Directed by Spike Lee.
Pekan ini adalah debut saya dalam menjadi pengurus movie week. Awalnya saya ingin menampilkan film Malcolm X karya Spike Lee. Sayangnya, durasinya kepanjangan 3 jam 15 menit!
Atas rekomendasi Andika, saya meminjam film Spike Lee lainnya, Jungle Fever. Melihat covernya saja saya sudah menyangka kalau filmnya adalah tentang perbedaan. Film dengan poster tangan kulit hitam dan tangan kulit putih yang terjalin itu bercerita tentang hubungan perselingkuhan beda ras.
Sekedar info saja, Spike Lee dikenal akan film-filmnya yang mengangkat isu perbedaan ras, terutama marjinalisasi kaum Afrika-Amerika di Amerika. Terkadang, ia seakan sangat pro dengan kulit hitam sehingga filmnya terkesan menggurui. Tapi wajar saja. Toh, dia kan membela kaumnya.
Jungle Fever bercerita tentang Flipper Purify (diperankan dengan baik oleh Wesley Snipes), seorang arsitek kulit hitam yang memiliki keluarga kecil bahagia. Namun keadaan itu terasa kurang, saat datang sekretaris keturunan Italia di kantornya, Angie Tucci (Annabella Sciorra). Benci berubah menjadi cinta. Dan, saat lembur di kantor menjadi awal pertautan nafsu keduanya. Flipper sendiri tak tahu pasti mengapa ia selingkuh dengan Angie. Mungkin saya penasaran dengan orang kulit putih?
Tak lama, gosip mengenai perselingkuhan mereka pun menyebar. Flipper diusir dari rumahnya. Sementara, Angie diusir ayahnya dari rumah. Tinggalah mereka di apartemen baru yang hanya terisi oleh kasur saja.
Flipper dan Angie mulai mempertanyakan kebersamaan mereka di kasur itu. Berbagai kejadian datang mempengaruhi mereka. Dengan isu rasial yang belum terlepas dari dunia yang modern itu, Flipper memutuskan hubungan perselingkuhannya. Kisah happily ever after film-film Walt Disney tidak mereka temukan di dunia nyata.
“ ... cause you were curious about black ... And I was curious about white,” ujar Flipper kepada Anggie yang hanya bisa termangu.
Perselingkuhan sudah dilepaskan, namun kehidupan yang lama tak mungkin diraih kembali. Flipper memiliki hubungan yang aneh dengan istrinya. Dan, Angie kembali ke rumah, tak jelas kehidupannya berlabuh kemana.
Kalau dilihat secara sederhana, Jungle Fever adalah versi lain dari Romeo and Juliet. Di pihak Romeo, ia adalah orang kulit hitam yang sudah berkeluarga. Tanpa disadari keluarga Romeo memiliki pandangan rasial terhadap orang kulit putih. Dan Julietnya adalah dari keluarga Italia yang rasis juga.
Unsur keluarga sangat kental dalam film ini. Banyak anak cerita yang muncul dari anggota keluarga mereka. Misalnya, tentang keimanan, masalah kecanduan narkotika, dan kekerasan. Banyaknya topik yang diangkat menjadikan film ini berdimensi luas.
Spike Lee, yang ikut berperan sebagai sahabat Flipper, rajin menyelipkan musik latar dalam setiap adegannya. Lagu Steve Wonder yang up beat terasa kontras dengan adegannya yang suram. Untuk menonton film ini, kita harus bersiap untuk melihat adegan dialog yang panjang namun berisi. Dan yang sedikit membuat risih, Jungle Fever berisi adegan percintaan eksplisit.
Di akhir film, Spike Lee memberikan adegan yang mengambang. Ini bukan berarti jelek, namun Spike Lee membebaskan masing-masing penonton untuk mengintrepertasikan film ini.
Mendefinisikan kualitas Jungle Fever cukup sulit. Anda bisa sangat menyukai, atau menganggapnya sangat membosankan. Setidaknya, hal itu yang terjadi pada penonton dalam acara nonton Sabtu kemarin.
Dengan segala permasalahan dan percintaan yang mewarnai Jungle Fever, 7 dari 10 orang yang hadir dalam acara nonton ini menyukai film ini. Mas Tobing dari My Cinema mengapresiasi cara Spike Lee mengisahkan masalah perbedaan. Ada pula yang merasa tidak menemukan serunya film ini dari awal hingga akhir film, alias nggak rame sama sekali.
Kita, sebagai orang Indonesia mungkin merasa dekat dengan film ini. Ternyata, melaksanakan Bhinneka Tunggal Ika tak semudah itu. Dalam masyarakat yang majemuk tak jarang ada prasangka atau ketegangan diantara masing-masing kelompok. Setidaknya, lewat film ini kita dapat menguraikan simpul-simpul keruwetan itu.
Jungle Fever berhasil mengangkat kegelisahan, prasangka, dan kebencian yang timbul akibat rasialisme. Film ini menyadarkan kita, sikap rasis masih menjangkiti masyarakat, yang katanya sudah maju.
Ternyata, metropolitan adalah belantara baru!
PS: Bersiap-siap untuk mabuk oleh film romansa di Movie Week bulan depan!
Yuliasri Perdani
Yuliasri, atau bisa dipanggil Uli, adalah seorang pecinta film sejati. Uli, yang memiliki pengetahuan tentang film cukup baik, pernah menjadi cameo di film karyanya bersama teman-temannya. Pengetahuannya dalam membuat film dan menulis skenario membuatnya dipercaya sebagai pengurus movie week di Reading Lights Writer's Circle yang diadakan satu bulan sekali.
Yuliasri, atau bisa dipanggil Uli, adalah seorang pecinta film sejati. Uli, yang memiliki pengetahuan tentang film cukup baik, pernah menjadi cameo di film karyanya bersama teman-temannya. Pengetahuannya dalam membuat film dan menulis skenario membuatnya dipercaya sebagai pengurus movie week di Reading Lights Writer's Circle yang diadakan satu bulan sekali.
3 komentar:
Pas merekomendasikannya gw lupa ada adegan seks-nya, Li. Agak kaget juga pas ngeliat adegan pembuka film ini.
Ya lain kali lo rekomendasikan kehidupan pesantren lah, biar gak ada adegan seks.
Hehehe.
Posting Komentar