Tema kami minggu ini adalah masyarakat urban; Nia menyatakan bahwa penekanannya adalah relasi tokoh dengan masyarakat urban, bukan dengan perkotaan itu sendiri. Waktunya kali ini juga cukup diperpanjang, yakni 45 menit dan bukan 30 menit seperti biasanya.
Foto oleh Randy Olson
Hasilnya: setiap peserta membahas kehidupan masyarakat urban dari sudut pandang yang kaya dan berbeda-beda.
Saya bertutur tentang masyarakat urban kelas bawah yang terhimpit masalah perekonomian, dan berujung pada kejahatan. Tokohnya adalah Rudi, pemuda desa yang menjual harta warisannya di desa demi iming-iming hidup sejahtera di kota, seperti Yana, tetangganya. Ternyata menjadi buruh di kota tidak seindah yang ia bayangkan, bahkan lebih buruk lagi dari bertani, karena mereka hidup dalam ruang pengap dan harus hutang sana-sini untuk hidup. Pada akhirnya Rudi ditipu oleh Yana dan kehilangan segalanya. Kehidupannya menjadi sangat kontras dengan para pemuda kota dari kalangan yang berbeda, yang tampaknya hidup santai-santai tapi bisa hidup mewah. Cerita ditutup dengan Rudi yang terpaksa memecah kaca jendela mobil untuk bertahan hidup; dan bagaimana aksi terakhirnya itu membawanya kembali pada kedua orangtuanya, dan pada sawah yang dirindukannya, dalam kematian.
Cerita ini diikuti dengan diskusi mengenai nasib buruh pabrik, yang menurut Sapta gajinya tidak terlalu kecil, justru lumayan besar. Harus saya akui, cerita ini memang ditulis berdasarkan kisah yang terjadi beberapa tahun yang lalu, dan bisa jadi kurang relevan dengan situasi saat ini. Uli berkomentar bahwa aksi pemecahan kaca jendela mobil juga marak saat ini, karena orang silau dengan benda-benda yang ada di dalamnya.
Berikutnya, Sapta bercerita tentang masyarakat urban yang dilanda kehampaan dan melarikan diri pada pelacuran. Tokohnya adalah Mustofa, seorang kepala rumah tangga yang hidupnya serba berkecukupan. Di rumah, Mustofa menampilkan diri sebagai kepala keluarga yang alim, yang mengajak istrinya shalat berjamaah. Namun, dengan berbohong pada istrinya, Mustofa mendatangi tempat pijat plus plus untuk melepaskan birahinya. Cerita ditutup dengan Mustofa meminta kenalannya untuk memberikan rekomendasi “tempat pijat” lain selain Heri.
Saya dan Uli berkomentar bahwa kami sudah bisa menebak arah ceritanya, dan saya menambahkan bahwa tadinya saya berharap Sapta akan memberikan kejutan atau twist di bagian akhir yang tidak saya duga, seperti yang biasa ia lakukan. Sapta menjawab bahwa pada cerita ini ia memang menggambarkan tokoh masyarakat urban secara gamblang saja (dan baru sekarang saya sadar, ternyata twist-nya adalah nama pelacurnya, yakni Heri, seorang pria). Cerita ini juga diikuti dengan diskusi mengenai maraknya “tempat pijat plus plus” tersembunyi di apartemen-apartemen seperti yang Sapta ceritakan, sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan kaum urban.
Uli melukiskan masyarakat urban kelas atas yang berorientasi pada harta dan jauh dari keluarga. Tokohnya adalah Robo, seorang pemuda yang awalnya membenci kaum kapitalis, hingga sulit mendapatkan pekerjaan di mana-mana. Ketika proposal bisnisnya disetujui dan berkembang pesat, gaya hidupnya pun meningkat. Hubungannya dengan putri seorang pengusaha membuatnya semakin serakah, hingga pelan-pelan ia pun menjadi kapitalis dan mengorbankan orang-orang yang mempercayainya, termasuk keluarganya sendiri, demi bisa hidup mewah. Pada akhirnya, ketika Robo berhasil menyelenggarakan pesta pernikahan yang mewah, ia dikelilingi para pengusaha dan pejabat, tapi tidak ada keluarga.
Saya suka cerita Uli ini karena berhasil memotret dua aspek masyarakat urban sekaligus, yakni kecenderungan lingkungan urban yang menuntut masyarakat menjadi kapitalis, serta kecenderungan kaum urban yang jauh dari keluarga.
Nia memotret lingkungan urban yang tidak ramah dan penuh ancaman bagi kaum wanita. Tokohnya adalah Rani, seorang mahasiswi yang sedang berkeliling kota kelahirannya, Bandung. Pertama ia bertemu anak-anak yang tampak lugu, namun tanpa malu mengajaknya--sebagaimana yang disebutkan tokoh anak--ngentot. Kedua ia dihadang dan diganggu oleh para pemuda di jembatan. Belakangan, ketika Rani berhasil meloloskan diri dan meminta bantuan polisi, polisi pun meminta bayaran padanya.
Kami berkomentar bahwa cerita Nia ini agak berbeda dari tiga cerita sebelumnya, karena dalam cerita ini tokoh utama hanya menjadi pengamat dan korban. Uli menambahkan cerita Nia ini juga berbeda dari segi waktu dan setting yang terbatas. Nia bercerita bahwa ceritanya kali ini diilhami dari kisah nyata yang ia alami dengan anak-anak di dekat rumahnya. Saya pribadi tertarik dengan kisah anak-anak yang tanpa malu-malu mengajak wanita yang mereka lihat untuk berhubungan seks; nyatanya dalam masyarakat urban, anak-anak pun kerap menjadi korban karena mendengar, melihat, dan belajar hal-hal yang tidak seharusnya mereka ketahui dulu.
Tiwi menggambarkan bagaimana tekanan lingkungan kerja masyarakat urban dapat mengubah watak seseorang. Tiwi bercerita tentang Wulan, gadis yang sudah 3 bulan bekerja di Jakarta. Dalam cerita ini Wulan mulai sering jengkel dengan orang-orang Jakarta, apalagi dengan rekan-rekannya di kantor. Ia sering ditindas oleh pegawai senior yang konon dulu selugu dirinya, hingga akhirnya Wulan berani membentak pegawai senior itu; dan mendapati dirinya mulai berubah menjadi monster, seperti pegawai senior itu. Menjelang perayaan 3 bulan ia bekerja di tempat itu, Wulan pun memutuskan untuk mengayuh sepedanya, meninggalkan pekerjaannya, dan kembali ke Bandung.
Berawal dari pertanyaan Sapta, Tiwi pun menuturkan bahwa cerita ini diilhami pengalaman nyatanya selama bekerja di Jakarta. Uli menambahkan bahwa ia mengalami hal yang sama, bahwa setelah sekian waktu bekerja di Jakarta, ia mendapati dirinya menjadi lebih mudah marah dan mudah menghardik orang lain. Saya menambahkan bahwa cerita Tiwi ini adalah versi lain dari tema yang saya angkat; bedanya, saya mengangkat masyarakat kelas bawah sehingga tekanannya adalah ekonomi dan berujung pada kejahatan, sementara Tiwi mengangkat masyarakat kelas menengah yang tekanannya lebih bersifat psikologis dan berujung pada perubahan watak.
AM melukiskan masyarakat kelas urban yang teralienasi dari pekerjaannya. Ceritanya memuat dialog antara Rudi dan Bayu, di mana Rudi mengeluhkan pekerjaannya yang 5 hari seminggu dan 8 jam sehari, serta minim hubungan antarmanusia, hingga tubuhnya sudah sangat terpola, seperti robot. Bayu pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan akhirnya “menceramahi” Rudi karena meskipun kebutuhan-kebutuhannya sudah terpenuhi, Rudi masih saja mengeluh.
Beberapa dari kami terutama mengomentari gaya ceritanya yang berbentuk dialog. Saya merasa kesulitan mengikuti siapa yang sedang berbicara dan berkesimpulan mungkin cerita seperti itu lebih enak dibaca sendiri daripada dibacakan. Sapta dan Uli berkomentar tentang banyaknya penggunaan kata “ia berkata”, sehingga terasa kurang kaya. AM mengatakan bahwa ia sengaja memilih bentuk dialog karena itu adalah kelemahannya, dan ia ingin mengasah kemampuannya di bidang itu.
Uli juga berkomentar bahwa cerita AM ini mengingatkannya akan sebuah film, dan akan lebih menarik kalau tokoh Rudi dalam cerita itu menunjukkan “tubuh yang terpola” itu secara ekstrim, misalnya hingga ia bisa menghitung berapa sikatan saat sikat gigi. Saya suka idenya Uli.
Omong-omong “menunjukkan”, saya juga berkomentar bahwa cerita AM kurang sesuai dengan selera saya pribadi, karena kurang “menunjukkan” dan lebih banyak “mengatakan”. Preachy, istilah yang saya gunakan. Saya merasa AM menggunakan tokoh Bayu yang “menceramahi” Rudi untuk “menceramahi” pembaca mengenai pemikirannya, sementara saya lebih suka cerita-cerita yang menyampaikan pesan secara halus melalui pengalaman si tokoh dan bukan melalui “ceramah”-nya. AM berkilah bahwa dialog ini hanyalah penulisan ulang pengalamannya berdialog dengan seorang temannya, dan tidak dimaksudkan untuk menguliahi pembaca. Namun memang ini masalah selera pribadi.
Terakhir, Dani menggambarkan masyarakat urban yang saling terasing dan tidak saling mengenal. Tokoh aku yang berjalan dari pintu mal ke pintu mal lain untuk menghindari panas bertemu dengan banyak manusia, banyak wajah, namun semuanya asing. Di kamar kontrakan ia telah ditunggu kekasihnya dan bercinta. Namun setelah itu kekasihnya pergi dari kamarnya, dan ketika tokoh aku mengejarnya, ia tak dapat menemukan kekasihnya itu, karena ada begitu banyak wajah dan semuanya asing.
Saat mulai membacakan, Dani mengatakan bahwa alur ceritanya berantakan. Namun saya pribadi sangat mengapresiasi tema yang ia angkat, yakni keterasingan satu sama lain, karena tema ini belum diangkat oleh penulis yang lain. Uli juga berkomentar bahwa sekarang Dani tidak lagi melulu bercerita tentang perang dan tentara. Seorang dari kami menanggapi Uli bahwa sekarang Dani juga mulai banyak bercerita tentang kisah percintaan dan tidak hanya terjebak dalam tema perang.
Secara keseluruhan, kami memang memotret masyarakat urban dari aspek yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya, kami menyampaikan hal yang sama: adanya waban keterasingan dalam masyakarat urban, dan bagaimana hal tersebut berdampak pada kehidupan si tokoh. Kami memandang lingkungan masyarakat urban secara negatif. Ada yang tertarik menggambarkannya dari sudut pandang yang lebih positif, mungkin?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar