Kamis, 04 Februari 2010

Movie Week: Bright Star (2009)

Pada pemutaran Bright Star kali ini, Mbak Danti adalah penonton pertama yang datang. Jam telah menunjukkan pukul empat lebih beberapa menit. Saya lantas memberitahukan kalau acara akan dimulai setengah jam lagi. Kemudian saya turun, dan mengelilingi Reading Lights, memeriksa kalau-kalau ada pengunjung langganan atau pengunjung baru yang juga tertarik menonton film ini.

Setelah beberapa saat berkeliling, rupanya saya tidak menemukan apa yang dicari. Minggu pemutaran film memang ekstrim dan sulit diprediksi: bisa sangat ramai, (Tokyo Sonata dan The Graduate) bisa juga sangat sepi (The Squid and The Whale). Saya pun kembali ke atas, dan mengatakan pada Mbak Danti bahwa minggu ini bisa saja sepi. “Tapi film ini nggak diputar di bioskop, kan?” tanyanya. “Nggak,” jawab saya.

Ketakutan akan ketiadaan penonton berangsur-angsur menghilang ketika Mas Aji datang, lalu diikuti dengan seorang pengunjung yang kebetulan datang ke Reading Lights dan tertarik untuk ikut menonton juga. Dani datang beberapa menit setelah film dimulai. Ina datang agak terlambat, sementara itu Marti datang hampir di paruh akhir film. Akhirnya saya pun terhanyut dalam gambar yang terproyeksi di layar.



Bright Star menceritakan tiga tahun terakhir dalam kehidupan singkat penyair Inggris era romantik, John Keats; terutama hubungan percintaan yang terjalin antaranya dengan seorang penjahit, Fanny Brawne. Film ini disutradarai Jane Campion, salah satu dari empat perempuan yang pernah masuk nominasi Academy Awards dalam kategori bergengsi Sutradara Terbaik lewat film The Piano (tiga yang lainnya adalah Lina Wertmüller, Sofia Coppola, dan yang paling baru Kathryn Bigelow).

Apabila hanya menyimak cuplikannya, cukup mudah mengambil kesimpulan bahwa Bright Star seperti period drama movie lainnya, sebut saja Sense and Sensibility, The Age of Innocence, atau Little Woman. Mendengar genre ini, mungkin yang terbayang adalah tetek bengek kostum, sekelumit pesan moral, serta kisah romantis yang berakhir tragis atau malah kelewat manis. Kalau didasarkan pada ciri-ciri tersebut, film ini memang merupakan period drama movie. Walaupun begitu, barangkali mengikuti cerita Bright Star tidaklah semudah mengikuti Sense and Sensibility, misalnya. Film ini memiliki alur yang pelan, acapkali John (Ben Whishaw) dan Fanny (Abbie Cornish) saling bercakap dengan menggunakan puisi. Tidak ada tragedi besar yang memancing atau menguras emosi, karena sejak awal penonton sudah tahu bahwa John Keats akan meninggal. Ini tentu berbeda dengan Sense and Sensibility yang jenaka, romantis, dan penuh emosi (terutama ketika Marianne yang diperankan Kate Winslet dalam kondisi kritis ketika terserang demam).

Mungkin perbedaan itulah yang membuat penonton Bright Star pada sore itu berguguran satu-satu. Penonton yang pertama kali meninggalkan ruang menonton adalah pengunjung yang kebetulan datang ke Reading Lights (saya bahkan belum sempat berkenalan dengannya). Beberapa saat kemudian Ina ikut pergi. Mas Aji berkali-kali menguap. Dua orang teman Dani datang, duduk sebentar, lantas pergi. Mbak Danti asyik dengan ponselnya, dan pergi sebelum film selesai. Ketika Bright Star berakhir, penonton hanya tinggal saya, Dani, dan Marti (Mas Aji salat Magrib menjelang ending!). “Bagaimana kesannya?” “Capek!” tukas Dani. “Tapi bagus, kan?” “Bagus, tapi capek. John Keats-nya mirip Hakmer.” Halah!


Sore hari itu, di forum writer’s circle, adalah kali ketiga saya menonton Bright Star. Pada setiap kesempatan saya selalu terhibur dengan Fanny Brawne, sang heroine yang berlidah tajam yang selalu stylish. Saya suka melihat Fanny membela diri ketika selera fashion-nya dihina oleh Mr. Brown (diperankan secara kocak oleh aktor Amerika Paul Schneider dengan aksen Skotlandia yang meyakinkan). Kemudian ketika Fanny tiba-tiba tertarik belajar puisi demi bisa dekat dengan John Keats. Saya suka keegoisan Fanny yang wajar, ketika ia seenaknya memotong pita baju adiknya untuk menghias keranjang makanan yang akan diantarkan pada adik John. Dan saya selalu suka ketika Fanny bertengkar dengan Mr. Brown dalam ‘memperebutkan’ John Keats.

Pemutaran film kemarin mungkin kurang sukses dari segi jumlah penonton. Namun itu tidak mengurangi kualitas film ini. Bagi orang-orang yang akrab dengan karya-karya John Keats, menyaksikan Bright Star mungkin akan memberikan persepsi baru tentang kehidupan penyair itu. Sementara itu bagi yang tidak, Bright Star bisa jadi membuat orang penasaran untuk membaca puisi-puisi dari era romantik.


Andika Budiman adalah fasilitator Reading Lights Writer's Circle dan penulis lepas untuk Rumah Buku/Kineruku Webzine

8 komentar:

cassia vera mengatakan...

hehehe..maafkan aku ada janji.. karena filmnya mulainya telat jadi aja harus cabut sebelum filmnya selesai :)

cassia vera mengatakan...

anyway... asik dengan ponsel karena banyak yang tiba2 pop up selama nonton 'bright star'. berhubung gelap dan susah nulis di notes gw, jadilah draft sms gw pake, hehehe

M. Lim mengatakan...

andika, rok siapa itu kamu angkat dan intip isinya?

Nia Janiar mengatakan...

@mbak danti: Apa-apaan ini, kok jadi ajang konfirmasi? Ah, alasaaan. Hehe.

:P

Andika mengatakan...

@ Mba Dan: aku juga tau kok, hehehe. Nontonnya diselesein di rumah, ya!

@ M. Lim: hahaha, kayak nggak tahu aja kalo saya tidak tertarik dengan isi rok.

Niken mengatakan...

"@ M. Lim: hahaha, kayak nggak tahu aja kalo saya tidak tertarik dengan isi rok."

HAHAHAHAHA

Nia Janiar mengatakan...

=))

M. Lim mengatakan...

@ Andika: sama dong. saya juga enggak. saya lebih tertarik pada isi kantong, isi dompet, dan isi kulkas :D