Minggu, 26 Oktober 2008

Sikat Rasa Sakitmu!

Akhirnya bisa datang lagi ke Writers’ Circle. Setelah beberapa minggu absen karena libur lebaran dan ikutan 24 Hour Comic Day.

Pertemuan minggu ini (pada hari Sabtu) sebenarnya lumayan seru, walaupun agak telat mulai. Tadinya hanya saya, Mirna dan Andika yang menempati posisi. Lalu Niken meramaikan, dengan serabi bertatahkan telur. Tapi keburu diembat. Jadi langsung ke acara saja.

Andika membacakan empat cerpen beralur mosaik, yang bercerita tentang bagaimana teman-teman terdekat justru adalah orang-orang yang paling salah memahami karakter utamanya. Hmm... aren't we all? Tapi setiap orang pasti mengalaminya, sekecil apapun hal itu. Mirna memberikan banyak masukan dan memang pada intinya, cerpen ketiga dan keempat perlu diselesaikan, jangan langsung jadi. Tapi kalau menunggu jadi, berarti minggu depan baru bisa dibacakan, dan mood-nya pasti sudah menurun.

Kemudian Mirna membacakan pengenalan karakter yang baru ditulisnya. Tapi karena hanya ide mendadak, tidak ada kelanjutan dan rencana lebih jauh mengenai karakter itu. Menulis hanya karena ingin menulis, itu memang menyenangkan.

Saat waktu menunjuk pukul setengah enam, saya pikir minggu ini sudah tidak sempat untuk latihan lagi, karena biasanya menghabiskan waktu satu hingga satu setengah jam. Tapi kemudian Mirna mengusulkan untuk menulis tentang rasa sakit yang tidak terperikan.


Ide yang bagus, dan karena kita semua berjiwa masokis penulis, maka tantangan itu kami terima. Dalam waktu lima belas menit. Dan setelah waktu habis, inilah hasil yang didapat:

Mirna menulis tentang jemari yang keram, lalu merangkak menuju perut. Sakit bulanan menjelang datangnya sang bulan. Tidak tertahankan, apa lagi ketika olah raga sudah jarang dilakukan.

Badai Pasti Berlalu - Chrisye

Uli menulis tentang perjalanan ke kampus di Jatinangor. IPDN? Bukan, tapi UNPAD. Tidak selesai, karena ia bermaksud untuk membangun jalinan konflik yang rapi. Rencananya memang bagus, karena nantinya si tokoh akan bertemu preman, yang lalu menusuknya dengan pisau dibagian perut bawah. Tokoh utama jatuh dan termenung akan masa depannya yang tidak lagi bisa punya keturunan.

Cuts Like A Knife - Crushead

Saya sendiri menulis tentang serangan angin pendingin di toko swalayan:

Arin mengikuti kedua orang tuanya ke supermarket itu. Saat ia memasuki pintu geser otomatis, semburan angin dingin menyambutnya. Menerpa punggungnya. Arin masih terus berjalan. Pendingin di toko swalayan itu sangat baik. Hembusan tadi masih membekas di punggung. Perlahan, keringat mulai merembes dari pori-pori. Ia mulai merasa sesuatu yang tidak beres di perutnya. Tapi kakinya terus melangkah. Lalu angin kembali menerpa dari rak tempat pemajangan produk Daikin.

Langkah Arin terhenti. Perasaan aneh tadi berkembang, epritnya seperti dimasuki jari tengah, berenang kesana kemari, meregang dan mengendur di dalam usus besarnya. Keringat Arin semakin deras. Ia memegangi perutnya untuk meredam. Tidak berhasil. Ia mencoba untuk memanggil orang tuanya. Tidak ada suara yang bisa dikeluarkan. Satu langkah terasa begitu menusuk perutnya. Ngilu dan perih. Telapak tangannya basah. Wajahnya meringis. Pelintiran rasa sakit itu semakin kuat. Ususnya seperti keram dan kakinya tidak lagi kuat menganga.

Arin terduduk, memegangi perut, sementara angin pendingin ruangan semakin keras bertiup. Arin merayap pelan, kali ini matanya yang berair. Ia mulai mengerang. Jemarinya meremas perut demi menahan sakit yang tidak berkurang. Kakinya bersilang, mencoba menahan dorongan untuk buang air besar. Ia jatuh ke lantai, tertelungkup. Perlahan, dinginnya tegel marmer yang sudah berjam-jam disejukkan AC, merasuki perut Arin. Urat dahinya menegang, ia berteriak tanpa suara.

Crawling – Linkin Park

Lalu peserta baru minggu ini, Hawa, yang suka menulis cerita anak. Ia menulis tentang pengalaman nyata seorang teman, saat hendak mengangkat bongkahan beton penutup got. Lalu penutup got itu jatuh menimpa jemarinya. Darah berceceran, tulang pun terlihat.

Mirna berujar bahwa ini lebih terkesan sadis daripada ke rasa sakit itu sendiri. Tapi Uli berkomentar bahwa kesan satu-dua detik pertama setelah kejadian itu, karakter belum merasa sakit, adalah hal yang sangat realistis. Mau dicoba dengan stopwatch?

I feel it in my finger, I feel it in my toe ...” Love is All Around – Wet wet wet

Ferdi menulis tentang keripik singkong pedas yang efeknya buruk sekali pada pencernaan, dan minum bergelas-gelas air juga tidak membantu.

It's The End of The World as We Know It - REM

Andika menuliskan mengenai tragedi usus besar di toilet. Selengkapnya:

Ketika bangun dari tidur, badanku bersimbah keringat. Kuraba bagian sekitar pusar, terasa keras dan tegang. Perutku mulas luar biasa. Aku pun keluar kamar dan menuju kamar mandi komunal antara kamarku dan kamar kakakku. Bisa ditebak, kakak sudah ada di dalamnya terlebih dahulu. Aku terlunta tanpa sarana . Pintu kegedar-gedor cepat. Kakakku beralasan banyak, namun ia segera membuka pintu kamar mandi. Aku pun masuk. Di dalam perutku sakit seperti ada jarum-jarum kecil yang menusuki dinding saluran pelepasanku. Menyesal karena tidak suka makan sayur sudah begitu terlambat. Aku berkonsentrasi mengeluarkan ini. Tak lama aku sadar bahwa tahi ini bukan tahi biasa. Ia sangat konsentrat. Apabila aku mengeluarkannya dengan buru-buru maka pinggiran anusku akan terluka. Dan pinggiran anus yang terluka akan menimbulkan wazir yang luar biasa. Padahal baru kemarin aku sembuh dari wazir semacam itu. Air mataku mengalir di pipi. Aku berusaha mengeluarkan tahiku sedikit-sedikit. Ujung-ujung anus kutahan dengan tangan agar membuka dengan sewajarnya. Kini pantatku seperti ditusuk-tusuk jarum. Aku mengerang pilu. Kuteringat novel Chuck Palahniuk di mana anus salah satu tokoh terburai karena bermain-main dengan lubang di kolam renang. Aku bergidik. Rasa sakit ini telah menjalar ke pergelangan kakiku. Entah bagaimana bisa. Sakitnya makin terasa. Aku menyemprotkan air ke sekitar anus, berusaha melunakkan tahi kering yang menyumbat anusku. Rasanya seperti dicoblos-coblos coblosan surat suara yang tumpul. Aku pun menyumpalkan handuk ke mulut agar rintihanku tidak terdengar sampai ke luar. Aah ... aaah ... aaaah ....

King of Pain – The Police

Demikian jurnal minggu ini saya tulis dengan sebenar-benarnya dan sesubjektif-subjektifnya.

Written, Illustrated, and Scored by Erick S.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Gambarnya kok vulgar banget ya? :D

Andika

Nia Janiar mengatakan...

Hahahah, ceritanya Andika menjijikaan.