Sabtu, 21 Februari 2009

The History Boys

Sabtu sore ini, agenda writers’ circle adalah menonton film bersama, yang biasanya dilakukan setiap sebulan sekali. Setiap peserta the circle boleh mengusulkan film yang ingin ditonton bersama. Asalkan film tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak memuat adegan seksual eksplisit;
2. Ratingnya fresh di Rotten Tomatoes;
3. Durasinya kurang dari dua jam;
4. Bagaimanapun film yang ditonton bersama harus memiliki cara bertutur yang unik. Ini merupakan syarat yang paling penting, sehingga meskipun sebuah film tidak memenuhi ketiga syarat di atas, film itu bisa tetap diputar asalkan memang diyakini unik dan memiliki soundtrack yang bagus.

Pada kesempatan kali ini film yang kami tonton adalah The History Boys. Sebuah film yang diangkat dari pertunjukan teater berjudul sama karya Alan Bennet.


The History Boys berlatarkan Inggris tahun 1983. Cerita ini menyoroti usaha delapan pelajar SMA di Inggris untuk menggapai cita-cita mereka (dan orang-orang di sekeliling mereka) menembus universitas-universitas elit: Oxford dan Cambridge. Mereka lantas berhadapan dengan dua guru yang cara mengajarnya saling bertolak belakang, Irwin yang pragmatis dan Hector yang idealis. Apabila Irwin berpandangan kelulusan merupakan tujuan akhir proses pembelajaran, maka Hector menganggap pendidikan dimaksudkan untuk membentuk manusia-manusia yang berkualitas.

Perbedaan pandangan membuat Irwin dan Hector mengajar dengan caranya sendiri-sendiri. Irwin, guru yang lebih muda, menuntut agar muridnya menulis sejarah dengan lebih menarik. Keberadaan fakta kalah penting dibandingkan human interest karena cenderung membuat bosan para pemeriksa kertas ujian. Dan satu-satunya alasan untuk mempelajari puisi adalah karena bait-bait puisi merupakan pembuka maupun penutup yang sempurna dalam sebuah esei.

Sebaliknya Hector, yang sudah hampir pensiun, mendorong para muridnya untuk betul-betul membaca dan memahami literatur. Ia kerap mengingatkan ending dan mengajarkan makna dari prosa dan puisi-puisi yang dibacakannya. Fakta menjadi sesuatu yang sangat penting. Holocaust bukan merupakan sebuah statistik, melainkan tragedi kemanusiaan.


Bisa dibilang The History Boys mengangkat masalah pergeseran nilai yang terjadi di Inggris. Sekadar informasi, tahun 1983 merupakan masa-masa awal pemerintahan Margaret Thatcher (Thatcher menjadi PM Inggris mulai tahun 1979). Thatcher berasal dari Partai Konservatif yang begitu mempercayai pendidikan sebagai alat untuk menaikkan tingkat sosial. Pada masa ini terjadi pergeseran moralitas pada masyarakat Inggris.


Lafra (kiri) menyukai adegan ketika Hector dan Irwin bertemu di dalam satu kelas. Ia mengagumi bagaimana antara guru dan murid bisa duduk dalam sebuah lingkaran dan masing-masing tidak takut untuk mengungkapkan pendapatnya masing-masing. Sementara Manda (kanan) mengakui pada mulanya ia agak bingung lantaran keterlambatannya membuat ia melewatkan bagian awal film.


Myra dan Frisca (berbaju pink dan berambut cokelat) menikmati menonton film ini. Frisca mengiyakan premis film ini, bahwa pengkajian literatur bukan semata-mata dilakukan untuk lulus ujian masuk perguruan tinggi tetapi untuk membuat pembacanya menjadi orang yang lebih baik. Sementara Myra menyukai referensi-referensi Sastra Inggris yang ada di film ini. Aji (yang ketutupan oleh Syahril) menyatakan keinginannya agar film ini dikirim ke Depdiknas. Theo (yang berambut keriting di pojok) bilang adegan favoritnya adalah ketika masa depan para murid-murid unggulan tersebut diungkap, sedangkan Ina (tidak ada di foto) menyetujui sebuah adegan dimana dinyatakan bahwa kepuasan dalam membaca adalah ketika menemukan perasaan yang dikira hanya dirasakan oleh kita tetapi telah diungkapkan dalam tulisan oleh seorang penulis yang bahkan tidak pernah kita temui. Namun tidak semuanya menyukai film ini, Nia (berkaus The Killer) menganggap latar film ini monoton dan Bahasa Inggrisnya sulit dipahami. Musik 80-an seperti The Clash dan The Cure pun terdengar standar di telinga gadis itu.


Kredit film turun diiringi lagu Bewitched yang dinyanyikan oleh Rufus Wainwright. Meskipun merupakan film yang banyak memuat komedi; pernyataan Posner, seorang murid, mengenai kehidupan masa depannya yang tidak bahagia tetapi juga tidak tidak membahagiakan, sukses menghadirkan perasaan murung yang elegan di hati saya.

Setelah selesai The History Boys, kami menonton film pendek karya Ina dan kawan-kawan yang berjudul Leave Me.

Tidak ada komentar: