Pertemuan pertama RLWC di tahun 2012 (sekaligus pertemuan ketiga saya setelah berbulan-bulan tidak nongol) dimulai dengan tema ‘Dogma’. Apakah dogma itu? Jujur saja, saat mendengar kata itu yang pertama kali saya pikirkan adalah Gereja Kristen di abad pertengahan. Di abad pertengahan setiap perkataan Sang Pendeta adalah sabda Tuhan yang absolut. Tidak mempedulikan rasionalitas. Yah, itulah salah satu versi dogma. Sebuah kepercayaan atau doktrin yang mempunyai kekuasaan atas suatu kelompok dan tidak boleh dipertanyakan. Versi dogma yang lainnya adalah, ‘pamali’ atau ‘saru’ dalam Bahasa Jawa.
Kak Sapta yang mengutarakan tema tersebut, adalah yang pertama untuk membacakan ceritanya. Tentang seorang gadis Sunda yang menikah tanpa restu orangtuanya. Gadis tersebut bersama suaminya mencoba untuk mempunyai anak, tapi sang gadis tak kunjung hamil. Sampai akhirnya sang suami merasa muak dan menuduh istrinya mandul. Alhasil, dia sering membawa wanita pulang untuk dihamili dan istrinya hanya bisa pasrah. Setelah berhasil menghamili salah satu wanita yang dia bawa pulang, dia pun menceraikan istrinya. Perempuan yang dulunya adalah bunga desa itu, langsung mengalami ‘breakdown’ (apa bahasa sunda-nya yah? Hm...) dan mengutuk tuhan-tuhan yang disembahnya. Setelah dia tertidur di tempat pertapaan, tiga orang yang lewat tertarik pada tubuhnya dan langsung memperkosanya. Dia pun hamil, membuktikan bahwa dia tidak mandul. Tetapi anaknya yang sekarang sudah dewasa meninggalkannya karena tidak tahan dengan ibunya yang selalu diam setiap kali sang anak ingin mengetahui siapa ayahnya.
Cerita kedua adalah milik Kak Angie. Masih bertokoh utamakan seorang gadis desa. Gadis tersebut selalu mempertanyakan ‘pamali-pamali’ yang diberitahu orangtuanya. Dia ingin tahu kenapa ini tidak boleh dan itu dilarang. Akhirnya dia tidak tahan dan pergi ke kota bersama saudaranya dari kampung lain. Awalnya dia senang tinggal di kota, sampai akhirnya dia mengetahui bahwa tempat itu tidak selalu gemerlap. Dia bekerja sebagai pembantu, berkali-kali diusir karena kesalahan kecil, dan majikan lelakinya sudah sering menggodanya. Akhirnya dia pun menyadari bahwa pamali yang ditanam di dalam dirinya sejak kecil adalah untuk melindunginya, dan gadis itu sangat menyesal sudah meninggalkan Desa Badui tempat asalnya.
Selanjutnya Kak Farida yang membacakan cerita. Seorang wanita akan dihukum rajam dan tidak ada seorang pun yang mau mendengarkan pembelaannya. Yah, karena dia adalah seorang wanita. Dia dituduh berselingkuh dengan pria lain. Cerita ini ditulis melalui sudut pandang tetangganya yang tahu bahwa sang wanita tidak bersalah dan suaminya berbohong tentang perselingkuhannya. Hal itu karena suami wanita yang akan dihukum ingin mengambil hartanya dan menikahi wanita lain. Bagaimana tetangga tersebut bisa tahu? Karena dialah wanita yang ingin dinikahi sang suami.
Nah, makin lama makin tragis, inilah cerita dari Kak Riri. Lagi-lagi tokoh utamanya adalah seorang gadis. Orangtuanya sudah meninggal sejak kecil dan dia diurus oleh pamannya. Di mata orang lain, dia adalah paman baik hati yang mau mengurus keponakannya. Sementara di mata si gadis, dialah orang bejat yang merampok keperawanannya tiap malam (eh, tunggu, emang keperawanan bisa dirampok berkali-kali yah?). Dia sudah berkali-kali ingin membunuh si paman, tapi tidak pernah dilakukannya karena agama yang dianutinya mengatakan bahwa dia tidak boleh mengambil nyawa orang lain. Maka dia pun mengambil nyawanya sendiri, walau dia tahu itu pun dilarang oleh agama, setidaknya dia tidak harus hidup dicerca.
Yang terakhir adalah puisi buatan saya sendiri (dundundun!). Tidak tragis seperti yang sebelum-sebelumnya, tapi tetap tentang dogma. Karena yang pertama kali saya pikirkan adalah agama, maka saya membuatnya memakai sudut pandang seorang anak yang tumbuh di lingkungan yang sangat kental elemen agamanya. Anak itu mempertanyakan apa yang dianggap para orang dewasa normal, dan dengan rasionalitas pula. Tapi para orang tua yang bingung dengan pertanyaannya malah menyuruh anak itu untuk diam dan mengikuti semua apa adanya.
Kesimpulan:
Cerita Kak Sapta dan Kak Angie adalah tentang pamali, dan bahwa pamali itu sebenarnya dibuat untuk melindungi kita.
Puisiku dan cerita Kak Farida mengambil dari sudut agama, dan bahwa kita pun harus rasional mengenai dogma.
Dan cerita Kak Riri... err, walau sama-sama tentang agama tapi take-nya beda yah? Unik dan yang paling bikin merinding. Mengambil masing-masing sudut pandang dari kedua type di atas dan menyatukannya.
Setelah pertemuan itu, saya berpikir bahwa dogma pun bisa diterima, tetapi kalau menerimanya tanpa bertanya dan berpikir rasional, maka kita semua adalah orang bodoh. Yup, inilah jurnal pertama saya di blog ini. Terima kasih sudah memberikan kesempatan!
Destiyara Putri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar