Kamis, 04 Maret 2010

Surga Sederhana di sudut Kota

Surga tidak selalu berwujud luar biasa. Terkadang, surga bisa hadir dalam bentuk yang sederhana. Apabila anda hafal jalan menuju Universitas Katolik Parahyangan, cobalah mampir ke salah satu surga sederhana: Reading Lights. Mencapainya tidak perlu sampai mati dulu—cukup naik angkot. Di dalamnya, anda akan menemukan staf toko buku yang ramah. Makanan, kue-kue, teh, dan kopi siap untuk Anda nikmati. Belum lagi buku impor second hand yang bisa Anda dapatkan dengan harga miring. Huff … bagi kami, Reading Lights Writer’s Circle, ini adalah angkot-distance-heaven.

Reading Lights - surga tempat kami berada

Hari itu kami datang tidak terlalu ramai-ramai: Lia, Anggi, Andika, Marty, Aji, Uli, Dani, Hakmer, dan saya sendiri. Beberapa dari kami terlambat karena Bandung sedang macet hari itu. Macetnya Bandung tidak membuat macet ide Andika sang fasilitator. Kami mempergunakan tempat-tempat di kota ini sebagai latar belakang tulisan kami.

Lia—yang harus pergi terlebih dahulu karena ada janji—mendapat giliran pertama membacakan ceritanya. Cerita yang ia bangun dengan atmosfer cukup menyeramkan. Misterius, tepatnya. Bagaimana tidak? Dia memulai cerita dengan mendeskripsikan suatu gedung yang penuh dengan kegelapan. Suatu tempat yang tanpa penghuni. Namun, suasana cerita berubah ketika dia membuat twist—justru dalam kegelapan kita semakin awas akan cahaya. Terutama cahaya planet-planet di langit sana. Ya, gedung yang dimaksud Lia adalah Boscha. Dani sedikit protes karena menurutnya tempat itu cukup terang. Sementara Andika berkata bahwa dia sudah bisa menerka bahwa Lia menceritakan tentang Boscha. Saya sendiri cukup terhibur. Walaupun alangkah lebih baik apabila Lia bisa memasukkan sebuah cerita di dalamnya. Deskripsinya sudah bagus, kenapa tidak dikembangkan menjadi sebuah cerita?

Anggi—yang juga harus pergi menghadiri undangan—mendapatkan giliran kedua. Dia membahas sebuah tempat yang punya sejarah khusus. Sejarah dimana daerah itu dikuasai oleh makhluk-makhluk sensual dan perkasa. Ya, dia mempergunakan lokasi Taman Maluku sebagai latar belakang ceritanya. Deskripsi Anggi bagus, walaupun narasinya tidak setajam Lia. Namun, Anggi melakukan kompensasi dengan memasukkan cerita di dalamnya. Cerita tentang seorang perempuan yang menahan sakit hatinya. Sakit hati karena harus menemani sepasang kekasih. Dia mencintai pria tersebut, tapi dia harus rela menjadi “obat nyamuk” ketika menemani mereka. Anggi sepertinya senang sekali menciptakan perasaan getir pada setiap akhir ceritanya. Apakah ini sudah pakem menulis seorang Anggi?


Berikutnya Dani. Jujur saya mendapatkan ceritanya sangat menghibur. Menurut saya cerita Dani cukup orisinil. Dani memang masih mempergunakan istilah militer seperti jenis senjata di dalam ceritanya. Namun, ciri khas itu dia poles sehingga kita bisa hanyut ke dalam cerita yang terkesan begitu sehari-hari. Ceritanya memang berbau fiksi ilmiah: ada seekor cacing raksasa/ular/naga yang keluar dari perut bumi. Binatang itu memilih muncul di Simpang Dago, meninggalkan lubang besar di jalanan aspal. Dani memakai dialog antara seorang agen dan rekannya untuk menceritakan ulang apa yang terjadi. Gaya bercerita Dani kali ini seperti membawa saya pada salah satu serial TV.


Saya mendapatkan kesempatan setelah Dani. Kali ini karakter Sam kembali saya gunakan sebagai tokoh cerita. Dia menunggu seorang perempuan di salah satu kafe daerah pojok utara kota Bandung. Perempuan itu adalah teman lamanya. Sam sangat sabar menunggu meskipun sudah lebih dari satu jam. Dia berkilah bahwa selama ini dia yang tidak menemui perempuan itu, jadi wajarlah sekarang dia yang harus menunggu. Dia berkilah bahwa perempuan itu harus berdandan apik untuk malam ini. Di akhir cerita, seorangwaitress mengantarkan pesanan yang begitu dinanti Sam: Margarita. Ya, Sam sedang menunggu minuman Margarita yang baginya adalah teman lamanya. Dani mengatakan bahwa tulisan saya ini sedih. Ya, saya tidak menyangkalnya. Inti cerita ini adalah seorang mantan pecandu alkohol yang kembali ke kebiasaan lamanya. Teman lama alias perempuan itu, bagi Sam, bernama Margarita. Andika dan Uli cukup menyukai cerita saya. Andika bahkan meminta saya untuk membuat versi panjangnya. Saya tersenyum, itu adalah pujian yang besar.


Namun, pujian besar itu harus saya berikan kepada Uli. Adik kelas saya di SMA itu bercerita tentang seorang transgender bernama Mona. Uli—astaga—berhasil memainkan perasaan kami semua. Awalnya, dia mengocok perut kami dengan dialek khas Sunda tokoh waria itu. Bahkan, ketika tokohnya sedang menjajakan diri di dekat Taman Lalu Lintas, Uli mampu membawakannya dengan jenaka. Cerita berubah menjadi tegang ketika tokoh waria itu bertemu dengan kekasihnya yang seorang Montir. Kali ini, Uli membuat kami takjub akan Mona yang rela menahan sakit untuk memperbesar payudara demi sang Montir. Uli menutup cerita itu dengan cukup tragis. Mona ditinggal sang kekasih yang sudah memiliki istri. Istri yang kini tengah mengandung. Kekasih itu jelas menyayangi Mona. Sebelum pergi, dia memberikan uang bagi Mona agar kembali ke jalan yang benar. Hati Mona hancur, tentunya. Saya kontan menyarankan Uli untuk mengirim cerita ini ke majalah. Nampaknya Writer’s Circle setuju karena Uli adalah peserta yang mendapatkan tepuk tangan paling meriah.


Andika menceritakan tentang perjalanan di dalam sebuah angkot. Dia membawa kami ke dalam beberapa perjalanan. Diawali ketika tokohnya yang bernama Dita putus asa karena kemacetan lalu lintas. Serta perasaan gugupnya ketika tidak sengaja bertemu dengan guru les Bahasa Inggris. Menurut saya deskripsi Andika bagus, tapi saya merasa dia terlalu menahan diri kali ini. Apa mungkin Andika sedang ingin fokus kepada deskripsi suasana ketimbang membuat cerita dengan konflik batin? Saya tidak tahu.


Begitu pula dengan Aji. Sayang, padahal ceritanya cukup orisinil. Mengenai rasa takut seorang bapak. Bapak itu tengah berkuda di daerah ITB. Tapi dia khawatir akan anaknya: apakah anaknya akan kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung), menjadi penjual minuman (Ikatan Teh Botol) atau pekerja di kebun binatang (Ikatan Tebun Binatang). Maafkan saya kalau singkatannya salah, saya sedikit lupa. Namun, seperti cerita-cerita kontemplatif yang ada, sebetulnya cerita ini masih bisa dieksplorasi.


Marty juga memiliki materinya yang pas. Dengan mempergunakan Jl. Banda yang memang menjadi salah satu tujuan wisata Kota Bandung, dia membuat cuplikan kehidupan seorang fotografer yang hendak pergi ke satu tempat. Dia sedang berada di sebuah gedung terkenal di Jl. Banda itu—gedung yang terkenal menyediakan jasa fotografi. Marty masih bisa mendeskripsikan banyak hal seperti aroma kentang bumbu khas daerah itu, es duren dsb. Mungkin karena dia datang terlambat dan waktunya sedikit. Tapi (lagi-lagi) saya yakin ceritanya masih bisa dikembangkan.


Hakmer memilih untuk tidak menulis hari itu. Dia terlihat datang terlambat. Namun dia tetap mendengarkan dan memberikan beberapa komentar. Cukupan bagi kami semua. Kami tidak memaksa dirinya untuk menulis, walaupun saya jadi bingung mau menulis apa di jurnal ini. Hehehe, padahal akan lama sekali saatnya saya menulis jurnal.


Kami semua menganggap Reading Lights sebagai surga. Kebetulan, jumlah kami yang datang adalah sembilan. Namun, kami bersembilan bukan malaikat surga yang sesekali harus turun ke bumi. Kamilah yang justru harus undur diri dari surga itu. Bagi saya jurnal kali ini agak sentimentil karena saya harus pindah ke Jakarta untuk pekerjaan. Saya masih akan datang walau belum tahu kapan. Maka saya mengucapkan sampai jumpa kepada lukisan-lukisan yang saya kagumi, kue-kue yang pernah saya cicipi, minuman Yin Yang Chocolate yang selalu jadi favorit saya dan Sandwich Diet Breaker yang memuaskan rasa lapar saya. Yang paling berat? Mohon diri kepada anggota yang lain yang membuat saya menjadi orang (plus penulis) yang lebih baik. I love you, guys! See you soon.


Kedoya, 2 Maret 2010


Amahl S. Azwar adalah seorang pemuda lulusan Universitas Parahyangan pernah mendaratkan kaki berkali-kali di Jakarta untuk bekerja sebagai editor di sebuah penerbit. Pria yang menyukai novel The Devil Wears Prada dan He's Just Not That Into You ini memiliki blog dengan alamat http://www.mcmahel.blogspot.com/


7 komentar:

cassia vera mengatakan...

kalo ngga salah, ada satu goresan di kelas tua ITB itu Itjalan Teh Botol (Jualan teh botol) :D

Andika mengatakan...

Love you too, Mahel. Good luck!

salamatahari mengatakan...

Wah, Mahel, tulisan dan pemikiran lu selalu meneduhkan ...

Niken mengatakan...

ah, maheeeel....
emang kalo pindah gawe jadi susah ke bandung ya?
:(

mcmahel mengatakan...

@mbak dan
Ah yes. Itu singkatan yang saya dengar tapi saya lupakan. Hehehe, terima kasih, Mbak.

@Andika
Thank you, Dika. See you soon.

@Sundea
Ah, Dea bisa saja. :) Thank you, Dea. It's an enormous compliment.

@G4reela
Iya, dear. Soalnya kan sekarang jadi reporter harian. Naga-naganya dapet kompartemen Megapolitan pula. Tapi kalo lagi fit dan Sabtu libur (+ada uang, hehe) pastilah gue sempetin.
*Baru beberapa hari udah kangen nih gue*


Catatan: Komentar ditulis sambil sembunyi-sembunyi dari mentor.

Nia Janiar mengatakan...

@mbak niken: lhaa, wong yang kerja di Bandung aja kadang jarang dateng, apalagi di luar kota. Heheu.

M. Lim mengatakan...

Kan ada teknologi Internet. Yang aneh bin ajaib. Karena yang jauh jadi dekat, yang dekat malah jadi jauh.
Good luck Mahel :)