Jumat, 26 Februari 2010

Menuliskan Kisah Perjalanan

Foto diambil dari sini

Perjalanan
(20 Februari 2010)

Andika sedang berjalan kemudian menaiki angkot. Hujan turun dengan derasnya. Pada saat yang sama, Marty sedang menyetir mobilnya menuju Reading Lights (RL) dan menghadapi kemacetan menyebalkan karena tim sepak bola Bandung, Persib, akan berlaga di sore itu.

Tak lama kemudian, beberapa peserta writers' circle datang satu per satu. Ada yang tepat waktu, sedikit terlambat, dan sangat terlambat. Sebagian beralasan hujan dan macet yang menerpa Bandung sempat menghambat perjalanan mereka.

Kami memulai sesi. Andika berujar bahwa hujan sore itu telah memberinya inspirasi untuk menjadikan “perjalanan” sebagai tema menulis kali ini. Kita harus mampu mendeskripsikan perjalanan dengan menggambarkan apa yang indera kita rasakan. “Hmmm... sepertinya asik juga. Tumben banget, Andika memberi tema yang mudah,” pikir saya.

Ternyata perkiraan saya salah. Tidak secepat itu kita bisa menulis cerita tentang perjalanan. Awalnya Andika memberi waktu 15 menit, kemudian tambah 5 menit, lalu tambah lagi beberapa menit. Entah karena terlalu banyak hal yang perlu dituliskan, sulit mencari insiprasi, atau sibuk bergosip satu sama lain. Pada intinya, kita menyelesaikan tulisan dengan jangka waktu yang lumayan lama.

Hakmer mendapat giliran pertama. Ia bercerita tentang analisis kepribadian penumpang berdasarkan pemilihan tempat duduk di bus Primajasa dan pertemuannya dengan gadis cantik berwajah sendu. Seperti biasa, Hakmer menggunakan bahasa percakapan batin yang penuh dengan teori.

Niken menghadirkan kisah perjalanan survei ke Bogor. Sebelum masuk tol Pasteur, mobil mogok sehingga para tokoh harus menunggu dan memanfaatkan waktu luangnya untuk mengobrol. Niken memberikan dialog yang ringan dan mengalir. Kenapa bisa mengalir? Karena cerita itu memang kisah nyata yang ia alami.

Saat sesi menulis, Andika adalah salah satu orang yang paling lama menyelesaikan tulisannya. Apakah tulisannya itu? Apakah sesuatu yang spesial? Pertanyaan itu terjawab setelah ia membacakan kisah perjalanan Bimo menaiki kereta Argo Bromo-Anggrek. Ia duduk bersebelahan dengan seorang pria yang tengah demam. Dengan penuh perhatian, Bimo merawat pria mempesona itu hingga tumbuh benih-benih ketertarikan. Kami sempat terpingkal sekaligus terperangah mendengar cerita Andika. Ada sisi lucu, romantis, kadang erotis. Saya tidak akan membahasnya secara gamblang di sini. Yang jelas, tulisannya berhubungan dengan “sesuatu” yang mengeras dan rumus matematika. Saya suka tulisannya. Terasa sangat jujur.

Reggy menceritakan perjalanan Van - sang burung - dan peri-peri hutan di Tanah Padjadjaran. Van berkelana di alam yang menentramkan, namun kemudian semuanya berubah. Udara segar berganti dengan udara menyesakkan dada dan luasnya langit berbintang tertutupi gedung-gedung bertingkat. Dengan dukungan para peri hutan, Van menggapai bintang untuk mengembalikan dunia indah yang ia rindukan.

Marty menjadikan ke-telat-annya ke RL sebagai inspirasi. Ia bercerita tentang hujan lebat, memasang radio untuk menghibur diri di tengah kemacetan, dan hiruk pikuk bobotoh Persib yang menjadi biang kemacetan.

Sementara itu, Dani menceritakan perjalanan romantisnya dengan Lia. Seorang pria mengayuh dayung perahunya, hingga pria tersebut dan Lia berada di tengah keindahan danau. Seperti pada beberapa tulisannya, Dani menyajikan dialog yang berusaha membedah kepribadian sang karakter.

Saya mengakhiri giliran membaca dengan menceritakan perjalanan saya dari Bandung ke Subang untuk ber-Kuliah Kerja Nyata. Bersama mobil yang mungil seperti anak ayam, saya menyusuri Cicaheum yang dipenuhi angkot hijau, dan jalan-jalan yang dipenuhi banyak orang seperti pengemis, preman, peminta sumbangan, pengamen, dan lainnya. Nyatanya, jalan yang ramai bisa kita pandang sebagai kesemrawutan atau tempat yang penuh dengan warna kehidupan.

Sekian kegiatan RL Writers' Circle sore itu. Kami melanjutkannya dengan kegiatan bergosip dan (masih) semangat membahas karya Andika yang cukup “berani”. Sudah lama saya tidak mengikuti RL Writers Circle dan begitu mengikutinya lagi saya merasa mendapatkan adrenalin segar untuk menulis. Sungguh menyenangkan!

Sampai jumpa di minggu berikutnya!



Yuliasri Perdani biasa dipanggil Uli. Mahasiswi Fikom UNPAD yang gemar menulis naskah film ini pernah absen beberapa bulan dari writer's circle karena mengikuti program pertukaran pelajar ke Korea Selatan.

Selasa, 16 Februari 2010

Sing It! Write It!

Bandung, 13 Februari 2010

Dear Diary,

Aku baru pulang dari kelab menulis, nih. Seperti biasa, menyenangkan! Pertemuan writers’ circle tadi mundur setengah jam dari biasanya. Sudah barang tentu, selesainya pun lebih malam. Tema yang diangkat adalah menulis dari lagu. Kami diminta untuk mempersiapkan lagu yang akan menjadi ide untuk bahan tulisan.



writer's circle yang tidak biasanya penuh gadget


Kali ini kami mendapat seorang anggota baru, Rizal, laki-laki berwajah lugu berkulit putih berbaju hitam. Tapi aku belum banyak mengobrol sama dia, sih. Habis kayanya orangnya pendiam.

Sebelum menulis, kami memperkenalkan diri dan menceritakan biasanya menulis dimana saja. Tidak butuh waktu lama untuk itu, saatnya menulis pun dimulai. Pemoloran waktu menulis pun terjadi lagi seperti biasanya. Dari setiap durasi yang telah ditetapkan, Andika, sang moderator, menambah lima menit lagi - sekitar tiga atau empat kali. Dan setelah molor kira-kira dua puluh menit dari waktu yang telah ditetapkan oleh stopwatch di ponsel Andika, tibalah saatnya kami membacakan karya masing-masing.



Giliran pertama jatuh pada Marty yang saat itu menggunakan kaos bertema kucing yang dipuji oleh hampir semua orang. Tulisannya berkisah tentang kesepian dan kekosongan yang dirasakan oleh sang tokoh sentral Bobby. Kisah ini merupakan secuil dari kisah keseluruhan Bobby dan Diana karya Marti. Lagunya pun menebar nuansa yang serupa, tentang seseorang yang membutuhkan seseorang. Somebody milik Depeche Mode benar-benar membangun nuansa sunyi dalam gambaran di cerita Marty.



Keheningan berubah 180 derajat dengan nuansa seru dari cerita Regie. Cerita fiksi-drama-horor-action-musikal-nya berkisah tentang wanita yang berprofesi sebagai penyanyi jazz sekaligus pemburu vampir. Pertarungan a la “Buffy” dengan “Angel”-nya ternyata cocok juga jika diisi dengan backsound Fly Me to the Moon, sebuah lagu jazz manis yang bisa dengan sukses membangun ketegangan. Sang penyanyi jazz menyenandungkan lagu tersebut di sela-sela pertarungannya yang sengit melawan makhluk-makhluk yang menyeramkan. Tampaknya apabila cerita ini dibukukan, pamor Twilight akan tergeser.



Beralih kepada Andika dengan cerita yang membuatnya serta merta melakukan penyangkalan setelahnya. Ia menulis tentang dirinya sendiri yang mengagumi seseorang bernama Burhan. Karakter sang idola sebenarnya bisa jadi biasa saja untuk orang lain. Namun Andika melukiskannya sebagai orang yang spesial. Begitulah cinta, bisa membuat segalanya lebih indah. Bisa jadi tulisan Andika kali ini adalah obsesi terpendamnya. Dugaan tersebut bertambah kuat karena ternyata lagu yang menjadi inspirasinya adalah milik Wilco feat Feist berjudul You and I. Lagu yang romantis untuk menggambarkan perasaan seseorang yang lebih dari sekedar mengagumi, yaitu mencintai. Hmmm ... tampaknya ia sudah mulai ingin jujur mengenai jati dirinya :)



Lalu tibalah giliranku. Aku sudah memilih lagu dari Ben Folds, We’re Still Fighting It, dan sudah membuat ceritanya sepanjang dua alinea. Tapi setelah ditelaah, tulisan itu terlalu serius. Kalau kata anak jaman sekarang sih ‘nggak seru ah!’. Maka aku mencari lagu lain dan membuat cerita lain. Band favoritku, The Beatles, dengan lagu hits mereka, PS: I Love You, menjadi pilihanku.

Tulisanku mengetengahkan karakter-karakter bernama asing, agar terdengar lebih keren. Seorang pria hampir sempurna bernama Alexander memiliki istri bernama Rebecca. Pada suatu pagi di hari Valentine, ia mendapati sepucuk surat dari istrinya yang berisi pujian tentangnya. Di akhir surat itu tertulis PS: I Love You ... namun bukan hanya sampai situ, masih ada kata-kata lanjutannya. Beberapa peserta mengatakan tulisanku sarkas nan satir. Sontak saja aku pun berpikir, “Ah masa? Ah iya? Gengsi dong!”



Ah, dari tadi kok lagu cinta melulu ya? Untung Nia membawa nuansa berbeda dari lagu pilihannya, lagu reggae yang identik dengan santai di pantai. Ia memilih sebuah hits dari Bob Marley, Three Little Birds. Ceritanya pun berlatarkan laut, dimana tokohnya - Sirait dan Larung - berada. Ini adalah kisah perjuangan Larung untuk meraih kebebasan yang sebelumnya terrenggut karena ditipu oleh Sirait. “Don't worry about a thing, 'cause every little thing’s gonna be all right,” mengiringi perjalanan Larung saat matahari terbit menyimbolkan kebebasan. Jika ceritanya difilmkan, lagu Bob Marley itu sangat cocok sebagai closing song menuju credit title. Nia sungguh dengan pas memadukan antara laut, Bob Marley, dan terbitnya matahari … hanya satu yang tak dimasukkannya dalam cerita: ganja!



Beralih ke lagu cinta lagi. Kali ini sebuah lagu dari Landon Pigg, Falling in Love at the Coffee Shop, menjadi pilihan Niken. Namun ceritanya tak ada sangkut pautnya dengan jatuh cinta di kedai kopi, melainkan jatuh cinta di kantor. Niken mengisahkan tentang suasana kantor yang menjemukan namun berubah menjadi bergairah setelah menemukan lagu itu di internet. Para penghuni kantor jatuh cinta saat pertama kali mendengarkan lagu itu. Yaa ... begitulah gambaran suasana kerja kantoran di negara kita: lesu di tengah bulan, untuk kembali bersemangat saat mendekati gajian.



Diary, kamu tahu nggak siapa yang membawakan lagu Bunga di Tepi Jalan? Bisa jadi semua ABG (Anak Baru Gede) menjawab Sheila on 7. Namun kalau ditanyakan pada kaum ABG yang lain (Angkatan Babe Gue) sudah pasti mereka langsung menjawab Koes Plus. Tidak seperti tulisan peserta lainnya yang mengambil esensi dari lagu pilihan masing-masing dan dikembangkan menjadi cerita yang berbeda, Dea justru menjabarkan pengertian dan perasaannya sendiri tentang lagu itu. Kisah bunga cantik di tepi jalan tak pernah ada yang memerhatikan, sampai akhirnya dipetik untuk dijadikan pajangan, padahal bunga di tepi jalan memang sudah seharusnya dibiarkan. Sebelumnya Dea mengaku suka dengan lagu itu karena nadanya enak, namun begitu mendapati liriknya, ia jadi berbalik tak suka. Terkadang memang mengetahui sesuatu tak selalu baik ketimbang tak mengetahuinya.



Mahel adalah yang paling curang. Ia telah mempersiapkan agar tampil berbeda dengan yang lain. Ia membacakan tulisannya diiringi oleh lagu pilihannya, berupa musik instrumen dari film Memoirs of a Geisha, yang memang cocok sebagai backsound untuk membangun suasana dalam ceritanya. Namun ceritanya sama sekali bukan tentang geisha, bukan tentang orang dewasa, melainkan dongeng adanya.

Ada sebuah kota bernama Kota Hitam Putih yang isinya semuanya hitam dan putih. Hanya ada satu rumah yang berwarna-warni, yaitu rumah Nenek Ceri. Suatu hari ada anak sebatang kara yang datang ke kota itu dan meminta belas kasihan orang-orang di sana untuk menampungnya. Inspirasi ceritanya juga datang dari lagu Nolita Fairytale–nya Vanessa Carlton. Untuk orang yang skeptis, pasti menebak bahwa anak sebatang kara itu akan bernasib sama seperti Hansel dan Gretel. Sementara bagi orang yang ositive thinking, pasti berpikir bahwa nasib anak itu akan berakhir bahagia macam telenovela Esmeralda.



Kemudian tiba giliran Aziza. Diary, aku malu, deh. Tampaknya aku nggak pantas mengaku sebagai orang Bandung. Karena aku tak tahu mengenai legenda tujuh sumur! Dan aku jadi sanksi sama orang-orang yang ngaku orang Bandung namun tak tahu legenda itu. Dan pastinya Aziza adalah orang Bandung tulen (atau orang bukan-Bandung yang memang banyak membaca saja), karena ia menulis tentang legenda tujuh sumur di Bandung yang diramu a la dia. Bagaimana enam dari tujuh sumur itu mengalami kehancuran satu persatu dan sekarang hanya ada satu yang tertinggal. Kalau sumur terakhir itu hancur, maka kejadian di film 2012 akan terjadi pada kota ini. Lagu yang menjadi pilihannya adalah dari band asal Jerman, Rammstein. Tak dinyana, gadis manis berkacamata yang lembut tutur katanya itu mendengarkan musik rock menggelegar yang biasanya menjadi konsumsi orang-orang kasar yang jarang mandi nan bertato yang tinggal di kamar gelap yang selalu berantakan. Peribahasa don’t judge a book by its cover, sangat pas untuk menggambarkan Aziza. Jangan menilai selera musik seseorang dari penampilannya!


Lagu bernada minor memang cenderung menebar kepedihan bagi yang mendengar. Namun berbeda dengan Just For You milik Richard Cocciante yang dipilih oleh Hakmer. Aku pun baru tahu darinya, bahwa lagu bernada sendu itu bercerita tentang kebahagiaan, tepatnya kebahagiaan si penyanyi akan cinta yang dirasakannya. Ia mengaku sebelumnya telah membuat empat buah cerita, namun ia menetapkan hatinya untuk memilih satu, yang berkisah mengenai perbincangan dua insan. Wow! Empat cerita!! Bayangkan betapa cepat otaknya bekerja, terlebih lagi tangannya.



Akhirnya tibalah saatnya Dani untuk membacakan karyanya yang selalu fenomenal. Ia kembali lagi dengan dunia khayalannya yang tertuang dalam cerita fiksinya. Kali ini mengambil setting sebuah markas besar dengan karakter-karakternya adalah anggota satuan keamanan dengan pangkat yang disingkat-singkat, semacam Komsat, Komprop, dan sebagainya. Idenya diambil dari lagu dari band rock Scorpions berjudul Humanity. Dilengkapi dengan kasus tingkat tinggi, dibalut dengan tata bahasa yang juga tingkat tinggi, membuat beberapa peserta berkomentar, “Hmmm... Dani banget deh,” setelah ia menyelesaikan membaca ceritanya.


Rizal sang anggota baru mendapatkan giliran terakhir. Tulisannya adalah yang paling singkat di antara cerita yang lain, yaitu sebait tulisan berbahasa Inggris yang filosofis tentang kehidupan. “Saya nggak tahu kalau semuanya pada panjang-panjang,” katanya. Hmmm ... panjang apanya, ya? Ia pun memperkenalkan orkestra dari Jepang, Jalan-jalan, yang musiknya bernuansa Bali.

Jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 19.15. Kami baru saja menyelesaikan cerita terakhir dari Rizal, yang berarti waktu writers’ circle pun telah selesai. Durasi pertemuan kali ini adalah dua kali lipat daripada biasanya. Bagaimana tidak, karena setiap orang mendapatkan waktu dua kali lipat untuk mempresentasikan karyanya, untuk membacakan dan kemudian memutarkan lagu pilihannya. Untung saja tidak semuanya diwajibkan untuk menyanyikannya.

Sudah dulu ya, Diary. Besok aku harus bangun pagi, nih. By the way, aku menemukan gombalan baru, loh: “Kalau kau jadi musik, aku akan menjadi liriknya. Karena musik tak lengkap tanpa lirik!”

Bye, Diary!! ;)

*Kemudian diputarkan lagu ‘Dear Diary’ – Ratu.


Thya (beberapa memanggilnya Maknyes) adalah insinyur yang sudah sama sekali lupa mengenai ilmu tentang keinsinyurannya dan berjanji tak akan kembali ke bidang itu. Profesinya saat ini adalah penyiar di sebuah radio anak muda di Bandung. Hobi menulisnya dituangkan ke http://rahmathya.multiply.com dan khusus untuk cerpen-cerpennya ia tuangkan di http://ceriterathya.blogspot.com