Minggu, 01 April 2012

Menunggu dan Cemburu


Jurnal Reading Lights Writer’s Circle (3 Maret 2012)
“Menunggu dan Cemburu”

            Sabtu sore itu, di Reading Lights ada 7 orang yang berkumpul: Saya, mbak Rie, Dani, dan empat wajah baru: Indra, Rey, dan dua orang anggota paling baru, Asri dan Mia yang dua-duanya kuliah di ITB. Setelah menunggu dan tidak ada lagi yang lain yang datang, kami pun memilih tema dengan cara seperti biasa, kocokan kertas. Ternyata yang terpilih adalah tema dari saya: “Menunggu dalam kaitannya dengan cemburu kepada orang terdekat”. Kami pun memulai sesi menulis hari itu selama setengah jam.

            Setelahnya, kami pun bergiliran membacakan tulisan kami. Yang pertama membaca adalah Indra. Ia menulis tentang seorang tokoh pria yang selalu disalahkan dalam keluarganya, terutama ketika Ayahnya masuk rumah sakit dan meninggal. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa sang tokoh merasa cemburu kepada kakak perempuannya, yang selalu bersikap ketus padanya setelah mereka dewasa. Mbak Rie berkomentar bahwa ceritanya terkesan nyata, dan bertanya apakah itu curhat dan Indra punya kakak perempuan. Jawaban dari penulisnya tidak, itu hanya cerita fiksi.

            Berikutnya yang membacakan adalah Dani. Dani bercerita tentang situasi di stasiun ketika masa Perang Dunia, dengan tokoh seorang gadis yang menunggu suaminya pulang wajib militer, tanpa ada kepastian apa pria itu masih hidup ataukah sudah mati. Cerita Dani, meski diakui beralur lambat, cukup unik karena kecemburuan yang diangkat adalah rasa cemburu kepada orang lain yang kerabatnya sudah meninggal. Rey berkomentar kalau latar cerita itu seperti di Korea, menilik deskripsi musim gugur dan perubahan warna daun yang digunakan Dani dalam ceritanya.

            Setelahnya, giliran mbak Rie. Mbak Rie menulis tentang pasangan kekasih yang bertengkar di hari kasih sayang. Pasalnya, sang wanita mengetahui melalui gadgetnya kalau si lelaki pura-pura invisible tiap kali dia online, dan selingkuh dengan teman dekatnya. Mbak Rie menulis cerita ini dengan harapan bisa membuat sebuah cerita yang utuh tanpa harus berpanjang-panjang ataupun bertele-tele. Cerita ini berhasil memancing perdebatan dengan Dani bahwa dari jumlah kata, cerita tersebut bisa masuk ke Flash, Fiksi Mini, atau rubrik Cermin (Cerita Mini) di Kompasiana.

            Asri dan Mia yang baru pertama kali datang, turut menyumbang tulisan untuk sesi hari itu. Cerita Asri masih pendek, baru berupa introduction namun tak menghalangi kami untuk memberi masukan. Sedangkan cerita Mia mengambil 3 sudut pandang, tentang seorang mahasiswa yang sering dititipi absen oleh kawannya. Karena kawannya itu lebih pintar darinya dalam tugas dsb., tak urung itu membuat sang tokoh cemburu. Meski antar paragraf belum terjembatani dengan baik, konflik dalam cerita Mia cukup tertera dengan jelas.

            Setelahnya giliran Rey. Ternyata Rey membuat dua puisi tentang menunggu kekasih, yang satu bernada positif dan yang satunya lagi negatif. Bagi saya, saya lebih terkesan dan menyukai yang negatif, karena proporsi detil serta deskripsinya lebih kaya. Hal ini diamini oleh mbak Rie. Kedua puisi itu kami kritisi. Indra berpendapat ibarat sebuah prosa, kedua puisi itu hanya kurang pada alur serta tokoh. Dani, yang tidak terlalu banyak komentar, saya ajak menulis puisi juga, namun ia menolak karena lebih terbiasa menulis prosa dibandingkan puisi.

            Otomatis, sebagai fasilitator hari itu, sayalah yang mendapat privilege untuk membacakan paling akhir. Cerita saya hari itu agak panjang durasinya, tentang seorang pria bernama Bilawa yang putus cinta karena selingkuh, ditemui kawannya di sebuah kafe dan akhirnya harus menunggu demi sebuah happy ending versinya sendiri. Mbak Rie dan Dani sepakat kalau bahasa tubuh serta penceritaan dari tokoh Bilawa masih terlalu feminin dan tidak mencirikan seorang pria. Masukan ini saya catat betul. Hari itu saya belajar bahwa menunggu, cemburu, dan juga konflik yang terkait antar keduanya haruslah dibangun dengan cara seapik mungkin. Baik bentuk tulisannya puisi, cerpen, ataukah fiksi mini, segala aspek serta unsur kepenulisan semisal tokoh, dialog, dan tentu saja plot tidak boleh dilupakan, demi membangun sebuah cerita yang mengena di hati orang yang mendengar atau membacanya.

            Selepas sesi hari itu selesai, kami pun bubar sebelum hujan benar-benar turun dan membuyarkan segala kenangan. Saya, mbak Rie, Rey, Dani, Indra (yang baru datang lagi hari itu setelah sekian lama) pun pulang. Kepala saya masih membawa obrolan, masukan, dan aroma Cheese Mushroom Sandwich-nya Reading Lights petang itu. Dan endapan tanggal 3 Maret itu pun menghasilkan jurnal ini. Semoga saya bisa datang lagi nanti.


Catatan Penulis:
Tulisan Mbak Rie yang dimuat di rubrik Cermin Kompasiana bisa dilihat di tautan ini, atau di halaman Reading Lights Writer’s Circle di Facebook.



Dini Afiandri adalah salah seorang anggota yang (relatif) baru di Reading Lights Writers' Circle tetapi telah berhasil menyesuaikan diri dengan segala keanehan di sini. Siapapun yang ingin mengikuti jejak penulis bergaya "romantisme brutal" ini (menurut kata-katanya sendiri, lho) dapat langsung mengunjungi pertemuan kami setiap hari Sabtu jam setengah 5 sore di salah satu sudut Reading Lights. Eh, kok malah jadi promosi ya?

Tidak ada komentar: