------
Ketika Bulan Menjadi (Teman)ku
Bunyi deburan ombak di pantai laut selatan terdengar seperti teriakan caci maki dan penolakan, “Kemari-kemarilah,” bunyi deburan ombak menghantam tepi karang. Angin malam bertiup kencang, seperti memelukku, menghapus air-air hangat dalam cucurannya, dan disinilah aku berdiri bersama kekasihku, cintaku, setengah jiwaku.
Cintaku, kita bertemu disaat malam dan selalu berpisah di saat fajar, mungkin takdir yang mengijinkan kita bertemu di hari itu, atau mungkin segala sesuatunya sudah diatur dan tersirat sejak sebelum manusia dapat berjalan di tanah ini, aku tidak tahu, aku tidak mengira-ngira, tapi aku tahu, tidak pernah dapat bersama. Kau dan aku dibatasi oleh ulasan tangan Tuhan, dan perintah-Nya yang menaklukan hamba-hamba-Nya memisahkan semuanya diantara kita berdua.
Ketika langit sudah tidak menjadi penghiburku, kualihkan pandanganku kepada Dajal, sang malaikat maut, dengan harapan membayar kepadanya setengah jiwaku aku dapat memilikimu, dengan setengah jiwaku aku dapat memberikan setengahku disampingmu, tapi singa tetaplah singa walaupun kau dandani singa itu seperti kucing, dajal menerima dan mengambil setengahku lalu dengan tawa disertai telunjuknya mempermalukan aku dihadapan seluruh dunia, memperlihatkan betapa rendah dan menjijikannya diriku. Kukutuk Dajal atas sikapnya kepadaku, kukutuk Tuhan atas suratan takdirnya atas kita, kukutuk malaikat-malaikat yang hanya dapat mengikuti perintah-Nya tanpa dapat menolongku, dan lagi kukutuk diriku sendiri atas menyedihkannya diriku.
Tanganku tidak cukup panjang untuk meraihmu memang, dan kakiku tidak cukup kuat mengejarmu memang, tapi aku tahu hatiku cukup untuk menginginkanmu, tidak cukupkah itu? Ayahanda, mengapa kau biarkan aku menjadi mahluk menyedihkan ini, tidak tahu menahu soal malu dan hormat, hanya cinta mati saja. Ibunda, dimanakah engkau sekarang? Mengapa engkau tidak berada disampingku atau di punggungku, mencoba mendorongku, mendukungku, mencoba mengatakan,”Ibu ada disini nak.” Dimanakah engkau sekarang?
Kini aku tahu aku tidak memiliki seorangpun, aku hanya punya engkau cintaku, bukan, aku hanya punya cintaku kepadamu. Kesetiaan? HA!!! hanyalah kata-kata penuh dengan dusta dan racun, dibuat untuk menghangatkan hati para manusia bodoh, tuli, dan bisu. Cintaku, aku telah mengejarmu sampai menuju gerbang pintu dunia di ujung cakrawala, hanya untuk mengharapkan balasan dari cintaku, dari ungkapan isi hatiku. Kau mempermainkan hatiku , kau memberikanku senyum disertai dengan harapan kosong, dan pergi tanpa melihatku terpuruk di tanah, dan kau tidak memalingkan wajahmu kepadaku, sekalipun tidak.
Disinilah aku, di laut milik ratu selatan, berharap tubuhku bisa menjadi bayaran yang pantas atas permohonanku kepada sang ratu untuk melepas rohku untuk berada disampingmu, penyesalan memang ada, kekecewaan dan kepahitan memang terasa di bibir yang kelu ini, tapi aku ingin tidak menyesal, bersama dengan permintaanku kepada sang ratu, aku ingin berada disana, Hai, Pencuri Hatiku. Hai, Mahluk Malam. Hai, Rembulan. Diamlah di ujung langit malam sana bersama dengan mahluk mungil bercahaya itu, janganlah bersembunyi dibalik kapas langit, tidak perlu malu, tunggulah aku disana, aku hanya tinggal memberikan tubuhku kepada sang ratu dibawah sana, dan jiwaku akan bersamamu, disampingmu selamanya.
Ryan
Marhalim, hanyalah mahluk biasa kelahiran 1988, Juli, tahun Naga yang penuh
dengan angan-angan belaka yang menjadi salah satu anggota RL dengan harapan
setinggi langit, sudah lulus dari Unversitas Kristen Maranatha berlatar
belakang jurusan akuntan akan tetapi melarikan diri ke arah sastra. Salah satu
latar belakang Ryan menulis adalah karena kesukaannya kepada sastra dan novel,
salah satu novelist favoritnya adalah
Pramodya Ananta Toer dengan judul “Bumi
Manusia” sedangkan pengarang luarnya adalah John Grisham, hobinya adalah
membaca berbagai macam buku dan silahkan menghadiahi buku-buku seperti
filsafat, psikologi, sejarah, dan juga hobi mengarang. Saat ini berada di
negeri bambu, tertinggal sendirian dan terlepas dari teman-teman RLnya demi menempuh
gelas Master. Tetapi karena kesukaannya kepada sastra Ryan tetap menulis dan
akan terus menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar