Minggu, 28 Juni 2009

Dua Kunang-Kunang Mencari Umur Panjang

Acara menonton kali ini bisa dibilang cukup repot persiapannya. Ruangan atas yang kami biasa gunakan untuk nonton, dipakai siswa les bahasa Inggris untuk ujian. Sejam sebelum acara nonton, Riswan - pengurus Reading Lights (RL), menelpon saya, “Li, bisa bawa speaker nggak?”
Saya datang ke RL dengan tas besar merah murahan khas TKI yang berisi tiga buah speaker. Usut punya usut, kami diperbolehkan menonton di ruangan kantor RL yang dipenuhi dengan berbagai kertas dan komputer.

Riswan berusaha keras agar proyektor berfungsi dengan baik. “Gilirannya film bagus, keadaannya kayak gini,” ujarnya sambil sibuk memelintir kabel. Akhirnya, usaha Riswan tidak sia-sia. Kami duduk berderet di kursi-kursi plastik dan menonton film anime Jepang ini.

Masa kecil saya diisi dengan banyak anime di hari Minggu pagi, seperti Sailor Moon, Doraemon, dan Chibi Maruko Chan. Tapi jangan sangka kalau film Grave of the Fireflies selucu itu.


Film ini mengisahkan Seita dan Setsuko yang kehilangan rumah dan ditinggal mati ibunya. Mereka menumpang tinggal di rumah tantenya, namun tak bertahan lama. Tante menghina Seita yang tidak ikut berjuang untuk Jepang dan hanya jadi benalu. Namun, apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak usia SMP dengan tanggungan adiknya yang berusaha empat tahun? Tidak banyak.

Dengan perasaan sakit hati, Seita pergi dari rumah tantenya. Seita yang sok tahu menjadikan sebuah bunker tak terpakai sebagai rumah. Seita percaya ia dapat merawat adiknya dengan baik. Namun kenyataan berkata lain, Seita pada akhirnya harus mencuri untuk membeli makanan.

Sang adik, Setsuko, tak mampu menanggung derita lagi, ia menjadi lemah dan ringkih. Judul Graves of the Fireflies mungkin saja menggambarkan kehidupan Seita dan Setsuko yang tidak memiliki waktu yang banyak layaknya kunang-kunang.


Film ini diakhiri dengan momen yang menguras air mata. Setidaknya sebagian penonton RL movie week sembunyi-sembunyi mengelap air mata di tengah kegelapan ruang nonton. Ruang yang tadinya gelap berubah jadi terang. Diskusi pun dimulai.

Karakter tante Seita bikin sebal. Akan tetapi, perilaku ibu itu sangatlah wajar. Dalam masa perang, dimana makanan akan sulit dicari, seorang ibu akan berusaha memenuhi kebutuhan keluarga intinya dulu. Seita dan Setsuko adalah pihak yang tersisihkan oleh perjuangan bertahan hidup tantenya.

Justru yang patut dipertanyakan adalah logika Seita. Sudah jelas ibunya memiliki simpanan 7000 yen di bank, tapi ia baru mencairkannya ketika adiknya kekurangan gizi.

Film yang menurut Roger Ebert salah satu film anti perang terbaik ini memiliki keunggulan pada dubbing-nya. Alih suara Setsuko adalah yang terbaik. Suaranya natural, persis seperti anak usia lima tahun. Melalui suara itu pula, emosi penonton terbawa.

Film Grave of the Fireflies adalah film diangkat menjadi versi non-animasi, yaitu dalam bentuk film dan serial. Tetapi menurut Riswan, versi anime-nya tetap yang terbaik. Emosinya dapet banget di film animenya.

Pengunjung kali ini ada sekitar sepuluh orang. Dan mereka memiliki penilaian yang bagus mengenai film ini. Rata-rata 3.5 bintang dari 5 bintang. Pembicaraan kami pun berlanjut ke beberapa hal di luar film ini seperti membahas personel Sailor Moon yang lesbian (gosip dari Maknyes), istilah Moe pada animasi Jepang, film Ketika Cinta Bertasbih (yang menimbulkan kecewaan besar pada saya) sampai film Angels and Demons yang alur ceritanya keren berat.
Kami mengakhiri pertemuan itu, namun kami belum benar-benar pergi dari RL. Kebanyakan dari kami membeli minuman, duduk-duduk, cek Facebook, dan mengobrol ringan. Lalu, Indra menunjukkan cerpennya untuk kami baca. Kami mencoba menikmati waktu.

Acara menonton kali ini memanglah sederhana. Di ruang sedikit berdebu, duduk di kursi plastik, dan ketiadaan AC membuat udara sedikit gerah. Hanya ada ventilasi terbuka yang mengijinkan beberapa nyamuk (bukan kunang-kunang!) mengusik kami. Namun, tidak apa. Karena esensinya ada pada cahaya-cahaya, 25 frame per detik, yang jatuh pada tembok gelap dan memesona kita dengan ceritanya.

Saya jadi terbayang, bagaimana ya rasanya nonton layar tancap? Di desa layar tancap biasanya ada saat perayaan besar seperti kawinan. Film yang diputar adalah film lama atau film India. Kualitas gambarnya buruk karena pita filmnya sudah kotor. Speaker murahan berusaha menarik perhatian penonton dengan suaranya yang cempreng memekakkan telinga. Akan tetapi, tetap saja warga desa doyan menikmatinya (mungkin karena bioskop bagus tidak ada di daerahnya).

Setidaknya, kami diteduhi oleh bangunan yang cukup kokoh. Sehingga bila gerimis datang, kami tidak perlu mengakhiri acara menonton alias gerimis bubar…


Yuliasri Perdani

3 komentar:

macangadungan mengatakan...

aku udah nonton ini... sekitar 2 tahun yang lalu... aku nangis terus selama nonton film ini sampai diketawain temen2ku.
hahhh... bener2 sebuah masterpiece! :D

Reading Lights Writer's Circle mengatakan...

:)

Apalagi setelah itu dibahas bareng. Seru :)

indy mengatakan...

wah.... karya ghibli... sy lumayan punya banyak orginal dvd ghibli vol.1... kalo mau ngadain nonton bareng lagi, it's woke... rela di pinjemin.