Hari Sabtu kemarin, setelah beberapa lama hiatus dari kegiatan Reading Lights Writers' Circle, akhirnya saya datang lagi. Sebetulnya seharusnya saya memang harus lebih sering lagi ke Reading Lights Bookshop and Coffee Corner, mengingat inilah satu-satunya tempat yang bisa memaksa saya, si penulis penderita writer’s block menahun ini, untuk menulis lagi. Hehe.
Rak benang sekaligus sekat ruangan Reading Lights, hari ini ada satu benang yang absen ...
Dan ternyata, keputusan saya untuk datang hari itu tidak salah. Di dekat pintu masuk, saya bertemu dengan Andika dan Nia, yang langsung bilang, “Aaaah, untung kamu datang! Kita cuma berdua!”. Saya cuma cengengesan. Tiba-tiba teringat keluhan seorang anggota writers' circle tentang sepinya beberapa sesi pertemuan writers' circle (sempat cuma dua orang di minggu-minggu tertentu). Pertama kali mendengarnya, saya berpikir itu mungkin karena kesibukan masing-masing anggota. Rasa sedih sempat terlintas. Walaupun saya juga jarang datang, tapi saya tidak mau lingkaran ini bubar. Saya tidak tahu lagi lingkaran lain yang bisa menjadi ajang berbagi tulisan, saling mengembangkan diri, dan (sekali lagi) bisa memaksa saya untuk menulis lagi. Jadi intinya nggak rela, nggak rela. Sebelum ini, saya sempat terlibat curhat-curhat dengan Nia, dan sebenarnya waktu itu pernah bilang mau mencoba sering datang dan mencoba mengSMS anak-anak untuk datang (dan karena kesibukan, saya sering gagal datang dan lupa mengSMS. Maaf Nia, bener-bener ngerasa bersalah T_T).
Anyway, beberapa saat setelah saya datang, saya, Nia, dan Andika mulai duduk di meja lingkar dan memulai sesi hari ini. Pembahasan hari itu adalah tentang resensi. Andika membacakan beberapa aturan resensi yang ia ambil dari salah satu edisi majalah Writer’s Digest, di antaranya bahwa kita diharapkan untuk tidak memakai sudut pandang orang pertama dalam meresensi (kecuali kita orang terkenal), jangan memberikan spoiler tentang buku/film yang kita resensi, meresensi sesuatu yang kita sukai, jangan menjadi keji, dan beberapa teknik yang bisa dipakai untuk menambah bobot resensi, seperti memasukkan kutipan buku, dll.
Setelah membacakan tata cara meresensi tersebut, Andika juga membawa contoh-contoh resensi. Ia membawa dua contoh; keduanya mengulas buku yang sama, yaitu 9 Matahari karya Adenita, namun dengan gaya yang berbeda. Yang pertama dibacakan adalah resensi Anwar Holid. Anwar Holid tampak memiliki impresi yang mendalam terhadap buku 9 Matahari. Ia menyebut buku ini “mengingatkan kita pada masa kuliah…” dan “membuat saya terharu” dengan perjuangan si tokoh yang mati-matian berusaha mengumpulkan dana untuk kuliahnya. Resensi yang positif. Sementara contoh resensi kedua adalah resensi dari Dea, salah satu anggota RL writers' circle juga yang saya kenal sebagai penulis dengan gaya-gaya tidak konvensional. Benar saja, Dea membuka resensinya dengan percakapan buku-buku di toko buku tentang kedatangan teman baru, yakni buku 9 Matahari. Mengalirlah resensinya. Dea merasa membaca 9 Matahari agak melelahkan, merasa bahwa si tokoh utama terlalu self-centered dan tokoh lain kurang mendapat pengembangan/porsi yang sesuai. Dea tidak menyinggung perasaan terharu seperti yang diungkap Mas Anwar.
Selesai menyimak kedua resensi itu, kami mencoba mengulasnya. Kami sempat menyorot tentang perbedaan latar belakang kedua penulisnya, yang membuat impresi mereka terhadap sebuah buku menjadi berbeda. Jadi, kami menyimpulkan, bagaimanapun objektifnya, sebuah resensi memang pasti subjektif.
Farida, Andika, Nia, Cheesy Toast, Ice Chocolate, dan Cappucino Float
Selanjutnya adalah sesi latihan menulis. Saya pikir saya akan harus menulis sebuah resensi 'serius'. Tapi ternyata Andika mengumumkan bahwa jenis penulisan resensi kali ini adalah informal, seperti membicarakan sesuatu yang kita anggap menarik kepada sahabat. Saya menarik napas lega. 30 menit diberikan untuk menulis resensi tersebut, kecuali untuk Andika. Ternyata Andika sudah menulis duluan resensinya. Saya dan Nia mulai ribut. Dika, Dika :p
Tibalah saat pembacaan hasil penulisan. Andika menulis tentang buku Norwegian Wood karya Haruki Murakami, yang ternyata ia baca demi bisa mengobrol dengan seorang teman yang menyukai penulis buku itu. Pembukaan resensinya dibuka dengan curahan hatinya mengenai hubungannya dengan temannya ini *uhuk*, sampai akhirnya berlanjut ke pembahasan mendalam tentang buku ini—tentang kebingungan budaya di anak muda Jepang di era 60an.
Selanjutnya Nia membacakan resensinya, tentang Persepolis yang ia sebut dipinjamkan oleh Andika padanya. Nia meresensi komik ini, tentang kehidupan seorang gadis yang hidup di revolusi Iran tahun 70-80an. Tentang gadis yang harus berhadapan dengan perubahan, perang, dan sebagainya. Dalam resensinya, Nia beranggapan bahwa Persepolis masih relevan dengan situasi saat ini di mana Israel menyerang Gaza. Baginya, komik ini merupakan suara dari anak-anak yang tumbuh di daerah konflik.
Selesai Nia, giliran saya terakhir membacakan hasil tulisan. Saya menulis resensi Twilight, novel tentang percintaan seorang gadis remaja dengan vampir, yang sedang menjadi fenomena dimana-mana—apalagi sejak filmnya diputar di bioskop. Dari berbagai segi, saya mengritik karya ini, seperti lelahnya saya menunggu 300 halaman untuk mendapatkan konflik, tokoh utama wanita yang memuja-muji penampilan si vampir setiap 2 halaman sekali, dan sebagainya *sembunyi dari lemparan tomat anak-anak ABG pecinta Edward Cullen*.
Selesai itu, sesi menulis berakhir. Kami sempat berbincang-bincang sebentar, hingga akhirnya saya pulang untuk bermalam mingguan, sementara itu Andika dan Nia tampak hang out sebentar di Reading Lights Bookshop and Coffee Corner.
Farida Susanty
Farida Susanty adalah mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran yang kecanduan siaran televisi berlangganan. Gadis serius ini akan melakukan banyak hal demi tidak ketinggalan hitungan mundur tangga lagu di MTV. Sekonyong-konyong tubuhnya akan terpaku di depan televisi apabila ada film-film seru di channel HBO. Genre film favorit Farida beragam di kisaran indie, teen-flick, drama, dll. Meskipun membenci klise dan pretentiousness, gadis yang besar di Tasikmalaya ini akan memasukkan nonton-bareng-Juno-dan-Twilight ke dalam agenda sosialnya.
Farida Susanty adalah mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran yang kecanduan siaran televisi berlangganan. Gadis serius ini akan melakukan banyak hal demi tidak ketinggalan hitungan mundur tangga lagu di MTV. Sekonyong-konyong tubuhnya akan terpaku di depan televisi apabila ada film-film seru di channel HBO. Genre film favorit Farida beragam di kisaran indie, teen-flick, drama, dll. Meskipun membenci klise dan pretentiousness, gadis yang besar di Tasikmalaya ini akan memasukkan nonton-bareng-Juno-dan-Twilight ke dalam agenda sosialnya.
3 komentar:
nampak kenal tuh yg curhat ttg sepinya klab kitah, hehehehe
klo bs komen siy, mungkin krn mas wartax kenal dg penulisnya sementara dea gak.
hemmm ... eniwei, mustinya gw ada disituh!!!
see yaa ...
Insya Allah gw dtg lgiiiii
_ina_
Kayaknya Dea juga kenal, deh. Adenita kan fasilitator Klab Nulis lama bersama Mirna.
Ayo datang lagi. Minggu ini gua mau muter film The Bubble.
Andika
Jeng Ina ini, dia yang curhat.. dia yang gak dateng.
Btw, potonya kok yang gelap dik? Wkwkwkw.
Posting Komentar