Jumat, 23 Juli 2010

Kepada Yth: Writer's Block, di Tempat

Undangannya cukup menarik, pikir saya. Tertulis writer's circle akan menulis surat perpisahan untuk "sesuatu" bernama writer's block. Wah, kebetulan saya sedang mengalaminya. Oleh karenanya, datanglah saya ke writer's circle sore itu.

Ketika datang, saya melihat Andika menalikan sepatu. "Ada yang udah datang?" tanya saya. "Ada, Sapta lagi di ruang belakang, lagi merokok." Tidak langsung ke ruang belakang, saya dan Andika pergi ke ruang depan untuk menunggu teman lainnya. Beberapa lama kemudian datanglah Rizal yang konon katanya baru cross-country. "Lho, kirain enggak akan datang?" tanya saya. "Perginya cuma di utara Jawa Barat saja, tapi ini agak teler," ujarnya. Lalu tibalah Hakmer dengan wajah bangun tidurnya. Begitu mengetahui Sapta ada di ruang belakang dan sedang merokok, ia pun bersingut ke sana.

Akhirnya kami pakai ruang belakang. Ada saya, Andika, Rizal, Hakmer, dan Sapta. Rupanya ada yang mengintai kami diam-diam yang ternyata memang niat ikut writer's circle. Namanya Dikdik. Laki-laki. Angkatan 2006. Kuliah di sekitaran kebun binatang. Genaplah kami berenam memulai kegiatan.

Ternyata hampir semua peserta writer's circle pernah mengalami writer's block. Writer's block adalah keadaan dimana penulis tidak bisa menulis padahal alat tulis sudah ada dan padahal penulis ingin menulis, biasanya disebabkan oleh faktor teknis seperti plot yang belum matang sehingga kesulitan dalam mengeksekusinya atau faktor psikologis). Nah, tugas writer's circle adalah membuat surat perpisahan kepadanya.

Suratnya bermacam-macam karena pengalaman namun terasa sama:

Dika menuliskan dengan puitis tentang sudah satu tahun ia sudah tidak nulis (sekalinya nulis pun tentang orang-orang yang meninggalkan) dan di sana ia mulai akrab dan terbangun perasaan hangat dengan writer's block. Namun perasaan hangat berubah jadi dingin dan memutuskan untuk berpisah jua karena writer's block adalah pagar penghalang ke dunia imajinasi.

Sementara Sapta menggunakan banyak analogi. Diawali dengan keadaan dimana tokoh berada di dalam suasana temaram. Analogi pernikahan dan writer's block sebagai cinta masuk ke dalam cerita. Tulisan ditutup dengan aksi pembunuhan terhadap writer's block.

Dikdik, yang biasa menulis puisi dan hampir selalu mengutip karya Seno Gumira Ajidarma dalam percakapannya, menulis dengan komposisi yang baik (menurut Hakmer) berupa keluhan dengan diri sendiri dimana writer's block dianggap terlalu menggurui dengan teori-teori menulis dan dihubungkan dengan Siddhartha Gautama yang mendapat pencerahan dengan sendirinya tanpa membaca.

Hubungannya dengan writer's block dianalogikan sebagai hubungan tanpa status ala SMA oleh Hakmer. Writer's block begitu setia pada ide yang terus mereplikasi dan mereplikasi. "Mengapa cinta SMA?" tanya saya. Ia bilang bahwa cinta SMA bukanlah cinta yang membangun. Dalam cinta SMA hanya ada kebuntuan, depresi dan depresi. Ya, setidaknya itu bagi Hakmer.

Karya saya hampir sama seperti yang lain, namun karya saya dikritik terlalu cepat menuliskan akhir cerita sehingga pemotongannya dirasa tergesa-gesa. Malah cerita saya dibilang seperti berita atau infotainment. Entah konten atau mungkin pembacaan yang membawa kesan seperti ini. Sapta mengusulkan bahwa di lain kesempatan, kata kita akan dibacakan oleh orang lain.

Selanjutnya, Rizal, menganalogikan writer's block sebagai tembok Berlin yang memisahkan warna dunia, datang tanpa diundang, hadirnya membuat statis diam, dan membuat seperti selokan yang membuntu. Tokoh perlu melakukan sesuatu untuk membuang sumbat selokan sehingga ia mengalir dan meluruh.

Dalam karyanya Rizal, ada beberapa pengulangan kata yang berfungsi sebagai penekanan. Tapi harus berhati-hati jika digunakan terlalu sering, kesan yang ditangkap akan membosankan. Dan menurut peserta lain, biasanya Rizal anti terhadap hal-hal yang terlalu umum. Namun tulisan Rizal kali ini terasa dekat dengan lingkungan. Sepertinya Sapta yang berkomentar begitu.

Dani, yang enggan berdekatan perihal rokok, menjadi karya penutup kali ini. Bercerita tentang tokoh pejuang kebebasan yang biasa berbicara di depan umum untuk menyuarakan kepentingan orang lain, harus meringkuk di penjara. Tokoh digambarkan sebagai seseorang yang tidak biasa nulis tapi pada kondisi ini ia harus menulis sesuatu. Proses penulisan berhenti ketika matahari tenggelam. "Writer's block-nya ketika matahari tenggelam ya?" tanya Sapta. Entah mengkonfirmasi atau tidak pertanyaan Sapta, saya lupa Dani menanggapi apa.

Sebetulnya proses menulisnya sebentar. Namun yang membuat lama pertemuan Sabtu itu adalah terjadi diskusi mengenai rasa dan gaya penulisan. Setelah membandingkan karya-karya penulis ternama, writer's circle mencoba menganalogikan dengan karya musisi-musisi ternama. Mungkin, menurut saya, kami agak terjebak dalam debat kusir. Artinya mungkin kami menduga-duga berdasarkan pendapat. Sepertinya kami membutuhkan orang yang lebih objektif dan lebih tahu dalam bidang kepenulisan untuk membagi ilmunya. Ada yang berminat?





Nia Janiar. Sedang tertarik pada menggambar, membaca, dan menulis puisi. Silahkan berkunjung ke blog-nya: http://mynameisnia.com

Tidak ada komentar: