Hari itu, Sabtu, 6 Februari 2010, pertemuan writer’s circle diawali dengan kehadiran peserta yang amat minim, yakni tiga orang saja. Untungnya para peserta yang lain segera berdatangan sehingga suasana hari itu tidak lantas menyerupai threesome date yang aneh. Tema kami hari itu adalah “Menulis Tentang Hari Tua”. Tua di sini bisa diartikan sebagai “kondisi kita sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh mendatang,” kata Andika. Dengan wide latitude seperti itu, tulisan para peserta menjadi cukup bervariasi. Ditambah lagi, kali itu sang fasilitator tampak sedang bersemangat untuk menulis sehingga waktu yang ia berikan lebih panjang daripada biasanya.
Sebagai peserta yang memulai paling awal dan selesai paling akhir (dengan tidak menghitung Hakmer yang datang terlambat dan digosipkan telah meninggal karena TBC), Andika menulis tentang seorang laki-laki yang memiliki janji temu dengan seorang laki-laki lain, kemudian berbincang-bincang tentang kehidupan laki-laki lain tersebut sambil mengamati keadaan rumahnya. Dalam tulisannya, Andika banyak memuat deskripsi fisik yang rinci tentang keadaan rumah laki-laki itu sepert ‘nyaman dan bersih meskipun tidak bisa dibilang rapi’, ‘segar, terang, banyak kayu, ...’ sehingga tulisannya terasa sangat personal. Andika juga menyinggung permasalahan hubungan dan sedikit mengulas topik childless by choice. Di akhir tulisannya, Andika memberi kejutan bagi kami: ternyata sang ‘aku’ dalam tulisannya itu adalah laki-laki yang berbincang dengannya itu sendiri!
Dani mengaku bahwa ia dapat menebak alur cerita Dika sejak awal (bertentangan dengan Reggy yang menyatakan sebaliknya) sementara Mahel berkomentar bahwa tulisan Dika itu seperti mengunjungi diri sendiri di masa depan. Nia berkata bahwa ending cerita ini bagus dan saya jadi teringat salah satu fragmen dalam film New York, I love You di mana tokohnya bergerak maju mundur dalam batas-batas waktu yang blur. Oh ya, ini pertama kalinya saya menemukan adegan ciuman dalam tulisan Andika.
Mahel menulis tentang seorang tokoh bernama Sam yang mengingat kembali masa lalu dan menceritakan kehidupan keempat sahabatnya, mimpi-mimpi mereka, dan realita hidup yang kini mereka jalani. Profesi sahabat-sahabatnya ini bisa dibilang unik, mulai dari ahli self-healing, ibu rumah tangga yang menyambi copywriter dan penulis, backpacker, sampai bartender yang impian menjadi supermodelnya kandas di tengah jalan dan membuat Sam sedih. Di penghujung cerita, Mahel juga memberi kejutan: ternyata Sam menceritakan semua ini dari dalam peti matinya! Hiii!
Seperti biasa, kali ini Mahel pun membubuhkan kata-kata bermakna dalam tulisannya, contohnya: “Menghadapi kematian itu tidak sulit ketika kamu mengetahui bahwa kamu sudah hidup secara penuh dan utuh”. Marty langsung berseru bahwa tulisan ini mengingatkannya pada salah satu episode Desperate Housewives sedangkan Dika “menuding” bahwa keempat orang yang diceritakan Mahel itu sebenarnya adalah alter-ego Mahel sendiri (mulai ketertarikan akan tarot, hukum, sampai impian menjadi supermodel—meskipun yang terakhir ini disangkal Mahel. Adalah Nia yang menunjukkan “fakta” bahwa Mahel selalu mencantumkan kutipan kata-kata mutiara dalam tulisan-tulisannya selama ini walaupun penempatan kata-kata mutiara adalah sesuatu yang menurut Mahel sudah coba ia hindarkan. But we love it, Mahel. Right guys?
Kali itu, saya menulis tentang seorang perempuan tua yang tengah duduk manis di sebuah halte bis sembari menanti kedatangan seseorang. Dari sudut pandang seorang perempuan yang telah menjalani banyak hal dalam hidup, kelakuan orang-orang muda di halte bis itu tampak sedikit menggelikan. Ketika orang yang ditunggunya (akhirnya) datang, mereka berdua menikmati sore sambil duduk bersebelahan dalam diam. Ya, memang sesederhana itu. Beberapa orang berkata bahwa tulisan saya “manis” sedangkan Reggy mengira saya menceritakan pertemuan kembali sepasang kekasih setelah berpuluh-puluh tahun terpisah, padahal saya bercerita tentang sekelumit kisah sepasang suami-istri di usia renta perkawinan mereka. Tampaknya, ungkapan only unfulfilled love is romantic itu ada benarnya juga ya ...
Reggy bercerita tentang keadaan manusia di tahun 2037. Diceritakan tentang hujan yang penuh dengan polutan mampu melelehkan kulit dan merusakkan kendaraan, manusia dapat terlihat muda di sepanjang hidup mereka meskipun organ-organ mereka telah digantikan oleh mesin, para orang tua merasakan keterasingan yang lebih besar akibat terdapatnya kesenjangan di antara bagaimana mereka tampak di luar (forever young dan sebagainya) dan apa yang sebenarnya mereka rasakan di dalam yaitu mengalami banyak kesulitan akibat menua dan merindukan perhatian anak-anak mereka. Di usia 70 tahun, tokoh dalam tulisan Reggy tidak memiliki satu kerutan pun di wajahnya ...
“Wow! Pasti karena Ponds anti-ageing!”, celetuk Nia.
... meskipun jantungnya telah berganti dengan silikon dan kaki istrinya telah digantikan oleh mesin. Menurutnya, hal itu tidak menyenangkan karena anak-anak mereka menjadi tidak aware akan kesulitan-kesulitan yang sesungguhnya mereka hadapi. Kedua orang tua itu pun merasakan kesepian. Menurut Reggy, tulisannya ini terinspirasi oleh film Korea. Tulisannya ini kemudian memicu perbincangan tentang film-film sci-fi, mulai dari Bicentennial Man sampai Artifical Intelligence yang mampu memadukan unsur-unsur futuristik dengan aspek-aspek manusiawi yang menyentuh hati.
Senada dengan Reggy, Nia bercerita dalam setting kota di masa depan yang udaranya panas, dipenuhi pohon besi dan gedung pencakar langit, dihiasi mobil terbang, dan disesaki oleh robot-robot pekerja yang mengambil alih banyak pekerjaan manusia di sekitar tahun 2060. Sang ‘aku’ dalam tulisannya diceritakan tengah menikmati makan sup jagung yang sangat encer sehingga cepat dicerna dan “keluar lagi” bersama cucunya yang berkali-kali mencibir dirinya yang tidak akrab dengan berbagai teknologi maju di zaman itu. Sang Nenek sendiri mencibir balik cucunya dalam hati dan berargumen bahwa kemajuan zaman saat itu tidak mungkin tercapai tanpa kontribusinya di masa lalu yaitu ketika si nenek pernah menjadi aktivis perempuan dan pemimpin community development project.
Melalui deskripsi sang tokoh tentang lingkungannya, Nia juga menyinggung masalah robotisasi yang menghilangkan banyak pekerjaan manusia serta perubahan yang sangat cepat yang kemudian menimbulkan jurang antargenerasi. Yang paling fenomenal dalam tulisan Nia adalah bagian ketika ia bercerita dengan nada datar mengenai kesepiannya “... karena teman-teman saya sudah pada mati”. Cara Nia menceritakannya membuat kami semua tergelak dan menyinggungnya berkali-kali hingga akhir pertemuan.
Beberapa teman berkata bahwa tulisan Nia memberi kesan sedih, sedangkan Reggy memilih kata: depresif, sinis, dan realistis. Wow! Azisa juga berpendapat bahwa tulisan Nia realistis karena menceritakan penyesuaian seseorang dengan kondisi zaman yang berubah dengan cepat. Sementara itu, Andika bertanya mengapa tulisan Nia sering terkesan judes. Nia, yang mengaku sedang dalam mode menghasilkan tulisan yang pesimis dan terlalu subjektif, menyatakan bahwa ia sedang berusaha menghilangkan karakteristik yang Nia banget itu dalam tulisan-tulisannya, tapi belum berhasil. Hmmm ... sama seperti Mahel, why fix something that isn’t broken, Nia?
Marty bercerita tentang seorang perempuan tua bernama Lestari yang sedang mengenang anak lelaki satu-satunya yang meninggal ketika mengikuti salah satu aktivitas klub pecinta alam. Dengan tangannya yang telah berurat menua, ia memegangi foto anaknya tersebut dan mengenangnya dengan rasa sedih dan sesal karena sebenarnya ia telah melarang sang anak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler tersebut (pesan ibunda memang bertuah, ya?). Dika berkomentar bahwa Marty sering menulis tentang laki-laki pecinta alam, tapi Marty menyangkalnya.
Sementara itu, Azisa berkomentar bahwa tulisan Marty membuatnya sedih. Setelah itu, kami jadi berbincang tentang istilah-istilah berbias gender seperti ‘memerawani hutan’ atau ‘memperkosa lahan’, dan berlanjut kepada istilah-istilah aneh dalam bahasa Malaysia seperti wisma keringat untuk fitness center dan rumah sakit korban lelaki untuk RS bersalin. Sst, yang terakhir ini hoax!
Dani, dengan setelannya yang dandy hari itu, bercerita tentang seorang laki-laki tua yang tengah mengendarai sebuah kendaraan yang ditarik kuda dengan seekor kucing di atas pangkuannya. Di tengah-tengah pembacaan novel, Dani berhasil membuat suara kucing yang sangat lucu! Selain itu yang paling mengagumkan dari tulisan Dani bukanlah alur ceritanya - yang tidak mungkin terlihat dalam tulisan sependek itu - melainkan setting-nya, sebuah perang saudara antara 'kaum bodoh' dan 'kaum tolol' di mana BBM sulit didapat, negara kacau, dan beberapa wilayah (termasuk Jakarta dan Semarang) terendam air akibat air laut naik. Jarang ada yang bisa menerapkan post-apocalyptic setting untuk cerita Indonesia dengan semeyakinkan ini. Menurut Reggy, tulisan ini ‘Dani banget’ terutama karena unsur-unsur perangnya. Beberapa menyarankan agar Dani membuatnya dalam bentuk novel.
Azisa bercerita tentang dirinya di masa tua yang tiba-tiba terantuk sebuah berita kematian temannya, Zaki, seorang laki-laki “tidak biasa” yang sudah lama tidak ia temui. Ia sangat terkejut mengetahui temannya itu meninggal. Setelah itu, berbagai “keistimewaan” temannya melintas di benaknya dan ia ceritakan dengan detil-detil yang menggelitik namun sangat mempesona. Lalu, pada tengah malam, ketika ia tengah meluapkan hasratnya dalam menggambar tanpa arah, “sesuatu” berupa makhluk hitam berbayang sinar hijau menyapanya dari belakang (terkekeh pula) dan tahulah Azisa bahwa Zaki telah mewariskan makhluk yang sebelumnya dipelihara oleh Zaki itu padanya.
What?! Menurut Azisa, memang ada salah satu temannya yang memiliki rumah di kaki Gunung Gede dan di belakang rumahnya itu memang ada “alam” lain. Ceritanya, Zaki menjaga sebuah pohon dan selalu diikuti oleh bermacam-macam makhluk seumur hidupnya. Reggy berpendapat bahwa tulisan Azisa berbau mistis sementara Mahel berkomentar bahwa karakter seperti penggambaran lingkungan, tokoh, pilihan kata dalam tulisan itu ‘Azisa banget’.
Apakah berarti Azisa mistis?
Lain lagi Andika, ia berpendapat bahwa ada metafora-metafora dalam tulisan itu yang dapat kita temui dalam kehidupan nyata sehari-hari serta makna lain dari ‘warisan’ Zaki. Sementara itu, saya tidak bisa tidak terkesima mendengarkan cerita dan pilihan kata Azisa yang magnifique serta humor-humor riang tapi depresifnya yang selalu ia sisipkan di antara nada-nada sedih dan suram. Bravo, ‘Zisa!
Hakmer - yang menjadi bulan-bulanan dalam pertemuan kali itu - mengaku bahwa tulisannya sangat jelek dan tanpa komposisi (merendah untuk meninggikan mutu). Seperti biasanya, tulisan Hakmer dinilai melankolis oleh teman-teman. Ia bercerita tentang seorang laki-laki yang di masa tuanya masih "bandel" enggan mengakui Tuhan, tidak mau menyerah, serta masih memiliki mimpi-mimpi. Salahkah bila seorang tua masih punya mimpi? Tulisan Hakmer dinilai selalu melankolis, tapi jauh dari kesan "jelek dan tanpa komposisi" seperti dikatakannya di awal. Ya, Hakmer yang tampak di-bully semua orang hari itu memang punya hobi merendah yang kronis. Ngomong-ngomong, apa bedanya gambaran Hakmer di masa tua dengan Hakmer saat ini ya?
Anggalia Putri adalah seseorang yang baru mengantongi gelar S.IP (Sarjana Ilmu Pelet) dan menggandrungi tulisan-tulisan yang personal dan tulus. Mengakui ketidakmampuannya dalam mengolah alur cerita, ia sekarang tengah berkonsentrasi pada pembuatan sketsa dan tulisan-tulisan berkarakter still dan tanpa arah.
3 komentar:
wahay writers cirlce :) ini ada spammer, gue udah meluncur ke blog dia dan memflag supaya ditindak sama admin blogger. Hapus aja komen dia yang irelevan ini. Pergi ke blog dia dan kasih flag.
Makasih, Mirna, atas pemberitahuannya. Komen sudah dihapus.
Ada yang kurang sebetulnya. Quote dari Andika tentang karakter yang ditemuinya dalam ceritnya.
"...tinggi kami berdua sama. Kami sama-sama tidak tinggi..."
Best line.
Posting Komentar