Selasa, 26 Oktober 2010

Berbagai Rasa dari Tiga Kata


Hari Sabtu tanggal 23 Oktober, peserta RLWC yang datang mencapai 10 orang. Ada tujuh orang yang sudah berkumpul, sebelum Azisa, Regie, dan Dani bergabung. Hari itu, Neni mengusulkan sebuah cara pemilihan tema, yakni membuat sebuah tulisan yang mengandung 3 kata tertentu. Setelah setiap peserta mengajukan ide 3 kata miliknya dan dipilih secara acak, kata-kata yang terpilih adalah "kacang merah," "memacul," dan "rumah bordil." Ada sedikit kesalah pahaman karena ‘rumah bordil’ disangka sebagai rumah 'bordir', dan membuat dua orang peserta harus menulis lagi ceritanya dari awal.

Aryo, pemilik ide kata tersebut mengaku kesulitan karena semula ia hanya iseng. Namun akhirnya tulisannya jadi dan ia bacakan. Ia menggunakan kata-kata tersebut menjadi jus kacang merah, dan sisanya menjadi isi berita siang di televisi. Seperti tulisannya yang bertema horor pekan lalu, ia menyertakan nama beberapa peserta RLWC dalam ceritanya.

Giliran kedua adalah saya. Saya menulis cerita dengan latar Jepang, menggambarkan situasi rumah bordil pada saat musim dingin. Beberapa peserta berkomentar cerita saya bagus dan rapi, seperti reportase. Hal ini diamini peserta lainnya. Berikutnya, giliran pengaju tema hari itu, yaitu Neni. Ia membuat sebuah cerita yang berbeda, dengan sebuah kacang merah yang tidak bisa tumbuh di tanah sebagai narator. Bagi saya, cerita Neni keluar dari persepsi umum. Sedangkan menurut Azisa, cerita itu menjadi menarik karena rumah bordil tidak melulu harus berkonotasi seks.

Kemudian Nia yang bercerita. Ia menceritakan seorang tokoh bernama Burhan yang pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib, dan bertemu dengan seorang ibu tua di stasiun. Cerita Sapta agak mirip dengan Nia dalam hal berjuang hidup. Ia mengupas sisi domestik dari seorang pekerja seks, yang tetap harus memasak sehari-harinya dan menghadapi penghakiman dari orang-orang di sekitarnya setiap kali ia berbelanja. Sapta mengakhiri dengan peristiwa sang wanita 'mencangkul' kepala ibu-ibu di warung yang kerap menyindir profesinya.

Ketika giliran Farida, ternyata ia membuat dua buah cerita. Yang satunya iseng, dan satu lagi yang serius. Ketika cerita yang kedua dibacakan, meledaklah tawa semua peserta. Ternyata Farida dengan sengaja memplesetkan ‘rumah bordil’ menjadi rumah bordir di akhir cerita. Nia berkomentar bahwa Farida amat peka terhadap fenomena kecil di keseharian.

Azisa yang menyusul berikutnya, mengangkat cerita dengan detail-detail unik, seperti meja mahogani dan aneka rempah-rempah. Dalam ceritanya, Azisa tidak menyebutkan dengan gamblang ketiga kata yang menjadi tema. Sedangkan Tegar, yang membacakan setelah Azisa, mendapat komentar bahwa metafor-metafor yang ia gunakan dalam ceritanya menarik.

Dua cerita berikutnya mengandung unsur romantisme. Dani, dalam sebuah cerita berlatar rumah bordil di pinggiran Kairo, mencoba menghadirkan hubungan romantis antara tokoh utama dengan rekannya saat mereka mengunjungi tempat tersebut. Romantisme yang dibangun melalui dialog dan deskripsi suasana ini berhasil ditangkap dan disetujui Azisa. Aryo berkata bahwa pemilihan nama tokohnya kurang eksotis.

Cerita milik Regie mengundang reaksi yang menarik. Pasalnya, tulisannya kaya dengan kontak fisik eksplisit, tapi salah satu nama tokohnya Ryan, peserta yang ada di ruangan. Ryan sendiri menanggapinya, “Rasanya saya tak bisa komentar apa-apa.”

Ryan, yang datang terlambat dan menulis tanpa perpanjangan waktu, mengakhiri sesi hari itu dengan membacakan karyanya. Ia bercerita mengenai persaingan dua orang wanita pekerja di rumah bordil. Terasa ada kemajuan dalam cerita Ryan, yakni dari penggunaan dialog yang lebih dimunculkan dibanding tulisannya terdahulu.

Tema 3 kata hari itu menghasilkan tulisan-tulisan yang di luar dugaan. Kebanyakan peserta berusaha keluar dari kebiasaan, bereksplorasi, dan menunjukkan perkembangan masing-masing. Satu lagi sesi menulis di Reading Lights dengan berbagai hal yang mencengangkan, namun tetap fun.



Dini Afiandri adalah salah seorang anggota yang (relatif) baru di Reading Lights Writers' Circle tetapi telah berhasil menyesuaikan diri dengan segala keanehan di sini. Siapapun yang ingin mengikuti jejak penulis bergaya "romantisme brutal" ini (menurut kata-katanya sendiri, lho) dapat langsung mengunjungi pertemuan kami setiap hari Sabtu jam 4 sore di salah satu sudut Reading Lights. Eh, kok malah jadi promosi ya?

Jumat, 22 Oktober 2010

Antara Horor dan Haram


(Catatan Editor: Maaf bagi pembaca yang terlanjur merasa takut atau malah paranoid gara-gara entri jurnal kemarin. Sebenarnya itu cerita salah satu peserta yang ditulis waktu pertemuan tanggal 16 Oktober, tetapi dijadikan entri jurnal jadi-jadian untuk menambah bumbu pengalaman berjurnal ;P . Beginilah rupa jurnal asli yang ditulis Ryan: )

Ini adalah jurnal pertama sayaWriter's Circle pada hari Sabtu jam 17.00, tepatnya pada saat saya datang, sudah mengalami kejadian yang cukup “menyenangkan.” Kenyataan bahwa saat itu mati lampu dan hari gelap bukan karena jam 5, tetapi disebabkan oleh hujan, langit yang gelap, seperti sudah melwati jam 6 sore saja, tidak ada kesan romantis. Entah kebetulan atau tidak ketika saya datang, saya mendapati bahwa hanya 4 orang yang telah datang dan siap menulis. Dan yang paling kebetulan adalah bagaimana tema yang didapatkan untuk menulis adalah “Horor” atau tepatnya yang menyeramkan, suatu kebetulan yang menyenangkan bukan? Perlu saya jelaskan kenapa sih saya sebutkan kebetulan? Ya karena dalam memilih tema penulisan adalah pengundian. Dalam setiap ingin memilih tema yang kami lakukan adalah menulis tema kami masing-masing dan mengundinya. Ya, seperti yang saya tulis, sebuah kebetulan yang “menyenangkan”.

Secara total yang datang ada 6 orang, tetapi yang menulis 5 orang, sangat disayangkan untuk Bung Dani, terlalu telat. Dalam menulis, kami sendiri (beberapa dari kami) merasa kesulitan, tentu saja dalam penulisan tema “horor” adalah sesuatu yang baru bagi kami. Yang paling sulit dari kami adalah bagaimana kami membedakan apakah pembunuhan atau “
thriller” termasuk ke dalam tema horror dan apakah horor selalu memerlukan unsur “supernatural”, akibatnya saya menulis dan satu teman saya menulis dengan tema “thriller”. Secara keseluruhan salah satu yang kesulitan kami yang paling mencolok adalah cara menuliskan sikap “panic”, sulit sekali lho.

Kami menulis dalam keadaan gelap (terima kasih kepada Rizal atas ide nya untuk membuat lampu “neon” sederhana dari HP dan gelas ice Cappucino). Tapi langit berkehendak lain, maka di tengah lampu kembali menyala, ya, kembali ke
status quo. Secara singkat kami masing-masing membacakan cerita kami, dan saling mengomentari akan kelebihan dan kekurangan tulisan-tulisan kami masing-masing, akan tetapi yang paling menarik adalah satu tulisan teman yang yang berjudul “JURNAL”, tentu saja yang dia pakai adalah hari itu, tokoh-tokoh yang ada disitu, dan tempat itu. Dengan kata lain kami semua dibawa ke suasana horror. Dan tentu saja satu orang berhasil membuat cerita yan glucu. Hari yang menyenangkan, saya tidak sabar menunggu pertemuan berikutnya. Masih banyak kekurangan dalam hal ini, kita akan teruskan ke depannya untuk menjadi semakin baik.


K.Ryan Marhalim, seorang bocah dengan banyak impian, salah satunya untuk menjadi penulis novel ternama bak Pramoedya Ananta Toer. Kegiatannya selain menggentayangi Reading lights Writers' Circle adalah menghadiri sebuah kelompok okultisme (occultism).

Kamis, 21 Oktober 2010

Dalam Gelap


Sabtu itu [16 Oktober 2010 -red.] banyak teman yang tidak datang ke klub menulis di tempat kami biasa berkumpul. Mungkin karena hujan atau macet karena acara festival di pusat kota.

Sudah dari jam dua belas aku menunggu di ruangan belakang toko buku di pertokoan tua di daerah Bandung Utara. Sudah empat batang rokok habis sebelum akhirnya Nia datang. Langit sangat mendung saat itu. Meski baru jam empat sore, suasana sudah seperti akhir senja, gelap. Kami baru mengobrol sebentar saat Rizal dan Neni datang.

Setelah kira-kira jam setengah lima, kami memutuskan untuk memulai kegiatan menulis. Sekitar lima menit kami berdiskusi tentang tema yang akan diambil hari itu. Lalu diputuskan kalau kami akan menulis dengan tema horor.

Aku hanya tertawa dalam hati saat lampu mendadak padam, dan sepertinya tidak ada yang menyadari saat angin semilir sejuk sekejap melewati ruangan tertutup ini. Mungkin mereka berpikir hal itu normal, karena udara memang cukup sejuk dan angin di luar memang bertiup semilir.

Aku sudah cukup lama kenal tempat ini. Hanya sekali kualami kejadian angin mengalir kencang di ruangan belakang yang dikelilingi tembok ini. Memang hal itu tidak mustahil, angin yang mengalir masuk bisa saja masuk melewati kisi-kisi jendela. Tapi ada faktor lain yang membuat hal itu merupakan fenomena tak biasa.

Kejadian itu dikukuhkan oleh kedatangan dua orang teman lainnya, Ryan dan Sapta. Dua kali aku melihat bayangan gelap yang sedari tadi kukira hanya bayangan biasa, menyembul dari balik meja boks tua yang ada di tengah ruangan.

Aku berharap agar lampu segera menyala, karena bayangan tersebut sekarang berada di balik rak buku kecil di samping tempatku duduk. Sambil tetap fokus menulis, aku melihat siluet berbentuk wajah tanpa mulut. Matanya hitam kosong memperhatikanku.

Aku hanya berdoa dalam hati agar lampu cepat menyala. Sekejap sebelum lampu menyala, dari sudut mataku, aku melihat bayangan hitam pekat itu merayap dan meliuk-liuk ke depanku dekat kaki-kaki meja dengan cepat menuju salah satu tas seorang teman, dan masuk ke dalamnya tepat saat semua orang mendongak ke arah lampu.

Aku bergidik sekaligus lega, karena itu bukan tasku dan lampu sudah menyala.


- Ari

Selasa, 19 Oktober 2010

Satu Lagu, Banyak Cerita



Kegiatan Reading Lights Writers Circle kemarin [Sabtu 9 Oktober 2010] cukup unik. Ketika saya datang, selain para peserta Writers’ Circle, ada satu orang lagi yang akhirnya segera diperkenalkan pada saya. “Hari ini sesi interpretasi lagu,” kata Nia. “Lagunya buatan dia.” Dia menunjuk orang itu. Akhirnya saya tahu bahwa lagu instrumental itu berjudul After Midnight, dan orang itu bernama Tesla. Menurut http://soundcloud.com/, nama lengkapnya adalah Tesla Manaf Effendi (dan musiknya juga, termasuk After Midnight, dapat didengarkan di website tersebut).

Saya terlambat datang, jadi saya diperdengarkan lagunya untuk keduakalinya tanpa perpanjangan waktu. Jazz. Dengan nada-nada yang menyiratkan sesuatu yang intens sedang terjadi, kemarahan, dan akhir yang menghentak. Sesuatu segera terbayang di otak saya. Saya melirik pada sang kreator musik, diam-diam kagum. Lalu mulai saya tuliskan cerita yang terlintas di benak saya setelah mendengarkan lagu tersebut. Sedikit aneh, saya pikir.

Tapi ternyata interpretasi para peserta RLWC sore itu terhadap lagu tersebut memang berbeda-beda. Yang pertama membacakan adalah Myra. Ceritanya adalah tentang perselingkuhan anak dengan orang tua, dengan ending yang membuat para peserta lain terhenyak: karakter tersambar petir. Menggambarkan irama musiknya, yang menurut Myra seperti score sinetron, dengan akhir yang tiba-tiba. Tesla berkomentar bahwa cerita Myra cocok dengan lagunya, cerdas, dengan penyampaian yang puitis. Rizal berkomentar bahwa dia akan sulit menghandle cerita seperti itu, tapi Myra bisa. Pada saat itu juga, Tesla mulai bercerita bahwa dia memang tertarik pada musical score film-film.

Selanjutnya yang membacakan adalah Tegar. Interpretasi Tegar cukup unik, yaitu dia membuat cerita tentang orang yang sedang melakukan tes Kreplin. Menurut Tegar, repetisi dalam lagu After Midnight membuatnya teringat dengan repetisi yang menyebalkan di tes Kreplin.

Setelah Tegar, giliran Rizal yang membacakan ceritanya. Rizal membicarakan tentang seseorang yang melintasi air, dengan gelembung-gelembung. Peserta lain mengritik bahwa cerita Rizal kurang konflik dan banyak yang merasa bingung. Tesla berkomentar bahwa cerita itu seperti tari interpretasi.

Giliran Neni membacakan cerita. Neni bercerita tentang bunga di musim gugur. Yang menarik, ceritanya belum selesai sehingga dia membacakan “titik-titik…” sebagai akhir cerita. Para peserta lain, termasuk Tesla, menyatakan bahwa mereka penasaran dengan akhirnya. Saya juga tentunya. Seperti biasa, saya selalu mengagumi deskripsi Neni tentang alam.

Sapta, yang membacakan setelah Neni, membuat permintaan aneh ketika gilirannya tiba. Dia minta Nia memutar musiknya ketika dia membacakan cerita. Sapta ingin memberikan cue-cue mengenai apa yang ada di pikirannya ketika mendengar musik ini. Dia menyatakan bahwa dia membayangkan ini jenis video reverse, seperti videoklip The Scientist-nya Coldplay. Lalu Sapta membacakan ceritanya. Ceritanya ternyata berkaitan dengan matador dan digabungkan dengan legenda puteri duyung. Tesla menyatakan bahwa cerita Spata membuatnya teringat pada lagunya.

Selanjutnya yang membacakan adalah saya. Lagu After Midnight mengingatkan saya pada sebuah video Youtube tentang pencarian absurd wanita terhadap kecantikan sempurna. Itulah yang saya akhirnya tulis, tentang perjuangan hopeless seseorang dalam mencoba menjadi wanita yang “cantik” dengan operasi plastik dan sedot lemak, sampai dia menemukan bahwa dia tetap bukan jadi yang tercantik di sebuah ajang beauty pageant. Tesla menyatakan bahwa dia baru merasakan ada lagu After Midnight pada adegan dimana si wanita baru dibuka perbannya setelah dioperasi plastik. Sapta setuju.

Interpretasi selanjutnya adalah dari Fadil. Fadil datang terlambat, sehingga dia belum menulis banyak. Tapi Fadil menulis tentang werewolf yang ditangkap, yang akan dimangsa. Para peserta setuju bahwa cerita Fadil unik.

Setelah Fadil, Nia menyusul. Nia menulis mengenai Gajayana, kereta cepat. Tesla berkomentar bahwa ceritanya absurd dan berat. Selain itu, Rian menyusul dengan ceritanya, mengenai orang yang disebut aneh. Para peserta tertawa ketika Fadil berkomentar di akhir cerita, “Cerita yang aneh”. Cerita ini dikritik oleh saya, Rizal, dan Nia karena repetisi dari kata-katanya yang terlalu banyak. Peserta lain menyatakan memang style Rian seperti itu.

Terakhir yang membacakan adalah Dani. Ceritanya berfokus pada percakapan dua orang, dan Dani menyatakan bahwa dia mencoba mengungkap karakter dari tokoh melalui dialog.

Setelah Dani selesai membacakan, sesi menulis hari itu kemudian ditutup.


Farida Susanty. Pemenang Khatulistiwa Awards 2006-2007 untuk Penulis Muda Terbaik serta telah menerbitkan buku Dan Hujan pun Berhenti dan Karena Kita Tidak Kenal. Entah kenapa bisa tersasar ke tanah antah-berantah yang didiami Reading Lights Writers' Circle. Sementara menunggu beliau pulang ke dunia beradab, silahkan baca blognya di http://jerawatdimuka.tumblr.com/