Selasa, 29 Maret 2011

Emosi Tanpa Sebab


Seberapa mampukah kita sebagai penulis menggambarkan emosi yang dialami tokoh, tanpa memberikan penjelasan yang gamblang? Hal inilah yang menjadi tema dari sesi RLWC pada tanggal 19 Maret 2011. Kebetulan sore itu hujan, dan hanya ada tiga orang yang hadir: Rizal, Dani, dan Nia. Saya pun mengajukan tema “penggambaran emosi” ini berdasarkan dua alasan: pertama, baik Nia maupun Dani tidak punya ide tema, dan kedua, saya merasa kemampuan menggambarkan emosi tokoh, tanpa menyebutkannya secara gamblang, adalah salah satu keahlian wajib yang harus dimiliki oleh penulis. Nia pun menjadi time keeper, yang menetapkan waktunya 45 menit, mengingat biasanya dalam waktu 30 menit selalu ada yang minta waktu tambahan.

Di akhir waktu, Dani masih harus menyelesaikan 2 kalimat. Nia pun mengambil giliran pertama untuk membacakan. Nia bercerita mengenai seorang tokoh bernama Musa Idris yang terkena ruam aneh di punggung tangannya, serta kehilangan selera makannya. Belakangan melalui perbincangan Musa Idris dengan temannya, diketahui bahwa Musa Idris menyimpan rasa bersalah karena tidak sengaja membunuh seorang anak kecil. Menurut saya, cerita Nia ini yang paling berhasil menggambarkan perasaan atau suasana jiwa tokohnya dengan kuat.

Yang membacakan berikutnya adalah saya. Kali ini saya bercerita tentang seorang tokoh bernama Satrio, yang menghayati ruang tinggalnya yang kosong dan hampa sejak istrinya lari dengan pria lain. Belakangan ia membuang semua barang yang membuatnya terkenang atas mantan istrinya itu, dan menikmati lagi matahari sore yang membangkitkan kenangan manis. Sayangnya, pada cerita ini, saya terjebak untuk menjelaskan kisah antara Satrio dan mantan istrinya, sehingga porsi yang menggambarkan emosi jiwa Satrio menjadi kurang mencolok dan kurang kuat.

Dani adalah yang terakhir kali membacakan cerita. Dani bercerita tentang seorang prajurit bernama Florian, dalam sebuah suasana perang. Sepanjang cerita Dani banyak memberikan deskripsi-deskripsi yang jelas dan detail, namun upayanya untuk menggambarkan situasi jiwa Florian yang dilanda kepanikan kurang tertangkap oleh saya maupun Nia.

Sesi RLWC kali ini ditutup lebih cepat daripada biasanya karena tiba-tiba Nia harus pulang. Saya dan Dani pun ikut membubarkan diri.




Rizal Affif adalah seorang konsultan HR yang sebenarnya lebih mencintai dunia menulis dan web design ketimbang dunia industri. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan diri disela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi dirinya. Selain menulis di RLWC, ia juga secara konstan menulis karya bertema spiritualitas—dan menuangkan eksperimen desain webnya—dalam blognya http://thesoulsanctuary.us. Ia juga sedang merencanakan pembuatan blog mengenai manajemen HR untuk menunjang karirnya.

Minggu, 27 Maret 2011

Sebasi Makanan Hari Ini

Sabtu. 12 Maret 2011.

Bagaimana jika sebuah benda bercerita? Mungkin itu yang dipikirkan Ryan saat diminta memberi sebuah tema pada hari dimana klab begitu ramai saat itu: Hakmer, Ryan, Aji, Aga, David, temannya David, Farida, Senny, dan saya yang baru datang di saat teman-teman sudah menulis. Benda yang dimaksud lebih spesifik yaitu makanan. Teknik yang diminta pun lebih spesifik yaitu para penulis harus menulis melalui sudut pandang orang pertama.

Saya sendiri menulis tentang makanan basi yang melakukan aksi balas dendam di usus halus pemiliknya karena yang sudah mengacuhkannya selama berhari-hari.


Di dalam jurnal ini, saya hanya akan membahas salah satu karya peserta yang menurut saya menarik. Dari semua karya yang dibacakan, karya Aji cukup menarik. Ia menulis tentang seseorang yang alergi cokelat. Tidak hanya itu, ia juga menghubungkan dengan cokelat dengan lifestyle. Ini sangat tepat sebagaimana menghubungkan kopi dengan lifestyle. Dalam kenyataannya, cokelat diperlakukan sebagai makanan yang memiliki peran cukup penting. Misalnya di Bandung sampai ada cafe khusus yang semua makanannya mengandung cokelat atau dijadikan barang penting di hari tertentu sebagai sebuah simbolisasi. Jika Aji menulis dengan bayam dengan lifestyle rasanya tidak akan cocok. Disini Aji mencoba menggambarkan bahwa makanan bukan menjadi hal yang masuk ke perut begitu saja. Makanan memegang peran penting dalam gaya hidup seseorang.

Agaknya tema ini mengingatkan kita bahwa tokoh tidak melulu manusia namun benda yang menjadi pengamat pun bisa dimasukkan ke dalam cerita. Bahkan sifat-sifat yang dimiliki benda membantu penulis untuk menciptakan karakter. Misalnya bantal itu memiliki sifat empuk, besar, nyaman, terbuat dari busa yang bisa menyerap. Untuk diubah menjadi karakter, bantal bisa menjadi sebuah sosok yang mengerti, melindungi, dan membuat siapa saja nyaman berada di dekatnya.

Saat penulisan, saya melihat kesamaan pola dalam menulis yaitu para peserta (termasuk saya) tidak langsung menyebutkan nama makanannya di awal cerita (cenderung seperti teka-teki dan membiarkan peserta lainnya menebak-nebak). Bisa jadi ini strategi yang dibuat untuk meng-hook agar para pembaca/pendengar tetap mengikuti dari awal sampai akhir cerita. Berarti tantangan selanjutnya bisa jadi begini: sebutkan bendanya di awal, menghindari teka-teki, namun masih menarik untuk diikuti.





Nia Janiar. Menghabiskan setiap Sabtu sore di komunitas tulis Reading Lights Writers' Circle dan menulis artikel di Ruang Psikologi. Menikmati musik, sastra, puisi, dan seni. Mencintai kearifan dan kebijaksanaan. Mengagumi orang-orang jago gambar. Kunjungi rumahnya di http://mynameisnia.blogspot.com/

Rabu, 16 Maret 2011

Jahatkah Diriku Karena Menulis Dirimu?

Sabtu, 26 Februari 2011. Kali ini pertemuan Reading Lights Writers' Circle mengangkat tema "villain" alias tokoh jahat. Bagi saya, tema ini sama sekali tidak asing karena tokoh utama dalam banyak (atau sebagian besar?) cerita yang saya tulis di luar RLWC cenderung memiliki perilaku dan acuan moral yang cenderung lebih sesuai dengan tokoh penjahat atau antagonis daripada pahlawan/protagonis pada umumnya, jadi tema ini tidak terasa kontroversial seperti yang diniatkan Mahel saat mengangkatnya menjadi topik penulisan minggu ini. Walaupun begitu, hasil-hasil penulisan minggu terasa cukup menarik karena perbedaan yang muncul dalam penafsiran setiap penulis tentang arti gagasan "tokoh jahat" itu sendiri.


Cerita pertama yang dibacakan adalah tulisan saya sendiri. Tentu saja kebanyakan pembaca di sini masih ingat cerita-cerita tentang detektif SMA seperti Conan (Kudou Shinichi) atau Kindaichi, bukan? Nah, di sini saya mencoba untuk "menjahili" gagasan dasar cerita-cerita seperti itu dengan mengisahkan pertemuan pertama seorang detektif SMA dengan lawannya, seorang pembunuh berantai yang juga masih duduk di bangku SMA--dari sudut pandang si pembunuh. Sayangnya cerita saya ini masih agak kaku karena saya belum sempat benar-benar mengembangkan kepribadian kedua tokoh utamanya.

Berikutnya, tulisan Nia menceritakan seorang pria bernama Musa Idris dan kebenciannya atas ketidakjujuran yang dilihatnya dalam perilaku para anggota organisai BAQI (Belajar Al Qur'an Intensif) di kampusnya. Kebencian ini mendorongnya untuk mengadu domba kaum Muslim dengan pemerintah beberapa tahun kemudian saat ia telah memiliki pengaruh yang cukup besar di lingkaran politik.

Saat gilirannya tiba, Sapta menjelaskan bahwa kesan yang didapatnya tentang definisi "villain" cenderung mengarah kepada tokoh penjahat super atau berkostum, jadi ia merasa agak aneh saat melihat bahwa para "penjahat" yang muncul dalam cerita-cerita sebelumnya pada dasarnya hanyalah orang biasa. Ceritanya sendiri mengangkat seorang setan yang bertubuh biru; pada awalnya ia berwarna merah, tetapi ia "dibirukan" dan dibuang ke dunia manusia karena kesalahannya menjawab pertanyaan ibu tiri Puteri Salju tentang siapakah wanita tercantik di dunia. Ada beberapa gagasan yang menarik dalam cerita ini, di antaranya tentang perusahaan atau agensi yang menjadi wadah bagi pekerjaan para setan, tetapi sayangnya awal cerita terasa agak lambat karena terlalu banyak berkutat di seputar latar belakang si setan dan perusahaannya ini.

David--seorang anggota "lama tetapi baru"--menceritakan seorang panglima yang dihasut untuk mengkhianati dan membunuh rajanya; ternyata panglima ini menerima saran tersebut dengan begitu mudah karena ia telah berpengalaman membunuh ayahnya sendiri beberapa tahun sebelumnya. Beberapa anggota lain merasa bahwa cerita ini pada awalnya tidak begitu mudah diikuti karena banyaknya paparan tentang tokoh dan latar yang dibawakan di dalamnya, tetapi saya tidak menemukan kesulitan seperti ini karena saya sudah cukup terbiasa membaca (dan menulis) cerita fantasi.

Ada satu (lagi) anggota baru, Ega, yang menulis tentang seorang calon walikota yang berbohong tentang orientasi seksualnya, tetapi setelah ia terpilih iapun mengaku bahwa ia seorang gay. Kebanyakan anggota yang datang dan ikut berkomentar saat itu (termasuk saya) tidak melihat sisi "jahat" dalam tokoh politisi ini: apakah ia lantas menjadi jahat karena ia mengucapkan sebuah kebohongan di muka umum?

Cerita terakhir dari Neni berkisah tentang seorang gadis yang melihat ibunya bunuh diri karena tak tahan dengan perilaku si ayah yang senang menyiksa keluarganya sendiri baik secara verbal maupon fisik; di bawah bayang-bayang pengalaman traumatis ini, si gadis kemudian membunuh ayahnya beberapa jam kemudian dan lalu mencoba bunuh diri juga saat ia dijebloskan ke dalam tahanan. Di sini sempat terjadi satu kekeliruan kecil yang menjadi bahan lelucon: Neni menulis bahwa si gadis "berlari-lari memanggil nama ibunya." David mengangkat hal ini dalam diskusi, lalu ditimpali dengan kesimpulan (setengah bercanda) bahwa sang ibu mungkin bunuh diri karena stres akibat mendengar anaknya sendiri memanggilnya dengan nama (bukan "Ibu" atau "Mama" seperti biasanya).


Perbedaan penafsiran yang begitu besar tentang makna "tokoh jahat" dalam cerita-cerita tersebut membuat Sapta penasaran karena sebagian besar tafsiran yang muncul tidak sesuai dengan kesan pertamanya, sehingga ia mengharapkan diskusi lebih lanjut tentang masalah ini baik dalam pertemuan RLWC berikutnya maupun di dunia maya.





Pradana Pandu Mahardhika

Kamis, 10 Maret 2011

Jealous Sky


“Saya ada ide ...”

Lebih baik jurnal ini dibaca sambil memutarkan lagu Fields of Gold dari Sting, karena ide yang muncul terinspirasi dari satu lirik lagunya.

You'll remember me when the west wind moves
Upon the fields of barley

You'll forget the sun in his jealous sky

As we walk in the fields of gold



[Jealous sky. Noted.]

Bagaimana jadinya bila langit biru cemburu dengan warna rumput yang hijau? Apa jadinya bila matahari yang selalu berterik-terik cemburu dengan kemalasan rembulan yang temaram? Apa jadinya, bila mereka sepakat untuk bertukar? Absurd, ini pasti jawabannya.

Saya membawa tema ini untuk RLWC. Saya beruntung karena di saat cuacanya sedang tak bersahabat, tidak membuat Neni, Dani, Nia, Ryan dan Andika urung datang ke Reading Lights. Lebih beruntung lagi, tanggal merah di hari Nyepi kala itu, membuat Niken dan Maknyes--para peserta RLWC yang sekarang sudah menetap di Jakarta--bisa datang ke Bandung dan menulis bersama kami. Setelah memaparkan tema, peserta diberi waktu untuk menulis selama 45 menit. Setelah sesi menulis selesai, pembacaan dimulai.



Karena dari awal tulisan saya sudah menyebutkan kata absurd, saya hendak mengingatkan Anda untuk mengabaikan keabsurdan cerita yang kami buat.

Absurd #1 oleh Andika:
Tentang bagimana es krim yang dingin malah menjadi penghangat suasana.

Absurd #2 oleh Niken:
Tentang dua tokoh yang menceritakan tentang rumput kecil yang tidak puas dengan dirinya dan ingin mengubah hidupnya menjadi sesuatu yang lain. Keganjilannya terasa bukan hanya dari cerita rumput kecilnya saja, juga karena dua tokoh yang bercerita duduk di atas genteng berbalut kostum Ultraman dan Spiderman.

Absurd #3 oleh Sapta:
Tentang seorang cucu yang mengajak kakek dan neneknya yang pemuram untuk melihat hujan aneh di luar rumah. Awannya tidak hitam melainkan ungu. Air yang turun berganti warna setiap menitnya. Kakeknya menyebut itu sebagai air mata Tuhan, sementara neneknya tidak berkomentar--hanya memandangi saja. Saat cucunya berhujan-hujan dan menari di bawah awan ungu, sang nenek menarik kakek untuk ikut hujan-hujanan. Apa yang terjadi? Mereka menari, berjoget, dan berjingkrak! “Mungkin air mata ini adalah air mata bahagia Tuhan ...”

Absurd #4 oleh Dani:
Boneka teddy bear besar yang sibuk mengejar cahaya dan akhirnya terjatuh ke dalam lubang, mungkin senasib dengan Alice in Wonderland. Jangan bayangkan boneka teddy bear ini sebagai boneka biasa karena bagian-bagian di tubuhnya terbalik-balik.

Absurd #5 oleh Ryan:
Anjing yang menjadi tuannya manusia dan manusia yang menjadi peliharaan anjing.

Absurd #6 oleh Nia:
Tentang manusia dan sebuah makhluk. Entah apa! Settingannya romantis: tanah berwarna biru berpendar dengan bulan yang merah, serta para makhluk yang berada di bawah cekungan payung terbalik. Lidahnya yang panjang saling bertautan, seperti belukar mawar yang saling berpagut membentuk lorong untuk mengantarkan ke dunia ini. Romantis yang ganjil.

Absurd #7 oleh Neni:
Neni bercerita tentang alam yang terbalik dimana siang bertabur bintang dan malam terang benderang. Seekor ayam yang secara biologis akan rabun menjelang malam, gagal beradaptasi sampai kelaparan karena tidak berhasil mendapatkan seekor cacing pun.

Absurd #8 oleh Maknyes:
Tentang seorang lelaki yang menganggap menjadi kuli bangunan adalah pekerjaan terkeren dan menjadi seorang model adalah mimpi buruk. Badannya yang atletis dan berbentuk adalah modalnya meraih impiannya. Bukankah kuli bangunan lebih baik dibanding menjadi seorang model?

***




Sapta P Soemowidjoko. Bergelar sarjana science yang pada akhirnya terjun ke dunia seni. Hobinya menulis, menggambar, dan memotret yang pada akhirnya digeluti secara profesional. Semasa kuliah pernah menjadi penyiar dan produser di beberapa radio dengan genre anak muda. Terakhir, ia pernah terpilih menjadi art director LA Indie Movie dalam film Dummy Bukan Dami sekaligus menjadi pemeran utamanya. Visual merchandise and promotion untuk Corniche adalah pekerjaan tetap yang tertulis dalam kartu namanya.