan baca blognya di http://jerawatdimuka.tumblr.com/


Rabu, 08 September 2010

Keragaman Hari Raya Keagamaan


Di penghujung bulan Ramadhan, agenda terakhir writer’s circle adalah menulis dengan tema ‘hari raya keagamaan’ dalam rangka untuk menghayati keberadaan hari besar yang beberapa hari lagi akan dilalui umat Islam. Mungkin. Setidaknya itu menurut saya, tapi entahlah tujuan pemilihan tema itu menurut Rizal—fasiliator writer’s circle pada pertemuan Sabtu kemarin.

Keberagaman agama di antara kami menghasilkan keberagaman hari raya yang ditulis. Namun, antara sayangnya dan entah kenapa, ada pemaknaan negatif terdapat pada mayoritas hasil tulisan peserta. Misalnya ada yang menulis pengorbanan domba di Idul Adha sebagai pembantaian, hari Idul Fitri yang penuh formalitas dan basa basi, seorang designer atheis bernama Clair mati bunuh diri di hari raya suci Clarism, juga seorang laki-laki yang tidak bisa bersalam-salaman dengan tangan-tangan orang yang sudah dibunuhnya untuk meminta maaf.

Jika persepsi negatif muncul secara masif, ada apakah ini?

Namun dibalik kenegatifan para peserta, terselip cerita manis yang ditulis oleh Uli. Ia menuliskan tentang dua suami istri yang berbeda agama. Si istri sempat merasa menyesal menikahi orang yang berbeda agama karena pasangannya hanya menganggap dingin hari rayanya dan ia harus shalat Idul Fitri sendirian. Ternyata saat pulang, pasangannya memasakkan opor untuknya—walaupun dengan bumbu instan.

Ah, manis sekali.

Sekalian ada pemberitahuan bahwa writer’s circle akan diadakan lagi hari Sabtu tanggal 18 September 2010 pukul 16.30. Saya, mewakili seluruh peserta Reading Lights Writer’s Circle, mengucapkan Selamat Idul Fitri bagi yang merayakannya. Mungkin tulisan Ayu Utami dalam buku Manjali dan Cakrabirawa cocok untuk saat ini. Kira-kira isinya begini:

Manusia tidak mengampuni. Mereka hanya bisa berdamai dengan sisi gelap manusia.




Nia Janiar. Sarjana psikologi yang bekerja sebagai pengajar anak berkebutuhan khusus. Selain itu, ia adalah kontributor untuk webzine Ruang Psikologi. Untuk melihat tulisan-tulisannya, silahkan berkunjung ke: www.mynameisnia.blogspot.com

Jumat, 23 Juli 2010

Kepada Yth: Writer's Block, di Tempat

Undangannya cukup menarik, pikir saya. Tertulis writer's circle akan menulis surat perpisahan untuk "sesuatu" bernama writer's block. Wah, kebetulan saya sedang mengalaminya. Oleh karenanya, datanglah saya ke writer's circle sore itu.

Ketika datang, saya melihat Andika menalikan sepatu. "Ada yang udah datang?" tanya saya. "Ada, Sapta lagi di ruang belakang, lagi merokok." Tidak langsung ke ruang belakang, saya dan Andika pergi ke ruang depan untuk menunggu teman lainnya. Beberapa lama kemudian datanglah Rizal yang konon katanya baru cross-country. "Lho, kirain enggak akan datang?" tanya saya. "Perginya cuma di utara Jawa Barat saja, tapi ini agak teler," ujarnya. Lalu tibalah Hakmer dengan wajah bangun tidurnya. Begitu mengetahui Sapta ada di ruang belakang dan sedang merokok, ia pun bersingut ke sana.

Akhirnya kami pakai ruang belakang. Ada saya, Andika, Rizal, Hakmer, dan Sapta. Rupanya ada yang mengintai kami diam-diam yang ternyata memang niat ikut writer's circle. Namanya Dikdik. Laki-laki. Angkatan 2006. Kuliah di sekitaran kebun binatang. Genaplah kami berenam memulai kegiatan.

Ternyata hampir semua peserta writer's circle pernah mengalami writer's block. Writer's block adalah keadaan dimana penulis tidak bisa menulis padahal alat tulis sudah ada dan padahal penulis ingin menulis, biasanya disebabkan oleh faktor teknis seperti plot yang belum matang sehingga kesulitan dalam mengeksekusinya atau faktor psikologis). Nah, tugas writer's circle adalah membuat surat perpisahan kepadanya.

Suratnya bermacam-macam karena pengalaman namun terasa sama:

Dika menuliskan dengan puitis tentang sudah satu tahun ia sudah tidak nulis (sekalinya nulis pun tentang orang-orang yang meninggalkan) dan di sana ia mulai akrab dan terbangun perasaan hangat dengan writer's block. Namun perasaan hangat berubah jadi dingin dan memutuskan untuk berpisah jua karena writer's block adalah pagar penghalang ke dunia imajinasi.

Sementara Sapta menggunakan banyak analogi. Diawali dengan keadaan dimana tokoh berada di dalam suasana temaram. Analogi pernikahan dan writer's block sebagai cinta masuk ke dalam cerita. Tulisan ditutup dengan aksi pembunuhan terhadap writer's block.

Dikdik, yang biasa menulis puisi dan hampir selalu mengutip karya Seno Gumira Ajidarma dalam percakapannya, menulis dengan komposisi yang baik (menurut Hakmer) berupa keluhan dengan diri sendiri dimana writer's block dianggap terlalu menggurui dengan teori-teori menulis dan dihubungkan dengan Siddhartha Gautama yang mendapat pencerahan dengan sendirinya tanpa membaca.

Hubungannya dengan writer's block dianalogikan sebagai hubungan tanpa status ala SMA oleh Hakmer. Writer's block begitu setia pada ide yang terus mereplikasi dan mereplikasi. "Mengapa cinta SMA?" tanya saya. Ia bilang bahwa cinta SMA bukanlah cinta yang membangun. Dalam cinta SMA hanya ada kebuntuan, depresi dan depresi. Ya, setidaknya itu bagi Hakmer.

Karya saya hampir sama seperti yang lain, namun karya saya dikritik terlalu cepat menuliskan akhir cerita sehingga pemotongannya dirasa tergesa-gesa. Malah cerita saya dibilang seperti berita atau infotainment. Entah konten atau mungkin pembacaan yang membawa kesan seperti ini. Sapta mengusulkan bahwa di lain kesempatan, kata kita akan dibacakan oleh orang lain.

Selanjutnya, Rizal, menganalogikan writer's block sebagai tembok Berlin yang memisahkan warna dunia, datang tanpa diundang, hadirnya membuat statis diam, dan membuat seperti selokan yang membuntu. Tokoh perlu melakukan sesuatu untuk membuang sumbat selokan sehingga ia mengalir dan meluruh.

Dalam karyanya Rizal, ada beberapa pengulangan kata yang berfungsi sebagai penekanan. Tapi harus berhati-hati jika digunakan terlalu sering, kesan yang ditangkap akan membosankan. Dan menurut peserta lain, biasanya Rizal anti terhadap hal-hal yang terlalu umum. Namun tulisan Rizal kali ini terasa dekat dengan lingkungan. Sepertinya Sapta yang berkomentar begitu.

Dani, yang enggan berdekatan perihal rokok, menjadi karya penutup kali ini. Bercerita tentang tokoh pejuang kebebasan yang biasa berbicara di depan umum untuk menyuarakan kepentingan orang lain, harus meringkuk di penjara. Tokoh digambarkan sebagai seseorang yang tidak biasa nulis tapi pada kondisi ini ia harus menulis sesuatu. Proses penulisan berhenti ketika matahari tenggelam. "Writer's block-nya ketika matahari tenggelam ya?" tanya Sapta. Entah mengkonfirmasi atau tidak pertanyaan Sapta, saya lupa Dani menanggapi apa.

Sebetulnya proses menulisnya sebentar. Namun yang membuat lama pertemuan Sabtu itu adalah terjadi diskusi mengenai rasa dan gaya penulisan. Setelah membandingkan karya-karya penulis ternama, writer's circle mencoba menganalogikan dengan karya musisi-musisi ternama. Mungkin, menurut saya, kami agak terjebak dalam debat kusir. Artinya mungkin kami menduga-duga berdasarkan pendapat. Sepertinya kami membutuhkan orang yang lebih objektif dan lebih tahu dalam bidang kepenulisan untuk membagi ilmunya. Ada yang berminat?





Nia Janiar. Sedang tertarik pada menggambar, membaca, dan menulis puisi. Silahkan berkunjung ke blog-nya: http://mynameisnia.com

Rabu, 14 Juli 2010

POV!

Hari itu Regie berpikir untuk datang lebih cepat ke Reading Lights. Sore nanti mungkin akan terlalu macet untuk bisa datang tepat waktu mengikuti Reading Lights Writers' Circle (RLWC)--pikirnya. Sekitar pukul 13.30 Regie sudah datang di Reading Lights dan mulai menghabiskan waktu dengan membaca dan mengobrol dengan temannya. Sementara sesuai dengan perkiraannya Jl.Siliwangi tempat Reading Lights beralamat sudah dipenuhi oleh kendaraan terutama mereka yang berplat nomor kota Jakarta.

Dan tidak seperti biasanya hari itu Andika, fasilitator RLWC juga tidak datang lebih awal seperti biasanya. Justru Hakmer muncul dan bergabung dengan Regie duluan. Hakmer sempat berkata mungkin karena minggu kemaren RLWC sangat sepi, Andika merasa agak murung.

"Gue rasa Andika bukan tipe orang seperti begitu," kata Regie, walau dalam hati dia sempat berpikir bahwa memang agak di luar kebiasaan Andika tidak muncul lebih awal.

Sekitar pukul 14.30, Anas, salah seorang penulis RLWC datang, dan seperti biasa, Regie yang tidak tahan dengan kesunyian bila ada orang-orang yang dia kenal, memulai perbincangan tidak jelas yang sekarang bahkan sudah dia lupakan.

Sekitar 15 menit kemudian Andika pun datang. Setelah menyapa yang lainnya dan memesan segelas minuman, Andika pun langsung memberi tahu yang lain tentang tema menulis RLWC Sabtu itu.

"Hari ini temanya Point of View (POV)," katanya sambil membagikan kertas yang menjabarkan tentang POV. " Kita akan mengembangkan cerita dari berita yang dilampirkan di situ, menggunakan tuntunan POV yang dijabarkan di kertas tersebut."

Berdasarkan kertas dari Andika, POV adalah cara penulisan yang digunakan dari perspektif 'siapa' cerita itu bergulir. Kurang lebih seperti kamera yang digunakan pada sebuah film ataupun komik.

Secara tradisonal ada enam POV yang sering digunakan oleh penulis, yaitu:

1. First Person: POV orang pertama, dimana penulis menggunakan kata aku, saya atau kami, sebagai narator dari cerita.

2. Second Person: POV orang kedua, dimana penulis mengunakan kata kamu, yang tidak termasuk dalam dialog, dan 'kamu' ini menjadi narator atau observer dari cerita. Bentuk ini bisa ditemukan dalam novel How To Become a Princess - Meg Cabbot dan film Mean Girls

3. Unlimited: Penulis menggunakan POV dari hampir setiap karakter dalam bukunya, bahkan menjabarkan perasaan dan pikiran tiap-tiap karakter. Disebut juga POV orang ketiga atau POV Dewa/Tuhan. Dan POV ini yang paling banyak digunakan.

4. Outer Limited: Penulis menggunakan bentuk-bentuk orang ketiga, tapi hanya sebagai observer, tidak menjabarkan pikiran dan perasaan orang-orang yang ada dalam cerita tersebut. Bentuk ini dapat ditemukan di versi novel dari drama Our Town.

5. Inner Limited: POV orang ketiga melalui mata orang pertama. Dimana tokoh 'aku' akan menjadi narator cerita, membagikan perasaaan dan pikirannya tentang cerita, namun tidak secara langsung terlibat dalam cerita tersebut, dapat ditemukan dalam serial TV Desperate Housewives.

6. Combo: Mudah ditemukan di novel-novel suspense dan misteri, dimana penulis akan menggunakan unlimited POV saat menggambarkan kegiatan penyelesaian suatu masalah, tapi juga mengunakan inner limited POV saat masuk kedalam tokoh utama cerita tentang pola pikirnya terhadap, misalnya, suatu kasus.

Setiap penulis RLWC, diharuskan mengembangkan cerita dari berita di bawah ini:


Walau Andika sudah datang dan membagikan tema, RLWC belum dimulai, mereka masih menunggu beberapa rekan penulis lain yang berjanji akan hadir hari itu. Tidak lama Theo dan Dea, disusul Sapta, datang dan segera bergabung dengan yang lainnya. Dan sesi menulis pun dimulai. Di tengah sesi, Uli dan Dani pun datang bergabung dengan yang lainnya.

Untuk beberapa saat tiap orang larut dengan pikiran masing-masing, diselingi dengan perbincangan kurang penting yang terkadang tidak ada hubungannya dengan tema menulis hari itu. Akhirnya setiap orang menyelesaikan tulisannya dan seperti biasa mulai membacakannya satu persatu.

Anas, menjadi orang pertama yang membacakan ceritanya, walaupun ceritanya sendiri tidak terkait langsung dengan kejadian dalam berita. Anas menceritakan tentang; perempuan-perempuan yang pasti memiliki suatu rasa yang kuat untuk bisa memeluk laki-laki lain. Seperti biasa Anas menulis dengan bahasa yang bagus dan cerita yang mengalur rapi.

Selanjutnya adalah Andika. Dia mengembangkan berita tersebut menjadi sebuah kisah pembunuhan dan konspirasi. Tampaknya salah seorang saingan S, yang menemukan bahan pengganti BBM, merasa akan merugi bila S berhasil mematenkan penemuannya. Maka dia menyuruh pembunuh bayaran untuk membunuh S dan tentunya membunuh IY juga karena kebetulan ada di TKP. Sang pembunuh membunuh mereka berdua dengan memasukan racun ke dalam pasta gigi yang mereka gunakan. Cerita Andika hari itu agak diluar comfort zone, walau di awal menggambarkan percintaan namun endingnya cukup mengejutkan. Walau agak aneh, karena Andika menceritakan bahwa sang pembunuh bersembunyi dalam lemari, yang pastinya cukup sesak.

Sapta hadir dengan komedi satir-nya. Tokoh-tokoh yang didalam ceritanya adalah tokoh-tokoh yang tidak berhubungan secara langsung dengan kejadian, namun memiliki hubungan keluarga dengan korban wanita. Menceritakan tentang pembacaan buku harian IY oleh keluarganya setelah dia diberitakan meninggal, diceritakan bahwa IY yang merasa minder dengan kakak perempuannya sang penyanyi dangdut dan mampu membiayai seluruh keluarganya, sehingga melakukan perselingkuhan dengan S yang umurnya jauh lebih tua, Sapta merubah usia IY untuk menjadi lebih muda, agar lebih masuk ke ceritanya.

Kemudian Theo hadir dengan jiwa feminis yang sangat kuat. Mengisahkan monolog IY yang merasa tidak terpuaskan secara batin oleh sang suami. Sehingga memilih untuk mendapatkannya melalui S, yang memujanya dan mencintainya seutuhnya.

Setelah Theo, hadir Regie yang mencoba membawa suasana mistis, mengunakan sudut pandang makhluk lain yang menyaksikan kejadian tersebut melalui matanya.

Regie menceritakan tentang perselingkuhan yang dilakukan S dan IY. Setelah selesai bercinta, IY menunjukkan sebuah DVD yang diberikan suaminya dan menontonnya bersama S. Ternyata DVD itu berisi rekaman dari video yang terdapat pada film The Ring. Dan akhirnya kedua pasangan tersebut mengalami nasib yang sama dengan korban-korban dalam film The Ring.

Kisah dilanjutkan oleh Dea yang hadir dengan kisah komedinya. Dalam cerita itu Dea menjadi dirinya sendiri yang bertemu dengan seorang ibu yang mengaku tahu pasti tentang kejadian sebenarnya antara S dan IY dan mengapa mereka bisa ditemukan mati berpelukan. Cerita yang seharusnya tragis pun berubah menjadi lucu dan menggelikan saat dia menghubungkan kisah kematian tersebut dengan teletubbies. Mau tahu cerita lengkapnya? Silahkan baca di blog Dea.

Hakmer, penulis melakolis RLWC juga menghadirkan suasana konspirasi dalam tulisannya dengan mengambil sudut pandang dari beberapa tokoh yang ada dalam berita itu. Hakmer menyusun rangkaian cerita yang membuat pembaca (pendengar) menyusun sendiri benang merah rangkaian kejadian yang berpusat pada kematian S dan IY.

Dani yang memang spesialis kisah-kisah action-thriller-nya, kembali dengan gayanya yang khas. Kisah ini dirubahnya menjadi kisah pembunuhan dan konspirasi. Dani bercerita melalui sudut pandang sang pembunuh dan tidak melupakan detil yang akurat dalam ceritanya.

Terakhir Uli, ia justru hadir dengan kisah pre-quel dari kejadian dalam berita. Bercerita tentang seorang anak sekolah yang memiliki ketertarikan dengan ibu guru IY. Dan pergumulan dalam dirinya yang awam dengan cinta, serta keinginannya untuk menyatakan perasaannya terhadap gurunya yang cantik itu.

Dengan berakhirnya pembacaan Uli, maka berakhirlah sesi menulis pada hari itu. Namun keceriaan RLWC belum berakhir karena seperti biasanya setelah sesi menulis selesai, penulis-penulis RLWC pun larut dalam sesi canda dan tawa.



Regian Permana. Lahir lebih dari 20 tahun yang lalu. Menyukai lagu-lagu Jepang dan Korea. Penggemar berat cerita fantasi dan dongeng - terutama dongeng-dongeng Asia tentang siluman rubah. Mungkin itulah yang menyebabkan cowok narsis ini mempunyai Facebook: Siluman Rubah Kitsune, YM: liyujingbai (siluman rubah putih), dan Livejournal: http://white-demon-fox.livejournal.com. Usut punya usut, menurut cerita nenek Regie, nenek moyangnya di Cina dulu adalah seorang (atau seekor) rubah, sehingga untuk mengenal Regie harus berhati-hati karena siapa tahu garis darah itu masih menurun kepadanya ...

Sabtu, 26 Juni 2010

Menulis Pidato Pernikahan











Sabtu lalu, butuh perjuangan ekstra untuk mencapai toko buku Reading Lights. Jalanan macet luar biasa. Meskipun sudah beberapa minggu, perbaikan jalan di Simpang Dago belum juga selesai. Rupanya ini berpengaruh kepada jumlah pengunjung yang singgah. Berbeda dengan akhir minggu biasanya, suasana toko sangatlah lengang. Dan barangkali musim Piala Dunia juga membuat orang malas beranjak dari depan televisi.

Menjelang jam lima, peserta writer’s circle yang hadir baru saya dan Hakmer. Semakin lama kami duduk, semakin kosong lagi keadaan Reading Lights. Nyaris hanya saya dan Hakmer. Untunglah kemudian hadir Dani dan Sapta. Kami semua lantas pindah ke dua sofa besar yang saling berhadapan.

Tema pekan ini adalah menuliskan pidato untuk pernikahan teman kita. “Lho, kok temanya kayak gini?” protes Hakmer. “Minggu lalu ‘perubahan’, sekarang pidato pernikahan. Elu kenapa sih?”

Setelah mendapat penjelasan bahwa tema menulis biasanya dipilih secara random – bukan berdasarkan suasana hati si fasilitator – masing-masing mengeluarkan bolpen dan kertas. Kali ini kami menggunakan panduan menulis pidato pernikahan dari About.com. Menurut panduan tersebut, pidato pernikahan sama saja dengan tulisan-tulisan yang lain. Ada bagian pembuka, isi, dan penutup. Apabila seorang teman meminta kita untuk berpidato, sebaiknya kita menuliskan dulu apa saja yang mau dibicarakan. Jangan melakukannya secara impromptu kecuali kalau kita memang pandai berbicara. Langkahnya ada beberapa, yaitu:

1. Jika sebagian besar hadirin tak mengenal kita, mulailah pidato dengan perkenalan diri. Kita bisa menjelaskan secara singkat siapa kita dan hubungan kita dengan pasangan pengantin.

2. Cari satu hal positif (atau lebih) tentang acara pernikahan dan ucapkan dengan tulus. Kita bisa mengatkan betapa khidmatnya upacara yang baru saja kita saksikan, betapa indahnya dekorasi ruangan, betapa cantik dan gantengnya si pengantin, dll.

3. Apabila kita mengenal pengantin cukup lama, kita dapat membagi kenangan yang dilalu bersama, menceritakan kisah pertemuan kedua mempelai. Ingatlah untuk membahas kebaikan yang dimiliki pengantin pria, pengantin wanita, dan kualitas mereka berdua sebagai pasangan.

4. Pidato pernikahan semestinya bersifat hangat, personal, dan singkat. Kecuali kalau kita pelawak, play it straight. Tidak usah terlalu banyak memasukkan lelucon. Terlebih pidato pernikahan biasanya akan diingat terus oleh pasangan pengantin.

5. Kehabisan kata-kata? Kita bisa menggunakan berbagai kutipan tentang cinta di internet.

6. Hal-hal yang mesti dihindari: jangan berpidato saat mabuk, jangan larut membicarakan diri sendiri, jangan membocorkan tentang kehamilan, jangan memberikan tekanan untuk cepat punya anak, jangan membuat lelucon tentang seks dan malam pertama, jangan menyinggung mantan pacar, mantan suami, atau mantan istri.

7. Terakhir, ucapkanlah selamat dengan tulus.

Berhubung hanya bersedikit, kami menulis dengan waktu yang lebih leluasa. Sejam kemudian, tulisan pun siap untuk kami bacakan. Saya pun menawarkan diri untuk membaca pertama. Pidato pernikahan ini ditujukan kepada dua orang sahabat fiksi saya: Johan dan Marian. Saya bercerita tentang pertemanan kami bertiga semenjak SD. Dulu setiap pagi kami mesti berjalan kaki ke sekolah yang jauh. Di tengah jalan Marian sering kelelahan, kalau sudah begini saya dan Johan akan menggendongnya secara bergantian. Kami bertiga melanjutkan ke SMP yang berbeda, tetapi bertemu lagi di Fakultas Kedokteran(!) Rupanya Johan dan Marian masuk ke SMA yang sama dan pada masa itulah mereka mulai berpacaran(!!) Cerita ini terinspirasi film Laskar Pelangi yang diputar SCTV pada malam sebelumnya.

Setelah saya, Sapta berpidato dengan elegan. Isinya menggambarkan pernikahan seorang frenemy; bagaimana pada malam itu si perempuan terlihat cantik dalam balutan gaun putih. Orkestra di ujung ruangan memainkan lagu Linger yang dipopulerkan The Cranberries. Anya, teman Sapta yang sore itu datang, tersenyum-senyum mendengar pidato ini. Ia mengaku bahwa karakter pengantin perempuan sangat mirip dengan dirinya. Hal ini langsung diiyakan Sapta, sambil bergurau ia akan merasa bebas ketika Anya menikah. Penggalan pidatonya akan saya cantumkan di akhir tulisan ini.

Dani lantas membacakan pidatonya. Pidato tersebut disampaikan saat kondisi ‘bangsa kita ibarat bangsa yang terbuang’. Kira-kira Dani menulis, pada saat seperti itu pernikahan adalah sebuah momen berharga untuk dirayakan. Tidak hanya untuk para pengantin, tetapi juga bagi semua hadirin. Pidato Dani ini sebetulnya sangat menggunggah, sayang terlalu cepat berakhir. Ia mengaku terinspirasi serial science fiction Battlestar Galaktika dalam latihan menulis ini.

Pidato Hakmer dibacakan terakhir. Tanpa ampun, Hakmer mengungkap kebobrokan pernikahan di awal tulisannya. Ia mengutip Katherine Hepburn bahwa sebaiknya pria dan wanita tidak usah menikah tetapi hanya bertetangga, di mana yang satu boleh mengunjungi yang lain kapan saja. Namun di tengah-tengah, haluan pidato ini berubah. Hakmer menyatakan bagaimana khusus ‘hari itu’ bayangan buruknya tentang pernikahan tidak terbukti. Pasangan pengantin kelihatan bahagian, dan itu cukup. Dani mengomentari bahwa pidato Hakmer ini akan membuatnya dibenci oleh orang tua masing-masing pengantin.

Kurang lebih begitulah pada suatu sore di Reading Lights Writer’s Circle. Kami sempat berdiskusi sebentar sebelum berpisah ke tempat yang berbeda-beda. Seperti janji saya, tulisan ini akan nukilan pidato Sapta:

Saya di sini berdiri, tanpa seorang di samping, tapi saya tak sempat merasa sendiri, karena saya terlalu bahagia, melepas temanku untuk membuka gerbang baru di hidupnya.



Andika Budiman adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, esei ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, ia aktif memberi kritik serta saran-sarannya dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup, dengan bernapas.