Sabtu lalu, butuh perjuangan ekstra untuk mencapai toko buku Reading Lights. Jalanan macet luar biasa. Meskipun sudah beberapa minggu, perbaikan jalan di Simpang Dago belum juga selesai. Rupanya ini berpengaruh kepada jumlah pengunjung yang singgah. Berbeda dengan akhir minggu biasanya, suasana toko sangatlah lengang. Dan barangkali musim Piala Dunia juga membuat orang malas beranjak dari depan televisi.
Menjelang jam
Tema pekan ini adalah menuliskan pidato untuk pernikahan teman kita. “Lho, kok temanya kayak gini?” protes Hakmer. “Minggu lalu ‘perubahan’, sekarang pidato pernikahan. Elu kenapa sih?”
Setelah mendapat penjelasan bahwa tema menulis biasanya dipilih secara random – bukan berdasarkan suasana hati si fasilitator – masing-masing mengeluarkan bolpen dan kertas. Kali ini kami menggunakan panduan menulis pidato pernikahan dari About.com. Menurut panduan tersebut, pidato pernikahan sama saja dengan tulisan-tulisan yang lain.
1. Jika sebagian besar hadirin tak mengenal kita, mulailah pidato dengan perkenalan diri. Kita bisa menjelaskan secara singkat siapa kita dan hubungan kita dengan pasangan pengantin.
2. Cari satu hal positif (atau lebih) tentang acara pernikahan dan ucapkan dengan tulus. Kita bisa mengatkan betapa khidmatnya upacara yang baru saja kita saksikan, betapa indahnya dekorasi ruangan, betapa cantik dan gantengnya si pengantin, dll.
3. Apabila kita mengenal pengantin cukup lama, kita dapat membagi kenangan yang dilalu bersama, menceritakan kisah pertemuan kedua mempelai. Ingatlah untuk membahas kebaikan yang dimiliki pengantin pria, pengantin wanita, dan kualitas mereka berdua sebagai pasangan.
4. Pidato pernikahan semestinya bersifat hangat, personal, dan singkat. Kecuali kalau kita pelawak, play it straight. Tidak usah terlalu banyak memasukkan lelucon. Terlebih pidato pernikahan biasanya akan diingat terus oleh pasangan pengantin.
5. Kehabisan kata-kata? Kita bisa menggunakan berbagai kutipan tentang cinta di internet.
6. Hal-hal yang mesti dihindari: jangan berpidato saat mabuk, jangan larut membicarakan diri sendiri, jangan membocorkan tentang kehamilan, jangan memberikan tekanan untuk cepat punya anak, jangan membuat lelucon tentang seks dan malam pertama, jangan menyinggung mantan pacar, mantan suami, atau mantan istri.
7. Terakhir, ucapkanlah selamat dengan tulus.
Berhubung hanya bersedikit, kami menulis dengan waktu yang lebih leluasa. Sejam kemudian, tulisan pun siap untuk kami bacakan. Saya pun menawarkan diri untuk membaca pertama. Pidato pernikahan ini ditujukan kepada dua orang sahabat fiksi saya: Johan dan Marian. Saya bercerita tentang pertemanan kami bertiga semenjak SD. Dulu setiap pagi kami mesti berjalan kaki ke sekolah yang jauh. Di tengah jalan Marian sering kelelahan, kalau sudah begini saya dan Johan akan menggendongnya secara bergantian. Kami bertiga melanjutkan ke SMP yang berbeda, tetapi bertemu lagi di Fakultas Kedokteran(!) Rupanya Johan dan Marian masuk ke SMA yang sama dan pada masa itulah mereka mulai berpacaran(!!) Cerita ini terinspirasi film Laskar Pelangi yang diputar SCTV pada malam sebelumnya.
Setelah saya, Sapta berpidato dengan elegan. Isinya menggambarkan pernikahan seorang frenemy; bagaimana pada malam itu si perempuan terlihat cantik dalam balutan gaun putih. Orkestra di ujung ruangan memainkan lagu Linger yang dipopulerkan The Cranberries. Anya, teman Sapta yang sore itu datang, tersenyum-senyum mendengar pidato ini. Ia mengaku bahwa karakter pengantin perempuan sangat mirip dengan dirinya. Hal ini langsung diiyakan Sapta, sambil bergurau ia akan merasa bebas ketika Anya menikah. Penggalan pidatonya akan saya cantumkan di akhir tulisan ini.
Dani lantas membacakan pidatonya. Pidato tersebut disampaikan saat kondisi ‘bangsa kita ibarat bangsa yang terbuang’. Kira-kira Dani menulis, pada saat seperti itu pernikahan adalah sebuah momen berharga untuk dirayakan. Tidak hanya untuk para pengantin, tetapi juga bagi semua hadirin. Pidato Dani ini sebetulnya sangat menggunggah, sayang terlalu cepat berakhir. Ia mengaku terinspirasi serial science fiction Battlestar Galaktika dalam latihan menulis ini.
Pidato Hakmer dibacakan terakhir. Tanpa ampun, Hakmer mengungkap kebobrokan pernikahan di awal tulisannya. Ia mengutip Katherine Hepburn bahwa sebaiknya pria dan wanita tidak usah menikah tetapi hanya bertetangga, di mana yang satu boleh mengunjungi yang lain kapan saja. Namun di tengah-tengah, haluan pidato ini berubah. Hakmer menyatakan bagaimana khusus ‘hari itu’ bayangan buruknya tentang pernikahan tidak terbukti. Pasangan pengantin kelihatan bahagian, dan itu cukup. Dani mengomentari bahwa pidato Hakmer ini akan membuatnya dibenci oleh orang tua masing-masing pengantin.
Kurang lebih begitulah pada suatu sore di Reading Lights Writer’s Circle. Kami sempat berdiskusi sebentar sebelum berpisah ke tempat yang berbeda-beda. Seperti janji saya, tulisan ini akan nukilan pidato Sapta:
Saya di sini berdiri, tanpa seorang di samping, tapi saya tak sempat merasa sendiri, karena saya terlalu bahagia, melepas temanku untuk membuka gerbang baru di hidupnya.
Andika Budiman adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, esei ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, ia aktif memberi kritik serta saran-sarannya dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup, dengan bernapas.
2 komentar:
duhhhh, menyesal gak dateng ke sana tadi. huuuhhh. lupaaa
oh tema pernikahan di mana-mana menghantui hidupku sebulan ini....
musim kawin tlah tiba.
Posting Komentar