Kamis, 29 September 2011

Interpretasi Gambar

Writer's circle pernah membuat cerita hasil interpretasi dari lukisan, musik, dan gambar. Seperti salah satu kegiatan yang pernah kami lakukan sekitar satu bulan yang lalu. Kami melakukan interpretasi pada sebuah gambar dan harus dituangkan dalam bentuk cerita pendek.

Fasilitator kala itu menjelaskan bahwa interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu; tafsiran (KBBI). Gambar yang fasilitator berikan adalah sebagai berikut:

Fotografer: Boryana Katsarova
Diambil dari website National Geographic

Untuk memperluas interpretasi, lakukan pengamatan detil pada foto. Perhatikan kabel telepon, parabola kecil, tekstur tembok, jejak tangan, dan bahkan sebuah lubang di salah satu sayap. Tuliskan kesan atau pendapat yang dibalut dalam sebuah cerita pendek. Jika foto di atas mengesankan tentang sebuah harapan di daerah konflik, maka bikinlah ceritanya!

Tentunya dalam interpretasi tidak ada yang salah dan benar karena sifatnya subjektif, namun tetap harus relevan. Interpretasi semacam ini berguna sebagai penggugah ide dalam tulisan. Dan biasanya dengan bantuan gambar, munculnya ide menjadi termudahkan.

Rabu, 28 September 2011

Story and Plot To Bring Your Story To Life

Reading some great novels, most of the time I am amazed of how the writers compose the stories, make us “the reader” unconsciously involved into either the character’s mind or vicious actions the writer created. They are also succeeded in playing our emotion; we laugh and cry for things that are not even happening! Things they successfully (and can be also painfully) made up. But then when I enrolled in Melbourne’s creative writing short course, I discovered that like a magician a writer has also tricks. Once they put them into a book, people will not mind to spend their money or to queue outside the bookstore waiting for their new released book. Want to peep up what’s their hidden trick? Plot and Story are one of them.


To reveal what plot and what story is, let’s just flash back to the time we are thinking of some ideas for our own novel. When we think about some physical actions on the story, it means we have planned to bring plot into our novel. For example, I conceived some ideas for my stories; My character was being raised in a country inhabited mostly by the conservative Moslems. The Moslem’s environment had somehow blocked her knowledge of any other religions and had forced her to believe only the religion she was raised. Some terrifying events caused by people in her religion had triggered her doubts and her being skeptical about the religion she was raised. She began to raise a lot questions about her faith; particularly her religion. She then doubted her religion before came the revelation.

They contain a physical action that has the potential to move the story. So whenever you have this kind of form on your mind, you have arranged some plots for your novel. To form some plots, you can start rising a question like “what will happen next after this?” This question somehow will create plots!

But a novel without story is like a mere series of action. It doesn’t seem to have a soul, there is nothing to make the reader emotionally involved into the story of your novel. So what do you need to fulfill this lack of emotion? Story is the answer!

Contradicts with plot, story has a magical power to provide your novel with emotion. The chapter when your character is feeling tortured and when your character shed tears, there when you put story into your novel. When you combine these emotional journeys together with the physical ones, you have successfully created both the body and soul in your single novel. Let’s see how it works together and creates a vivid reliable and enchanting novel.


I borrow the example from a part of the plot’s explanation above I grabbed from my novel then I combine it with the story;

Some terrifying events caused by people in her religion had triggered her doubts and her being skeptical about the religion she was raised. She witnessed people spread hatred in the name of his only God. They screamed, “Burn the infidel! Let’s send them to hell.” The wrathful words were intended to the people who were now screaming and escaping from the mighty church that was now full of grey smoke. I was trembled as I saw a man shouting “Allahuakbar”’ before then he threw the running woman with a rock as big as a head of an infant. The reason is just unbelievable, they blamed the church’s singing ritual that had bugged their Sunday night, forgot that Adzan is cried out five times a day sometimes with broken mosque’s loudspeaker. I trembled and my head was burned with anger. With regret I saw people spread hatred under the name of my God, but nothing I could do besides stood and stared. And all my life, I have never been that ashamed.

Look at the words. Those marked with the blue ink are plots and with the read ink are stories. The plots show action while the stories show emotion. Clear enough? In conclusion the plot is the element that keeps your story moving, while the story makes the story alive. So, what are you waiting for? Grab your PC or pencil and book! Start bringing your story to life! The story and plot are just one from so many techniques in writing await to reveal. But practicing it bit by bit makes you ready to face other tough techniques. If you think that techniques are not beneficial enough for your novel, it’s your call! But remember, lessons are actually made to make things easier. So, happy learning!




Myra Mariezki Fathira. Seorang perempuan yang konsisten mengenakan baju pink diberbagai kesempatan. Lulusan Sastra Inggris UNPAD angkatan 2004 ini pernah bekerja sebagai copywriter dan jurnalis. Namun sekarang ia memutuskan keluar dari pekerjaannya untuk mengejar passion-nya sebagai penulis.

Selasa, 20 September 2011

Alter Ego

Saya, Regie, Nisa, Yara, Riri, Ryan, Sabiq, Sapta, Dini, Dika, dan AM datang berurutan. Pertemuan berlangsung 20 menit lebih lambat. Mungkin karena mendung yang identik dengan kemacetan yang terjadi di Bandung minggu-minggu ini. Saat semua berkumpul, Regie menjadi fasilitator di Sabtu (17/09) itu.

“Kita akan menulis tentang alter ego. Tulis sebuah cerita tentang diri kita yang lain. Saya ingin diri sendiri menjadi apa, bukan menjadi orang lain, tetapi menjadi siapa. Saya melihat saya sendiri kalau bisa jadi orang lain. Misalnya Bruce Wayne yang punya alter ego Batman, Clark Kent yang punya alter ego Superman. Waktu 30 menit.” Regie berujar.

Secara teori, alter ego (bahasa Latin dari ‘the other I’ atau ‘saya yang lain’) adalah diri ke dua atau kepribadian ke dua dalam seseorang. Dalam tulisan, alter ego menjelaskan karakter dalam tindakan berbeda namun memiliki beberapa kesamaan secara psikologis. Ini juga bisa jadi karakter fiksi yang mana perilakunya, perkataannya, dan pemikirannya bertujuan mewakili penulisnya. Kesimpulannya, alter ego dapat diaplikasikan sebagai peran atau topeng yang dipakai oleh seorang aktor.

Begini kira-kira intisari cerita dari setiap peserta:

Regie:
Penulis memiliki alter ego bernama Regin, seorang vampire perempuan yang memiliki tubuh yang sempurna dan punya ledakan feromon yang fantastis. Si vampire perempuan ini juga sangat menarik dan berhasrat dengan pria-pria muda. Karakternya adalah memiliki persepsi indera yang sangat peka, terutama saat berhubungan seksual. Lalu pada saat itu, ia akan mengigit untuk menyemprotkan adrenalin ke dalam tubuh para pria.

Dini:
Awalnya Dini menceritakan tokoh yang bernama Chyrill yang memiliki rambut seperti Medusa. Saat itu Chyrill sedang berperang dengan para vampire dan zombie. Di akhir cerita, ternyata Chyrill adalah tokoh game yang jadi alter ego dari seorang gamers bernama Agit. Agit—seorang fanatik game—sangat menghayati jiwa pada karakter game tersebut.

Andika:
Tentang seorang tokoh tanpa nama yang bekerja di sebuah tempat dimana ia harus menceritakan pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui kepada semua kalangan dari siswa-siswi hingga bapak-bapak yang berparfum menyeruak. Saat setelah bersama para bapak, ia merasa tidak enak badan hingga merasa tenggelam di jurang yang dalam dan tersesat dalam labirin yang tidak berujung. Sampai ia bangun, ia menemukan tempat kerjanya berbeda—seperti berada di sebuah pesta zaman kolonial. Ia pun memakain pakaian berbeda yaitu jas dengan dasi kupu-kupu. Dengan karakter yang sama: seorang pelayan.

Sabiq:
Tentang anak-anak TK yang mengidolakan Michael Collins dan menciptakan khayalan-khayalan balas dendam andaikan Michael Collins yang turun ke bulan. Tulisan Sabiq ini sempat menyisakan pertanyaan bagi peserta lain tentang maksud ceritanya. Begitu ia menjelaskan, idenya Sabiq ini begitu cerdas dan ia dapat melakukannya dengan ‘show’, tanpa ‘tell’.

Dani:
Dyah yang sulit mengajarkan sistem persamaan linier kepada teman-temannya. Tapi ada satu laki-laki populer yang tiba-tiba datang bernama Herman yang mengambil alih penjelasan Dyah terhadap teman-teman perempuannya. Teman-teman perempuan Dyah ini tidak bisa menahan untuk tidak genit kepada laki-laki yang badannya berkeringat habis berolahraga. Herman ini sering dikeliling para wanita dan Dyah agak risih melihatnya. Entah apa label perasaannya, tapi yang jelas Dyah merasakan sesuatu yang bergetar saat ia menyentuh tangan Herman.

Cerita Dani ini diakui sebagai alter ego-nya jika ia adalah seorang wanita karena di keluarga Dani semua saudara perempuan ada unsur Dyah di namanya.

Farida:
Farida menulis tentang keseharian gadis bernama Ria, dengan alter ego bernama Rose. Sifat mereka bertolak belakang. Ria setiap siang merupakan anak baik-baik, malamnya berubah menjadi stripper bernama Rose. Mereka berdua dapat berkomunikasi melalui cermin. Suatu hari, seorang laki-laki mendekati Ria. Ria menolak, tetapi ketika ia menjadi Rose, dibuailah lelaki itu.

Menurut Ryan, sosok Ria adalah Farida dan sosok Rose adalah apa yang menjadi keinginan Farida.

Ryan:
Cerita dibuka dengan adegan Lea yang setengah telanjang bersama seorang dengan lelaki. Lalu adegan selanjutnya adalah Lea membawakan jas terhadap lelaki itu lalu ia memakaikan jasnya, dibalas dengan sedikit remasan di payudara sebelum berangkat kerja, lalu Lea masuk ke rumah. Di dalam rumahnya, Lea melihat sebuah foto keluarganya. Matanya terpejam membayangkan apa keluarganya jika melihat Lea yang seperti ini. Padahal ia lulusan Stanford, diberi gelar piagam sebagai dokter termuda. Beban-bebannya membuat ia ingin keluar dan ekspektasi sosial. Bersama para lelaki-lelaki ia justru merasa bahagia.

Yara:
Diawali seorang tokoh yang lagi bercermin dan melihat bayangan alter ego yang berubah-ubah. Kadang rambutnya pirang, kadang matanya biru, kadang terlihat lebih pendek, dan terlihat lebih muda. Profesi para alter ego-nya bermacam-macam; ada yang menjadi novelis, ada yang menjadi penyanyi, bahkan ada yang menjadi pencuri demi menghidupi adiknya. Lebih jelasnya bisa dilihat di sini.

Nissa:
Tulisan Nissa lebih ke arah personal writing dan reflektif. Dia menuliskan tentang alter ego seorang tokoh yang lebih berani untuk berbuat sesuatu yang lebih untuk orang lain karena merasa diri sekarang terlalu penakut. Di ceritanya, alter ego yang ditulis Nissa berkiblat pada sosok ibu yang lebih berani.

Sapta:
Sapta membuat empat alter ego. Pertama, ia menulis tentang seseorang yang memakai peci, dengan tanda kehitamana di dahinya, memiliki sifat sabar serta lapangan hati yang kadang membuatnya tersisih dan terasingkan. Walaupun orang ini alim, namun alimnya tidak membuat ia berpikiran pendek—seperti orang-orang yang melakukan bom bunuh diri. Candi dan pertapaan merupakan rumahnya. Selain itu ia membuat alter ego yang sangat duniawi—menganggap dunia masih selama 1000 tahun lagi, dan juga ada alter ego yang sangat kuat secara fisik—yang tidak dituliskan secara tersirat apa makhluk itu.

Riri:
Riri adalah peserta baru di sesi kemarin. Perempuan yang baru menelurkan sebuah buku berisi catatan perjalanan ke Eropa ini bercerita tentang orang yang memiliki karakter workaholic antisocial yang sedang bekerja hingga petang sementara rekan-rekannya teng go alias sudah ‘teng’ jam selesai jam kantor, langsung ‘go’ pulang ke rumah! Tapi di luar rutinitas itu, tokoh sering melakukan perjalanan dan menulis catatan perjalanan. Di luar rutinitas, alter ego-nya muncul sebagai seorang pelancong. Cerita bisa dilihat di sini.

AM:
Cerita yang kaya akan dialog oleh AM ini bercerita tentang seseorang yang alter ego-nya keluar setelah menghabiskan 6 botol bir dan bertingkah aneh. AM ingin menyatakan justru pada saat orang mabuk, sesuatu yang ditutup-tutupi malah akan keluar. Seperti halnya alter ego yang keluar di saat dibutuhkan.

Nia:
Saya bercerita tentang Nayang Wulan yaitu remaja yang memiliki intuisi yang kuat, berdarah dan berbudaya Jawa, serta lekat dengan nilai-nilai tradisional. Cerita bisa dilihat di sini.

Menulis dapat menyuarakan pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan penulis yang ingin dipenuhi. Oleh karena itu, penulis dapat menciptakan tokoh alter ego yang karakternya tidak jauh dengan diri penulis. Menurut saya, kekuatan tokoh yang dekat dengan diri akan jauh lebih kuat ketimbang tokoh yang berbeda sama sekali.



Nia Janiar. Petualang, penulis, dan pencinta seni. Suka mendorong dirinya hingga ujung perbatasan zona nyaman. Kunjungi blognya di: http://mynameisnia.blogspot.com/

Jumat, 09 September 2011

RLWC di Majalah Kartini


Reading Lights Writer's Circle ada di Majalah Kartini edisi 08-22 September 2011.