(20 Februari 2010)
Andika sedang berjalan kemudian menaiki angkot. Hujan turun dengan derasnya. Pada saat yang sama, Marty sedang menyetir mobilnya menuju Reading Lights (RL) dan menghadapi kemacetan menyebalkan karena tim sepak bola Bandung, Persib, akan berlaga di sore itu.
Tak lama kemudian, beberapa peserta writers' circle datang satu per satu. Ada yang tepat waktu, sedikit terlambat, dan sangat terlambat. Sebagian beralasan hujan dan macet yang menerpa Bandung sempat menghambat perjalanan mereka.
Kami memulai sesi. Andika berujar bahwa hujan sore itu telah memberinya inspirasi untuk menjadikan “perjalanan” sebagai tema menulis kali ini. Kita harus mampu mendeskripsikan perjalanan dengan menggambarkan apa yang indera kita rasakan. “Hmmm... sepertinya asik juga. Tumben banget, Andika memberi tema yang mudah,” pikir saya.
Ternyata perkiraan saya salah. Tidak secepat itu kita bisa menulis cerita tentang perjalanan. Awalnya Andika memberi waktu 15 menit, kemudian tambah 5 menit, lalu tambah lagi beberapa menit. Entah karena terlalu banyak hal yang perlu dituliskan, sulit mencari insiprasi, atau sibuk bergosip satu sama lain. Pada intinya, kita menyelesaikan tulisan dengan jangka waktu yang lumayan lama.
Hakmer mendapat giliran pertama. Ia bercerita tentang analisis kepribadian penumpang berdasarkan pemilihan tempat duduk di bus Primajasa dan pertemuannya dengan gadis cantik berwajah sendu. Seperti biasa, Hakmer menggunakan bahasa percakapan batin yang penuh dengan teori.
Niken menghadirkan kisah perjalanan survei ke Bogor. Sebelum masuk tol Pasteur, mobil mogok sehingga para tokoh harus menunggu dan memanfaatkan waktu luangnya untuk mengobrol. Niken memberikan dialog yang ringan dan mengalir. Kenapa bisa mengalir? Karena cerita itu memang kisah nyata yang ia alami.
Saat sesi menulis, Andika adalah salah satu orang yang paling lama menyelesaikan tulisannya. Apakah tulisannya itu? Apakah sesuatu yang spesial? Pertanyaan itu terjawab setelah ia membacakan kisah perjalanan Bimo menaiki kereta Argo Bromo-Anggrek. Ia duduk bersebelahan dengan seorang pria yang tengah demam. Dengan penuh perhatian, Bimo merawat pria mempesona itu hingga tumbuh benih-benih ketertarikan. Kami sempat terpingkal sekaligus terperangah mendengar cerita Andika. Ada sisi lucu, romantis, kadang erotis. Saya tidak akan membahasnya secara gamblang di sini. Yang jelas, tulisannya berhubungan dengan “sesuatu” yang mengeras dan rumus matematika. Saya suka tulisannya. Terasa sangat jujur.
Reggy menceritakan perjalanan Van - sang burung - dan peri-peri hutan di Tanah Padjadjaran. Van berkelana di alam yang menentramkan, namun kemudian semuanya berubah. Udara segar berganti dengan udara menyesakkan dada dan luasnya langit berbintang tertutupi gedung-gedung bertingkat. Dengan dukungan para peri hutan, Van menggapai bintang untuk mengembalikan dunia indah yang ia rindukan.
Marty menjadikan ke-telat-annya ke RL sebagai inspirasi. Ia bercerita tentang hujan lebat, memasang radio untuk menghibur diri di tengah kemacetan, dan hiruk pikuk bobotoh Persib yang menjadi biang kemacetan.
Sementara itu, Dani menceritakan perjalanan romantisnya dengan Lia. Seorang pria mengayuh dayung perahunya, hingga pria tersebut dan Lia berada di tengah keindahan danau. Seperti pada beberapa tulisannya, Dani menyajikan dialog yang berusaha membedah kepribadian sang karakter.
Saya mengakhiri giliran membaca dengan menceritakan perjalanan saya dari Bandung ke Subang untuk ber-Kuliah Kerja Nyata. Bersama mobil yang mungil seperti anak ayam, saya menyusuri Cicaheum yang dipenuhi angkot hijau, dan jalan-jalan yang dipenuhi banyak orang seperti pengemis, preman, peminta sumbangan, pengamen, dan lainnya. Nyatanya, jalan yang ramai bisa kita pandang sebagai kesemrawutan atau tempat yang penuh dengan warna kehidupan.
Sekian kegiatan RL Writers' Circle sore itu. Kami melanjutkannya dengan kegiatan bergosip dan (masih) semangat membahas karya Andika yang cukup “berani”. Sudah lama saya tidak mengikuti RL Writers Circle dan begitu mengikutinya lagi saya merasa mendapatkan adrenalin segar untuk menulis. Sungguh menyenangkan!
Sampai jumpa di minggu berikutnya!
Yuliasri Perdani biasa dipanggil Uli. Mahasiswi Fikom UNPAD yang gemar menulis naskah film ini pernah absen beberapa bulan dari writer's circle karena mengikuti program pertukaran pelajar ke Korea Selatan.
1 komentar:
Wah. Parah. "Tubuh yang liat" kok nggak ikut disebutin?
Posting Komentar