Jurnal Reading Lights Writer’s
Circle (3 Maret 2012)
“Menunggu dan Cemburu”
Sabtu sore itu, di Reading
Lights ada 7 orang yang berkumpul: Saya, mbak Rie, Dani, dan empat wajah baru:
Indra, Rey, dan dua orang anggota paling baru, Asri dan Mia yang dua-duanya
kuliah di ITB. Setelah menunggu dan tidak ada lagi yang lain yang datang, kami
pun memilih tema dengan cara seperti biasa, kocokan kertas. Ternyata yang
terpilih adalah tema dari saya: “Menunggu dalam kaitannya dengan cemburu kepada
orang terdekat”. Kami pun memulai sesi menulis hari itu selama setengah jam.
Setelahnya, kami pun bergiliran
membacakan tulisan kami. Yang pertama membaca adalah Indra. Ia menulis tentang
seorang tokoh pria yang selalu disalahkan dalam keluarganya, terutama ketika
Ayahnya masuk rumah sakit dan meninggal. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa sang
tokoh merasa cemburu kepada kakak perempuannya, yang selalu bersikap ketus
padanya setelah mereka dewasa. Mbak Rie berkomentar bahwa ceritanya terkesan
nyata, dan bertanya apakah itu curhat dan Indra punya kakak perempuan. Jawaban
dari penulisnya tidak, itu hanya cerita fiksi.
Berikutnya yang membacakan adalah
Dani. Dani bercerita tentang situasi di stasiun ketika masa Perang Dunia,
dengan tokoh seorang gadis yang menunggu suaminya pulang wajib militer, tanpa
ada kepastian apa pria itu masih hidup ataukah sudah mati. Cerita Dani, meski
diakui beralur lambat, cukup unik karena kecemburuan yang diangkat adalah rasa
cemburu kepada orang lain yang kerabatnya sudah meninggal. Rey berkomentar kalau
latar cerita itu seperti di Korea, menilik deskripsi musim gugur dan perubahan
warna daun yang digunakan Dani dalam ceritanya.
Setelahnya, giliran mbak Rie. Mbak
Rie menulis tentang pasangan kekasih yang bertengkar di hari kasih sayang.
Pasalnya, sang wanita mengetahui melalui gadgetnya kalau si lelaki pura-pura invisible tiap kali dia online, dan
selingkuh dengan teman dekatnya. Mbak Rie menulis cerita ini dengan harapan
bisa membuat sebuah cerita yang utuh tanpa harus berpanjang-panjang ataupun bertele-tele.
Cerita ini berhasil memancing perdebatan dengan Dani bahwa dari jumlah kata,
cerita tersebut bisa masuk ke Flash, Fiksi Mini, atau rubrik Cermin (Cerita
Mini) di Kompasiana.
Asri dan Mia yang baru pertama kali
datang, turut menyumbang tulisan untuk sesi hari itu. Cerita Asri masih pendek,
baru berupa introduction namun tak
menghalangi kami untuk memberi masukan. Sedangkan cerita Mia mengambil 3 sudut
pandang, tentang seorang mahasiswa yang sering dititipi absen oleh kawannya.
Karena kawannya itu lebih pintar darinya dalam tugas dsb., tak urung itu
membuat sang tokoh cemburu. Meski antar paragraf belum terjembatani dengan
baik, konflik dalam cerita Mia cukup tertera dengan jelas.
Setelahnya giliran Rey. Ternyata Rey
membuat dua puisi tentang menunggu kekasih, yang satu bernada positif dan yang
satunya lagi negatif. Bagi saya, saya lebih terkesan dan menyukai yang negatif,
karena proporsi detil serta deskripsinya lebih kaya. Hal ini diamini oleh mbak
Rie. Kedua puisi itu kami kritisi. Indra berpendapat ibarat sebuah prosa, kedua
puisi itu hanya kurang pada alur serta tokoh. Dani, yang tidak terlalu banyak
komentar, saya ajak menulis puisi juga, namun ia menolak karena lebih terbiasa
menulis prosa dibandingkan puisi.
Otomatis, sebagai fasilitator hari
itu, sayalah yang mendapat privilege untuk
membacakan paling akhir. Cerita saya hari itu agak panjang durasinya, tentang
seorang pria bernama Bilawa yang putus cinta karena selingkuh, ditemui kawannya
di sebuah kafe dan akhirnya harus menunggu demi sebuah happy ending versinya sendiri. Mbak Rie dan Dani sepakat kalau
bahasa tubuh serta penceritaan dari tokoh Bilawa masih terlalu feminin dan
tidak mencirikan seorang pria. Masukan ini saya catat betul. Hari itu saya
belajar bahwa menunggu, cemburu, dan juga konflik yang terkait antar keduanya
haruslah dibangun dengan cara seapik mungkin. Baik bentuk tulisannya puisi,
cerpen, ataukah fiksi mini, segala aspek serta unsur kepenulisan semisal tokoh,
dialog, dan tentu saja plot tidak boleh dilupakan, demi membangun sebuah cerita
yang mengena di hati orang yang mendengar atau membacanya.
Selepas sesi hari itu selesai, kami
pun bubar sebelum hujan benar-benar turun dan membuyarkan segala kenangan.
Saya, mbak Rie, Rey, Dani, Indra (yang baru datang lagi hari itu setelah sekian
lama) pun pulang. Kepala saya masih membawa obrolan, masukan, dan aroma Cheese
Mushroom Sandwich-nya Reading Lights petang itu. Dan endapan tanggal 3 Maret
itu pun menghasilkan jurnal ini. Semoga saya bisa datang lagi nanti.
Catatan
Penulis:
Tulisan
Mbak Rie yang dimuat di rubrik Cermin Kompasiana bisa dilihat di tautan ini,
atau di halaman Reading Lights Writer’s Circle di Facebook.
Dini Afiandri adalah salah seorang anggota yang (relatif) baru di Reading Lights Writers' Circle tetapi telah berhasil menyesuaikan diri dengan segala keanehan di sini. Siapapun yang ingin mengikuti jejak penulis bergaya "romantisme brutal" ini (menurut kata-katanya sendiri, lho) dapat langsung mengunjungi pertemuan kami setiap hari Sabtu jam setengah 5 sore di salah satu sudut Reading Lights. Eh, kok malah jadi promosi ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar