Dalam realita kehidupan sehari-hari, waktu memang senantiasa melaju ke depan. Dari masa lalu, ke detik ini, lalu ke masa depan. Namun, dalam dunia tulisan, dalam dunia imajinasi, apa pun bisa terjadi. Termasuk waktu yang bergerak mundur ke belakang. Tema kami minggu ini.
Adalah saya yang terakhir kali membacakan cerita saya, karena saya juga menjadi penulis jurnal. Saya berkisah tentang tokoh aku mabuk-mabukan di kamarnya, karena ia baru mengundurkan diri, atau lebih tepatnya, memecat dirinya sendiri dari pekerjaannya yang gemilang. Pemecatan ini adalah buntut dari kinerja si aku yang terus menurun, akibat patah hati dengan rekan kerjanya yang memilih menikah dengan orang lain. Padahal si tokoh aku ini selalu siap dijadikan tempat curhat si rekan kerja. Rekan kerjanya ini, adalah cintanya pada pandangan pertama. Nia berkomentar bahwa cerita saya ini bisa menggambarkan emosi tokoh si aku, yang merasa patah hati dan ditinggalkan, dengan realistis.
Sebelum saya, ada Dani yang menyatakan bahwa ceritanya kali ini adalah cerita terburuk yang ditulisnya beberapa waktu terakhir. Dani bercerita tentang Tegar, yang mendapati Raisa jatuh dan tewas di hadapannya sepulang ia membeli telur di warung. Di warung itu orang-orang ramai membicarakan kecelakaan yang baru terjadi. Tegar memang kehabisan stok telur, dan ia jengkel karenanya, dan ia semakin jengkel ketika mendengar Raisa, mantan pacarnya, menangisi teman-temannya yang baru mengalami kecelakaan. Dalam kejengkelannya, ia berteriak pada Raisa, “Mati saja sana!” Saya berkomentar bahwa cerita Dani ini justru termasuk yang bagus dan sangat bisa dinikmati. Meskipun saya tidak percaya Tegar mampu bersikap sekejam itu pada mantan pacar yang ia putuskan sendiri. Mungkin lebih masuk akal jika Raisa dan Tegar tidak punya hubungan spesial, atau jika Raisa yang dulu memutuskan Tegar.
Sebelum Dani ada Nia, yang kembali menggunakan nama Musa Idris. Musa Idris adalah pria yang diinginkan oleh banyak wanita, tapi ia sendiri selalu menghindari wanita. Saat SMA, wanita yang disukainya pun meninggalkannya karena ia tidak pernah mau ditempeli. Dari masa lalunya terkuak bahwa dulu saat ia masih sangat kecil ia menyaksikan ayah dan ibunya bertengkar, sebelum kemudian ibunya meninggalkan rumah, tidak menghiraukan dirinya yang terus-menerus memanggil dengan tangisan. Menurut saya cerita ini adalah “psikologi banget”.
Sapta juga kembali menulis dengan tema sadis. Sapta berkisah tentang Cindy, gadis sakit jiwa yang baru saja membantai sebuah keluarga dengan bahan kimia yang dihidangkan sebagai minuman. Cindy pergi naik angkot dan membeli racun itu setelah mendengar Maya, anak kecil dalam keluarga itu, bercerita bahwa ayah ibunya sering membicarakan Cindy diam-diam di kamar. Cindy yang memaksakan diri untuk bergabung dengan keluarga ini, baik sebagai istri kedua atau pembantu, dengan ancaman. Ancaman bahwa Cindy melihat mayat yang pasangan itu buang ke sungai. Saya kesulitan memahami cerita ini, dan baru memahaminya setelah istri saya menjelaskan dengan alur maju. Mungkin karena gaya penuturan maupun bahasanya yang unik, atau saya saja yang terbiasa dengan hal-hal sederhana. Karena hanya saya yang tampaknya kurang paham.
Sebelum Sapta, Farida bercerita tentang seorang gadis yang baru mengalami kecelakaan lalu lintas. Ia berjuang menghubungi nomor seorang pria, dan kini suara yang mengangkatnya adalah suara seorang wanita. Pria itu adalah pria yang akhirnya memutuskan untuk meninggalkannya demi wanita lain. Pria itu adalah pria yang dulu sangat dekat dan akrab dengannya.
Dan, yang mendapat kesempatan membacakan ceritanya pertama kali adalah Abi, peserta baru yang datang minggu ini. Abi memulai ceritanya dengan 2 lembar kertas yang diremas. Ia benci kertas itu seperti ia membenci alkohol, yang ia minum bersama seorang pria di Eropa sana. Tokoh aku ini merasa sakit hati karena tujuan awalnya untuk berkuliah di sana sudah berbelok. Di akhir cerita, sang pria menawarkannya 2 lembar kertas. Satu tiket pulang ke Indonesia. Satu lamaran pernikahan. Di sinilah pembukaan cerita berlangsung; tokoh aku meremas 2 lembar kertas tersebut. Sapta berkomentar bahwa Abi punya pemilihan kata yang bagus dalam menulis. Saya setuju.
Dan demikianlah. Adalah Sapta yang memilih tema “alur mundur” untuk sesi menulis kali ini. Demikian sesi menulis 22 Oktober 2011 dimulai; demikian pula jurnal ini berakhir.
Rizal Affif. Seorang pria yang sedang merintis lagi jalan untuk kembali ke impian lamanya menjadi penulis. Setelah beberapa tahun terdampar di dunia konsultansi Human Resource Management sebagai freelance Assessor. Sebuah konsekuensi akibat banyak menunda menulis selama kuliah dan semasa SMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar