Rabu, 20 Mei 2009

Ind(ones)ia

Suatu sore, saat sedang tidak ada kerjaan di sela-sela waktu yang tidak padat oleh aktifitas, Si Maknyes membuka-buka facebook. Di kolom event, perempuan itu mendapati sebuah undangan untuk datang ke Reading Lights hari Sabtu itu, dengan agenda menonton Monsoon Wedding, film produksi tahun 2001 yang sudah pernah ditontonnya tahun itu pula. Namun kalau kata Alec Baldwin dalam film Ghost of Mississipi “waktu menemukan cara untuk mengembalikan ingatan seseorang”, tidak berlaku buat Si Maknyes yang pelupa. Waktu justru telah mengikis ingatannya akan film itu. Bukan karena film itu kurang menarik menurutnya, melainkan karena faktor x yang terjadi sehingga dulu dia menonton dengan kurang fokus. Bukannya karena waktu itu tidak menggunakan fasilitas infokus, hanya saja seingatnya, waktu itu dia nonton bersama kecengan (entah kecengan yang mana, dia pun lupa). Sehingga alih-alih menonton dengan tenang, hatinya malah tertuju pada si kecengan nan tampan, walaupun matanya menatap film itu lekat-lekat. Yaa… namanya juga anak muda toh? Namun satu yang dia ingat, film itu lucu.

Setelah melihat judul film yang akan diputar, tanpa pikir panjang, langsung di-klik-nya sebuah kotak kecil biru bertuliskan YES.

Pada hari H, Si Maknyes datang memenuhi komitmennya pada undangan facebook itu, walaupun tidak sepenuhnya komit karena dia datang terlambat. Saat kakinya menapaki lantai 2 Reading Lights, tempat dimana film diputar, ruangan sudah gelap. Artinya sang film sudah mulai diputar, walaupun belum lama. Dalam kegelapan, dia bisa menghitung berapa kepala yang hadir sore itu. Hanya lima kepala, termasuk kepalanya. Tubuh yang melengkapi kepala-kepala itu pun berjumlah lima. Agak seram juga membayangkan kalau jumlah kepala dan tubuh yang ada di sana tidak seimbang.

Saat film berlangsung, datang lah lagi dua orang me’ramai’kan suasana romantis sore itu. Se-romantis film yang sedang diputar di tengah ruangan yang dingin oleh hembusan penyejuk ruangan.

***



Monsoon Wedding mungkin tak seromantis film-film a la Bollywood kebanyakan yang mengangkat kisah cinta giung. Film ini berkisah mengenai sebuah keluarga besar dengan Lalit Verma sebagai kepala keluarga yang penyayang dan mau berkorban apa saja demi putrinya, termasuk mengadakan sebuah pesta pernikahan yang mahal dan mewah, padahal dia sedang tak luput dari masalah keuangan. Aditi, sang putri, dijodohkan oleh seorang pria yang belum pernah dia temui sama sekali. Padahal perempuan itu sudah punya kekasih.



Kisah yang seharusnya sederhana, antara menjawab ‘bersedia’ atau ‘tidak’, menjadi kaya akan konflik yang mulai timbul saat semua keluarga Verma dan para calon besan berdatangan dari beberapa belahan dunia.

Film ini bukan sekedar film tentang cinta: cinta antara dua manusia, cinta ayah kepada keluarganya, cinta kakak kepada adiknya, cinta seorang anak dengan jati dirinya sendiri, dan cinta orang India terhadap tradisinya, yang semuanya diramu secara seimbang, namun Mira Nair pun mengangkat tema keberagaman yang dipersatukan dalam satu atap besar bernuansa India yang kental. Seakan mau menunjukkan bahwa sebanyak apapun kebudayaan dan tradisi di dunia ini, budaya India lah yang paling kaya dan menarik.



Film yang penuh dengan intrik namun dibalut oleh keceriaan tradisi India yang terkesan selalu meriah oleh tarian, musik, dan warnanya. Hujan sebagai ciri khas film India kebanyakan yang biasanya digunakan sebagai penguat adegan-adegan emosional, secara cantik diangkat menjadi objek yang mempersatukan semua orang dalam kebahagiaan dan pernikahan besar yang terbayar bukan hanya dengan uang namun dengan banyak kejujuran.

***

Hujan deras turun di penghujung film itu, seakan berkejaran dengan suasana langit kota Bandung yang sudah mulai mendung bersiap meluncurkan butiran-butiran air yang mungkin tak kalah derasnya.

Sembari dihanyutkan oleh backsound musik India yang mengiringi credit title, ketujuh penonton memulai diskusi ringan. Andika, sang fasilitator, langsung mengajak joget India, yang tentu saja tak sedikitpun mendapat tanggapan bernada setuju.

Nia menyamakan India dengan Indonesia yang nampaknya sama-sama western minded. Namun setelah dibahas, mereka mendapati ternyata penduduk India tidaklah menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa gaya, melainkan memang sebagai bahasa pemersatu, karena mereka tidak punya bahasa nasional seperti Indonesia.

Sementara Ina, yang datang terlambat, mengaku terhibur oleh film itu, walaupun gelap (mungkin dalam hal ini ‘kualitas’nya yang gelap, karena media yang digunakan adalah VCD).

Badar yang adem ayem ajya, ternyata tak terlalu suka. “India banget… terlalu rame,” katanya sembari cengar cengir.

Omes tidak banyak komentar karena dia tidak nonton dari awal.

Sementara Niken, yang ‘menghilang’ beberapa saat dari ruang nonton, berpendapat tidak menyukai film itu. “Kayak pernikahan Jawa!” serunya. Dalam hati Si Maknyes berujar, ‘bukannya pernikahan Jawa nggak ada rame-ramenya ya? Dibandingin Betawi!’. Kemudian Si Maknyes menyadari, ‘ooohh… barangkali sama ribetnya!’

Yah, semua orang boleh punya pendapat masing-masing. Si Maknyes sendiri suka dengan film itu. Yang paling dikaguminya adalah sentuhan khas India yang sederhana namun berkelas di setiap scene-nya. Dan dari film itu pula, dia bisa menemukan kesamaan antara India dengan Indonesia, dilihat dari setting-nya. Pasar-pasar, jalan dan lalu lintas, pemukiman, dan kondisi kota di sana tak ada ubahnya dengan kondisi di Indonesia. Tapi kenapa di sana kok tampaknya lebih eksotis ya? Ah memang rumput tetangga selalu lebih hijau.

Sesaat setelah diskusi berakhir tanpa ditandai dengan ketuk palu, Si Maknyes buru-buru pulang karena masih banyak agenda yang harus dilakukannya. Perjalanannya pulang dinikmatinya dengan seksama. Jalanan yang becek, lalu lintas yang padat, udara yang tercampur dengan polusi, pasar yang padat, semuanya dilaluinya dengan hatii riang. Pikirannya menghipnotis dirinya sendiri dengan serta merta berkata “Gue lagi di India… gue lagi di India… gue lagi di India…”.


4 komentar:

Ina Khuzaimah mengatakan...

Hemmm ... ada yg sedikit mengganggu nih ...

Itu bagian : Aditi dijodohkan oleh seorang pria. Bukannya Aditi dijodohkan dengan seorang pria. YA?


Hehehehhe... itu saja.

Nia Janiar mengatakan...

Haha, iya ya. Gimana sih tuh yang ngurus blog. Terima kasih, Ina, atas infonya. Nanti diinformasikan ke pengurus blognya.

ceriterathya mengatakan...

haha oh iya... maap yak :D moderator mungkin memberikan hadiah pada si penemu bloopers?? hehe

Mohon bimbingannya...

Nia Janiar mengatakan...

Hadiah 'selamat' sahaja. Hahaha.