Sabtu, 18 Juli 2009

The Passion

Pertemuan RLWC kali ini agak tidak biasa karena mengangkat tema seks. Ya, benar. Salahkan Andika yang baru saja menonton salah satu versi film Lady Chatterley's Lover pada malam sebelumnya. Mungkin juga dia masih menyimpan sedikit dendam karena pada pertemuan dua minggu yang lalu--dengan tema tulisan yang diilhami oleh mimpi--hanya satu orang (saya sendiri) yang menyisipkan siratan terkecil tentang unsur seksual.

Semua orang memiliki imajinasinya masing-masing
Apapun motivasinya, yang jelas Andika meminta peserta pertemuan RLWC kali ini untuk menulis fiksi yang berkaitan dengan seks atau sensualitas. Tetapi sebelumnya diadakan suatu diskusi singkat tentang mengapa sastra di Indonesia lebih "bebas" dalam memuat adegan seks daripada media-media yang lebih bersifat visual seperti film atau televisi. Diskusi ini, walaupun cukup ramai, masih jauh kalah menarik dari hasil-hasil tulisan yang dikeluarkan para peserta setelah 45 menit (kecuali saya yang mengambil kesempatan untuk bertindak curang dan terus menulis sementara beberapa cerita lain sedang dibacakan).
Myra dengan buku besarnya
Myra menulis suatu cerita tentang seorang wanita yang bermimpi dibawa lari oleh seekor kuda dan tidak mampu menghentikan kuda itu. Saat wanita itu terbangun ia menemukan bahwa suaminya telah meperkosanya dalam tidur. Perbuatan itulah yang menjelaskan rasa sakit di pahanya dan suhu panas yang begitu mengganggunya dalam mimpinya. Beberapa peserta lain merasa bahwa penggambaran seks melalui metafora kuda dalam mimpi agak lucu, walaupun timbul juga pendapat bahwa mungkin ini bukan kesalahan Myra melainkan sifat bahasa Indonesia itu sendiri yang agak canggung dalam menjelaskan kegiatan seks.
Sedikit malu menulisnya
Berikutnya, Neni menulis tentang hasrat seorang wanita untuk membeli dan melakukan "hal-hal tertentu" terhadap sesuatu di balik etalase toko. Benda ini diceritakan seolah-olah ia adalah seorang lelaki, padahal sebenarnya hanya sepotong kue cokelat. Azisa berpendapat bahwa cerita ini pada awalnya nampak agak aneh karena biasanya--paling tidak dalam konteks Indonesia--kaum lelakilah yang berpikir tentang "membeli" seorang wanita untuk keperluan percintaan.

Singkat, padat, dan eksplisit!
Cerita yang ditulis Ina berkisah tentang wanita yang dirayu dan mulai bercumbu dengan seorang lelaki di sebuah koridor. Walaupun cerita ini tampaknya salah satu yang paling "panas" dari tulisan-tulisan yang dibuat dalam pertemuan ini, muncul protes bahwa adegan seksnya kurang terburu-buru (urgent), apalagi jika menimbang tempat percumbuan di koridor yang notabene adalah tempat umum.
Latar belakang sudah cocok
Andika tidak tanggung-tanggung dalam membalas dendam dua pertemuan lalu. Tulisannya bercerita tentang seorang wanita penjaga toko yang merayu dan mencumbui seorang calon mahasiswa yang (jelas saja) jauh lebih muda, lalu wanita itu tiba-tiba memberi si pemuda beberapa wejangan yang hampir sama sekali berkebalikan dengan perlakuan yang baru saja ia berikan kepada si pemuda. Banyak peserta lain yang menyukai perputaran haluan ini karena ironinya yang tajam. Di sisi lain, ada juga kritik bahwa pembukaan cerita agak kaku sehingga cenderung memperlambat dan "mengempiskan" sisa cerita yang sebenarnya mampu menggambarkan seks secara gamblang ini.
Nia memasukkan karakter orang yang ia suka
Tulisan Nia adalah khayalan seorang perempuan tentang keintimannya dengan pasangan lelakinya yang sedang tidur. Harus diakui bahwa penjabaran emosi dalam cerita ini cukup kuat, tetapi saya pribadi (dan mungkin beberapa orang lain) merasa bahwa cerita ini baru memulai perjalanan, sehingga belum benar-benar sempat memasuki bagian yang paling "menyenangkan". Nia menjawab bahwa kekurangan ini pada dasarnya disebabkan oleh kurangnya waktu untuk meneruskan dan menyempurnakan ceritanya. Seandainya saja Nia berani berbuat curang seperti saya ...

Cerita Hakmer cenderung bernuansa modernis dengan tokoh utama lelaki yang membawa pulang seorang wanita yang baru dikenalnya di restoran. Setelah bercinta dengan wanita itu, ia mampu melihat kehampaan yang dirasakan wanita itu dalam hidupnya. Tak lama kemudian ia pergi saat si wanita tertidur tetapi tidak lupa untuk meninggalkan sejumlah uang bagi si wanita. Cerita ini menimbulkan cukup banyak pertanyaan. Myra menanyakan tentang uang yang ditinggalkan si lelaki karena uang ini tampak seolah-olah mencap si wanita sebagai seorang "wanita nakal," tetapi Hakmer menjelaskan bahwa si laki-laki hanya merasa bahwa ia tidak mampu pergi tanpa memberikan suatu timbal balik yang setimpal. Lalu Andika meminta penjelasan tentang bagaimana si lelaki mampu melihat "kehampaan" dalam perasaan si wanita; jawaban Hakmer adalah si lelaki sebenarnya merasakan kehampaan yang sama juga, tetapi bedanya ia menyadari perasaan itu (tidak seperti si wanita yang tidak menyadarinya). Sayangnya penjelasan-penjelasan ini tidak (atau belum sempat?) dimasukkan ke dalam cerita, tampaknya lagi-lagi karena waktu yang terbatas.

Azisa dengan metafora tembaga bermata emas
Azisa menggambarkan ketertarikan seorang wanita terhadap pasangannya melalui metafora sepasang hewan bersisik, diakhiri dengan keputusan si wanita untuk sabar menunggu hingga si lelaki menyadari atau mengerti akan perasaan yang disimpan si wanita kepadanya. Kentalnya metafora dalam cerita ini membuatnya terasa agak surealis. Beberapa orang bahkan berpendapat bahwa metafora yang terlalu dominan ini membuat cerita Azisa terlalu terbuka terhadap berbagai macam penafsiran.

The Killing Dialogue
Anas menuliskan suatu diskusi antara sepasang kekasih yang bersilang pendapat tentang arti seks, baik dalam hubungan mereka maupun secara filosofis. Myra mengajukan protes bahwa sebagian isi diskusi ini agak bersifat patriarkis. Di sisi lain, saya merasa bahwa tulisan Anas bukan cerita, melainkan suatu esai dialog seperti tulisan-tulisan yang umum dibuat para pengarang Eropa di zaman Renaisans, karena isi dialog dalam tulisan ini begitu dominan hingga hal-hal lain seperti latar, tokoh, maupun alur "cerita" jadi nampak tidak penting. Menjelang akhir diskusi, Anas sendiri sempat meminta saran tentang cara menambahkan penokohan dan emosi ke dalam tulisannya itu.

I took one hour. Sorry, guys.
Akibat "kecurangan" saya, cerita saya menjadi tulisan terpanjang yang dibacakan sore (atau malam) itu. Saya agak terkejut karena ternyata saya satu-satunya yang menulis tentang hubungan homoerotis, dalam hal ini antara dua orang kesatria (Rodrigo dan Pierre) yang "melampiaskan" hasrat birahi mereka bukan melalui seks tetapi dengan perkelahian tanpa ampun di suatu arena dadakan yang didirikan oleh rekan-rekan prajurit mereka. Andika berkomentar bahwa tulisan saya masih kurang "homo", ditimpali oleh sanggahan Nia bahwa sebenarnya unsur homoerotis dalam cerita itu sudah cukup kental. Lalu muncul pula kritik bahwa permulaan cerita saya masih agak lambat dan tersendat-sendat, serta latar belakang hubungan antara kedua tokoh utama masih kurang dijelaskan.Tentu saja saya berkelit dengan alasan bahwa cerita itu masih naskah awal yang belum sempat disunting ataupun ditulis ulang. >:D

Begitulah pertemuan RLWC hari Sabtu 18 Juli 2009--pertemuan paling unik dan "seksi" dari semua yang pernah saya hadiri sejauh ini.

-Pradana P.M.

4 komentar:

ceriterathya mengatakan...

Woowww seru... udah lama ih ga dateng.

Nia Janiar mengatakan...

Iya atuh dateng iiihh.. :D

M. Lim mengatakan...

Gyaaa!!! hiks aku ingin yang porno kekekekek!
Jadi pingin baca roman picisan ih...

Reading Lights Writer's Circle mengatakan...

Hehe, semua malu-malu kayaknya kalau nulis yang porno-porno :D