Hari ini Sabtu, 20 September 2008. Saya ingat betul terakhir kali datang ke Reading Lights mengikuti kegiatan writers' circle adalah pada 12 Juli 2008. Artinya sudah dua bulan lebih saya tidak bergabung dengan komunitas menulis kreatif paling keren di Bandung ini. Tidak sabar rasanya ingin cepat-cepat bertemu mereka lagi.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya saya bertemu dengan Andika yang baru selesai salat dan ternyata sudah datang lebih awal. Beberapa menit kemudian, datang pula Nia. Cukup lama kami bertiga bercengkerama, masih belum ada tanda-tanda kemunculan anggota yang lain. Hingga terbersit sebuah ide untuk membatalkan acara rutin dan bermain scrabble saja. Di detik-detik terakhir sebelum memulai permainan scrabble, datanglah dua orang lelaki yang belum kami kenal dan berniat untuk bergabung. Dengan senang hati kami menerimanya, dan tidak jadi bermain scrabble. Kami pun segera menuju ruang baca.
Karena Erick berhalangan hadir, Andika mengambil alih tugasnya sebagai fasilitator. Ia sudah menyiapkan materi pelatihan yang diambil dari buku Write Where You Are: How to Use Writing to Make Sense of Your Life. Namun, sebelumnya Andika meminta dua orang yang terakhir datang untuk memperkenalkan diri. Mereka pun memperkenalkan diri sebagai Angga dan Wendi.
Princes of Monaco: Carolangga & Stephwendi
Lalu, Andika menyampaikan tema hari ini, yaitu makanan. Mendengar tema itu, jujur saja yang pertama kali terlintas di pikiran saya adalah membuat tulisan yang membahas tentang makanan seperti yang selalu dilakukan oleh Bondan Winarno. Tetapi, setelah Andika meminta Nia untuk membacakan salah satu cerpen karya Djenar Maesa Ayu yang berjudul Nachos, sedikit-sedikit saya mulai mengerti. Kami diminta menulis cerita di mana sebuah makanan dapat menimbulkan fantasi tentang seseorang atau sesuatu.
Setelah sempat datang dua orang lagi, yakni Farida dan Indra, kami pun diberi waktu 30 menit untuk menulis. Sementara waktu, suasana terasa hening. Masing-masing sibuk dengan tulisannya, sampai akhirnya bunyi alarm ponsel milik Andika memecah suasana. Karena ada beberapa yang belum menyelesaikan tulisannya, maka tenggat pun diperpanjang hingga dua kali lima menit.
Saya diberi kesempatan pertama kali membacakan tulisan. Saya bercerita tentang sate padang yang membawa saya ke dalam perenungan, mengapa saya makan Masakan Padang, bukannya masakan dari daerah lain. Meskipun, Masakan Padang bukanlah menu favorit saya.
Andika dan Farida berkomentar bahwa tulisan saya kurang emosional dan lebih mirip sebuah esei daripada fiksi. Entah, mungkin karena saya lebih banyak memasukkan data sejarah ke dalam tulisan saya, atau mungkin juga karena saya memang kurang suka gaya tulisan monolog seperti cerpen Nachos tadi. Ya … syabaslah.
Berikutnya, berturut-turut Nia, Wendi, Angga, Indra, dan Andika membacakan cerita yang sejenis. Mereka bercerita tentang seseorang atau sesuatu, kemudian mengibaratkannya dengan makanan tertentu. Nia menulis fiksi tentang seorang ibu yang seperti cheese cake, lebih enak diperlakukan dingin daripada hangat-hangat; dan seorang bapak yang seperti Teriyaki Mongolian Lamb, yang eksklusif dan melindungi dari rasa lapar.
The lovely and talented Ms. Nia & Indra pre-taxman period
Wendi menceritakan personifikasi dari sepasukan siomay hangat yang bertempur melawan rasa lapar. Angga mendefinisikan sate padang dengan bahasa percakapan yang ringan. Sempat muncul diskusi menarik yang dipicu oleh pertanyaan Indra, "Bagaimana sebaiknya menggunakan bahasa percakapan?" Menurut pengakuan lelaki berambut sangat keriting itu, ia tak pernah bisa menulis dengan bahasa percakapan. Indra mencontohkan dirinya yang berhenti menulis ketika sampai pada sebuah momen di mana karakternya kepingin kencing, tapi tidak tahu bagaimana menulisnya dengan bahasa percakapan yang elegan. Kebingungan Indra selesai, untuk sementara, setelah saya menjawab bahwa sudut pandang sangat berpengaruh kepada bahasa yang digunakan. Biasanya sudut pandang orang pertama akan cocok dengan bahasa percakapan, sedangkan bahasa baku lebih pas bilamana digunakan dalam sudut pandang orang ketiga.Text-Book Editor turned Taxman: Indra yang semakin bawel saja
Berlanjut ke sesi pembacaan, t-bone steak tebal dijadikan Indra sebagai perlambangan kemapanan bagi seorang tax accountant. Namun, yang benar-benar menarik perhatian saya adalah cerita milik Andika. Ia membandingkan SF, atau lebih dikenal dengan F, sosok seorang istri editor dengan makanan. Andika mengibaratkan sosok F tersebut sebagai nasi goreng bumbu instan yang terbuat dari nasi putih lembek. F, yang pernah menjadi fasilitator salah satu komunitas menulis di Bandung, diumpamakan seperti itu karena memberi kritik sebuah tulisan dari hasil akhirnya saja, tanpa memperhatikan latar belakang dan proses kreatif penulisan. Ibaratnya nasi goreng yang hanya menarik tampak luarnya saja, tapi tidak enak ketika dimakan.
Tulisan Andika tersebut terasa sangat emosional, karena dibangun berdasarkan kisah nyata yang meninggalkan kesan sangat mendalam bagi yang pernah mengalaminya. Kini saya mengerti kritiknya tentang tulisan saya yang tadi dibilang kurang emosional.
Sesi pembacaan tulisan harus terputus oleh adzan maghrib dan lebih dulu memberikan kesempatan teman-teman muslim kami berbuka puasa. Sayang sekali setelah buka puasa, Farida harus bergegas pulang sehingga tidak sempat membacakan tulisannya. Padahal, sebuah kesempatan yang baik bagi kami menyimak karya dari seorang penerima KLA. Apa boleh buat.
Setelah cerpen Pisang Molen karya Erick dibacakan, setelah saya dan Indra menceritakan pengalaman hidup di Jakarta selama beberapa saat, akhirnya Andika menutup pertemuan hari ini. Saya rasa, diskusi hari ini berjalan lancar, dan banyak masukan-masukan berharga yang saya terima. Pertemuan berikutnya akan dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober karena libur panjang hari raya Idul Fitri. Huuh ....
M. Fadil
Fadil adalah satu-satunya peserta the circle yang mampu untuk membuat makrame dan gaun pengantin. Ia juga pemain scrabble yang piawai. Buku favoritnya adalah Mystic River karangan Dennis Lehane. Frase favoritnya adalah berserobok pandang. Penyanyi favoritnya tentu saja Sherina Munaf. Karena Fadil semakin jarang berkunjung ke Reading Lights akibat kesibukannya di Jakarta, setiap kehadirannya selalu dinantikan oleh peserta the circle yang lainnya.
4 komentar:
Aduh itu rambut ha ha ha ha
Hahaha...Iya nih Fadhil, kok jadi mengingatkan saya pada Selly Marcellina di tahun 90-an, hehe...Peace...=)
hohohohohoh!huahahahahahahahahaaha!
ya ampun kangen kalian :">
Untuk komentator paling atas :
"Sirik tanda tak punya"
:D
Posting Komentar