Pada Sabtu terakhir sebelum puasa ini, cuaca Bandung tidak karuan. Hujan besar melanda, menyebabkan macet di mana-mana. Terlebih lagi dengan gerombolan demi gerombolan warga Jakarta yang berbondong-bondong datang untuk liburan. Membuat kota tersayang ini semakin sesak saja.
Di Reading Lights tetapi, suasana nyaman seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tempat ini adalah sebuah gelembung yang tak terpecahkan oleh keriuhan di luaran. Atmosfer yang sempurna untuk diskusi grup kecil kami.
Peserta-peserta yang datang pada hari ini adalah Ina, Neni, Erick, Andika, Ferdy, Indra, Farida, Anas, Wahyu, Uli, dan seorang pendatang baru yang tidak sekadar datang dari Jakarta, tetapi jauh dari negeri seberang: Singapura! Namanya Stephanie. Entah dari mana dia mendengar tentang aktivitas kami di sini, tetapi ada kehormatan tertentu yang kami rasakan karena kehadirannya. Bahasa Indonesia Stephanie masih kurang lancar, menulis pun dia masih menggunakan Bahasa Inggris, sehingga kami semua berusaha berperan menjadi tuan rumah yang baik dan menuntunnya sepanjang sesi. Walaupun begitu, dia terlihat seperti penulis yang bagus, dengan gaya yang banyak terpengaruh oleh penulis-penulis fiksi Barat.
Program kami pada hari ini adalah menulis sebuah cerita berdasarkan barang-barang tertentu yang telah dipilih sebelumnya. Barang-barang itu adalah cincin, jam tangan, handphone, asbak, dan semacam mainan origami.
For an added twist, penulis hanya boleh menggunakan salah satu inderanya sebagai alat deskripsi. Ini berfungsi untuk mengembangkan sekaligus mempertajam insting kami. Triknya adalah memilih barang yang berkesan bagi kami dan membiarkan cerita mengalir dengan sendirinya dari objek tersebut. Dengan begitu karakter sang penulis akan keluar dengan sendirinya, menyambut objek.
Oleh karena itu, kebanyakan cerita yang muncul adalah semacam narasi/deskripsi di mana objek-objek tadi muncul dalam cerita sebagai simbol atau penanda dari ide yang ingin dikemukakan oleh penulis.
Contohnya cerita Stephanie, di mana sebuah adegan yang melibatkan jam tangan menjadi latar dari sebuah hubungan antar kekasih. Atau cerita Anas, di mana asbak menjadi pemicu memori mengenai kekerasan rumah tangga yang pernah dialami tokohnya.
Namun, dari semua cerita berjenis ini, yang banyak mendapat tanggapan adalah cerita Ferdy. Dengan handphone sebagai objeknya, ia terjun ke dalam cerita mengenai seorang lelaki dan tunangannya. Cerita yang dibanjiri deskripsi apik ini, sebagian besar dibuat unik oleh suara tulisan Ferdy yang berkarakter. Deskripsi tersebut mampu menyedot perhatian kami, sekaligus membantu cerita tersebut deras mengalir.
Akan tetapi, Man of the Day (kalau ini memang istilah yang tepat) untuk pertemuan kali ini adalah Wahyu. Dia menunjukkan dengan pintar apa yang bisa dilakukan seorang penulis andaikan dia berani berpikir sedikit out of the box. Kudos buat Wahyu, karena telah memberikan inspirasi kepada sebagian besar dari kami.
Cerita Wahyu pada dasarnya adalah sebuah komedi mengenai seseorang lelaki yang, oleh karena kecelakaan, hampir kehilangan semua kemampuan panca inderanya kecuali satu: lidah.
Oleh karena itu, cerita Wahyu ini memaparkan tokoh tersebut tengah menjilati semua objek-objek yang ditentukan (asbak, jam tangan, handphone), dan mendeskripsikan rasa mereka satu persatu dengan gaya yang tidak hanya lucu, tetapi juga cerdas. Dan itu penting dalam komedi. Selesai cerita dibacakan, teman-teman peserta yang lain otomatis tertawa sembari bertepuk tangan memuji cerita yang begitu tepat sasaran.
Kurang lebih, begitulah rangkaian kejadian pada petemuan Reading Lights Writers’ Circle hari ini. Dua jam yang tidak terbuang percuma bagi kami, bakal-bakal penulis ini. Semoga pertemuan yang kondusif ini bisa terus berlanjut. Sementara waktu, kami mengenakan jaket dan baju hujan kami, menatap hujan di luar dengan wajah was-was. Dengan berat hati kami keluar dari gelembung ini: berangkat, dan menyebar. Menuju huru-hara yang menunggu kami di luaran sana.
Di Reading Lights tetapi, suasana nyaman seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tempat ini adalah sebuah gelembung yang tak terpecahkan oleh keriuhan di luaran. Atmosfer yang sempurna untuk diskusi grup kecil kami.
Grup kecil sedang pura-pura berdiskusi
Peserta-peserta yang datang pada hari ini adalah Ina, Neni, Erick, Andika, Ferdy, Indra, Farida, Anas, Wahyu, Uli, dan seorang pendatang baru yang tidak sekadar datang dari Jakarta, tetapi jauh dari negeri seberang: Singapura! Namanya Stephanie. Entah dari mana dia mendengar tentang aktivitas kami di sini, tetapi ada kehormatan tertentu yang kami rasakan karena kehadirannya. Bahasa Indonesia Stephanie masih kurang lancar, menulis pun dia masih menggunakan Bahasa Inggris, sehingga kami semua berusaha berperan menjadi tuan rumah yang baik dan menuntunnya sepanjang sesi. Walaupun begitu, dia terlihat seperti penulis yang bagus, dengan gaya yang banyak terpengaruh oleh penulis-penulis fiksi Barat.
Program kami pada hari ini adalah menulis sebuah cerita berdasarkan barang-barang tertentu yang telah dipilih sebelumnya. Barang-barang itu adalah cincin, jam tangan, handphone, asbak, dan semacam mainan origami.
For an added twist, penulis hanya boleh menggunakan salah satu inderanya sebagai alat deskripsi. Ini berfungsi untuk mengembangkan sekaligus mempertajam insting kami. Triknya adalah memilih barang yang berkesan bagi kami dan membiarkan cerita mengalir dengan sendirinya dari objek tersebut. Dengan begitu karakter sang penulis akan keluar dengan sendirinya, menyambut objek.
Oleh karena itu, kebanyakan cerita yang muncul adalah semacam narasi/deskripsi di mana objek-objek tadi muncul dalam cerita sebagai simbol atau penanda dari ide yang ingin dikemukakan oleh penulis.
Contohnya cerita Stephanie, di mana sebuah adegan yang melibatkan jam tangan menjadi latar dari sebuah hubungan antar kekasih. Atau cerita Anas, di mana asbak menjadi pemicu memori mengenai kekerasan rumah tangga yang pernah dialami tokohnya.
Namun, dari semua cerita berjenis ini, yang banyak mendapat tanggapan adalah cerita Ferdy. Dengan handphone sebagai objeknya, ia terjun ke dalam cerita mengenai seorang lelaki dan tunangannya. Cerita yang dibanjiri deskripsi apik ini, sebagian besar dibuat unik oleh suara tulisan Ferdy yang berkarakter. Deskripsi tersebut mampu menyedot perhatian kami, sekaligus membantu cerita tersebut deras mengalir.
Akan tetapi, Man of the Day (kalau ini memang istilah yang tepat) untuk pertemuan kali ini adalah Wahyu. Dia menunjukkan dengan pintar apa yang bisa dilakukan seorang penulis andaikan dia berani berpikir sedikit out of the box. Kudos buat Wahyu, karena telah memberikan inspirasi kepada sebagian besar dari kami.
Sosok epik Wahyu seakan baru keluar dari lukisan
Cerita Wahyu pada dasarnya adalah sebuah komedi mengenai seseorang lelaki yang, oleh karena kecelakaan, hampir kehilangan semua kemampuan panca inderanya kecuali satu: lidah.
Oleh karena itu, cerita Wahyu ini memaparkan tokoh tersebut tengah menjilati semua objek-objek yang ditentukan (asbak, jam tangan, handphone), dan mendeskripsikan rasa mereka satu persatu dengan gaya yang tidak hanya lucu, tetapi juga cerdas. Dan itu penting dalam komedi. Selesai cerita dibacakan, teman-teman peserta yang lain otomatis tertawa sembari bertepuk tangan memuji cerita yang begitu tepat sasaran.
Kurang lebih, begitulah rangkaian kejadian pada petemuan Reading Lights Writers’ Circle hari ini. Dua jam yang tidak terbuang percuma bagi kami, bakal-bakal penulis ini. Semoga pertemuan yang kondusif ini bisa terus berlanjut. Sementara waktu, kami mengenakan jaket dan baju hujan kami, menatap hujan di luar dengan wajah was-was. Dengan berat hati kami keluar dari gelembung ini: berangkat, dan menyebar. Menuju huru-hara yang menunggu kami di luaran sana.
Ali Singatuhan
Ali Singatuhan adalah sebuah pseudonim salah satu peserta Reading Lights Writers’ Circle. Ia misterius. Dari pseudonimnya terkesan bahwa orang ini menyukai spiritualisme islam. Paling tidak ia tahu bahwa Singa Tuhan adalah sebutan penyair Jalaluddin Rumi bagi Imam Ali, atau tidak? Atau peserta ini kebetulan suka puisi-puisi Rumi, atau kebetulan mempelajari Imam Ali, atau kebetulan saja membaca frase Ali Singa Tuhan di suatu tempat, atau tidak? Entah apa cerita di balik pseudonim ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar