Minggu, 02 November 2008

Sidang Para Hantu

Sabtu kemarin langit Bandung mendung berat. Gambaran duduk malas-malasan sambil baca buku dan menyesap minuman hangat jadi begitu menarik. Saya sampai di Reading Lights jam satu lewat sedikit, beberapa jam lebih cepat dari waktu dimulainya pertemuan mingguan writers’ circle. Hujan turun sangat deras ketika dengan pretensius saya mulai membaca biografi grup band Sonic Youth. Kurang lebih tiga jam selanjutnya pun dilalui dengan penuh rasa syukur: membaca, browsing isi toko, menemukan In the Company of Cheerful Ladies-nya Alexander McCall Smith(!), dan memecahkan rekor minesweeper Niken.

Kurang beberapa menit dari jam empat, saya dikejutkan dengan kedatangan pemuda kurus berkacamata yang mengenakan jas hujan metalik, David! Ini sudah lama sejak terakhir kali saya melihatnya. Rupanya sekarang David bekerja sebagai produser di radio swasta di Jalan Kacapiring. “Andika, makin gemuk saja,” komentarnya ketika melihat saya. “Mungkin jaketnya,” ujar saya beralasan. Namun David bersikukuh, “Nggak, kok. Pipinya makin lebar.” Saya berpura-pura mengabaikan pernyataan terakhir dan menunjukkan sosok Riswan kepada David. Sebentar kemudian, Dea, yang sudah lama absen dalam pertemuan writers' circle, muncul dan menceritakan kesibukan yang belakangan menghampiri setiap Sabtu sore. Gadis itu ternyata kangen kami. Nggak, deng. Dea hanya menyatakan kekangenannya dengan kegiatan writers’s circle secara umum. Kemudian Hawa tiba dengan dinaungi payung. Mahasiswi mikrobiologi itu pun menjadi peserta terakhir yang muncul pada sore hari kemarin.

David (dalam lingkaran putih)

Berhubung smoking area Reading Lights ditempati orang, kami beranjak ke lantai atas. Berhubung ruang menonton dipakai sholat, kami pindah ke ruang sebelahnya. Bantal duduk diambil dan disebarkan di sekeliling meja pendek. Saya lantas menyampaikan berita Erick briefing workshop cerita bergambar di CCF dan Nia wisuda di UPI. Yeah, right. Saya hanya mengatakan Erick berhalangan saja, kok.

Pertemuan dimulai dengan Hawa yang membacakan cerita menarik tentang kekhawatiran Amelia terhadap adiknya Sarah yang bakatnya berubah-ubah setiap jatuh di tempat yang berbeda. Dea suka idenya, David menikmati alur lancarnya, saya suka pilihan katanya. Hawa menceritakan kebingungannya tentang ke mana harus mengirim cerita yang cukup panjang ini, sepuluh halaman. Kami menyarankan untuk mengeditnya jadi lebih ringkas bila Hawa ngotot agar ceritanya bisa dimuat media massa. Namun, bila ia cukup puas dengan cerita yang selesai tidak diedit pun tidak apa-apa. Pada dasarnya ada perasaan senang abstrak yang hadir tiap kali sebuah karya sukses diselesaikan. Saya teringat pertanyaan Hawa sebelum membacakan cerpennya: “Judulnya ikut dibaca, nggak?”. Semua orang menghembuskan napas lega karena akhirnya cerpen gadis berjilbab itu terbukti jauh lebih penting ketimbang pertanyaannya.

Hawa (dalam lingkaran oranye)

Seperti usul Erick, latihan untuk minggu ini adalah menulis tentang rasa takut. Ketakutan bisa bersumber dari apa saja. Bisa karena peristiwa yang traumatis, sesuatu yang tak pernah dirasakan, sampai hal familiar yang diperbesar dengan skala gila-gilaan. Untuk yang terakhir, saya memberi contoh ratu monster tikus pada komik Bone yang cukup menjijikan. Saya membagi latihan ke dalam dua sesi. Pada sesi pertama, peserta diminta untuk mendeskripsikan apa sumber dari ketakutan tersebut. Selain deskripsi, kalau peserta merasa perlu, penjelasan mengapa hal itu bisa begitu menakutkan pun sebaiknya ditulis. Waktu yang diberikan kali ini hanya delapan menit. Sementara di sesi kedua tugas bagi masing-masing peserta berbeda, tergantung dari sumber ketakutan mereka. Apabila sumber ketakutan peserta lebih bersifat kebendaan, maka ia diharapkan menulis cerita tentang ketakutan itu dari sudut pandang orang ketiga. Namun kalau sumber ketakutan peserta adalah serangkaian peristiwa, maka ceritanya ditulis dengan sudut pandang orang pertama. Waktu yang diberikan untuk sesi ini adalah lima belas menit. Dapat diduga, itu tak cukup dan saya memberi tambahan sepuluh menit sebetulnya, tetapi demi menambah ketegangan saya mengatakan, “Tambahan waktu cuma lima menit!”

Dea membuka sesi pembacaan karya dengan cerita heboh tentang kepalanya yang tiba-tiba meletup jadi empat kali lebih besar. Dalam tulisannya Dea mengisahkan bagaimana si otak kebingungan dengan sinyal-sinyal yang diberikan alat pengindera tubuh. Cerpen ini berakhir tragis ketika si kepala copot dari lehernya dan menggelinding begitu saja. Alhasil Dea menjadi manusia tanpa kepala, di dalam dunia fiksi tentu saja. Dea mengaku cukup lepas ketika menulis cerita ini, sebagaimana kami juga tertawa lepas mendengar ceritanya.

Dea (dalam lingkaran biru)

David, yang seingat saya suka menulis cerita lucu dan eksplosif, ternyata kali ini menulis dengan tema yang agak serius. Pemuda yang belakangan jarang menulis ini bercerita tentang tokoh aku yang takut meninggalkan Tuhannya. Maju-mundur keputusan meninggalkan Tuhan mewarnai alur tulisan David. Komentar Dea tema ketuhanannya tak perlu dipertanyakan lagi, keren. “Apalagi meninggalkan Tuhan,” tambah saya.

Hawa menulis tentang ketakutan tokohnya terhadap kegelapan. Dalam kegelapan apapun bisa tampak seperti sesuatu yang lain. Seperti karakter cerita Hawa, yang menganggap bahwa kain motif polkadot adalah hantu. Bisa jadi setiap orang pernah mengalami rasa takut yang sama pada kegelapan.

Kemudian saya membacakan tulisan tentang ketakutan terhadap gereja. Saya menyalahkan majalah islami berhaluan ultra kanan yang dulu sering dibaca, bercanda. Berlatar di taman balai kota Bandung, Huda takut kepada bangunan Gereja Bethel yang terkesan seram. Akhirnya ia harus menghadapi rasa takutnya ketika bola yang dimainkannya bersama teman-teman tersepak sampai halaman depan gereja itu. Bagaimana kelanjutannya? Mudah-mudahan saya bisa membacakannya pada minggu depan.

Andika (dalam lingkaran merah)

Pertemuan the circle kali ini pun ditutup. David bercerita tentang The Golden Compass-nya yang belum terbaca satu halaman pun. Lalu Hawa mengisahkan Coralyn-nya Neil Gaiman yang menjadi inspirasinya dalam menulis cerita tadi. Saya merasa lebih culun dari biasanya karena menjadi penikmat fiksi fantasi terakhir yang belum terjamah Gaiman. Kecuali paling film Stardust, yang kata penggemar bukunya kurang nendang, dan Princess Mononoke yang adaptasi skenario Bahasa Inggrisnya dilakukan Gaiman. Mendengar cerita Hawa, saya balas merekomendasikannya Pan’s Labyrinth. Dea menimpali dengan cerita bahwa usahanya menonton seluruh film itu selalu digagalkan oleh DVD yang putus di tengah-tengah. Saya langsung memperingatkan bahwa film itu bertabur kekerasan dan Dea membatalkan niat menontonnya itu. Berhubung sedang membahas cerita tentang anak-anak, saya menyebut buku The Boy in the Stripped Pyjamas.

David pamit cepat terkait perjalanan jauh yang masih harus ditempuh ke rumahnya di Cadas Pangeran. Para gadis pulangnya searah, tetapi ternyata Hawa sudah akan dijemput seseorang. Sementara saya menunjukkan Hawa Dunia Adin, buku karya Dea yang sudah diterbitkan, penulisnya mengungkapkan kemarahannya pada operasional penerbit Mizan. Menjelang penghujung tulisan ini, kita semua tentunya berharap masalah Dea versus Mizan akan bermuara pada win-win solution. Maaf atas blabbing-blabbing yang memenuhi sekujur tulisan ini. Salam!

Andika Budiman

Foto David diambil dari album foto Friendster

3 komentar:

Anonim mengatakan...

rasanya jadi ingin ikut bergabung...

salam kenal :)

Nia Janiar mengatakan...

Oleh karena itu Ven, kalau ke Bandung, monggo mampir ke Reading Light. Hehe.

Hey Andika, kok kagak ada apdetan yak?

Anonim mengatakan...

RL nya kan minggu lalu stock opname, jadi writers' circle weekly meeting-nya ditiadakan.

Andika