Kamis, 30 Juli 2009

Balerina, Melodi Masa Muda, Dan Setetes Nostalgia


Menu minuman Reading Lights dibahas di blog buku-nya The Guardian! (Sejak Januari, tetapi saya baru ngeh minggu lalu :P.) Secara tak langsung ini membuat saya makin bersemangat menghadiri pertemuan mingguan writer’s circle di toko buku tersebut. Tak sabar rasanya menikmati minuman cokelat yang diracikkan Ade atau Melda, para cooking master dari dapur Reading Lights.

Genap sepuluh orang hadir pada pertemuan kemarin: saya, Indra, Anas, Dani, Zisa, Hakmer, Nia, Dea, Anggi, dan Uli. Yang menjadi tema minggu ini adalah memancing keluarnya tulisan dengan mendengarkan lagu. Speaker, iPod, lima lagu, dan transkrip lirik telah disiapkan untuk latihan menulis kali ini. Para peserta dibebaskan untuk menulis apa saja: bisa mood yang muncul setelah mendengarkan irama lagu, cerita fiksi yang terinspirasi lirik atau gaya bernyanyi vokalisnya, memori yang mengemuka, semacam puisi, atau apapun. Bebas, asal masih relevan dengan lagunya.

Lagu-lagu yang dipilih sebagian besar bernuansa folk, yang mana merupakan genre musik favorit saya. Ada The Swimming Song-nya Loudon Wainwright III, Happy End dengan Kaze Wo Atsumete, dan Quelqu’un M’a Dit yang dilantunkan Carla Bruni. Dua lagu lainnya masing-masing bernuansa populer, pop dalam negeri dan pop disko, yaitu Balerina oleh Efek Rumah Kaca dan Mr Tough-nya Yo La Tengo.

Setelah cukup lama menulis sambil mendengarkan lagu (atau mendengarkan lagu sambil menulis), masing-masing peserta pun membacakan karyanya. Dimulai dari Dani yang mengaku kurang terinspirasi dengan melodi lagu-lagu yang saya pilih, beruntung ia kreatif dalam memainkan liriknya sehingga muncul cerita-cerita sangat pendek ajaib yang mengundang senyum. Salah satunya, cerita yang terinspirasi lirik Balerina ini:



Kukembangkan payungku. Memang meniti tali di ketinggian antara dua gedung membuatku bisa melintas lebih cepat daripada menunggu belas kasih supir-supir tolol di bawah, tetapi cara ini ternyata panas sekali. Seharusnya aku tidak melakukannya tepat di akhir istirahat makan siang.

Seutas tali lain tiba-tiba terbentang di sebelahku, mengular ke arah sebaliknya. Seorang wanita bergaun merah mulai melintas di atasnya.

Ia tersenyum padaku saat kami berpapasan. Semoga nanti sore aku tidak lupa membentangkan taliku di sini lagi. Aku harus mendapatkan nomor teleponnya!



Setelah Dani membacakan tulisan, giliran selanjutnya bisa berputar ke arah Zisa atau Anas. “Gentlemen first,” celetuk Zisa, maka Anas pun membacakan dua tulisannya yang sama-sama mengangkat tema kehidupan. Tulisan pertamanya merupakan monolog yang seakan meneruskan lirik lagu Balerina. Kehidupan yang bagaikan langkah-langkah yang diambil seorang balerina, kehidupan yang tidak hanya setengah isi, tetapi juga setengah kosong. Sementara itu, tulisan kedua Anas terinspirasi lagu Mr Tough merupakan cerita tentang perjuangan seorang wanita setengah baya dalam melanjutkan hidup di dalam situasi yang serba berkekurangan.

Habis Anas, terbitlah Indra. Ia mendeskripsikan sebuah kolam renang di suatu tempat di jantung Amerika Serikat. Bisa Orlando, Phoenix, atau Iowa. Sebuah tempat di mana anak-anak berambut pirang keemasan berlari-lari seakan mereka tidak mengenal kesedihan. Lalu Indra membacakan sebuah cerita yang menggambarkan seorang anak kecil yang mengamati keadaan sekitarnya di tepi Pantai Kuta. Tulisan ini dimaksudkan terinspirasi lagu Balerina, “Tetapi kok panjang sekali?” pikir saya. Saya menoleh ke arah Indra, ternyata ia membacakan sebuah manuskrip tulisannya yang diketik di komputer!

Saya lantas membacakan tiga tulisan saya yang terinspirasi The Swimming Song, Kaze Wo Atsumete, dan Mr Tough. Ketiganya sama-sama membahas masalah keluarga.

Tulisan Uli dan Dea sepertinya sama-sama terinspirasi dengan gaya bernyanyi Carla Bruni. Suara Bruni yang smooth dan pengucapan katanya yang seperti menggumam memunculkan sesosok karakter khusus di benak Uli. Sosok seorang gadis berusia 21 tahun yang akan menikah dengan seseorang yang sama sekali belum dikenalnya. Perdebatan batin si gadis tergambar dengan cukup baik, apa karena dalam kehidupan nyata Uli berulang tahun yang ke-21 tanggal 28 Juli lalu, ya? Sementara itu Dea menyampaikan sebuah kisah tentang perjumpaannya dengan perempuan yang ditulis Uli. Dea menemukan gadis itu tampak gundah di taman. Ketika ditanyai mengapa, jawaban si perempuan tidak dimengerti oleh Dea. Akhirnya perempuan itu muntah di dekat lampu taman.

Di pertemuan pertamanya, Anggi tidak tampak seperti peserta yang baru kenal dengan writer’s circle. Meskipun sempat mengeluh kira-kira begini, “First draft is the most deletable draft,” tetapi ketika pembacaan karya Anggi tampak percaya diri membacakan tulisannya yang puitis dengan gaya seperti berdeklamasi.

Nia menulis komentar-komentar singkat tentang lagu-lagu pilihan saya. Ia tidak menyukai The Swimming Song yang terdengar seperti lagu country di mana segalanya kelewat ceria, padahal tidak. Seperti orde baru, katanya. Sementara itu Mr Tough mengingatkan Nia pada era sepatu roda, dansa, dan seks sehabis pesta. Kesan ini juga muncul pada tulisan fiksi Hakmer yang menganggap lagu Mr Tough sangat hippie. Baik Nia maupun Hakmer terbayang akan Mika ketika mendengar lagu itu.

Sesi pembacaan karya ditutup oleh tulisan Zisa. Tulisan pertamanya berlatarkan Gedung Sate, sementara tulisan keduanya yang terinspirasi Quelqu’un M’a Dit menyatakan bahwa tempat curhat yang paling baik baginya adalah gedung tua yang kosong. Tulisan Zisa yang kedua membuat saya teringat pada Tembok Ratapan. Juga pada sebuah film yang berakhir dengan karakter utamanya berlutut dekat lubang kecil di tembok Angkor Wat, membisikkan rahasia bahwa ia pernah mencintai seorang perempuan yang tak mungkin bisa bersamanya, kemudian menutupi lubang itu dengan tanah. Saya tak begitu suka film itu meskipun tertarik dengan konsep curhat pada gedung tua. Anggi mengaku mendengarkan pembacaan Zisa ia bisa membayangkan visualisasi tulisan tersebut dalam bentuk komik.

Usai pembacaan karya writer’s circle sempat mengobrol tentang the so-called Indonesian music today. Tentang ketidaksukaan sebagian peserta pada musikalitas band-band baru yang bermunculan. Satu dua kali bersuara, kebanyakan saya hanya duduk di pinggir: menonton Indra yang secara tidak langsung membela Kangen Band, mendengarkan Hakmer yang menganggap musik baru ini membodohi pendengarnya, Anas yang mengaku berusaha tidak mendengarkan musik, dan lain sebagainya. Riuh rendah obrolan mereka memunculkan sebuah melodi unik di kepala saya, melodi masa muda, dan setetes nostalgia.

1 komentar:

M. Lim mengatakan...

Neil Gaiman knows about the coffee :D aha
http://journal.neilgaiman.com/2009/01/happy-and-wise-in-our-giant-hologram.html