Sabtu, 25 April 2009

Seberapa Kuat Karakter Anda?

Minggu ini writer's circle tergolong irit. Sampai dengan pukul 14.30, hanya ada saya dan Andika yang kemudian disusul Uli dan Ina. Sengaja Andika tidak memulai workshop karena menunggu teman lainnya.

Rupanya kali ini Andika sudah menyiapkan materi yang cihuy yaitu untuk mengetahui seberapa kuat karakter yang kita tulis di cerita. Untuk menguji kekuatan, karakter harus dihadapkan dengan berbagai masalah. Masalah yang dihadirkan saat ini adalah plot yang tidak terduga. Bagaimana cara membuat plot tidak terduga? Caranya adalah setiap peserta mengemukakan apa yang harus terjadi selanjutnya walaupun itu tidak berhubungan dengan apa yang sebelumnya peserta buat.

Plot pertama dari Andika: Tokoh yang baru pulang pagi setelah seharian kerja malam. Ketika pulang, ternyata rumahnya sudah rata dengan tanah.
Plot kedua dari Ina: Tokoh meminta bantuan tetangga.
Plot ketiga dari saya: Tokoh menghubungi polisi.
Plot keempat dari Uli: Tokoh diikuti oleh pria misterius.
Plot kelima dari Andika: Munculnya tokoh lain yang tega menyakiti tokoh.
Plot keenam dari Ina: Ternyata tokoh yang baru muncul itu membantu si pria misterius.
Plot ketujuh dari Uli: Salah satu tokoh ada yang meninggal.

Tentunya peserta harus membuat satu tokoh utama yang karakternya terus terjaga di setiap plot yang berbeda. Menurut saya, karakter yang kuat adalah karakter yang akan melakukan tindakan yang sama dalam situasi sehingga perilakunya dapat diprediksi. Misalnya tokoh dengan karakter manja atau sombong. Ketika ia dihadapkan di situasi yang menjijikan misalnya pergi ke rumah orang miskin yang kumuh, tokoh tersebut pasti akan - setidaknya - mengeluh atau menunjukkan ekspresi yang tidak suka. Tokoh tidak bisa tiba-tiba atau peduli dengan orang miskin selain melalui suatu cerita yang panjang.

Setiap plot, peserta mendapat kesempatan menulis selama tiga menit. Dalam prakteknya pasti tidak tiga menit karena ada yang ceritanya belum selesai atau butuh waktu itu membuat sambungan untuk ke plot berikutnya. Kami merasa workshop kali ini tidak mudah karena betul-betul menguras pikiran, terutama membuat bagaimana si karakter tetap terjaga dan cerita tidak patah.

Pembacaan karya pun dimulai:

Andika

Personal writing adalah hobi saya

Tokoh Andika bernama Ranto yang kehilangan rumahnya. Datanglah seorang polisi wanita yang ternyata tidak membantunya karena terus "mencambuk" Ranto dan memborgolnya dengan borgol berbulu. Datanglah James Franco yang semula dianggap kawan untuk menyelamatkan Ranto yang ternyata ia adalah seorang lawan. Ranto merasa James Franco itu mengkhianati kepercayaannya. Ternyata situasi yang baru saja dilewati Ranto hanyalah sebuah visualisasi video game tentang putusnya percintaan. Betul kata Andika, ceritanya rada absurd.

Saya melihat tokoh Ranto memiliki karakter yang mudah percaya pada orang dan sensitif karena setelah bertemu dengan James Franco, Ranto tidak henti-hentinya bertanya mengapa James Franco mengkhianatinya seperti ini. Apakah ini personal writing, Dik, atau murni fiksi? Sejujurnya saya kurang percaya dengan murni fiksi karena kehidupan personal seseorang selalu hadir dalam sebuah karya :P

Lanjut!

Uli

Uli dengan kaos Java Jazz-nya

Seorang polisi forensik yang bernama Bon Craft memiliki partner bernama Joy. Semula ia menemukan rumahnya yang hilang. Setelah bertanya ke tetangga, ia mengetahui bahwa memang dari dulu disitu tidak ada rumah - hanya sebidang tanah kosong. Belakangan diketahui bahwa Bon Craft adalah polisi sekaligus pembunuh. Ia kaget mengetahui semua mayat yang diidentifikasinya memiliki sidik jarinya sendiri. Ternyata Bon Craft adalah polisi berkepribadian ganda. Ia adalah polisi dan penjahat itu sendiri. Bon Craft memiliki pacar bernama Sally yang berperan sebagai pacar ketika Bon Craft menjadi polisi dan berperan sebagai partner in crime ketika Bon Craft menjadi penjahat. Joy datang untuk menyadarkan Bon Craft namun Sally meyakinkan untuk tidak mendengar apa yang dikatakan Joy karena hanya Sally yang selalu ada di dua dunia Bon Craft.

Andika berkomentar bahwa Uli banyak menggunakan kata-kata klise yang menutupi kata kunci 'Sally selalu berada di dua dunia'. Penggunaan nama Bon Craft menurut Uli disebabkan kesulitan Uli dalam mengidentifikasi suatu karakter dengan nama yang sudah ada. Misalnya jika nama tokohnya Doni, ia jadi teringat dengan karakter temannya yang bernama Doni. Uli terpaksa membuat nama baru karena ia ingin menciptakan karakter baru.

Ina

Membaca adalah hobi saya, film adalah profesi saya

Ina menciptakan tokoh bernama Mia yang berusia 22 tahun. Mia kehilangan rumah dan mencari ibunya dengan bantuan supir taksi. Mia berusaha menelepon polisi tapi tidak banyak membantu. Ketika akan pergi dengan supir taksi, sebuah motor yang dikendarai seorang pria membuntuti Mia dari belakang. Pria itu menghubungi Mia namun ketika dijawab, telepon pun terputus. Pria itu menembak supir taksi sambil meyakinkan Mia bahwa semuanya aman dan akan baik-baik saja. Cerita diakhiri dengan adegan pria tersebut mengulurkan tangan untuk mengajak Mia pergi.

Cerita memang menggantung sehingga tidak ada penyelesaian sebetulnya siapa yang jahat. Saya sendiri melihat sepertinya karakter yang muncul di cerita sepertinya kurang cocok dengan umur tokoh yang 22 tahun karena berdasarkan dialog, seharusnya tokoh diciptakan lebih muda dari itu. Andika merasa adegan mengulurkan tangan itu tidak pas karena seharusnya si pria misterius merangkul atau menarik lengan Mia. Saya setuju dengan Ina bahwa untuk menimbulkan rasa aman, seseorang tidak boleh menarik orang lain karena itu hanya membuat orang merasa terancam.

Saya

Menulis untuk mendapatkan biaya S2

Saya menciptakan tokoh bernama Dina yang kira-kira berusia 25 tahun yang hidup melajang. Dia memiliki karakter yang tenang dan rasional. Semula Dina menemukan rumahnya hangus terbakar. Di tengah kebingungan, Dina bertanya ke tetangga yang bernama Bu Sarjono, tapi tidak ada jawaban. Datanglah Pak Suherman yang mengaku ia melihat seorang pria misterius yang mondar-mandir di depan rumahnya di malam hari. Dina merasa ia tidak pernah mengenal sosok pria yang disebutkan Pak Suherman dan tidak merasa pernah diikuti orang aneh. Dina yang gamang dan masih harus berhubungan dengan polisi itu diajak Bu Sarjono tidur di rumahnya sampai masalah Dina selesai. Keesokannya, Pak Suherman tahu Dina belum makan semenjak kejadian kebakaran rumah dan ia mengirimkan makanan. Karena Dina enggan makan, Dina memberinya kepada Bu Sarjono yang paginya diketahui Bu Sarjono meninggal karena keracunan.

Dina menghubungi polisi dan menceritakan seluruh kejadian. Polisi mendobrak rumah Pak Suherman dan menemukan satu dinding yang penuh dengan tempelan foto Dina. Rupanya Pak Suherman dendam karena perhatiannya tidak pernah terbalaskan oleh Dina. Oh, romantis sekali Pak Suherman ini.

Andika berkomentar bahwa sudut pandang pertama yang saya gunakan sangat membantu. Pembaca merasa jadi peduli dengan keadaan tokoh dan lebih bisa merasakan ketegangan yang ada. Selain itu, dalam waktu yang singkat, saya bisa membuat cerita yang memiliki waktu yang panjang (dua hari) namun semuanya tetap terangkai. Ah, saya gitu lho. Hahaha, takabur. Terima kasih, teman-teman ;)

Seru karena cukup menantang. Apalagi kalau banyakan! Sampai jumpa minggu depan!

Jumat, 24 April 2009

Mengenal Identitas Melalui Pakaian

Hari Sabtu tanggal 11 April 2009 The Writer Circle berkumpul di Reading Lights. Hari itu saya bisa datang karena memang sudah saya niatkan demikian. Saya niatkan karena saya punya firasat akan lama sekali waktu berselang untuk bisa berjumpa lagi dengan mereka karena saya akan pindah ke Jogja.

Berkumpul di function room lantai atas Reading Lights, Andika mengusulkan agar membahas mengenai pakaian. Saat dia menjabarkan instruksi bentuk tulisan yang harus dibuat, saya pikir tema yang dia pilih masih berulang dan berputar di sekitar pembacaan identitas, bukan semata latihan deskripsi. Dan ternyata entah tanpa sadar atau tidak, maka yang hadir hari itu pun menuliskan mengenai pakaian tetapi dengan tema yang cenderung pada identitas atau citra yang diwakili oleh pembungkus badan tersebut.


Entah karena rindu pada saya atau balas dendam terselubung, para penulis tersebut secara aklamasi menunjuk saya sebagai penulis jurnal pertemuan kali ini. Saya turuti saja, walaupun saya tidak menjamin hasilnya akan sedap dibaca layaknya ayam goreng bumbu kalasan dan sepiring nasi uduk nan pulen lagi hangat :) Saya juga tidak mengutarakan janji akan menyelesaikan jurnal ini dalam kurang dari seminggu. HA HA HA HA >:D

Begitu gong imajiner berbunyi, setelah Andika memasang alarm untuk menanda waktu 30 menit di telepon genggamnya, kami semua menunduk menulis. Saya mengetik. Sepertinya semua begitu hanyut dalam tulisan masing-masing, sampai-sampai ketika 30 menit selesai, kami masih menambah lagi 10-15 menit.

Saya menuliskan perkara "jarang keliatan pake bukan berarti nggak punya / gak tau cara pakenya". Tulisan itu belum selesai tapi saya bacakan juga. Tema ini sedang selalu berulang dalam hidup saya semenjak paruh terakhir 2007 ketika saya mulai tinggal berpindah-pindah kota dan harus bertemu serta bekerja dengan orang-orang yang baru mengenal saya.

Andika menulis soal selera berpakaiannya yang sama dengan kakaknya, dan selera mereka jadi semakin berbeda ketika hubungan mereka pun menjauh. Sebetulnya jika dibaca lebih, mungkin itu merupakan proses transisi saat Andika menjadi semakin mandiri, semakin menjadi dirinya sendiri dan lepas dari bayang-bayang kakaknya.

Andika is walking in his brother's shoes

Dea menulis soal sendal kesayangannya yang warna kuning yang ketinggalan di pantai waktu dia masih kecil. Dia sedih karena merasa sendal itu akan kesepian karena ditinggal di pantai sendirian dan tidak terjemput lagi. Gaya personifikasi nyaris seperti fabel sudah jadi ciri khas Dea. Tapi entah kenapa cerita tentang sendal ini membuat saya terkaget-kaget dan terdiam cukup lama. Dea menggambarkan kehilangan tersebut sedemikian rupa sehingga saya bisa merasakan trauma kesepian dan ketakutan karena ditinggalkan. Saya tidak bertanya apakah yang lain juga merasakan hal yang sama.

Setidaknya sendal Dea hilang itu sepasang sehingga tidak sendirian

Giliran Nia berikutnya. Dalam tulisannya ia menceritakan kegemarannya memakai kaus warna hitam dengan gambar band. Warna hitam membuat Nia merasa nyaman karena blend in, tidak standing out. Kebetulan saja sebagian besar kaus yang berwarna hitam biasanya kaus yang ada gambar grup musiknya, entah kenapa. Mungkin karena warna itu memang keren. Lucu juga, warna yang keren tetapi tidak menonjol. Tidakkah ini sedikit paradoks?

Setelah Nia selesai membacakan cerita mengenai koleksi kausnya, ganti Indra yang menceritakan pakaian kerjanya sehari-hari. Rupanya di kantor tempatnya bekerja ada peraturan khusus mengenai tata cara berpakaian yang diperkenankan dan peraturan tersebut cukup detil. Tadinya Indra merasa tidak nyaman, tetapi lama-lama penampilan pakaian kerjanya menjadi bagian dari identitas yang ia adopsi. Meskipun demikian Indra tetap sadar seragam adalah konsep yang mengekang kebebasan dirinya.

Indra dan Aji: serupa tapi tak sama

Aji menuliskan tentang isi lemarinya, dan menjelaskan kenapa dia punya sedikit jenis baju lain, selain kaos oblong hitam dan jeans, padahal dia bilang sendiri bahwa hitam identik dengan kematian, stagnasi, kebosanan. Aji punya kaos favorit yang gambarnya cewek seksi yang jarang dia pakai karena menurutnya gak pantas shalat pake baju itu.

Wahyu menyambung hampir senada mengenai kepantasan. Ia menceritakan sepatunya yang berwarna kuning biru hijau, yang tidak dia pakai kalau dia lagi nggak pede (atau kalo harus ke gereja). Kebetulan akhir pekan itu masih dalam rangkaian perayaan Paskah. Wahyu harus ke gereja jadi dia datang ke Reading Lights memakai sepatu hitam yang mengkilap dan formal.

Sepatu Wahyu, tentunya. Semir dimana nih?

Giliran Fadhil dan kisah kemeja putih favoritnya yang istimewa karena itu baju pertama yang ia jahit sendiri, dan nilai sentimental yang menyertai baju itu. Ternyata, entah kebetulan atau tidak, kemeja itu selalu sedang dia pakai ketika terjadi hal yang istimewa. "Keberuntungan" saat mengenakan si putih itu terjadi beberapa kali, termasuk ketika Fadhil diterima menjadi pacar seorang gadis pujaan hati. Saat membacakan bagian yang ini, Fadhil tidak mengambil jeda terlalu lama sebelum yang lain ribut dan wajahnya menjadi merah jambu.


Sampailah pada giliran Ina. Ina menulis tentang warna coklat yang jadi favoritnya. Semua bajunya coklat karena menurutnya gampang dipadupadankan dengan warna lain. Saat Ina membacakan ceritanya itu saya melamun sambil memandangi bajunya. Benar juga, hari itu pun Ina memakai kerudung warna coklat. Saya jadi membayangkan Ina sedang pergi jalan-jalan ke King's lalu kalap melihat kain-kain berwarna coklat. Saya sendiri kalau sedang pakai baju warna coklat entah kenapa selalu dikatai "Praja Muda Karana nih ye". Coklat itu terlalu plain, tidak menonjol, apalagi warna coklat muda. Saat berpikir begini saya melirik Nia. Tadi Nia bilang alasan dia suka warna hitam karena membuatnya blend in dan tidak menonjol, kenapa Nia tidak memilih coklat saja ya, ketimbang hitam?

Tahu-tahu Ina sudah selesai membacakan tulisannya. Gawat, saya tidak tahu penutupnya apa gara-gara melamun. Ya sudahlah. Teruskan sajalah. Heheh.


Niken yang menutup barisan, setelah mondar-mandir dari ruangan atas ke bawah, ternyata dia berhasil menyelesaikan tulisan yang menceritakan mengenai selera berpakaiannya. Niken sebetulnya nggak rewel pake baju apa aja yang dibelikan ibunya. Buat Niken yang penting baju itu nyaman di badan. Entah kenapa, dia tidak mengerti, selera berpakaiannya kadang dianggap aneh. Sama seperti saya, Niken juga seringkali diremehkan perkara koleksi pakaian. Contohnya: Salah seorang teman di kosan lamanya dulu, yang kebetulan berdarah Cina, dengan percaya diri pernah mengatakan "Saya aja nggak punya Cheong Sam, apalagi mbak Niken". Ternyata Niken punya, dua helai pula!

Niken, yang bersemangat atau tidak, ekspresinya selalu seperti ini

Akhirnya sesi membacakan hasil tulisan selesai. Kelompok penulis yang giat berkumpul ini masih seru membahas mengenai pakaian sebagai salah satu aspek identitas yang paling mudah dikenali. Ya, mudah dikenali tentu saja karena memang pakaian adalah lapisan terluar yang bisa langsung kita lihat melekat pada seseorang, sebelum kita mendengarnya bicara (atau sebelum kita mencium baunya mungkin?)

Setelah membahas ini sekitar selama seperempat jam, diskusi pun ditutup oleh Andika dan pembicaraan pun dengan segera melebar ke sana dan kemari.

Demikianlah jurnal yang akhirnya berhasil saya tuntas tuliskan tentang pertemuan Writer Circle tanggal 11 April. Hari itu terlontar paling tidak 3 kali sebuah pernyataan yang sama dari kami, yang nggak ada hubungannya dengan tema hari itu: pakaian dan identitas. Pernyataan apakah?

"Erik mana ya, kangen ih"

Saya, yang terlambat mengumpulkan jurnal :D

Mirna Adzania

Perempuan yang mengenyam pendidikan di Universitas Padjajaran angkatan 1998 ini sangat menyukai kartun anak-anak. Mirna adalah salah satu pencetus terbentuknya writer's circle ini. Cukup banyak karya yang dipublikasikan di majalah karena kemampuannya dalam menulis artikel, resensi, cerita, dan lainnya. Berbekal pengalaman inilah, Mirna paling kritis dalam mengapresiasi suatu karya.

Kamis, 23 April 2009

Demam Rasial Di Belantara Kota

Jungle Fever
Directed by Spike Lee.


Pekan ini adalah debut saya dalam menjadi pengurus movie week. Awalnya saya ingin menampilkan film Malcolm X karya Spike Lee. Sayangnya, durasinya kepanjangan 3 jam 15 menit!

Atas rekomendasi Andika, saya meminjam film Spike Lee lainnya, Jungle Fever. Melihat covernya saja saya sudah menyangka kalau filmnya adalah tentang perbedaan. Film dengan poster tangan kulit hitam dan tangan kulit putih yang terjalin itu bercerita tentang hubungan perselingkuhan beda ras.

Sekedar info saja, Spike Lee dikenal akan film-filmnya yang mengangkat isu perbedaan ras, terutama marjinalisasi kaum Afrika-Amerika di Amerika. Terkadang, ia seakan sangat pro dengan kulit hitam sehingga filmnya terkesan menggurui. Tapi wajar saja. Toh, dia kan membela kaumnya.

Jungle Fever bercerita tentang Flipper Purify (diperankan dengan baik oleh Wesley Snipes), seorang arsitek kulit hitam yang memiliki keluarga kecil bahagia. Namun keadaan itu terasa kurang, saat datang sekretaris keturunan Italia di kantornya, Angie Tucci (Annabella Sciorra). Benci berubah menjadi cinta. Dan, saat lembur di kantor menjadi awal pertautan nafsu keduanya. Flipper sendiri tak tahu pasti mengapa ia selingkuh dengan Angie. Mungkin saya penasaran dengan orang kulit putih?

Tak lama, gosip mengenai perselingkuhan mereka pun menyebar. Flipper diusir dari rumahnya. Sementara, Angie diusir ayahnya dari rumah. Tinggalah mereka di apartemen baru yang hanya terisi oleh kasur saja.

Flipper dan Angie mulai mempertanyakan kebersamaan mereka di kasur itu. Berbagai kejadian datang mempengaruhi mereka. Dengan isu rasial yang belum terlepas dari dunia yang modern itu, Flipper memutuskan hubungan perselingkuhannya. Kisah happily ever after film-film Walt Disney tidak mereka temukan di dunia nyata.

... cause you were curious about black ... And I was curious about white,” ujar Flipper kepada Anggie yang hanya bisa termangu.

Perselingkuhan sudah dilepaskan, namun kehidupan yang lama tak mungkin diraih kembali. Flipper memiliki hubungan yang aneh dengan istrinya. Dan, Angie kembali ke rumah, tak jelas kehidupannya berlabuh kemana.

Kalau dilihat secara sederhana, Jungle Fever adalah versi lain dari Romeo and Juliet. Di pihak Romeo, ia adalah orang kulit hitam yang sudah berkeluarga. Tanpa disadari keluarga Romeo memiliki pandangan rasial terhadap orang kulit putih. Dan Julietnya adalah dari keluarga Italia yang rasis juga.

Unsur keluarga sangat kental dalam film ini. Banyak anak cerita yang muncul dari anggota keluarga mereka. Misalnya, tentang keimanan, masalah kecanduan narkotika, dan kekerasan. Banyaknya topik yang diangkat menjadikan film ini berdimensi luas.

Spike Lee, yang ikut berperan sebagai sahabat Flipper, rajin menyelipkan musik latar dalam setiap adegannya. Lagu Steve Wonder yang up beat terasa kontras dengan adegannya yang suram. Untuk menonton film ini, kita harus bersiap untuk melihat adegan dialog yang panjang namun berisi. Dan yang sedikit membuat risih, Jungle Fever berisi adegan percintaan eksplisit.

Di akhir film, Spike Lee memberikan adegan yang mengambang. Ini bukan berarti jelek, namun Spike Lee membebaskan masing-masing penonton untuk mengintrepertasikan film ini.

Mendefinisikan kualitas Jungle Fever cukup sulit. Anda bisa sangat menyukai, atau menganggapnya sangat membosankan. Setidaknya, hal itu yang terjadi pada penonton dalam acara nonton Sabtu kemarin.

Dengan segala permasalahan dan percintaan yang mewarnai Jungle Fever, 7 dari 10 orang yang hadir dalam acara nonton ini menyukai film ini. Mas Tobing dari My Cinema mengapresiasi cara Spike Lee mengisahkan masalah perbedaan. Ada pula yang merasa tidak menemukan serunya film ini dari awal hingga akhir film, alias nggak rame sama sekali.

Kita, sebagai orang Indonesia mungkin merasa dekat dengan film ini. Ternyata, melaksanakan Bhinneka Tunggal Ika tak semudah itu. Dalam masyarakat yang majemuk tak jarang ada prasangka atau ketegangan diantara masing-masing kelompok. Setidaknya, lewat film ini kita dapat menguraikan simpul-simpul keruwetan itu.

Jungle Fever berhasil mengangkat kegelisahan, prasangka, dan kebencian yang timbul akibat rasialisme. Film ini menyadarkan kita, sikap rasis masih menjangkiti masyarakat, yang katanya sudah maju.

Ternyata, metropolitan adalah belantara baru!

PS: Bersiap-siap untuk mabuk oleh film romansa di Movie Week bulan depan!


Yuliasri Perdani

Yuliasri, atau bisa dipanggil Uli, adalah seorang pecinta film sejati. Uli, yang memiliki pengetahuan tentang film cukup baik, pernah menjadi cameo di film karyanya bersama teman-temannya. Pengetahuannya dalam membuat film dan menulis skenario membuatnya dipercaya sebagai pengurus movie week di Reading Lights Writer's Circle yang diadakan satu bulan sekali.

Senin, 06 April 2009

Jurnalisme Sastrawi Dan Paraf Rasa

Food critic adalah tema menulis non-fiksi kali ini. Menurut Andika, sang fasilitator, dalam menulis artikel jenis ini, penulis perlu menuliskan beberapa aspek seperti kebersihan tempat, kualitas pelayanan, keunggulan/ keunikan, lokasi, dan kualitas makanan yang ditawarkan.

Dalam waktu 15 menit ditambah 6 menit, saya, Andika, Dea, Wahyu, Aji, dan Anas menuliskan review tempat-tempat makan pilihan.

Kami yang bersembunyi dibalik kaca

Saya menulis tentang satu tempat makan di Senayan City. Yang meski makanannya enak, harganya luar biasa mahal.

Wahyu memilih Warung Nasi Hijau yang berlokasi di Jl. Gempol dan bercat hijau. Warung ini kerap dikunjungi banyak orang, hingga antrian pembeli sudah jadi pemandangan biasa di warung yang terkenal murah dan enak ini. Wahyu paling suka dengan menu nasi+tempe krispy+jamur krispy+sayur pare yang dihargai hanya Rp. 5000,00 (makan di tempat). Tapi, jika dibungkus harganya akan jadi Rp. 6000,00 karena alasan yang tidak diketahui Wahyu.

Anas menuliskan tempat makan favoritnya yang bertempat di pojok pasar Balubur. Saat makan di tempat ini, Anas biasa berbaur dengan tukang becak, kuli panggul, dll yang juga menjadi pelanggan tetap. Awalnya Anas penasaran melihat banyaknya pengunjung warteg tersebut yang membuatnya ikut mencicipi dan ketagihan. Yang menarik adalah Anas menceritakan latar belakang kehidupan penjualnya. Sewaktu kecil, penjual tersebut mengidap penyakit cairan pada telinga. Ia lalu pergi ke dokter yang kemudian mengetok bagian belakang telinganya dengan palu, yang bukannya menyembuhkan malah membuat si penjual kesulitan bicara dan mendengar. Ia stres dengan kondisinya dan kabur dari rumah. Saat ia sudah menerima keadaannya dan kembali ke rumah, ia minta diajarkan menjadi penjual makanan pada ayahnya. Kabarnya penjual ini punya istri yang cantik, yang seringkali digoda oleh para pelanggan tanpa ia bisa melawan. Hingga suatu hari, istrinya meninggalkan dia. Sejak ditinggal istrinya, sambal buatannya menjadi kian manis. Menurut Anas, hal ini mungkin berkaitan dengan usaha si penjual yang tengah mengobati luka ditinggal istri.

Aji kecanduan nyabu—nyarap bubur. Aji mengenal penjual bubur yang terletak di jalan Dr. Djunjunan ini dari majalah intisari. Menurut Aji, tak ada yang spesial dari tempatnya kecuali buburnya yang tidak biasa yang tidak akan tumpah meski piring dibalikkan. Dan harganya pun lumayan murah, di bawah 20 ribu rupiah.

Andika memilih menulis Zoe Corner (Zone of Education), yang merupakan tempat makan sekaligus tempat penyewaan buku, komik, dan majalah. Koleksi bukunya cukup banyak. Zoe Corner bahkan memiliki koleksi komik Detective Conan dari jilid 1 hinga 63! Makanan yang ditawarkan pun beragam dari mulai bajigur hingga sandwich, dan nasi goreng Zoe yang sangat terkenal. Selain itu, keunggulan tempat ini adalah fasilitas hot spot yang ditawarkan.

Dea menceritakan tentang tempat makan di kawasan Sulanjana. Saat pagi hingga sore, Kedai Berkat yang buka. Tapi, saat malam tiba giliran Kedai Malam beroperasi. Kedai ini terkenal sebagai tempat makan dan berkumpulnya para wartawan dan seniman. Menunya diberi nama yang tidak biasa yang dimaksudkan sebagai media komunikasi antara pembeli dan penjual. Nasi malu-malu, Nasi Kabayan, dll adalah menu khas di kedai ini, yang juga terkenal akan sambal kacangnya yang enak. Menurut Dea, tempat ini lebih cocok disebut sebagai tempat istirahat para seniman dan wartawan ketimbang tempat makan.

Uli membacakan mengenai jurnalisme sastrawi

Nia datang terlambat sehingga hanya mendengarkan kami membacakan tulisan. Disusul Uli yang minggu lalu berjanji membawa buku berjudul Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat karya Andreas Harsono. Uli menceritakan salah satu cerita yang berjudul Hikayat Kebo - cerita seorang pemulung yang membakar seluruh perkampungan pemulung. Kebo marah karena dua pelacur yang disewanya tidak mau melakukan apa yang diperintahkan Kebo. Selain itu, buku ini bercerita tentang hikayat Kebo dari berbagai saksi mata dan juga istrinya. Alhasil, obrolan pun beralih ke jurnalisme sastrawi. Sebelum Uli datang, kami menduga bahwa jurnalisme sastrawi adalah sejenis tulisan yang menggunakan bahasa yang berbunga-bunga layaknya bahasa sastra. Tapi ternyata, saat Uli datang dan membacakan contoh tulisan ini, kami sadar bahwa jurnalisme sastrawi tidak hanya ditentukan dari bahasanya yang ”nyastra”, tapi juga dari alur/plot tulisan yang mirip fiksi, yang biasanya lebih detail dan mencantumkan aspek-aspek lebih khusus dan dalam, yang tidak ditemukan di artikel berita biasa.

Pose Neni ketika hang out

Neni Iryani

Neni Iryani adalah penggemar Andrea Hirata yang membelot lantaran teman-temannya tidak menyukai pengarang keriting itu. Tumbuh besar di Lampung, lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Perguruan Indonesia ini pernah mengadu nasib di ibukota. Selain menulis cerita pendek, Neni juga senang menulis cerita pendek dengan format puisi. Bagaimana caranya? Bisa tanya Neni atau lihat tulisannya di sini.