Selasa, 13 November 2012

Cinta karena Biasa


Entah bagaimana menjelaskan hubungan saya dengan writer’s circle dalam satu kata:

Rumit?

KDRT?

Hampir enam tahun hubungan terjalin, kata ‘cinta’ tak pernah disebut. ‘Sayang’ menghilang. ‘Senang’ datang dan pergi.

‘Bosan’ berkali-kali ditelan, seperti pada hari itu.

***

Saat jam menunjukkan pukul tiga, Andika masih asyik di depan komputer, memeriksa keadaan Box Office Amerika akhir pekan itu. Ia ingin menonton Daniel Day-Lewis memerankan Presiden Lincoln. Ia ingin mengunduh trailer filmnya, tetapi sejam lagi writer’s circle. Andika menghela napas keras. Dari jendela ia melihat gumpalan awan gelap menggantung di kejauhan – turunnya hujan bukan lagi pertanyaan. Kalau mau nggak datang sebetulnya hari ini, batin Andika. Namun ia telanjur berjanji pada Farida akan datang hari itu. Sekali lagi Andika menghela napas, tetapi tak terlalu keras. Tanpa menunda lagi, ia segera mengambil … sapu.

***

Setiap hendak bepergian, ada prinsip yang selalu dipegang Andika: rumah ditinggal dalam keadaan rapi. Selimut mesti dilipat. Lantai paling tidak disapu. Jika ada piring dan peralatan dapur yang kotor maka harus dicuci. Ketika pulang, ia ingin kerapian dan kebersihan itu ‘memeluknya’.

Sebelum berangkat writer’s circle, ada banyak yang harus dilakukan Andika. Semalam ia baru menamatkan Great House, sebuah novel tentang orang-orang yang kakinya terantai masa lalu. Bangun kesiangan, ia lantas terlalu banyak bermalasan dengan laptop menyala di perut. Membaca berbagai penafsiran novel, kadang-kadang ia menyetujui pendapat beberapa kritikus. Kadang-kadang tidak. Andika membaca ulang, mencari poin-poin yang dilewatkannya, lama sekali. Lalu menentukan dan mengunduh bacaan selanjutnya. Setelah menamatkan novel dewasa, ia senang membaca novel anak-anak. Tahu-tahu hari sudah sore.

Setelah menyapu, masih ada piring, cangkir, dan wajan kotor masih menumpuk. Bekasnya sarapan, minum kopi, serta teh. (Ia ingat harus lebih banyak minum air putih.) Bekas Ibu menumis ikan, telur, dan tomat. Mencuci piring kelihatannya cepat, tetapi sering membuat terlena. Tahu-tahu waktu telah terulur panjang. Andika bergegas, Apa yang mesti dimasukkan? STNK, cek! Buku menulis, cek! Tempat pensil, cek! Laptop, cek! Oke, Semua siap? Siap? Di luar Andika memutuskan memakai sandal karena yakin akan hujan. Kaus kaki dan sepatu pun dimasukkan dalam tas yang kemudian dibungkus lapisan tahan air. Saat mengunci pintu, Andika meraba sakunya, lalu kembali ke rumah untuk mengambil dompet. Ketika keluar, ia teringat bahwa Nia mungkin datang, lalu mengambil kartu pos dari Marty dan Neni untuk dipamerkan. Kali ini Andika ingat menyalakan lampu teras, kalau-kalau belum ada yang pulang saat hari gelap. Setelah pintu terkunci, ia pun memicu motornya.

***

Antrian sirkus, bioskop, maupun wahana di Dufan mungkin menyenangkan. Di ujungnya ada sesuatu yang diinginkan dan menunggu membuat sesuatu itu semakin istimewa. Cukup membuat Andika tertegun menyadari hanya ada writer’s circle di ujung antrian panjang kendaraan di Perempatan Pahlawan. Hanya writer’s circle terdengar berlebihan. Sebetulnya tak ada yang salah dengan writer’s circle, selain ia merasa terlalu sering melakukannya. Seperti makanan kesukaan yang dimakan terlalu sering dalam jangka waktu panjang. Ketika ia sudah hapal rasa makanan sebelum melahapnya, makanan itu kehilangan keistimewaannya. Beberapa pertemuan lalu Andika bersukarela menulis jurnal writer’s circle, tetapi sejumlah percobaaan mandek di tengah-tengah lantaran ia merasa apa yang dilaluinya biasa.

Ia tak kepingin menulis hal serupa terus-menerus.

***

Ketika gerimis pertama mendarat, Andika telah terlepas dari kemacetan. Motor-motor berseliweran di samping kiri dan kanan. Mungkin tak seorangpun yang mau kehujanan. Langit gelap, tujuan masih jauh, Andika menepi dan memakai jas hujan. Gerimis sempat berhenti, tetapi di Jalan Surapati hujan turun deras dan semakin deras. Angin bertiup kencang, secara kasat mata membelokkan jatuhnya air. Jarak pandang semakin menurun. Motor-motor menepi. Mobil-mobil menyalakan lampu darurat. Jalan raya mulai dilalui juga arus air, sampai ke tengah. Kalau mau nggak datang, sebetulnya hari ini, pikir Andika. Namun ia tetap melaju. Cepat sekali ia berubah pikiran. Hujan angin membuat toko buku Reading Lights terasa begitu … jauh. Begitupun ingatan akan interaksi dengan Dani, Ririe, serta para peserta reguler writer’s circle lainnya. Bersamaan dengan merembesnya air ke dalam jas hujan, muncul juga kata ‘kangen’. Pelupuk mata Andika mulai terasa hangat. Ketika sulit mencapai writer’s circle, tiba-tiba satu-satunya keinginannya adalah berada di dalam lingkaran itu.

Mencapai jalan layang Pasupati, Andika urung naik karena khawatir di atas angin makin keras. Ia lurus dan berbelok ke Jalan Ir. H. Juanda, lalu menyadari itu keputusan yang salah.

Jalan raya sudah berubah menjadi sungai deras.

Mobil dan motor mengantri. Namun antrian tidak bergerak maju untuk waktu cukup lama. Andika ingin mematikan mesin motor, tetapi takut tidak bisa menyala lagi. Asap-asap putih menguar dari kendaraan. Permukaan air semakin lama semakin tinggi dan arusnya makin deras. Di bahu jalan lebih tinggi dan deras. Andika gigit jari. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Gelombang air besar. Pohon tumbang. Jika sedang ada laki-laki yang disukainya, Andika yakin akan menyerukan namanya keras-keras supaya mendapat kekuatan. Namun tidak ada. Andika mematikan motornya, meminta pengendara motor di sebelahnya mundur sedikit supaya ia bisa lewat. Dan bisa. Kini tinggal memarkir di pelataran Evieta Klappertart yang permukaannya tak tersentuh air, tetapi arus di lajur kiri yang deras membuat motornya sulit dikendalikan, seperti didorong tanpa henti. Andika maju sambil menekan pedal rem … dan berdoa. Untungnya motor naik ke permukaan aman dengan selamat. Andika mencoba menyalakan mesin … dan bisa.

***

Andika meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Trotoar jalan tertutup gelombang air. Masih ingat cerita pejalan kaki yang hilang ditelan lubang trotoar? Andika masih.
Ia berjalan, sesekali melompat, di antara-taman-taman di samping trotoar yang berubah wujud seperti pulau-pulau kecil. Pelan-pelan hujan berhenti, tetapi di darat air masih deras. Antrian mobil berujung di SMA 1, sebuah mobil di urutan terdepan berhenti karena mesin mati. Di jembatan penyeberangan seorang perempuan memotret barisan mobil di bawahnya. Andika ikut naik. Di satu sisi mobil-mobil mengantri, di sisi lain air mengalir ke bawah. Tahun 2004-2006, Andika bersekolah di SMA 1, tetapi tak pernah mengalami banjir seperti ini. Tapi Bung ini tahun 2012. Ketika esok harinya googling, ia baru tahu belakangan banjir separah itu memang kerap terjadi.

Setelah memarkir motor, langkah dan perasaan Andika semakin ringan. Ia merasa kemungkinannya bertemu writer’s circle justru meninggi. Di depan ITB, hujan tinggal gerimis. Andika mulai berjalan sambil bersenandung. Ketika bertemu tukang gorengan, ia membeli dua tahu, dua cireng, dan satu tempe yang dimakannya duluan. Langkahnya terhenti lagi ketika bertemu tukang batagor.

***

Jelang pukul enam, Andika sampai di toko buku Reading Lights. Di ruang belakang, Farida menyentuh jaketnya, “Ini air?! Ini minum yang anget-anget dulu.” “Wah, wah,” Dani berkomentar, “Coba dilepas dulu. Kentang gorengnya habisin saja.” “Hahaha, itu kan punya Sapta,” timpal Ririe. “Ini minum, teh gua. Jumbo, lho.” Andika pun menuruti semua ucapan itu.

***

“Jadi tema menulisnya apa?” tanya saya.

“Cinta karena biasa,” jawab Ririe.

“Oh, ya?”

Sejenak saya diam sambil mengeluarkan barang-barang dari tas yang basah. Cinta karena biasa, pikir saya. Di buku menulis yang setengah halamannya basah dirembesi air, saya mulai menuliskan cerita hubungan saya dengan writer’s circle.

***

Andika Budiman

PS: Saya bersukarela menulis jurnal pada tema Depth of Field yang difasilitatori oleh Indra. Sayangnya jurnal itu tidak kesampaian dengan alasan writer’s block. (“Deuu!”) Setelah minggu itu sebetulnya writer’s circle tetap berlangsung meskipun tak tercatat dalam jurnal, temanya berturut-turut sebagai berikut: mendeteksi satu cerita jujur di antara dua cerita bohong, menulis berdasarkan sampul buku pilihan, menulis cara-cara kurang menyenangkan untuk mati, menulis cerita tentang berpisah untuk kembali, menulis kartu pos untuk peserta di sebelah kita, dan menulis cerita dari situasi tidak mungkin.

Minggu, 16 September 2012

Ringkasan dan Adegan


Dari buku Writing Fiction karya Janet Burroway, Indra--fasilitator writer's circle hari Sabtu (15/9)--memilih ringkasan (summary) dan adegan (scene) sebagai latihan menulis. Para penulis diminta untuk melakukan flashback yang berhubungan dengan setting tempat dan waktu yang diingat secara spesifik seperti pekerjaan, tradisi keluarga, dan lainnya. Misalnya ringkasan dari cerita adalah main di sawah saat berlibur ke rumah kakek lalu adegannya adalah ketika digigit ular saat berada di sawah.

Penulis pertama yang membacakan karyanya adalah Opie yang buru-buru karena akan menonton video mapping di Gedung Sate. Opie menulis ringkasan mengenai ia dan teman-teman kuliahnya yang merencanakan liburan. Dari berbagai tempat, akhirnya mereka mereka memutuskan pergi ke Ujung Genteng. Kemudian adegan ditarik saat hubungan ia dan salah satu temannya menjadi renggang. Jurang yang diantara mereka berdua terus  berlangsung hingga mereka lulus dan bekerja.

Kemudian saya meminta diri untuk membacakan karya saya selanjutnya. Ringkasan yang saya tulis adalah ketika saya berlibur ke Sorong, Irian Jaya. Adegan spesifiknya adalah ketika saya dan teman-teman dikejar burung kasuari.

Ini dia penampakannya

Indra bercerita tentang pengalaman saat ia berada di Jakarta ketika masih duduk di bangku kelas 3 SD sebagai ringkasan ceritanya. Kemudian adegan yang ia tulis adalah saat ia dikerjai oleh teman-teman perempuannya dimana ia didandani seperti perempuan dan dipaksa rambutnya agar lurus. Wangi bedak, baby oil, dan suara tinggi khas perempuan pun menjadi detil ceritanya. Jakarta, baginya, sama seperti perempuan: tidak pernah sama.

Sementara Belinda, teman baru kami, bercerita tentang tokoh yang menulis puisi yang terinspirasi dari bungkus permen. Tokoh mengingat dimana ada seorang nenek yang memberi permen kepada seorang anak yang kemudian anak itu mengeluh karena permennya pahit. Belinda menjelaskan di akhir tulisan bahwa "tidak semua yang menarik itu enak".

Dilanjut Rizky, ia menulis ringkasan tentang seorang tokoh yang ada di food court yang memilih mojok sendiri dan mendengar musik di iPod. Tokoh adalah tipe orang yang mudah terusik dengan orang-orang yang berisik. Adegannya adalah ketika seorang teman datang dan menyuruh tokoh untuk mencoba bergabung dengan teman-teman lainnya. Akhir cerita Rizky ini menimbulkan perdebatan panjang diantara kami tentang open ending dengan ending yang menggantung. Mungkin bisa jadi PR pertemuan selanjutnya.

Ringkasan mengenai seorang tokoh "aku" yang berada di rumah sakit ditulis oleh Dani. Di sana, si "aku" ditemani oleh Arin, gadis tercantik di kelas. Saat tokoh siuman, ia bingung mendapati dirinya berada di rumah sakit dengan perut yang terasa sakit. Ternyata kejadian sebelumnya adalah teroris menyandera anak-anak sekolah lalu si "aku" melindungi Arin dari bom sehingga organ dalamnya memar dan ginjalnya rusak.

Sebagai penutup, Marty menulis ringkasan saat ia berada di Reading Lights. Saat akan buka puasa, seorang staf Reading Lights mengingatkannya untuk berhati-hati agak kertas penutup kuenya tidak termakan. Karena kesal, tokoh sempat mengeluh dalam hati bahwa ia bukan pemakan kertas. Tahunya benar saya, si tokoh tidak sengaja memakan kertas kue. Kontan ini membuat si tokoh malu sendiri.

Latihan menulis kali ini begitu membantu penulis untuk menuliskan satu adegan/kejadian spesifik dari sebuah cerita yang cukup besar. Agar adegan terasa fokusnya, penulis bisa menuliskan detil setting seperti apakah saat itu hari sedang hujan, bagaimana detil tempatnya, bagaimana setting waktunya (pagi/siang/sore/tahun beraapa), dan lainnya. Selain setting, penulis juga bisa menambahkan dialog agar lebih lancar peceritaannya.



Nia Janiar. Pekerja swasta yang bolak-balik Bandung-Jakarta. Kini lebih banyak menulis non fiksi ketimbang fiksi. Untuk lihat catatan kesehariannya, sila berkunjung ke: http://mynameisnia.blogspot.com/

Selasa, 26 Juni 2012

Emosi Dalam Cerita

Emotion: an affective state of consciousness in which feelings are experienced.

Emosi adalah tema menulis di RLWC pada tanggal 23 Juni 2012.

Adalah saya yang membawa tema ini setelah beberapa minggu absen dari kegiatan menulis bersama. Tema ini berawal dari obrolan saya dengan seorang kawan yang menulis naskah teater; baginya, berbeda dengan karya fiksi tertulis, tantangan membuat naskah teater adalah membangun karakter dan mood yang spesifik dengan keterbatasan waktu dan ruang panggung pementasan.

Saya sadar, penulis cerita fiksi punya lebih banyak kebebasan untuk mengekspresikan karakter cerita dibandingkan penulis naskah teater atau penulis skenario film. Hal ini adalah anugerah sekaligus kutukan. Anugrahnya, penulis cerita fiksi punya lebih banyak cara untuk menyampaikan ceritanya. Kutukannya, kebebasan bisa membuat penulis terjebak untuk “mengatakan” ketimbang “menunjukkan”. Padahal, tentu saja, berbeda dengan karya tulis ilmiah, karya tulis fiksi tidak hanya berisi fakta-fakta yang “dikatakan”, melainkan juga mood, emosi, yang harus dirasakan dan dialami, bukan dikatakan.

Tujuan saya memilih emosi sebagai tema kali ini adalah agar penulis bisa berlatih dan belajar menciptakan mood sesuai dengan penghayatan emosi si tokoh. Tantangannya dengan tema ini, tentu saja, adalah membawa pembaca untuk ikut merasakan perasaan sang tokoh cerita; sesuatu yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan “mengatakan” apa yang sedang sang tokoh rasakan.

Untuk latihan kali ini, saya menggunakan 6 emosi dasar dari artikel di Wikipedia. Tiga di antaranya bersifat positif: happiness, excitement, dan tender; tiga lainnya bersifat negatif: sadness, anger, dan fear. Melalui kertas undian, masing-masing penulis mendapatkan satu jenis emosi secara acak dan kemudian menuliskan cerita dengan upaya membawa pembaca untuk merasakan emosi sang tokoh utama.


Source: Wikipedia

Saya yang pertama kali membacakan cerita. Cerita dibuka dengan “aku” yang sendirian, mabuk-mabukan sejak menerima e-mail perpisahan dari orang yang dikasihinya. Ia terus-terusan minum untuk melupakan semua kenangan yang kini menyakitkan, dan ia ingin menjadi tiada. Emosi yang coba saya bangkitkan adalah sadness, yang saya bangun melalui penghayatan ruang (ruangan kosong dengan botol-botol bir yang kosong), kenangan-kenangan manis yang sudah berlalu, serta penggunaan objek metafora (mendung yang menjelma hujan). Penulis lain bisa dengan mudah menebak bahwa emosi dasarnya adalah sadness. Andika berkomentar bahwa kesan sadness bisa diperkuat lagi jika saya memasukkan benda-benda yang bermuatan kenangan dan bukan hanya kenangan-kenangan manis yang bersifat general saja. Saya setuju dengan masukan Andika, bahwa objek-objek yang bermuatan emosi bisa digunakan untuk menggambarkan emosi (bahkan bisa dibilang ini salah satu cara yang paling kuat).

Berikutnya adalah Indra, yang bercerita tentang Panca, seorang pemuda penggangguran yang masih tinggal dengan ibunya. Sepanjang cerita Panca tampak menyembunyikan banyak kebohongan; ia berbohong sudah shalat, dan ia berbohong tentang kelulusannya, karena pada kenyataannya ia di-DO. Dalam cerita ini ada adegan di mana sang ibu dan Panca berdebat, karena sang ibu peduli pada masa depan anaknya sementara Panca sendiri merasa tidak nyaman dengan keingintahuan ibunya. Sebenarnya, Indra mendapatkan emosi tender, yaitu emosi positif yang tenang seperti cinta kasih atau ketulusan. Namun Indra sendiri salah memaknai emosi tender (yang ia maknakan sebagai emosi negatif). Lepas dari tepat tidaknya penggambaran emosi tender dalam cerita ini, saya tertarik dengan cara Indra menggambarkan guilt, yang sebenarnya juga termasuk emosi dasar namun tidak digunakan dalam latihan menulis kali ini. Selain membuka kebohongan-kebohongan Panca secara naratif, Indra juga mampu menampilkan rasa bersalah (guilt) Panca melalui dialog dengan ibunya. Saya belajar bahwa  emosi/mood pun bisa dibangun melalui dialog. Beberapa pendengar yang lain juga mengatakan bahwa mereka bisa merasakan tender dari kepedulian ibunya, meskipun menurut saya emosi tender ini hanya jadi bagian kecil dari cerita.

Setelah Indra, ada Nia yang berinisiatif bercerita tentang Raya, yang diam-diam membolos sekolah untuk membeli sebuah buku langka dari seorang kenalannya, untuk melengkapi koleksi bukunya di rumah. Setelah adegan menyelinap-menyelinap supaya tidak ketahuan, Raya berhasil meletakkan buku tersebut di jajaran koleksinya dan “tubuhnya mengembang”. Emosi yang Nia coba tunjukkan adalah happiness. Di sini Nia melakukan penggambaran melalui media yang belum digunakan oleh saya dan Indra, yaitu penghayatan tubuh (“tubuhnya mengembang”). Saya sendiri merasa yang lebih banyak diangkat dalam cerita ini adalah excitement, melalui adegan-adegan menyelinap dari orangtua demi mendapatkan buku itu, namun penggunaan penghayatan tubuh itu cukup berhasil menggambarkan happiness. Andika menambahkan bahwa untuk memperkuat emosi happiness-nya, mungkin bagian akhir cerita (ketika koleksi bukunya lengkap dan tubuhnya mengembang) bisa dijadikan awal. Saya setuju dengan Andika; mungkin cara itu bisa membuat emosi dominan di cerita ini menjadi happiness.

Setelah berkomentar, Andika membacakan ceritanya. Tokohnya bernama Doni, yang bertemu kembali dengan teman lamanya di suatu pementasan. Sepanjang pementasan ia menjadi lebih aware dengan pakaian yang dikenakannya, merasakan kursi menjadi panas, dan mulai berkeringat di selangkangan. Namun setelah pementasan itu mereka tidak lagi saling berhubungan, sehingga Doni menjadi harap-harap cemas. Dika sendiri mencoba menggambarkan excitement, namun saya merasa maknanya menjadi rancu dengan anxiety, yang lebih dekat dengan fear. Lepas dari perdebatan mengenai excitement atau anxiety, saya suka dengan cara Andika yang menggambarkan emosi tokoh melalui penghayatan tubuh, mirip dengan Nia (meskipun banyak yang mempertanyakan perihal keringat di bagian selangkangan).

Setelah Andika, Sabiqlah yang membawakan cerita tentang “aku”, seorang siswa SMA yang kecewa karena saat datang ke sekolah, teman-temannya tidak menyiapkan pesta kejutan untuknya karena sedang fokus dengan UN. Emosi dasarnya adalah anger, dan hal ini mudah ditangkap oleh para pendengar yang lain. Hal ini ditunjukkan dengan dialog batin sang “aku”, yang memberikan alasan-alasan mengapa ia kecewa. Catatan tambahan dari Indra, ternyata emosi dasar anger pun bisa disampaikan secara lucu. Artinya, emosi dasar masih bisa tersampaikan dengan baik, seperti apa pun genre ceritanya (dalam hal ini saya pikir cerita Sabiq bersifat komikal).

Berikutnya, Cesar memulai ceritanya dengan kepanikan di sana-sini. Seorang wanita bingung harus lari ke mana, akhirnya memilih diam dan bersembunyi, berharap akan selamat, namun akhirnya ia terkena “hujan kelamin”. Terma “hujan kelamin” sendiri sudah membuat cerita Cesar menjadi salah satu cerita yang paling diingat dalam sesi ini. Lepas dari terma “hujan kelamin” yang fenomenal itu, Cesar cukup bisa membangun emosi fear dengan menunjukkannya melalui perilaku sang wanita, yang berlari, lalu bersembunyi, dan menjambaki rambutnya sendiri dalam persembunyiannya. Menurut saya, emosi fear bisa terbangun lebih kuat bila Cesar membuat karakter utama yang bisa diidentifikasi oleh dari awal cerita dan bukan hanya menciptakan setting tanpa karakter yang spesifik.

Setelah Cesar, Almer bercerita tentang tokoh aku yang mengumpat karena terus-terusan diumpati kakaknya, karena membawa makanan yang tidak enak. Seperti cerita Sabiq, tidak sulit juga menangkap emosi dasar anger dari cerita ini. Almer menunjukkannya dengan dialog batin berupa umpatan, maupun pemberian motif yang menjelaskan perasaan “aku”.

Sebagai penutup, Farida membawakan cerita yang cukup panjang. Tokoh utamanya adalah Tono, yang mulai mengamati ritual aneh orangtuanya setiap malam. Dari obrolan dengan temannya, Ari, Tono tahu bahwa akan ada yang datang ke desa, dan akan ada anak yang hilang, seperti kakak Tono dulu. Malamnya, Tono sulit tidur. Ia melihat pohon rambutan berbayang-bayang, mendengar suara derak jendela, dan jantungnya menggedor-gedor, sebelum kemudian ia mendengar suara kakaknya, dan gelap. Dituturkan dengan gaya horror/thriller klasik, mudah sekali bagi pendengar untuk merasakan fear. Dalam hal ini Farida menggunakan cara bertingkat untuk membangun mood yang kuat, mulai dari ritual-ritual orangtuanya, foreshadowing (obrolan dengan Ari bahwa akan ada anak yang hilang), penghayatan objek/metafora (pohon bambu, kuburan, pohon rambutan yang berbayang-bayang, jendela yang berderit), dan penghayatan tubuh (jantung yang menggedor-gedor). Sedikit catatan saja dari saya: penggunaan pohon bambu, kuburan, dan pohon rambutan yang berbayang-bayang bisa menjadi lebih kuat jika Farida tidak menambahkan keterangan tambahan (pohon bambu dan kuburan membangkitkan imaji-imaji di kepalanya). Tanpa harus “dikatakan”, pohon bambu, kuburan, dan pohon rambutan sudah cukup kuat untuk menimbulkan imaji yang kuat di benak pembaca.

Dari sesi menulis kali ini, saya dan teman-teman banyak mempelajari hal baru untuk menggambarkan dan membangun emosi dalam cerita. Di antaranya yang ditampilkan dalam cerita-cerita yang ditulis dalam sesi ini adalah:

  1. Penghayatan ruang (mis. Kosong, penuh, lepas, gelap)
  2. Penghayatan objek/pemanfaatan objek sebagai metafora (mis. Botol bir, awan, hujan, pohon, makam)
  3. Penghayatan tubuh (mis. Kesadaran penampilan, perasaan mengembang, degup jantung), atau perilaku (mis. berlari, bersembunyi, menjambaki rambutnya sendiri)
  4. Dialog (antar tokoh atau dialog batin), yang biasanya dipadukan dengan motif (bagaimana tokoh diperlakukan orang lain, alasan mengapa tokoh merasa suatu emosi tertentu)
  5. Foreshadowing (khususnya untuk fear/anxiety).
Andika dan Indra menambahkan ada beberapa teknik lain yang bisa dipakai, di antaranya:

  1. Irama/pace (panjang-pendek kalimat untuk membangun ketegangan), yang saya pikir bisa diperluas menjadi penghayatan waktu (mis. Ingin cepat-cepat besok, waktu berlalu sangat lambat, waktu berlalu sangat cepat, tidak ingin saat ini berakhir).
  2. Penggunaan huruf vokal dominan. Andika menerangkan bahwa dalam puisi penggunaan vokal “a” lebih identik dengan emosi seperti happiness sementara vokal “i” lebih identik dengan emosi sadness. Penggunaan konsonan tertentu juga bisa membangkitkan emosi tertentu misalnya “r” untuk anger, atau bahwa “a” lebih sesuai dengan emosi aktif (anger, happiness, excitement) sementara “i” lebih sesuai dengan emosi pasif (tender, sadness, fear)... tapi ini hanya hipotesis saya pribadi :D
Dengan pembahasan tentang cara-cara menggambarkan emosi berakhir pula pertemuan sesi ini. Apakah ada cara menggambarkan emosi yang terlewat oleh kami? Silakan di-share dengan kami :)



Rizal Affif. Di luar tugas-tugasnya sebagai freelance HR consultant, ia menghabiskan waktunya untuk blogging, menulis novel, dan bersepeda gunung. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan diri di sela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi dirinya. Ia baru saja meluncurkan Harmoniselife (www.harmoniselife.com), sebuah blog  mengenai gaya hidup natural, serta sedang berusaha merampungkan novel perdananya di sela-sela kesibukannya.

Selasa, 05 Juni 2012

Luka yang Kusembunyikan

Penyakit yang berbintil-bintil menyerupai jengger ayam ini tidak akan kubilang siapa-siapa selain dokter, Tuhan, serta istriku yang sudah mengetahuinya. Waktu itu ia menjerit kemudian bersumpah serapah jijik melihatnya. Ia juga menuduhku sudah bermain kotor dengan perempuan lain sehingga aku mendapatkan penyakit ini. Tidak, tidak ada yang tahu selain kami berempat.

Tapi rupanya yang memiliki penyakit memalukan seperti ini tidak hanya aku, teman-temanku yang lain memilikinya. Atau jika bukan penyakitnya, tetapi latar belakang penyakit atau kejadiannya cukup memalukan. Aku tahu kisah orang-orang itu dari teman-temanku yang menuliskannya. Misalnya Andika Budiman yang bercerita tentang Tono, bocah berusia 7 tahun, yang memutuskan disunat karena alasan yang sangat infantil--ia ingin mendapatkan hadiah dari orang tuanya. Walaupun ia harus mengalami sakit terutama saat pergantian perban atau saat kepala penis yang agak basah menempel di celananya.

Atau Farida Susanty yang berkisah tentang seorang pemuda bernama Anto yang datang ke sekolah dengan keadaan babak belur di wajah dan kaki. Ia bercerita bahwa ia dipukuli geng motor karena ada salah satu perempuan dari sekolah tetangga yang menyukai Anto. Tetapi yang mengetahui sebenar-benarnya cerita Anto hanyalah Rino. Rino tahu bahwa Anto berbohong. Ia mengalami luka-luka karena karena lupa menurunkan kedua kakinya saat motornya berhenti di lampu merah.

Selain itu ada Dani yang bercerita tentang Haris yang memiliki luka di kelapa yang cukup besar sehingga harus di perban. Dengan modus yang hampir sama dengan cerita Farida, Haris berkata bohong pada orang-orang yang menanyakan perihal lukanya. Padahal sebenarnya Haris terkantuk layar monitor saat ngantuk. Aku sempat bertanya perihal dimana rasa malunya (karena kupikir ini tidak lebih memalukan dariku yang memiliki jengger), lalu Dani menjawab bahwa hal seperti itu cukup memalukan untuk anak-anak IT.

Lalu temanku satu lagi, Almer, mencoba bercerita namun ceritanya tidak selesai. Intinya ia akan bercerita tentang seorang ksatria yang mengembara dengan luka menganga. Sementara itu Rizky bercerita tentang kisah yang agak-agak surealis (sehingga aku agak kurang mengerti). Tanda surealis ini terlihat ketika ia bercerita tentang seseorang yang memiliki luka di dahi yang semakin lama semakin membesar dan tidak bisa ditutupi oleh perban. Rupanya Rizky menarik garis yang jauh kepada sebuah pemaknaan seseorang tentang luka yang memalukan: semakin malu terhadap luka, maka seseorang akan merasa semakin besar lukanya.

Ah, lega juga menyadari bahwa aku tidak sendiri. Oh ya, kalau mau tahu ceritaku, bisa dilihat di sini. Oh, akhirnya yang tahu tidak kami berempat lagi.


- Harri

Sabtu, 19 Mei 2012

Penyesalan Selalu Datang Terlambat

Katanya. Saya mungkin menggunakan judul itu untuk membenarkan kesalahan saya yang terlambat membuat jurnal tentang rasa bersalah. Duh, Farida. Rasa bersalah yang mengiringi laporan jurnal menulis tentang rasa bersalah. Tapi seterlambat apapun, saya tetap ingin menulisnya untuk menebus kesalahan saya.

Saat itu tidak banyak peserta RLWC yang datang menghadiri pertemuan. Hanya ada saya, Andika, Rizal, Dani, dan Mbak Riri. Sisanya tidak datang atau tidak ikut menulis. Di sebelah kami ada Marwan, yang sebelumnya pernah memberikan presentasi tentang pembuatan komik di salah satu sesi RLWC. Dia juga tidak ikut menulis.

Beberapa saat, kami juga kesulitan mencari tema. Hingga saya tiba-tiba teringat tentang sesuatu yang saya baca sebelumnya, tentang rasa bersalah. Rasa bersalah katanya disebabkan oleh nilai yang berbeda antara nilai sosial dengan nilai kita, atau perasaan bahwa kita telah melanggar suatu nilai tertentu. Rasa bersalah bisa membuat orang melakukan apapun untuk menebus rasa bersalah itu.

(termasuk tetap menulis walau sudah terlambat)

Ternyata usulan tema saya diterima oleh peserta lain, dan akhirnya kami menulis tentang rasa bersalah. Beberapa menganggapnya sulit, tapi akhirnya kami kerjakan juga.

Cerita pertama dibacakan oleh Andika. Andika menggunakan gaya khasnya yang cukup memperhatikan detil dan mengalir. Ceritanya dituturkan oleh seorang narator yang menceritakan tentang hubungannya dengan temannya yang berubah sejak dia menemukan kesalahan temannya dalam hal yang sama-sama mereka sukai, menggambar. Cerita ini menimbulkan banyak pertanyaan di peserta lain, dan kami harus memastikan dan bertanya pada Andika tentang isi dari ceritanya. Mungkin karena pembatas setting yang kurang jelas, atau hal lain. Tapi Andika (dengan sabar, ya?) menjelaskan ceritanya. Jujur saya juga belum terlalu yakin apa yang saya simpulkan di sini pun sudah betul isi ceritanya. Andika bisa berkomentar.

Cerita selanjutnya datang dari Rizal. Rizal ternyata menggunakan perasaan pribadinya untuk menulis cerita ini. DIa menulis tentang seseorang yang tidak dapat menghayati ibadah yang dilakukannya, tapi tetap melakukannya demi ibunya, temannya, dan pacarnya. Peserta memuji gaya bahasa Rizal di cerita ini dan berkomentar bahwa rasa bersalahnya dapat terasa di cerita ini. Yang baik untuk disorot mungkin cara Rizal menjelaskan tentang shalat tanpa menyebutkan bahwa itu shalat. Ini salah satu cerita favorit saya darinya.
Kemudian Dani membacakan juga. Dani menceritakan tentang rasa bersalah seorang perempuan yang menjadi simpanan seorang gubernur yang ditembak mati. Dani mengakui ini terinspiras dari All The King's Men, sebuah film.

Selanjutnya Mbak Riri juga membagi rasa bersalahnya, dalam ceritanya tentang hasil audit yang dipalsukan dan bagaimana seseorang bisa berhenti merasa bersalah karena situasi yang mendorongnya. Para peserta tertarik dengan masalah audit ini dan merasa mendapat pengetahuan baru dari cerita Mbak Riri.

Saya sendiri? Saya tadinya ingin menulis sebuah rasa bersalah personal, tapi ternyata saya tidak tega. Saya menulis tentang seorang laki-laki yang mengidap obsessive compulsive disorder karena rasa bersalah pribadinya. Tapi nampaknya ceritanya juga kurang jelas sampai peserta lain tidak mengerti di endingnya. Sudahlah :p

Sekarang rasa bersalah saya sudah sedikit tertebus.
Mohon dimaafkan.



Farida Susanty adalah mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran yang kecanduan siaran televisi berlangganan. Sekonyong-konyong tubuhnya akan terpaku di depan televisi apabila ada film-film seru di channel HBO. Genre film favorit Farida beragam di kisaran indie, teen-flick, drama, dll. Ia sudah menelurkan 4 buah buku yaitu Dan Hujan Pun Berhenti, Karena Kita Tidak Kenal, serta dua antologi. Sekarang ini ia sedang dalam proses menerbitkan buku selanjutnya. Kunjungi blognya http://lovedbywords.tumblr.com/

Rabu, 16 Mei 2012

Kau -- Sudut Pandang Kedua


Jam tiga sore – dari sudut toko buku Reading Lights, kau melihat arus lalu lintas tak sepadat saat kau kemarin pulang. Di depanmu menunggu halaman putih kosong, tetapi matamu tak bisa lepas dari pemandangan di balik jendela. Pohon-pohon berdahan tinggi daunnya bergerak-gerak dihembus angin. Sinar matahari memunculkan beraneka warna hijau. Kau lebih ingin berada di luar daripada apapun. Namun, tidak semua keinginan mesti dituruti, kan? Perhatianmu kembali ke halaman kosong. Mencoba menulis, tetapi tak bisa. Mungkin lebih sulit memulai sesuatu jika dilakukan terlambat. Namun adakah kata terlambat jika sesuatu itu berarti? Kau berhenti mencari alasan. Kau mengingat-ingat lagi apa yang terjadi dalam pertemuan writer's circle dua pekan silam, pertemuan di mana kau bertugas menulis jurnalnya.

Kau ingat, kau datang lebih cepat daripada peserta lainnya. Kau tidak ingat, seperti apa cuaca hari itu. Padahal kau biasa memulai tulisan dengan menggambarkan cuaca. Kau ingat, buku yang kaubaca sambil menunggu yang lain. Wise Children oleh Angela Carter. Indra Permadi tiba beberapa saat setelahmu, mengeluarkan buku Writing Fiction: A Guide to Narrative Craft oleh Janet Burroway. Kalian pun bertukar bacaan. Buku Indra banyak memuat latihan, penjelasan, contoh fiksi yang baik, bahkan naskah fiksi penuh coretan. Ketika kau meminta Indra menjadi fasilitator menulis, laki-laki itu segera mengiyakan.

Belakangan Indra selalu memakai pewangi yang tak kau ingat ia pakai dua tahun silam. Wangi serupa pernah kauendus saat menemani seorang teman berbelanja di gerai The Body Shop. White Musk Sport for Men. (Kau membayangkan reaksi temanmu Dani dan Nia ketika membaca kalimat barusan.) Lalu Dea datang. Kalian terlibat pembicaraan lokal mengenai serunya berkirim kartu pos. Ketika Ririe datang, kalian bergabung dengan Sabiq dan Almer yang telah menyulut rokok di ruang belakang. “Kita mulai sekarang?” tanya Indra. Waktu menunjukkan pukul setengah lima lebih, kau mengangguk. “Atau kita menunggu sebentar lagi?” tawar Indra. “Bagaimana kalau ada yang datang lagi? Menjelaskannya jadi dua kali, kan?” Kau geli. Indra tak menyebut nama, tetapi kaupikir yang dimaksudkannya adalah Dani.

Sore itu, Indra muncul dengan tema dan latihan tentang sudut pandang. Pertama-tama ia menjelaskan macam-macam sudut pandang: orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Dalam sudut pandang orang pertama, cerita dinarasikan oleh 'aku' atau 'saya', sementara pada sudut pandang orang kedua penulis menempatkan karakternya sebagai 'kau' atau 'kamu', “Seperti dalam surat,” Indra mencontohkan. Lalu ada juga cerita bersudut pandang orang ketiga di mana penulis menempatkan karakternya sebagai 'dia'. “Pada prakteknya sudut pandang ketiga dapat sangat bervariasi, penulis bisa berperan sebagai Tuhan yang menunjukkan isi hati semua karakternya, dan bisa juga tetap fokus pada karakter-karakter tertentu,” jelas Indra. Konon semua sudut pandang ini sama pentingnya. Sebuah cerita lama dapat memiliki rasa baru ketika dituturkan dengan sudut pandang lain. Untuk membuktikannya, Indra meminta setiap peserta menulis dengan sudut pandang yang paling jarang digunakan, “Tulislah cerita menegangkan dengan sudut pandang orang kedua.” Setelah timer dipasang, segenap peserta mulai sibuk dengan alat tulis masing-masing.

***

Andika! Kamu tahu contoh buku yang memakai sudut pandang orang kedua?
Hmm, apa ya? Serial pilih-sendiri-petualanganmu? Biasanya di akhir setiap kejadian, pembaca ditanyai apa tindakan yang mereka pilih selanjutnya. Seingat saya, dalam serial ini pembaca dirujuk sebagai 'kamu'. Oh, ya! The Perks of Being a Wallflower. Novel ini terdiri dari serangkaian surat yang ditulis Charlie, tokoh utama buku ini, kepada orang yang tak dikenalnya. Novel yang terdiri dari surat disebut epistolary novel. Pada pertemuan writer's circle, Indra mencontohkan The Great Gatsby. Saya belum membacanya, tetapi kata Indra tokoh utamanya justru bukan si narator, melainkan si Gatsby. Ketika akhirnya Gatsby mati, si naratorlah yang kemudian memetik pelajaran dari pengalaman hidup Gatsby.

Menurut kamu seberapa penting 'sudut pandang' dalam fiksi?
Penting sekali! Mengubah-ubah sudut pandang adalah salah satu cara menghindari kejemuan ketika menulis sebuah kejadian yang sering kita tulis. Pertemuan writer's circle, misalnya. Saya sendiri lebih suka membaca novel yang sudut pandangnya kaya daripada novel yang latarnya kaya(!). Saya ingat saat pertama kali membaca Biru-nya Fira Basuki. Novel ini memakai sudut pandang orang pertama dengan narator berganti-ganti. Itu membuat Biru begitu lain dan berkesan di mata saya, Semakin lama, saya menemukan semakin banyak buku bersudut pandang menarik. The Accidental-nya Ali Smith bergulir dengan sudut pandang dari setiap anggota suatu keluarga dan semuanya menggunakan stream of consciousness. Memoar Dave Eggers selincah senam dalam memainkan sudut pandang orang pertamanya. Karakter anjing dalam Two Caravans-nya Marina Lewycka dapat 'berbicara' dan berperan penting dalam penuturan cerita. Kamu punya judul lain?

Saya? Awal tahun ini saya menamatkan Freedom-nya Jonathan Franzen. Buku itu nyaris setebal empat senti, tetapi tidak sekalipun saya bosan membacanya. Saya percaya rahasianya terletak pada variasi penuturan Franzen. Saya pernah membaca di sebuah surat kabar Inggris Jonathan Franzen dan beberapa penulis lainnya berbagi 'aturan menulis' mereka kepada para penulis pemula. Salah satu aturan Franzen: 'Selalu gunakan sudut pandang orang ketiga, kecuali sudut pandang orang pertamamu berbeda dan ia terus memaksa muncul.'
Hm, saya setuju untuk alasan saya sendiri. Jujur saya paling tidak sabar jika membaca cerita bersudut pandang orang pertama di mana tokohnya laki-laki; dan konflik utamanya bagaimana ia mendapatkan hati perempuan yang disukainya. Dengan sudut pandang orang pertama, saya sulit menempatkan diri di posisi kedua tokoh itu.

***

Sesi membaca pun dimulai dengan berakhirnya sesi menulis selama setengah jam. Kau menawarkan diri membaca pertama. Tulisanmu menceritakan 'kamu', seorang remaja laki-laki yang menulis surat berisi rahasia tentang dirinya. Surat itu diselipkan ke dalam tas ayahnya pagi-pagi sebelum beliau pergi kerja. Ketegangan lantas dirasakan remaja itu sepanjang hari, di sekolah, di angkutan kota, sebelum nantinya ia mesti pulang dan menghadapi kedua orang tuanya. Dea berkomentar tulisanmu bagus, tetapi seperti tak ada hubungan antara narator dengan tokoh utama. Dan berhubung cerita belum selesai, Almer menanyakan akhirannya. “Sudut pandang yang digunakan sudut pandang orang kedua, narator tidak masuk dalam cerita,” Indra menyimpulkan. “Nah, apa Bung Andika merasa ceritanya cocok dengan sudut pandang ini?” Kala itu jawabanmu untuk Almer dan Indra “Belum tahu,” dan “Tidak!” Kini kau tahu bagaimana cerita akan berakhir, serta bagaimana sudut pandang orang kedua dapat membantu mengakhirinya.

Tulisan Indra berkisah tentang percakapan telepon sepasang laki-laki dan perempuan. Awalnya si laki-laki menceritakan detil tentang kecelakaan yang disaksikannya di jalan. Namun lama-lama percakapan memanas – si perempuan seperti kesal, dan si laki-laki mencoba menenangkannya dengan cara yang salah. (“Kamu sedang menstruasi, ya?” tanya si laki-laki. “Kalau bukan sama aku, nanti kamu cerita sama siapa?” tanyanya lagi.) Berhubung Indra hanya menulis ucapan si tokoh laki-laki, peserta writer's circle yang lain jadi membayangkan apa yang kiranya diucapkan si tokoh perempuan. Indra menggunakan sudut pandang orang kedua di mana naratornya ikut menjadi karakter. Kau setuju ceritanya cocok menggunakan sudut pandang ini, tetapi kau percaya topik percakapan teleponnya bisa lebih menegangkan.

Ini bagian sulit, kau sungguh lupa Dani menulis apa. (“Tulisan gua gagal,” ujarnya sebelum membaca.) Di writer's circle, kalian terbiasa mendengar tulisan Dani tentang perang, militer, cinta, maupun cerita fiksi ilmiah. Kalau tidak salah, tulisannya sejenis monolog seseorang yang kehilangan kekasihnya. Ia menulis tema ini dari waktu ke waktu. Kau yakin tulisannya tidak akan terlalu gagal. Jika Dani mengatakan demikian, besar kemungkinan itu demi menurunkan ekspektasi.

Tulisan Dea pendek dan mengejutkan, judulnya 'Rahasia.' Seingatmu begini tulisannya:
MALIIIIING!
Iya kamu!
Ayo mengaku! Kamu maling, kan?
Sudah jangan banyak bicara! Kamu telah mencuri!
Kamu mencuri baca tulisan ini.

Semua geli mendengar pembacaan Dea. Tulisannya seperti apa yang biasa dituliskan di halaman pertama buku harian anak-anak. Kau mulai memahami keunggulan sudut pandang orang kedua dibandingkan sudut pandang yang lainnya. Sudut pandang ini membuat pembaca merasa dilibatkan ke dalam tulisan – seperti diajak bicara. Hal yang sama juga ditemukan dalam tulisan Ririe yang berjudul ‘Cue Cards’. Berikut cuplikannya:

Point A
Hi! Kamu baru saja menemukan Point A. Silahkan matikan GPS-mu sekarang untuk menghemat baterai, masukkan dalam dry bag yang tersedia, dan bawalah bersamamu. Bersama cue card ini, kamu akan menemukan sebuah dayung. Di ujung jalan ini ada sebuah perahu kayak, ikuti aliran sungai hingga ke hilir. Saat melihat pelampung dengan bendera hijau, menepilah dan tambatkan perahu di pilar yang tersedia. Petunjuk menuju point B ada disana. Hati-hati ya!

Kata ganti 'kamu' dalam sudut pandang orang kedua dalam cerita Dea dan Ririe tak terbatas hanya tertuju pada satu tokoh, tetapi juga bisa pada entah berapa banyak pembaca.

Di sisi lain, ‘kamu’ dalam tulisan Sabiq dan Almer tertuju pada satu orang saja. Cerita Sabiq adalah surat untuk seorang pahlawan-penyelamat-kota. Meskipun tak menyebut nama, Sabiq memberikan banyak petunjuk mengenai identitas si pahlawan. Salah satunya bahwa ia fotografer. “Spiderman, ya?” tebak Almer. Sabiq mengiyakan. Meskipun tulisan ini menarik, Indra menunjuk kurangnya konsistensi Sabiq dengan sudut pandang yang digunakan. Di beberapa bagian, tulisannya memberi informasi terlalu banyak, seakan penulis adalah Tuhan yang tahu semua. Padahal pada awalnya tulisan itu dimaksudkan sebagai surat. Saran Indra, sebaiknya Sabiq memilih antara menulis dengan sudut pandang terfokus, atau sejak awal menulis dengan sudut pandang penulis-tahu-semua.

Almer menuturkan kisah sentimentil tentang dua orang teman yang melarikan diri setelah merampok bank. Di mobil, salah satu di antara mereka mengajak berbicara yang lain – memaki-maki, menyesali kebodohan yang lain, meratap, serta mengenang masa lalu.  Namun semua itu tidak dijawab, karena yang diajak bicara sudah tak sadarkan diri karena tertembak. “Sudut pandang orang kedua, narator termasuk ke dalam cerita,” ujar Indra. Seperti yang sudah-sudah, Almer lancar dalam mengungkapkan ceritanya. Kalimatnya sederhana dan minim kesan dibuat-buat. Sekalipun ke depannya ia tak ikut writer’s circle, kau berharap akan membaca lebih banyak lagi tulisannya.

***
Andika! Setelah tiga hari akhirnya kamu menyelesaikan jurnal ini! Kamu memulai pada sore cerah di Reading Lights dan berakhir pada sore hujan di rumahmu. Bagaimana perasaanmu saat ini?
Capek. Tidak yakin saya sudah melakukan hal yang betul.

Apa yang membuatmu tidak yakin?
Saya menulis menggunakan sudut pandang orang kedua dengan alasan yang mungkin tidak jelas. Saat pertemuan writer’s circle, Indra, Dea, Dani, Ririe, Sabiq, dan Almer punya alasan yang jelas menggunakan sudut pandang itu. Indra karena tokohnya sedang melakukan percakapan via telepon. Dea, Ririe, dan Sabiq karena tak berhadapan langsung dengan yang diajak bicara. Lalu Almer karena yang diajak bicara tak bisa menjawab. Setelah pertemuan writer’s circle berakhir, saya baru menyadari bahwa sudut pandang ini juga bisa dipakai menggambarkan percakapan dengan diri sendiri.

Coba jelaskan.
Kadang-kadang saya suka bercakap-cakap dengan diri saya sendiri. Seperti yang kita lakukan sekarang. Ada kalanya saya ingin bercerita, tetapi sedang sendirian – saat itulah saya berbincang dengan diri sendiri. Ada kalanya saya ingin bercerita, tetapi ceritanya tak berharga waktu orang lain – saat itulah saya berbincang dengan diri sendiri. Ketika berbicara dalam hati pun, saya lebih sering menggunakan kata ganti ‘kamu’ daripada ‘saya’. Terutama untuk memotivasi diri sendiri(!). Saya mulai menulis jurnal ini dalam keadaan malas dan sendirian, maka saya menggunakan sudut pandang orang kedua.

Mengapa kamu tidak menulis dengan sudut pandang orang pertama atau ketiga?
Saat menulis jurnal RLWC, saya selalu menulis dengan sudut pandang orang pertama, dan itu mulai membosankan. Lagipula sudut pandang ini kadang-kadang gagal menggambarkan konflik batin seseorang. Sementara itu, sudut pandang orang ketiga, dalam kasus menulis jurnal RLWC, membuat saya berjarak dengan apa yang saya tulis. Padahal saya ada di dalamnya.

Hm. Rumit juga ya? Dan sepertinya kamu sudah capek dan tak ingin menulis lagi. Terakhir deh, apa yang bisa kamu petik dari pengalaman ini?
Ada berbagai sudut pandang untuk melihat dan mengisahkan sebuah peristiwa. Carilah sudut pandang yang membuatmu bisa menuliskan sebanyak mungkin yang ingin kauceritakan.



Andika Budiman adalah seseorang yang tidak pernah mengganti profile picture Facebook-nya.

Kamis, 05 April 2012

Ketika Bulan Menjadi (Teman)ku

Ada cenderamata yang dikirimkan dari Ryan, salah satu peserta RLWC, yang kini sedang mengenyam pendidikan S2 di Southeast University of China. Kami mengunggah karyanya di blog karena blog ini memang terbuka untuk para peserta yang ingin menaruh karyanya. Karya Ryan di bawah ini belum melalui proses edit dan berharap dikomentari:

------

Ketika Bulan Menjadi (Teman)ku

Bunyi deburan ombak di pantai laut selatan terdengar seperti teriakan caci maki dan penolakan, “Kemari-kemarilah,” bunyi deburan ombak menghantam tepi karang. Angin malam bertiup kencang, seperti memelukku, menghapus air-air hangat dalam cucurannya, dan disinilah aku berdiri bersama kekasihku, cintaku, setengah jiwaku.

Cintaku, kita bertemu disaat malam dan selalu berpisah di saat fajar, mungkin takdir yang mengijinkan kita bertemu di hari itu, atau mungkin segala sesuatunya sudah diatur dan tersirat sejak sebelum manusia dapat berjalan di tanah ini, aku tidak tahu, aku tidak mengira-ngira, tapi aku tahu, tidak pernah dapat bersama. Kau dan aku dibatasi oleh ulasan tangan Tuhan, dan perintah-Nya yang menaklukan hamba-hamba-Nya memisahkan semuanya diantara kita berdua.

Ketika langit sudah tidak menjadi penghiburku, kualihkan pandanganku kepada Dajal, sang malaikat maut, dengan harapan membayar kepadanya setengah jiwaku aku dapat memilikimu, dengan setengah jiwaku aku dapat memberikan setengahku disampingmu, tapi singa tetaplah singa walaupun kau dandani singa itu seperti kucing, dajal menerima dan mengambil setengahku lalu dengan tawa disertai telunjuknya mempermalukan aku dihadapan seluruh dunia, memperlihatkan betapa rendah dan menjijikannya diriku. Kukutuk Dajal atas sikapnya kepadaku, kukutuk Tuhan atas suratan takdirnya atas kita, kukutuk malaikat-malaikat yang hanya dapat mengikuti perintah-Nya tanpa dapat menolongku, dan lagi kukutuk diriku sendiri atas menyedihkannya diriku.

Tanganku tidak cukup panjang untuk meraihmu memang, dan kakiku tidak cukup kuat mengejarmu memang, tapi aku tahu hatiku cukup untuk menginginkanmu, tidak cukupkah itu? Ayahanda, mengapa kau biarkan aku menjadi mahluk menyedihkan ini, tidak tahu menahu soal malu dan hormat, hanya cinta mati saja. Ibunda, dimanakah engkau sekarang? Mengapa engkau tidak berada disampingku atau di punggungku, mencoba mendorongku, mendukungku, mencoba mengatakan,”Ibu ada disini nak.” Dimanakah engkau sekarang?

Kini aku tahu aku tidak memiliki seorangpun, aku hanya punya engkau cintaku, bukan, aku hanya punya cintaku kepadamu. Kesetiaan? HA!!! hanyalah kata-kata penuh dengan dusta dan racun, dibuat untuk menghangatkan hati para manusia bodoh, tuli, dan bisu. Cintaku, aku telah mengejarmu sampai menuju gerbang pintu dunia di ujung cakrawala, hanya untuk mengharapkan balasan dari cintaku, dari ungkapan isi hatiku. Kau mempermainkan hatiku , kau memberikanku senyum disertai dengan harapan kosong, dan pergi tanpa melihatku terpuruk di tanah, dan kau tidak memalingkan wajahmu kepadaku, sekalipun tidak.

Disinilah aku, di laut milik ratu selatan, berharap tubuhku bisa menjadi bayaran yang pantas atas permohonanku kepada sang ratu untuk melepas rohku untuk berada disampingmu, penyesalan memang ada, kekecewaan dan kepahitan memang terasa di bibir yang kelu ini, tapi aku ingin tidak menyesal, bersama dengan permintaanku kepada sang ratu, aku ingin berada disana, Hai, Pencuri Hatiku. Hai, Mahluk Malam. Hai, Rembulan. Diamlah di ujung langit malam sana bersama dengan mahluk mungil bercahaya itu, janganlah bersembunyi dibalik kapas langit, tidak perlu malu, tunggulah aku disana, aku hanya tinggal memberikan tubuhku kepada sang ratu dibawah sana, dan jiwaku akan bersamamu, disampingmu selamanya.



Ryan Marhalim, hanyalah mahluk biasa kelahiran 1988, Juli, tahun Naga yang penuh dengan angan-angan belaka yang menjadi salah satu anggota RL dengan harapan setinggi langit, sudah lulus dari Unversitas Kristen Maranatha berlatar belakang jurusan akuntan akan tetapi melarikan diri ke arah sastra. Salah satu latar belakang Ryan menulis adalah karena kesukaannya kepada sastra dan novel, salah satu novelist favoritnya  adalah Pramodya Ananta Toer dengan judul  “Bumi Manusia” sedangkan pengarang luarnya adalah John Grisham, hobinya adalah membaca berbagai macam buku dan silahkan menghadiahi buku-buku seperti filsafat, psikologi, sejarah, dan juga hobi mengarang. Saat ini berada di negeri bambu, tertinggal sendirian dan terlepas dari teman-teman RLnya demi menempuh gelas Master. Tetapi karena kesukaannya kepada sastra Ryan tetap menulis dan akan terus menulis.

Selasa, 03 April 2012

Benang Merah dalam Kumpulan Cerita


Foto oleh Sapta P Soemowidjoko


Hari Sabtu (31/03), 9 peserta writer's circle latihan membuat lima cerita dari satu tema yang dipilih sendiri sebagai benang merah. Konsepnya seperti membuat kumpulan cerpen, namun karena keterbatasan waktu, peserta membuat cerita mini (sepanjang 5-10 kalimat). Misalnya Andika memilih tema "dua orang sedang berdiri di atas trotoar dan menunggu taksi", maka Andika harus membuat 5 cerita dengan variasi karakter, plot, dan setting namun harus mengenai dua orang yang sedang berdiri di atas trotoar dan menunggu taksi.

Latihan semacam ini berguna bagi penulis yang ingin membuat kumpulan flash fiction, cerpen, dan lainnya. Penetapan tema utama sebagai benang merah perlu dilakukan di awal agar penulis tahu apa yang harus ditulis dan kesamaan antar ceritanya jelas. Penetapan tema di akhir dari karya-karya yang sudah selesai biasanya cenderung membuat garis merah yang dipaksakan.

Dialog yang Efektif

Sabtu (24/03), 15 peserta RLWC latihan menulis dialog tentang dua karakter memiliki perbedaan cara pandang dalam suatu masalah sehingga menimbulkan konflik. Dari latihan ini diharapkan dapat membuat dialog yang efektif, membuat dua tokoh terlihat karakternya, namun tetap menyampaikan pesan.

Berikut ini ada contoh dialog yang efektif, dapat menonjolkan karakter dua tokoh yang berbicara, dan tetap menyampaikan pesan. Diambil dari buku Bisik-Bisik oleh Reda Gaudiamo:


...

"Umurmu ... berapa sekarang?"
"Dua puluh lima."
"Masih muda sebetulnya."
"Tapi semua temanku sudah kawin sekarang."
"Kalau teman-temanmu masuk selokan, kau juga buru-buru terjun menemani mereka?"
"Kak!"
"Habis masak kawin karena mengikuti teman. Kau sendiri, memang mau kawin atau tidak?"
"Mau, Kak."
"Kenapa kawin?"
"Daripada dosa, Kak!"
"Kuhajar, kau!"
"Kak!"
"Dengar, kawin itu bukan soal dosa atau tidak dosa. Kawin itu karena kau sudah menemukan orang yang tepat. Karena kau cinta padanya!"

...

"Hei, aku tidak mengada-ada. Kau ingat temanmu, si Basri?"
"Ya, ya, aku ingat."
"Kapan dia kawin? Enam bulan lalu. Kapan cerai dia? Minggu lalu. Macam mana, tuh?"
"Aku tak akan begitu, Kak. Kami tak akan begitu. Janji."
"Jangan janji padaku. Janji pada dirimu. Tetapi sebelum kau bisa penuhi janji itu, kau harus tahu, dengan siapa kau mengikatkan diri."
"Dia gadis baik-baik."
"Aku tidak bilang apa-apa tentang dia."
"Khawatir aku, jangan-jangan Kakak tak suka."
"Aku bukan tak suka. Aku hanya tak senang melihat kalian terburu-buru kawin hanya dengan omongan orang, desakan orang tua, takut dosa. Aku tak tahu apa kata ahli agama, tetapi aku rasa, akan lebih berdosa lagi kalian kalau menikah terburu-buru dan tergesa-gesa bercerai hanya karena tak saling kenal, tak saling cinta."
"Kak, kalau orang tuanya tetap tak mau perkawinan ditunda, bagaimana?"
"Ya, tidak usah kawin!"
"Ampun!"
"Perempuan itu banyak! Melimpah-limpah. Bukan cuma dia seorang di dunia ini."
"Tapi aku ingin kawin. Aku ingin punya istri."
"Punya istri?"
"Lalu apa?"
"Bukan mau punya istri, tapi mau jadi suami."
"Apa bedanya?"
"Banyak."
"Kalau jadi suami, kau jadi pasangannya."
"Kalau punya?"
"Kau jadikan dia barang, milik."

...



Pendalaman Emosi: Terasing

Kemarin (17/03), 14 peserta writer's circle menulis pendalaman emosi "terasing". Mengacu pada KBBI, terasing memiliki arti 'terpisah dari yang lain'. Dalam sesi ini, writer's circle berlatih bagaimana agar pembaca ikut merasakan emosi terasing di dalam cerita.


Minggu, 01 April 2012

Menunggu dan Cemburu


Jurnal Reading Lights Writer’s Circle (3 Maret 2012)
“Menunggu dan Cemburu”

            Sabtu sore itu, di Reading Lights ada 7 orang yang berkumpul: Saya, mbak Rie, Dani, dan empat wajah baru: Indra, Rey, dan dua orang anggota paling baru, Asri dan Mia yang dua-duanya kuliah di ITB. Setelah menunggu dan tidak ada lagi yang lain yang datang, kami pun memilih tema dengan cara seperti biasa, kocokan kertas. Ternyata yang terpilih adalah tema dari saya: “Menunggu dalam kaitannya dengan cemburu kepada orang terdekat”. Kami pun memulai sesi menulis hari itu selama setengah jam.

            Setelahnya, kami pun bergiliran membacakan tulisan kami. Yang pertama membaca adalah Indra. Ia menulis tentang seorang tokoh pria yang selalu disalahkan dalam keluarganya, terutama ketika Ayahnya masuk rumah sakit dan meninggal. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa sang tokoh merasa cemburu kepada kakak perempuannya, yang selalu bersikap ketus padanya setelah mereka dewasa. Mbak Rie berkomentar bahwa ceritanya terkesan nyata, dan bertanya apakah itu curhat dan Indra punya kakak perempuan. Jawaban dari penulisnya tidak, itu hanya cerita fiksi.

            Berikutnya yang membacakan adalah Dani. Dani bercerita tentang situasi di stasiun ketika masa Perang Dunia, dengan tokoh seorang gadis yang menunggu suaminya pulang wajib militer, tanpa ada kepastian apa pria itu masih hidup ataukah sudah mati. Cerita Dani, meski diakui beralur lambat, cukup unik karena kecemburuan yang diangkat adalah rasa cemburu kepada orang lain yang kerabatnya sudah meninggal. Rey berkomentar kalau latar cerita itu seperti di Korea, menilik deskripsi musim gugur dan perubahan warna daun yang digunakan Dani dalam ceritanya.

            Setelahnya, giliran mbak Rie. Mbak Rie menulis tentang pasangan kekasih yang bertengkar di hari kasih sayang. Pasalnya, sang wanita mengetahui melalui gadgetnya kalau si lelaki pura-pura invisible tiap kali dia online, dan selingkuh dengan teman dekatnya. Mbak Rie menulis cerita ini dengan harapan bisa membuat sebuah cerita yang utuh tanpa harus berpanjang-panjang ataupun bertele-tele. Cerita ini berhasil memancing perdebatan dengan Dani bahwa dari jumlah kata, cerita tersebut bisa masuk ke Flash, Fiksi Mini, atau rubrik Cermin (Cerita Mini) di Kompasiana.

            Asri dan Mia yang baru pertama kali datang, turut menyumbang tulisan untuk sesi hari itu. Cerita Asri masih pendek, baru berupa introduction namun tak menghalangi kami untuk memberi masukan. Sedangkan cerita Mia mengambil 3 sudut pandang, tentang seorang mahasiswa yang sering dititipi absen oleh kawannya. Karena kawannya itu lebih pintar darinya dalam tugas dsb., tak urung itu membuat sang tokoh cemburu. Meski antar paragraf belum terjembatani dengan baik, konflik dalam cerita Mia cukup tertera dengan jelas.

            Setelahnya giliran Rey. Ternyata Rey membuat dua puisi tentang menunggu kekasih, yang satu bernada positif dan yang satunya lagi negatif. Bagi saya, saya lebih terkesan dan menyukai yang negatif, karena proporsi detil serta deskripsinya lebih kaya. Hal ini diamini oleh mbak Rie. Kedua puisi itu kami kritisi. Indra berpendapat ibarat sebuah prosa, kedua puisi itu hanya kurang pada alur serta tokoh. Dani, yang tidak terlalu banyak komentar, saya ajak menulis puisi juga, namun ia menolak karena lebih terbiasa menulis prosa dibandingkan puisi.

            Otomatis, sebagai fasilitator hari itu, sayalah yang mendapat privilege untuk membacakan paling akhir. Cerita saya hari itu agak panjang durasinya, tentang seorang pria bernama Bilawa yang putus cinta karena selingkuh, ditemui kawannya di sebuah kafe dan akhirnya harus menunggu demi sebuah happy ending versinya sendiri. Mbak Rie dan Dani sepakat kalau bahasa tubuh serta penceritaan dari tokoh Bilawa masih terlalu feminin dan tidak mencirikan seorang pria. Masukan ini saya catat betul. Hari itu saya belajar bahwa menunggu, cemburu, dan juga konflik yang terkait antar keduanya haruslah dibangun dengan cara seapik mungkin. Baik bentuk tulisannya puisi, cerpen, ataukah fiksi mini, segala aspek serta unsur kepenulisan semisal tokoh, dialog, dan tentu saja plot tidak boleh dilupakan, demi membangun sebuah cerita yang mengena di hati orang yang mendengar atau membacanya.

            Selepas sesi hari itu selesai, kami pun bubar sebelum hujan benar-benar turun dan membuyarkan segala kenangan. Saya, mbak Rie, Rey, Dani, Indra (yang baru datang lagi hari itu setelah sekian lama) pun pulang. Kepala saya masih membawa obrolan, masukan, dan aroma Cheese Mushroom Sandwich-nya Reading Lights petang itu. Dan endapan tanggal 3 Maret itu pun menghasilkan jurnal ini. Semoga saya bisa datang lagi nanti.


Catatan Penulis:
Tulisan Mbak Rie yang dimuat di rubrik Cermin Kompasiana bisa dilihat di tautan ini, atau di halaman Reading Lights Writer’s Circle di Facebook.



Dini Afiandri adalah salah seorang anggota yang (relatif) baru di Reading Lights Writers' Circle tetapi telah berhasil menyesuaikan diri dengan segala keanehan di sini. Siapapun yang ingin mengikuti jejak penulis bergaya "romantisme brutal" ini (menurut kata-katanya sendiri, lho) dapat langsung mengunjungi pertemuan kami setiap hari Sabtu jam setengah 5 sore di salah satu sudut Reading Lights. Eh, kok malah jadi promosi ya?

Jumat, 23 Maret 2012

Meneruskan Cerita dari Ronggeng Dukuh Paruk

Sabtu sore di Reading Lights, banyak juga orang yang datang untuk menulis. Selain saya, ada Dea, Nia, Farida, Indra, Sapta, Dani, Sabiq, Audrey, dan Almer. Beberapa dari mereka baru saya kenal, sementara yang lain sudah bertahun-tahun. Dan ketika sejumlah teman sudah lama tak saya jumpai, saya berjumpa dengan yang lain beberapa kali dalam seminggu. Kami semua menghadapi tantangan menulis yang sama: membuat cerita meneruskan sebuah paragraf.


Paragraf pembuka cerita kami dicuplik dari novel Ronggeng Dukuh Paruk yang sedang dibaca oleh Nia. Saya belum membaca buah pena Ahmad Tohari tersebut, tetapi saya ingat pernah membaca resensinya beberapa tahun silam saat novel yang mulanya terbit dalam tiga buku ini mulai diterbitkan dalam satu buku. Sampulnya oranye, si peresensi tak kehabisan kata-kata sanjungan. Tahun lalu rilis film Sang Penari yang terinspirasi dari cerita Dukuh Paruk. Saya sempat menonton lalu pulang dengan perasaan kagum dan senang. Ronggeng Dukuh Paruk yang dibawa Nia pada hari itu adalah edisi terbaru, yang mana sampulnya bergambar aktor dan aktris dari film Sang Penari. Tanpa berpanjang-panjang lagi, beginilah paragraf yang mengawali cerita kami:

Salah satu gubuk yang tersisa ketika terjadi kebakaran besar di Dukuh Paruk terletak hampir terkurung rumpun bambu. Isinya seorang nenek yang kini tak pernah lagi membuka matanya. Dia hanya bergerak bila ada yang mengangkat tubuhnya agar segala kotoran di bawahnya dapat disingkirkan. Sudah lima hari nenek Rasus tidak makan atau minum apa pun. Orang-orang Dukuh Paruk bergantian menjaga nenek yang dipercaya sudah hampir ajal itu. 

Setelah Nia membacakannya beberapa kali, segera kami berkutat dengan bolpen dan kertas masing-masing. Dea selesai ketika tangan kebanyakan dari kami masih sibuk mencari titik terakhir. Gagal memikat Dani jadi teman bicaranya, Dea pun membalik kertas dan mulai menggambar. Tak seberapa lama, ponsel Nia berdering. Waktu menulis sudah habis. Sekali lagi Dea jadi yang pertama membacakan tulisannya yang singkat tetapi menyentil:

Padahal maksud pembakaran gubug itu adalah “membakar semangat”. Tapi mungkin segala sesuatu yang tidak diperhitungkan kadarnya akan membawa dampak yang berbeda, bahkan bisa jadi sebaliknya. Karena terlalu lama dan dengan api yang terlalu besar, upaya “bakar semangat” pada gubug menimbulkan kegosongan. Akibatnya semangat yang harusnya membara dan menghidupkan malah mendekatkan Nenek Raus pada kematian. Ia jadi tak lagi punya cukup semangat untuk bergerak atau membuka mata sekalipun.

Sambil menjaga nenek, Rasus menangis tersedu-sedu menyesali tindakannya yang kurang berhitung. “Neneeek ... ketika membakar gubug ini aku hanya ingin membakar semangatmu. Aku ingin engkau sehebat Titik Puspa atau Laila Sari … “

Gambar di balik kertas Dea, gambar Rasus?


 Disentil Dea, yang lain tak mau kalah ingin cepat-cepat membaca. Dani pun membacakan ceritanya dengan suara sedih. Tulisan Dani merupakan monolog dari sudut pandang sekumpulan penduduk yang memandang penuh sesal ke arah kampung mereka yang telah dilalap api. Sebelum membaca, Dani menyatakan bahwa ceritanya bernada galau. Namun pada akhirnya hanya saya yang berpikir demikian. “Tapi terlepas dari galau/nggak galau gue tetap suka tulisan lu,” komentar Dea.

Sapta menawarkan diri membaca selanjutnya. Dikisahkah Abbas adalah seorang pemuda yang mendapat giliran menjaga nenek Rasus karena kebetulan sedang menganggur. Begitu Abbas menjejakkan kaki di dalam gubuk nenek, kata yang tiada henti didengarnya adalah “Haus … haus … haus ….” Mulanya Abbas merawat nenek Rasus dengan perhatian. Pemuda itu bercerita kepada nenek tentang perempuan yang akan ia nikahi. Nenek Rasus pun melihat Abbas tidak seperti melihat warga lain yang menjaganya. Akan tetapi, ketika datang seorang warga desa yang memberitahu Abbas bahwa gilirannya menjaga nenek diperpanjang, Abbas mengabaikan kata “Haus … haus … haus ….” Ketika kata-kata itu tidak lagi terdengar, Abbas memukul kentongan mengabarkan warga desa bahwa nenek sudah meninggal. Ia lantas bersiap menikahi perempuan idamannya.

“Ceritanya lengkap,” puji Indra. “Ada karakter, plot, dan ending.” Saya menyetujui. Farida menyukai cerita ini karena plotnya digerakkan tindakan karakter. Namun Audrey tidak suka karena menganggap logikanya tidak masuk. Dalam paragraf pengawal cerita, digambarkan sebagian besar rumah di Dukuh Paruh sudah rata dengan tanah. Ia membayangkan lingkungan di sekitar desa itu sudah dalam keadaan nol, di mana tidak ada kehidupan sehari-hari seperti pernikahan atau pekerjaan. Tanpa ada lapangan kerja, Audrey percaya yang menganggur seharusnya bukan hanya Abbas. Kritik Audrey ini menarik, karena justru menunjukkan perbedaan interpretasi masing-masing peserta terhadap paragraf paragraf pembuka cerita.

Perbedaan ini bisa dilihat ketika membandingkan cerita Nia dengan cerita Almer. Ketika mendengarkan Nia membacakan tulisannya, saya menangkap bahwa ia terpengaruh latar cerita yang sudah dibacanya. Dalam cerita yang berfokus pada nenek ini, Nia tidak lagi detil menggambarkan Dukuh Paruk, ia hanya menulis, “Rasus pergi meninggalkan kebobrokan Dukuh Paruk.” Sapta pun merasa terkhianati karena sebelumnya tak tahu bahwa Rasus bukanlah nama nenek, melainkan nama cucunya. Sebaliknya pembacaan Almer mengejutkan semua orang karena nenek Rasus dalam ceritanya digambarkan segar bugar. Nenek Rasus tidak mau dirawat warga bahkan mengajak berdebat seorang warga yang apes mendapat giliran. Almer menulis serta membacakan perdebatan ini dengan baik. Di satu sisi perdebatan antara Nenek Rasus dengan protagonis Almer terasa absur karena tidak mungkin terjadi di Dukuh Paruk. (“Gua rasa terjadinya mungkin di Jerman,” ujar Dani. “Soalnya logika-logika neneknya, mirip logika Heidegger.” “Hai, seger,” sahut Dea.) Namun di sisi lain, ini termasuk momen menyenangkan  writer's circe: ketika sebuah tantangan menulis memunculkan sebuah tulisan yang lain dari tulisan peserta lainnya. Meskipun - secara halus - Indra mengatakan bahwa pesan-pesan dalam dialog Almer dapat juga disampaikan dengan tak begitu tersurat, tulisan Almer menjadi personal favorite saya pada sore itu.

Berikutnya saya ingin membandingkan cerita Sabiq dengan Audrey. Masing-masing menunjukkan potensi, walaupun sore itu keduanya kurang luwes menggulirkan cerita. Sabiq mengaku sebelum sesi menulis ia memiliki ide menulis tentang badut. Walhasil, Sabiq menulis tentang seorang warga Dukuh Paruk yang menjadi badut setelah mendapat saran dari nenek Rasus. Sebetulnya cerita Sabiq cukup masuk akal, tetapi kurang ada greget atau penggambaran yang logis bagaimana itu bisa terjadi. Tulisannya pendek, kalimatnya banyak bersifat narasi, ketika selesai di benak saya muncul pertanyaan, “Lho, sudah beres lagi?” Begitupun dengan cerita Audrey yang berawal dari ide yang rumit. Audrey menulis tentang pertentangan warga dalam memaknai tradisi Ronggeng Dukuh Paruk. Banyak jeritan dalam dialog Audrey. Padahal dialog menjerit (jeritan yang bersahut-sahutan) cukup sulit dilakukan di writer's circle. Selain karena kita membacakan tulisannya sendiri, dialog menjerit perlu didahului latar belakang cerita untuk menjelaskan mengapa dialog itu diperlukan.  Biasanya penggambaran latar belakang yang jelas sulit dilakukan dalam setengah jam sesi menulis. Padahal tanpa itu, dialog semacam ini jadi kehilangan maknanya. Audrey mengaku ceritanya terpengaruh resensi Ronggeng Dukuh Paruk yang dibacanya di majalah Tempo beberapa waktu silam.

Apabila dalam menulis perhatian kebanyakan dari kami tertuju pada nenek Rasus, Rasus, atau warga yang mendapat giliran menjaga nenek Rasus, perhatian Indra tertuju pada kebakaran yang terjadi di Dukuh Paruk. Alih-alih dialog, cerita Indra banyak menggunakan kalimat berita. Ceritanya jadi seperti wacana. Alasan Indra adalah ketika sesi menulis dimulai ia sempat menanyakan di mana letak Dukuh Paruk. (“Jawa,” jawab entah Nia atau Dea.) Rupanya Indra merasa tidak percaya diri bisa menulis dialog berbahasa Jawa. Padahal dalam novelnya dialog sebagian besar justru menggunakan bahasa Indonesia dengan sedikit selipan bahasa Jawa. Seperti komentar Dani, Indra benyak berfilosofi. Begini ceritanya berakhir: Adalah bohong bila kebakaran tersebut mengangkat seluruh warga Dukuh Paruk hingga bangkit dari kenestapaan. Namun, paling tidak, ia membantu membuat warga Dukuh Paruk menyadari bahwa hidup memang penuh derita dan tidak ada yang pantas dilakukan dalam hidup kecuali disertai dengan pembongkaran, penghapusan, pembangunan kembali, pengkajian ulang, penyusunan, pembangunan ulang, pengerjaan ulang, pembentukan kembali, dan segala macam bentuk upaya manusia lainnya yang tak pernah usai dan tak pernah sempurna.

Tulisan Indra

Pembacaan Farida membuat kami sulit berkata-kata. Dalam paragraf pengawal cerita dideskripsikan bahwa Nenek Rasus tidak pernah lagi membuka matanya. Setelah delapan orang dengan karya masing-masing, Farida mengangkat bagian yang belum disentuh yang lain: mimpi-mimpi nenek Rasus. Tulisan Farida campur aduk antara masa muda nenek, pengalaman menyenangkan,  ingatan buruk, kondisi saat ini. Semua yang ada dalam kepala nenek tertuang lewat pilihan kata yang apik. Ketika banyak di antara kami yang mengakhiri cerita dengan kematian atau kepergian nenek Rasus, Farida justru membiarkan beliau dalam keadaan bermimpi. Satu jempol dari saya untuk Farida.

Sebagaimana tulisan Farida, tulisan saya juga membuat orang sulit berkata-kata. Saya curiga bukan karena hasilnya sebagus Farida, melainkan karena memang kata-katanya sudah habis saja. Saya adalah pembaca cerita kesepuluh. Dan tema ceritanya pun menurut saya biasa. Kalaupun ada yang terkesan, maka itu adalah saya sendiri. Kesan saya bukan pada tulisan saya, melainkan pada latihan menulis ini. Sudah lama saya tidak menulis cerita pendek, dan kali ini saya menulis agak panjang. Almer bilang bisa membayangkan apa yang saya deskripsikan. Ini membuat saya senang, karena ketika awal-awal ikut writer's circle kemampuan deskripsi saya bukan sesuatu yang jadi bahan omongan.

Saya lupa kapan terakhir menulis jurnal RLWC. Eh, tunggu dulu. Sekarang saya ingat. Kalau tidak salah waktu itu tema latihannya adalah bercerita tentang akhir suatu masa. (Paling tidak begitulah rencananya, pada akhirnya semua peserta menulis tentang cinta.) Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya mesti menyampaikan betapa senangnya saya mendapat giliran mengisi lagi jurnal ini. Awalnya saya ragu, tetapi rupanya mendengarkan cerita teman-teman kemudian menceritakannya lagi adalah suatu kesenangan. Saya harap semua orang datang lagi minggu depan.



Andika Budiman adalah mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, essay ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, kritik serta saran-sarannya sangat berguna dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup.