Sabtu kemarin ketika memarkirkan sepeda motor di halaman Reading Lights, dari jendela kaca besar saya melihat Dea, Uli, Ina, dan Nia. Tiga puluh menit sudah berlalu sejak jam empat sore, sementara mereka duduk dan saling bercerita di atas sofa putih yang kelihatan empuk. Saya merasa sedikit lega. Karena satu dan lain hal pertemuan minggu ini mesti mundur setengah jam seiring dengan keterlambatan saya. Maaf!
Saya lantas mengajak teman-teman pindah ke function room di lantai atas. Sudah ada tikar dan bantal-bantal yang menunggu diduduki. Kami pun membentuk lingkaran. Sambil menunggu semua berkumpul, saya membaca-baca buku panduan menulis Daripada Bete Nulis Aja! Karya Caryn Mirriam-Goldberg. Sebagai fasilitator writers’ circle, saya menjadikan buku ini sebagai salah satu ‘kitab’ karena memuat latihan-latihan menulis yang personal dan variatif. Sesuai dengan tema nonfiksi minggu ini, saya menggunakan latihan menulis mengenai hal yang salah. Ada dua langkah dalam latihan kali ini: 1) Tentukan dulu permasalahan/sesuatu yang mengganggu diri kita masing-masing. Bisa pemanasan global, kemacetan lalu lintas, belum bisa buang air besar, dll; 2) Buatlah sebuah tulisan tentang dunia di mana masalah-masalah tadi terselesaikan. Apa yang terjadi?
Sebelum memulai latihan, saya menatap wajah teman-teman dari kiri ke kanan. Ada Dea, Ina, dan Uli. “Kita berempat,” ujar saya. Rupanya Nia harus pulang karena ada pembukaan pameran seni di rumahnya. Lalu kami dikejutkan kehadiran seorang pemuda tinggi keriting berkacamata. Indra. “Berlima,” koreksi saya, tersenyum. Ini merupakan kejutan yang cukup menyenangkan karena anak itu jarang datang dan kami semua menyukainya!
Lalu saya meminta setiap orang untuk mengungkapkan apa yang saat ini menjadi masalah/apa yang membuat kita merasa terganggu dengan penuh emosi. Namun, ternyata sore itu suasana hati kami secara umum sedang senang-senang saja. Kami harus berpikir sejenak, sebelum mengungkapkan apa yang jadi sumber kekesalan kami. Itu pun tidak dengan emosi penuh. Saya menyatakan kekesalan terhadap arus lalu lintas yang semrawut. Dengan cukup berapi-api, kemudian Uli menyatakan kesebalannya akan pernikahan anggota keluarga Bakrie yang dilangsungkan besar-besaran. Konon pernikahan itu menggunakan jasa event organizer milik Ivanka Trump, padahal sampai sekarang persoalan ganti rugi korban Lumpur Lapindo belum kunjung tertuntaskan. “Itu keluarga saya,” celetuk Indra. Tawa kami kontan meledak. “Elu sekeluarga sama Bakrie atau sama pihak pasangannya?” tanya Uli, mencoba menetralkan suasana.
Ina menceritakan kejengkelan tentang seorang kenalannya yang sikapnya ‘nggak penting banget’ tanpa ada rincian mengapa ia disebut begitu. “Takut jadi curhat,” ujar Ina berhati-hati. Indra heran sendiri mengapa orang yang jujur dalam kehidupan yang nyata tidak semenonjol orang-orang yang memiliki uang. Sementara Dea tidak habis pikir mengapa Salahuddin Wahid bernama Salahaddin Wahid, bukan Benaruddin Wahid.
Selanjutnya kami menuliskan dunia tanpa segala permasalahan yang baru diucapkan. Dua puluh menit kemudian alarm ponsel saya berbunyi. Waktu habis, tibalah sesi pembacaan karya. Ina secara sukarela pertama kali membacakan tulisannya. Gadis berkaus cokelat itu membacakan sebuah dunia di mana kenalan yang disebalinya itu berbuat baik dengan mempertimbangkan perasaan semua orang, bukan hanya perasaannya sendiri. Ina juga menuliskan betapa ia risih dengan orang-orang yang kecanduan meng-update status di Facebook. Harapannya status diisi dengan berita yang betul-betul penting.
Giliran Indra, ia menggambarkan kelegaan terbangun pagi-pagi sendiri pada suatu hari di ibukota. Untuk pertama kalinya ia menjadi orang yang pertama, bukan kedua, ketiga, atau keeempat. Tulisannya lantas berbelok, di mana Indra mempertanyakan keberadaan orang yang kedua, ketiga, atau keempat. Bukankah kebaikan baru berarti bila ada keburukan? Lalu tokoh dalam tulisan Indra pun berdoa kepada Tuhan dengan syahdu, berharap semuanya kembali seperti semula. Doanya terkabulkan, si tokoh pun bersyukur. Tulisan ini membuat kami cukup terhenyak. Sepengamatan saya, Indra seperti merefleksikan kehidupannya dengan buku-buku yang ia baca dan menuangkannya ke dalam tulisannya. Dan si Indra ini lumayan literate, bacaannya mulai Oscar Wilde, Pramoedya Ananta Toer, sampai rombongan penulis klasik Amerika: Jack Kerouac, F. Scott Fitzgerald, sampai Truman Capote. Careful grrls.
Sejenak saya membahas tentang bagaimana dari dua percobaan masing-masing penulis jadi menulis sebuah doa, atau mengungkapkan harapan. Apa yang dimaksudkan sebagai menulis nonfiksi, menjadi menulis hal yang sangat personal. Betul kata Nia, personal writing adalah hobi saya.
Kemudian Dea Sundea membacakan tulisan yang tidak ada doa-doanya sama sekali: bagaimana bila di dunia ini adik Gus Dur dinamakan Benaruddin Wahid, bukan Salahuddin Wahid. Dea peka dalam memelesetkan kata-kata yang bunyi pengucapannya memberikan makna ambigu. Tulisan gadis ini sangat khas. Mengenalinya hampir semudah mengenali es krim vanila dengan saus cokelat, whipped cream, dan sebuah cherry di atasnya.
Sebagian tulisan saya kemarin akan dijadikan penutup tulisan ini. Terakhir, Uli masih mengemukakan kekesalannya terhadap keluarga Bakrie. Dari seluruh karya yang sudah dibaca, karya inilah yang paling mendekati tulisan nonfiksi. Tulisan yang dibaca Uli seperti artikel opini dalam surat kabar yang menyiratkan keprihatinan akan kondisi masyarakat. Mahasiswi Ilmu Jurnalistik ini mengaku tulisannya terbawa gayanya dalam menulis tugas.
Selesai pembacaan karya, perbincangan kami beralih ke masalah kontroversi rokok (Uli dan Indra ngotot bahwa rokok lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.) dan pekerjaan. Berhubung latihan menulis ini berujung pada pengungkapan harapan-harapan, kami lantas saling berdiskusi tentang apa-apa yang ingin kami lakukan. Indra mengatakan meskipun ‘senang’ melakukan profesinya saat ini, tetapi ia risau membayangkan apabila sepuluh tahun ke depan ia masih melakukan pekerjaan yang sama. Indra skeptis dengan pepatah ‘Lakukanlah apa yang kamu suka’, ia percaya bahwa semua sudah ditentukan perannya. Ada yang jadi pemulung, The Beatles, dan auditor pajak.
Ada Uli yang menyatakan setelah lulus nanti ia berencana bekerja sebagai wartawan. Apalagi gadis yang teorinya setahun lagi lulus itu mulai menyenangi proses wawancara. Akan tetapi, ia hanya ingin bekerja sebagai wartawan beberapa tahun saja. Ia sadar pekerjaan wartawan begitu menuntut waktu, tenaga, dan pikiran; ironisnya bayarannya kadang-kadang berbanding terbalik dengan semua itu.
Dea bilang menjadi penulis adalah keinginannya sejak berusia sembilan tahun. Di sisi lain, kesadaran ini membuatnya kurang fokus pada pelajaran di sekolah. Dea pernah tidak naik kelas, dan kerap mendapat nilai yang pas-pasan. Sementara itu Ina tampak makin percaya diri bergiat dalam dunia perfilman tanah air. Ia sedang rajin-rajinnya menjalin koneksi dengan nama-nama yang cukup dikenal.
Kalau saya, saya mau menjadi …. Saya belum memutuskannya. Jujur, dalam fantasi tergila sebetulnya saya ingin menjadi simpanan diplomat. Sebetulnya tidak terbuka pada diplomat saja, tetapi pastinya orang-orang yang ‘menyimpan’ saya mesti memiliki kualitas tertentu sehingga bisa menjadi ‘kendaraan’ yang membawa saya pergi ke tujuan yang belum diketahui. Hubungan yang terbayang ya seperti Jane Birkin dan Serge Gainsbourg, Carla Bruni dan Nicolas Sarkozy, atau Prince Charles dan Camilla Parker-Bowles …. Entahlah. Berikut sebagian dari apa yang saya tulis kemarin:
Dunia yang tidak bermasalah bagi saya adalah dunia di mana ada cukup makanan untuk semua orang. Romeo dan Juliet menikah dan hidup bahagia beranak pinak. Kisah-kisah Jane Austen berakhiran sedih. Sinetron Indonesia bersifat edukatif. Manusia menerima bahwa mereka tidak dapat menilai manusia lain. Ibu mengizinkan saya menindik telinga. Produk bajakan dilegalkan. Tugas menjelang UAS dibatalkan. Erick menghubungi duluan, bercerita dan menanyakan apa kabar writers’ circle.
Kembali ke pekerjaan, Uli mengutip seseorang bahwa kesalahan terbesarnya adalah ketika ia berusaha menyenangkan semua orang. Tambah Dea, seseorang bertahan menghadapi kejenuhan pekerjaan karena memiliki harapan. Semacam doa.
3 komentar:
Andika, kutipan terakhir itu, soal kesalahan terbesar, bukan dari gua, lho, tapi dari Uli ...
Udah gw benerin, makasih koreksinya.
Saya pun kurang maksimal editannya.. sorry!
Posting Komentar