Senin, 28 Februari 2011

Menulis (tentang) Kitab Suci

Sabtu siang (19/2), saya dan segenap warga Bandung lainnya dimanjakan cuaca cerah yang mengajak kami keluar dari rumah. Setelah berjam-jam keliling BEC untuk belanja gadget (halah!), saya pun datang ke Reading Lights. Di sana, sudah berkumpul Rizal, Aga, Hakmer, Nia, Farida, Aji, Sapta, dan Dani. Ditambah saya dan Ryan, yang datang setelah saya duduk, kami semua bersembilan. Masing-masing lalu duduk dan memeras otak menanggapi ide tema yang diusung Mahel yang kemudian disiapkan oleh Nia: menulis berdasarkan kisah dari Kitab Suci.


Dalam menulis, para peserta writer’s circle diperkenankan:

1. Menceritakan ulang ayat atau kisah tersebut sesuai versi penulis;

2. Menjadikan ayat atau kisah itu sebagai bagian cerita;

3. Membuat proyeksi tentang apa yang mungkin terjadi dalam berdasarkan penggalan ayat atau kisah itu. Misalnya, seperti dalam film Legion atau Constantine.

Untuk membuat latihan ini semakin seru, setiap kisah harus dituturkan dalam sudut pandang orang ketiga serta, supaya adil, cerita harus ditulis langsung dan bersama-sama di Reading Lights. Dilarang membawa makanan tulisan dari luar!

Setelah lebih dari setengah jam menulis, diselingi sejumlah momen khas writer’s circle, (“Gua mau beli bolpen di seberang,” ujar Dani. “Ini ada,” ujar beberapa peserta lainnya. “Nggak,” tolak Dani, ngeloyor ke luar.) Ryan lantas membacakan interpretasinya tentang kisah bahtera Nuh. Alkisah setelah hujan lima hari tidak berhenti, Nuh memutuskan untuk membuat kapal. Dengan bujukan istrinya, Nuh pun meminta orang-orang ikut membantunya. Dalam cerita ini, Nuh dan istrinya tampil lebih manusiawi. “Lebih antagonis,” komentar Farida. Ryan, yang mengaku sempat tekun membaca alkitab menggunakan kata-kata yang sering muncul di sana, seperti hendaklah, dalam dialog. Menariknya, itu tak membuat ceritanya menjadi kaku.

Selanjutnya, saya membacakan cerita tentang anak kecil bernama Rudi. Anak ini penasaran dengan makna ayat pertama surat Al-Baqarah (Aliiif lam miiiim) yang sering dilafalkan Ibu setiap mereka mengaji. Setiap kali hendak tidur, Ibu selalu mendongengi Rudi cerita-cerita dari Al-Qur’an, yang justru membuatnya sulit tidur: kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan Tuhan menyembelih anaknya, sampai adzab Tuhan terhadap kaum Sadoum dan Amourah. Hingga suatu hari, ketika Rudi dan Ibu mengaji, anak itu membayangkan sebetulnya “Aliiif lam miiiim” mengisahkan sesuatu yang menyenangkan, tak seperti cerita-cerita yang pernah didengarnya. Alif, Lam, dan Mim adalah para sahabat yang menonton Toys Story 3. “Sebetulnya idenya bagus. Tapi penggarapannya berantakan,” ujar Rizal. Saya mengangguk setuju.

Aga menulis cerita berbahasa Inggris tentang Alya, seorang anak perempuan yang tinggal di tengah gurun. Suatu hari, Alya bertemu dengan peramal nasib yang mengatakan bahwa ia akan mati hari ini. Alya pun berlari, menyamar menjadi sebuah pohon di tengah hutan. Tindakan yang malah mempercepat takdirnya jadi kenyataan. Kisah ini terinspirasi dengan kisah Nabi Zakaria yang mati ketika menyamar menjadi pohon. Sapta memuji cerita Aga, "Ini ketiga kalinya, gue denger cerita elu. Cerita ini bagus karena beda dengan cerita-cerita sebelumnya."

Di tengah sesi pembacaan, tiba-tiba Nia ingin segera membacakan tulisannya. Sapta pun menggoda Nia dengan menyatakan kalau ia juga ingin membaca saat itu. Akhirnya diputuskan kalau yang membaca selanjutnya adalah Rizal. Ia menceritakan hubungan antara Tuhan dan Adam. Ketika Adam sendirian, Tuhan menciptakan Hawa. Sementara itu, setan adalah pihak yang paling tahu peringai Tuhan. Setan menuruti perintah Tuhan untuk merayu dua sejoli itu menyantap Khuldi. Pada akhirnya, Tuhan diibaratkan sebagai orang tua yang bosan dan menjadikan Adam sebagai kelinci percobaannya. Kata Dani, “(Karena menjadikan Tuhan sebagai karakter) penulis cerita ini lebih tahu segalanya daripada Tuhan.”

Cerita Sapta terinspirasi dari kisah Idris. Seorang nabi yang terkenal karena kecerdasannya. Sapta memproyeksikan kisah Idris dalam diri Leon, seorang eksekutif sukses yang memiliki segalanya. Namun, Leon merasa ada yang kurang. Ia berambisi merasakan kegagalan. Setelah berhasil membujuk bosnya untuk memecatnya, ia kembali mengambil tes masuk di tempat kerjanya dengan niat untuk gagal. Malangnya, ketika hari H, laki-laki itu tertabrak mobil. Alhasil ia pun lumpuh. Nia mengaku belum pernah mendengar kisah tentang Nabi Idris. “Gua juga,” ujar Sapta. “Ini ketemu di Google.” Hari ini bukanlah pertama kali Sapta menulis cerita berdasarkan Al-Qur’an. Sebelumnya ia pernah menulis Kisah Penciptaan saat tema ‘Pengalaman Pertama.’

Dengan kocak, Aji menuturkan kembali kisah penyaliban Yesus. Syahdan, ketika Yesus dikejar-kejar orang Yahudi ia tidak diangkat oleh Tuhan. Mengapa demikian? “Well, my son, why didn’t you call me?” tanya Tuhan, ketika ditemui Yesus dalam kematian. Maksudnya: salah sendiri ketinggalan, orang elu kagak telepon! Setelah sekumpulan cerita serius, tulisan Aji sukses membuat kami tertawa.

Kemudian Farida membacakan tulisannya yang berdasarkan kisah Khidir, “Menurut gua kisah ini paling disturbing.” Suatu hari Musa ingin jadi orang yang tahu segalanya. Tuhan pun mempertemukannya dengan Khidir. Khidir adalah nabi yang membocorkan kapal, membunuh anak kecil, dan membenarkan rumah terlantar tanpa memberi tahu alasannya. Belakangan, barulah ia memberi tahu Musa bahwa kapal dibocorkan karena akan dipakai untuk membajak, bahwa anak kecil yang ia bunuh akan menyusahkan orang tuanya, dan rumah yang ia betulkan adalah milik anak yatim piatu. Farida terganggu dengan keyakinan mutlak Khidir terhadap masa depan. Ia lantas menulis tentang seorang anak yang ayahnya bertindak seperti Khidir. Dalam cerita tersebut tidak semua semulus ramalan Khidir. “Cerita ini menakutkan karena ada hal-hal di dalamnya yang tetap nggak terjawab,” komentar Dani.

Tokoh dalam cerita Nia bernama Demas. Ia merupakan reinkarnasi Ibrahim, nabi yang saat masih muda kritis mencari Tuhannya. Demas lalu mengalami serangkaian kejadian yang akhirnya membuatnya kehilangan nyawa. Ketika menghadap Tuhan, sekali lagi nyawanya dicabut. Demas harus menerima kenyataan bahwa Tuhan adalah sosok yang mencabut nyawanya dua kali. Para peserta writer’s circle pun bengong. Farida menyukai penggarapan tulisan ini, tetapi tidak suka ceritanya. “Ini cerita ketiga yang gua tulis. Dua yang lainnya jelek,” aku Nia.

Dengan sudut pandang orang pertama, Hakmer menyampaikan versi baru kisah Yohanes Pembaptis yang dianggap orang gila. Narasi Hakmer masih seperti suaranya sendiri. Ia mempertanyakan, “Mengapa Tuhan menyampaikan wahyunya hanya lewat satu kepala, tidak kepada semua kepala lainnya?” Sementara itu, kisah Dani beraroma science-fiction. Kabin pesawat ruang angkasa, di mana seorang astronot menggoda keimanan karakter rekannya (seorang Katolik) dengan memancingnya untuk percaya kepada ajaran Gnostik yang notabene dianggap sesat oleh Gereja.

Dalam undangan Facebook pertemuan writer’s circle kali ini, Mahel menyampaikan pendapatnya bahwa kitab suci bisa jadi merupakan bentuk kesusasteraan paling kuno. Kitab suci penuh dengan kisah-kisah serta diksi yang unik dan multitafsir. Ia mengutip penulis Avianti Armand: “Kitab suci, seperti juga labirin bukanlah sebuah peta. Peta adalah sebuah abstraksi, sekumpulan tanda dan legenda yang tak sanggup menggantikan pengalaman. Sementara itu dalam kitab suci, sebagaimana juga labirin, selalu ada misteri yang tidak menuntut untuk dipecahkan, melainkan dialami berkali-kali.”


- Andika Budiman

Kamis, 17 Februari 2011

Nada-Nada di Kepala

Petik senarnya.

Itu pikiran pertama yang melintas di benak saya ketika tema “alat musik” dengan setting kota besar disetujui sebagai tema menulis hari itu (walau tidak semua alat musik ada senarnya). Saya mengaduk-aduk gudang otak saya, mencari alat musik yang bisa saya mainkan dalam cerita. Sementara saya bertanya-tanya, lagu seperti apa yang akan teman-teman lain mainkan dengan alat musik mereka dalam cerita-ceritanya.

Ada cukup banyak partisipan RLWC yang hadir hari itu, dan seperti biasa, ada kejutan-kejutan menyenangkan dari cara mereka memainkan alat musik masing-masing.

Ada Sapta yang mengajak para partisipan RLWC ke bis Damri, dengan alat musik pengamennya, dan cerita cinta sederhana yang manis. Ada Rizal yang mengajak kita untuk melihat instrumen di dalam diri kita masing-masing, tentang pergulatan seseorang dalam menemukan kembali hasratnya dalam bermusik. Ada Aji yang membawa kita ke ruang band anak-anak SMA, dengan drum dan celoteh-celoteh anak muda. Ada Neni yang bermain harpa, dengan ceritanya tentang pasangan. Ada Rian yang menyembunyikan alat musik yang dimainkannya sampai akhirnya terbuka dalam akhir cerita. Nia dengan cerita gelap mengenai piano dan akhir tragis dari alat musiknya.

Lepas dari Nia, ada Mahel yang mengeksplorasi tema alat musik dan simbolisasi kematian. Ada Aga yang memainkan cerita yang ceria, dengan alat musik yang diselipkan di diary seorang remaja, juga Dani, yang melihat alat musiknya sebagai pemecah kebekuan antara dua orang.
Saya sendiri terpesona dengan apa yang orang-orang temukan dalam alat musik di dalam kepala mereka, dan nada-nada yang mereka ciptakan. Cukup sulit untuk melihat ke dalam diri dan memetik alat musik, menghasilkan nada yang baik. Tapi saya berusaha memainkannya, dan anehnya, ada banyak suara yang keluar, sampai saya kewalahan sendiri.

Hari itu, di luar tema literalnya, tentang alat musik, saya belajar tentang memetik senar yang tepat di dalam kepala dan mengharmonisasikannya. Dari cerita-cerita hari itu, saya belajar bahwa nada-nada yang dihasilkan ternyata bisa menarik kita ke berbagai tempat, berbagai perasaan, berbagai orang. Tugas si pemetik hanya mereka-reka agar nada yang dihasilkan enak didengar, dan mengharmonikan nada-nada acak yang muncul.

Petik senarnya. Rasakan. Tuangkan.





Farida Susanty sudah mengeluarkan buku "Dan Hujan pun Berhenti" yang membawanya menjadi pemenang Khatulistiwa Awards 2006-2007 sebagai Penulis Muda Terbaik. Untuk bulan Maret 2010, ia mengeluarkan buku "Karena Kita Tidak Kenal".

Selasa, 08 Februari 2011

Puisi: Keluarga, Tuhan, dan Cinta

Teknik menulis, ini menjadi wacana yang kami bahas selama beberapa minggu terakhir di Reading Lights Writer’s Circle. Hari ini kami akan mencoba teknik menulis puisi. Sang pencetus ide hari Sabtu lalu (5/2/2011)—Nia Janiar—membacakan sebuah contekan yang dibuatnya untuk mendefinisikan puisi. Secara sederhana uraian yang Nia bacakan adalah bila puisi itu harus memenuhi beberapa unsur diantaranya: artistik, emosional, berirama (termasuk musik, nada, imajinasi, dll) juga harus memenuhi unsur ‘struktural’ termasuk imaji, indrawi, makna, nada, dan frase.

Nia juga membawa dua buah buku puisi untuk kita pelajari dan bandingkan, satu diantara bukunya begitu familiar. Saya hafal dengan covernya. Kumpulan puisi Chairil Anwar. Bukan, bukan karena saya suka membaca puisi-puisi karyanya, saya mengenal buku ini karena mengingatkan saya dengan film AADC.


Kami sepakati aturan mainnya yaitu menulis puisi dalam waktu 15 menit. Masing-masing dari kami memberikan satu tema. Keluarga adalah tema yang saya ajukan, menyusul Tuhan sebagai tema yang diberikan Rizal, dan cinta adalah tema yang diusung Nia—sang pembawa buku Chairil Anwar. Saat lima belas menit pertama telah dilalui, artinya saat kami hendak membacakan puisi dengan tema keluarga, Dani datang.

“Wah gua ngga bisa nulis puisi ...” komentar Dani saat mengetahui kami sedang mencoba menulis puisi. Beda dengan komentar Fadil yang datang di menit-menit terakhir pertemuan kami. Fadil datang saat kami hendak menulis tema cinta.

“Asik, gua cobain ya ... tapi jangan diketawain ...” komentarnya.

Dari kalimat yang Fadil ucapkan, saya menyadari bila puisi itu seperti hal yang tabu. Mungkin karena terlalu dekat dengan rayuan, gombalan, atau cara lain melarikan diri disaat seseorang kesulitan menulis sesuatu yang faktual. Saya sering melarikan diri saya dengan cara menulis puisi, menggambarkan perasaan yang dirasakan saat itu. Tapi sampai saat ini saya masih belum terlalu percaya diri membacakannya untuk orang lain. Bagi saya, alasannya adalah puisi terkadang seperti masturbasi, dimana hanya si pembuat saja yang mengerti maknanya karena terkadang puisi yang terlalu gamblang membuatnya terkesan seperti lirik sebuah lagu. Untuk menyiasatinya saya punya cara jitu untuk membangkitkan kembali kepercayaan saya saat menulis puisi, kalimat yang diucapkan oleh seorang sutradara besar:

Disaat ingin puitis, jangan berpuisi ...”

Sebagai penutup jurnal, saya akan cantumkan puisi yang berhasil kami buat.

Catatan:
Sampai menit terakhir Dani tidak berhasil membuat satu puisipun. Sementara Fadil yang datang di menit terakhir hanya membuat satu puisi bertema cinta. Saat pembacaan puisi, sang pemberi gagasan—Nia—cekikian sepanjang puisi dibacakan. Mungkin peringatan Fadil benar.

Amarah Ayah

Kaku. Biru.
Sebuah garis datar menghias wajahmu.

Liar. Terancam.
Jendela matamu menatap tajam.

Jerat. Mengekang.
Kau tak kuasa mencengkram.

Gigi tua kau bergertak
mengetahui aku punya anak.
Sebelum kau merayakannya,
sebelum kau merestuinya.
------------------------------------------- Nia Janiar

Tuhan

Kuketuk pintuMu,
pintu megah yang manusia ukir dengan kata.
Manusia kecil ini berdosa,
maka kuketuk pintuMu jua.

Perlahan Kau membuka pintu.
Kututup kedua mata untuk menerima karma.
Namun dengan ramahnya Kau menjawab, "Akhirnya datang juga."
------------------------------------------- Nia Janiar

Psikosomatis

Kepakkan sayap raksasa
beradu di dalam perut,
sang pemilik sayap gelisah.

Lalu kaki-kaki besar datang,
berderap di sebuah rongga,
bagian dalam rerusuk yang separuhnya melengkapimu.

Kini badan-badan kecil berbaris beraturan,
membuat sensasi geli sekaligus sebuah desiran.

Terlalu ramai.

Kucipta sendiri sebuah kekacauan
saat melihat mata indahmu itu.
------------------------------------------- Nia Janiar

Keluarga

Melalui cinta ayah dan bunda,
kulabuhkan diri di atas dunia.
Fana.
Melalui satu tangisan panjang,
kulupakan ceritera dari Nirwana.
Kekal.
Melalui panggung kehidupan,
bersama kurajut sejarah manusia;
Abadi,
pun segalanya, silih berganti.
------------------------------------------- Rizal Affif

Tuhan

Bersimpuhku,
mencium jubah panjang,
hitam dan putih yang menjadi Satu.

Aku percikan api,
bersujud di hadap Sang Mentari;
aku setetes embun pagi,
merindukan rumahku pada langit biru lazuardi;
Aku gelombang ombak,
yang menghempas karang, dan menjadi tiada,
dalam kembaliku pada Rahim Samudra.

Wahai Pemilik Langit dan Bumi,
tlah kaujadikan aku begitu fana, tanpa arti,
izinkanku kembali;
melebur Lautan Cinta, Mahaabadi.
------------------------------------------- Rizal Affif

Cinta

Merengkuh jemari,
kau di hadap imaji.
Dua dunia yang lama terbagi,
Kini bercermin, satu sama lain,
melalui jendela bundar, terpancar cahaya hati.

Di sinilah, kau dan aku,
dua jiwa yang bertemu,
dalam ruang dan waktu,
menari, meliuk, menambatkan kalbu,
melebur dalam,
Semesta biru.
Menjelma Satu.
------------------------------------------- Rizal Affif

Retakan tulang merekat pelan
Tertahan air mata Ibu
Gundah hati Ayah
Saat anak baring menjalar
"Bangkit anakku" seru sekutu!
Tertahan air mata padang Mahsyar
Tertimbang jiwa menghalang
Lekang sudah sepekan
Anakku bangkit dari jeda dunia
Bibirnya pasi sekering tembikar
Retak kemudian senyuman
Tatap mata kedua
Kumparan cinta diantaranya
Air mata hadir kembali
Berpeluk, bersama, berbagi
(Gambaran keluarga saya saat menunggu kakak yang terbaring koma, sesaat setelah kecelakaan terjadi, menyebabkan tulang tengkoraknya harus segera di operasi. Kami sekeluarga menunggu cukup lama, dan tersenyum bersama saat kakak sadarkan diri kembali)
------------------------------------------- Sapta P Soemowidjoko

Tangga kayu
Laut biru
Aku.
Terserukan!

Terjadi
Tertelan
Dia.
Memaki

Suara-suara
Nyanyian binatang
Aku.
Menangis

Suara-suara
Jeritan
Dia.
Menghilang

Bersauh tak berlabuh
Aku, binatang dan lautan
(Gambaran kuasa Tuhan dalam cerita Nabi Nuh dengan perahu besar yang dibuatnya, dan umat yang tak percaya seruan-Nya)
------------------------------------------ Sapta P Soemowidjoko

Enam limabelas
Datanglah cinta
Memuji pujaannya

Enam limabelas
Membabi buta cinta
Keruh mata karena hantaman

Tujuh pas
Cinta terlepas
Mendarat di bibirnya

Tujuh pas
Tak tahan membisu
Berlari tapi tercekal

Tujuh limabelas
Bergegas, bersiap
Menggapai tangan
Berkata, "Makin Cinta"

Tujuh limabelas
Bergegas, bersiap
Menarik rambutnya
Berkata, "Karena Cinta"
------------------------------------------ Sapta P Soemowidjoko

Cinta

Aku masih memandanginya
yang duduk di seberang itu
Ia masih berkutat dengan hidupnya,
di dalam laptop itu

Hingga suatu ketika ia berpaling padaku
Ia pun tersenyum padaku
aku tidak tahu perasaannya
Orang asing itu

tapi, satu senyuman itu cukup untuk membuatku merasa dimengerti dan dimanja
------------------------------------------ Fadil




Sapta P Soemowidjoko. Bergelar sarjana science yang pada akhirnya terjun ke dunia seni. Hobinya menulis, menggambar, dan memotret yang pada akhirnya digeluti secara profesional. Semasa kuliah pernah menjadi penyiar dan produser di beberapa radio dengan genre anak muda. Terakhir, ia pernah terpilih menjadi art director LA Indie Movie dalam film Dummy Bukan Dami sekaligus menjadi pemeran utamanya. Visual merchandise and promotion untuk Corniche adalah pekerjaan tetap yang tertulis dalam kartu namanya.

Senin, 07 Februari 2011

Experience is Everything


Experience is everything … terutama yang pertama.

Menurut tokoh filsuf besar dari benua Eropa sana, manusia nalarnya dibatasi oleh alat indera; mata, telinga, tangan, dan lain-lain—yang kita sebut sebagai indera perasa, indera pengecap, dan indera pendengar. Dari indera-indera tersebut semua hal menjadi titik pembentuk manusia atas kesadaran dia dan juga atas tingkat intelegensinya. Pengalaman adalah salah satu pembentuknya. Tapi apakah pengalaman pertama juga? Atau hanya sebagai alat pemicu alam bawah sadar manusia? Itulah yang kita cari ...

Mengingat pertama kali saya datang ke RL, rasanya tidak nyaman. Saya rasa itu juga yang terjadi dengan teman-teman yang baru datang ke RL atas undangan saudari F. Saat itu cukup banyak yang datang. Andika—setelah sekian lama—kembali berlakon sebagai moderator kali ini yang mengusung tema pengalaman pertama. Rupanya waktu 30 menit lebih tidak menjadikan karya beberapa orang selesai. Mereka perlu lebih dari yang ditentukan. Tapi toh ini ‘kan cuma pengalaman.

Andika menjadi orang pertama yang membacakan karyanya. Ceritanya berkisah tentang pengalaman pertama sang tokoh saat menjadi pemandu museum. Sangat disayangkan, ia tidak dapat menyelesaikan ceritanya dalam tempo waktu yang ditentukan.

Berputar kepada saya. Cerita saya berlandaskan pemikiran bagaimana jika rasanya seorang anak yang hidupnya sempurna tapi ternyata ia memiliki seorang ibu adalah sosok laki-laki transeksual. Itulah pengalaman yang ingin saya gali. Namun sayang, saya kurang mampu memberikan persiapan untuk mengagetkan pembaca.

Lalu beralih kepada Farida. Untuk para anak kecil sebaiknya tidak mendengar ceritanya. Walaupun cerita adalah bocah kecil yang pertama kali menggunakan telepon—hanya saja—untuk beberapa bagian tidak terdengar seperti telepon. Telepon memang MULTIFUNGSI.

Selanjutnya adalah karya-karya pendatang baru. Ringga yang berupaya menulis pengalaman seorang yang mencoba olahraga rafting tapi tidak dapat diselesaikan, mungkin karena faktor kedatangannya juga cukup telat. Selain itu ada Fuad yang rupanya seorang penggemar atau dia membuat tokoh penggemar seorang musikus terkenal, Iwan Fals. Fuad membuat tokoh ini gegar untuk bertemu sang idola, hanya sayang terlalu banyak metafora di dalam cerita ini.

Ada juga orang baru yang bernama Aga yang merupakan salah satu newbie yang paling unik. Satu hal yang membuatnya demikian karena dia menggunakan Bahasa Inggris dalam penulisannya dan tentunya juga kepada pembacaannya. Walau bertema tentang hal sepele yaitu membeli baju biru dengan diskon 70%, Aga bisa memasukkan emosi dengan baik. Bahkan sangat baik. Tulisannya membuat kita semua masuk ke dalam emosi yang marah dan kesal atas kejadian karena ternyata baju biru itu memiliki kerusakan.

Seni dengan BBnya berhasil menciptakan karya yang romantic. Walaupun saya bukan penggemar hal-hal yang bersifat percintaan, tapi karyanya luar biasa. Dia membuat pengalaman pertama diputuskan pacaran yang kemudian akhirnya diubah menjadi pengalaman pertama dilamar. Ini sangat luar biasa. Terakhir ada Shofa yang memiliki gaya retorika sama seperti saya, menuliskan bagaimana perasaannya menulis dan berkumpul di RL untuk pertama kalinya.

Uli mencoba membawa kita untuk bermain game, namun sebelumnya kita dibawa ke dunia khayalan ROCK and ROLL, dimana sex, drugs, music menjadi satu. Ternyata ia menuliskan pengalaman pertama bermain guitar hero. Apakah anda tertarik untuk bermain? Tak penting karena Sapta menceritakan kehalusan sebuah cerita untuk memakan buah dan saya lupa lanjutan ceritanya. Forgive me, Sapta. Jika Sapta benar-benar menceritakan cara hidup sehat dengan makan buah, Nia justru sebaliknya. Dia mendalami tiga hal sekaligus dengan membawa kita ke dunia gelap, perampokan, drugs, dan masuk penjara ini Nia ikatkan menjadi satu lingkaran setan. Ia dapat mendalami perasaan dari seorang makhluk biasa menjadi makhluk pengidap narkoba hingga menuju kriminalitas.

Selanjutnya ada cerita Mahel yang ternyata puitis sekali sehingga membingungkan saya dan beberapa orang. Ia bercerita tentang makan jamur beracun (mushroom) yang membuat halusinasi untuk pertama kalinya.

Tiga orang sisanya adalah Rizal yang menceritakan tentang orang yang selamat dari kecelakaan pesawat dan menuju proses kanibalisme. Tapi sekali lagi, waktunya tidak cukup untuk Rizal. Hakmer, setelah sekian lama, mampu membuat gayanya keluar dengan membuat hantu yang bercerita karena dia mati oleh sepotong coklat yang disuapakan oleh wanita pujaannya. Ini terjadi karena sang tokoh alergi terhadap cokelat. Jika dikaitkan dengan Valentine, mungkin ini adalah bloody valentine, atau tepatnya bloody chocolate valentine.

Dan yang terakhir adalah Dani sebagai makanan penutup karena ia menceritakan kisah tragis yang paling dicari oleh tokoh. Agak sadomasochist, bukan? Bagaimana jika Anda ditampar oleh pacar Anda dan Anda hanya tertawa begitu saja? Apakah Anda menikmatinya? Atau membencinya?? Tamparan dari Dani adalah penutup untuk dansa kita di panggung RL. Bukankah pengalaman adalah segalanya? Tapi pengalaman tidak terbatas ... banyak sekali yang tidak kita ketahui. Banyak sekali. Ini bukan pengalaman pertama saya menulis jurnal, hanya saja ini gaya baru saya dalam menulis jurnal.

Hanya untuk mereka yang berpengalaman.

K.R.M

Jumat, 04 Februari 2011

Stream of Consciousness

Dulu writer's circle pernah bercita-cita untuk menulis di luar tempat biasa kami menulis. Entah itu di cafe, alam bebas ... pokoknya outdoor. Out the door. Tapi door-nya siapa?

Lalu saya kemukakan lagi isu outdoor ini agar tidak jadi wancana belaka. Waktunya adalah saat orang-orang sedang merayakan Imlek dan lokasinya ditetapkan di Kebun Binatang Bandung. Saya mewanti-wanti agar mereka tidak seperti lebah yang hidupnya berkoloni (maksudnya kalau satu orang tidak datang, maka jadi tidak datang semua--editor).

Sepertinya saya datang pukul 9 tepat dan menemukan di pintu gerbang dekat tong sampah itu tidak ada siapa-siapa kecuali orang-orang yang jualan kacang. Untuk hiburan di dalam--katanya. Memangnya siapa yang mau hiburan? Saya mau menulis. Lagipula memangnya binatang butuh hiburan? Lagipula beruang makan kacang? Aneh. Lalu orang-orang itu bertanya-tanya apakah saya menunggu rombongan. Saya acuhkan saja karena memang betul saya menunggu rombongan.

Akhirnya datang Rizal dan disusul Neno. Rizal sudah berkali-kali bilang mau masuk tapi saya bilang sebaiknya tunggu yang belum datang. Rizal bilang begini, "Ini namanya punishment untuk orang yang tepat waktu!" Wah, betul juga. Mari kita masuk!

Foto oleh Sapta P Soemowidjoko

Setelah terbirit-birit karena Rizal main-main dengan ular liar kecil, akhirnya Neni datang, disusul Farida, Sapta, Dini, dan Marti. Sayangnya Dini dan Marti terlambat hampir dua setengah jam yadi saat kami sudah duduk-duduk nyaman di atas paving block lembab. Maka, mereka tidak keliling kebun binatang dan langsung menulis saja.

Ki-ka: Marty, Neni, Sapta, Farida, Dini, Neno, Rizal

Di sana saya sharing teknik menulis yang saya dapatkan dari Wikipedia yaitu stream of consciousness. Stream of consciousness adalah mode narasi yang memperlihatkan point of view dari seorang individu dengan cara menuliskan proses berpikir karakter baik secara monolog atau dihubungkan dengan tindakan-tindakannya. Yang terbayang di kepala saya adalah ketika individu melihat suatu objek lalu objek tersebut mencetuskan pikiran tentang sesuatu lalu menyambung ke sesuatu lalu menyambung lagi sehingga malah ceritanya jadi jauh dari objek pertama kali yang dilihat. Jadi tidak masalah jika hasilnya random dan overlapping karena pikiran terkadang begitu.

Di awali oleh Neni yang sebetulnya sedari tadi mencari-cari jerapah di kebun binatang Bandung. Agak kecewa mungkin karena di sana tidak ada, maka ia menuliskannya dalam tulisan. Neni, yang membuat dirinya sendiri sebagai tokoh cerita, menceritakan secara monolog bahwa jerapah mengingatkan ia pada boneka jerapah yang sering ia ajak bicara ketika ia berada di Jerman. Walaupun boneka jerapah hanya diam, rupanya ia adalah teman baik dalam mendengarkan. Ibu angkatnya yang di Jerman pun berkata bahwa boneka jerapah itu adalah teman Neni pulang dan akan membawa keberuntungan.

Tulisan Neni ini begitu alami dan terasa mengalir. Siapa yang menyangka dari binatang yang tidak ada bisa membawa pikirannya terbang hingga negara tetangga!

Selanjutnya Marty membacakan tokoh yang sedang galau akut walaupun angin sepoi-sepoi kebun binatang mengikis kegalauan tetapi tidak bisa menghilangkan galau itu sendiri. Di sini Marty tidak banyak menggunakan binatang sebagai pencetus idenya (mungkin karena tidak jalan-jalan keliling kebun binatang), ia menggunakan objek di sekitarnya: pohon, matahari, angin.

Sebetulnya saya lagi cemas karena saat itu sudah mendung takut hujan maka tulisan saya diawali dengan cuaca mendung, lalu berpikir tentang binatang-binatang dan para tukang yang mungkin akan lari terbirit-birit menghindari hujan, monyet yang tidak berhentinya menjerit, siamang galau yang makan pepaya dengan dramatisnya, perahu di arena air yang mengingatkan pada liburan, dan bola-bola cair yang banyak dijual dan mengingatkan pada keceriaan di hari Minggu.

Berbeda jauh dengan saya, Rizal menceritakan jalan pikiran sebuah akar pohon yang ada di dekat kandang macan tutul! Selama penulisan, Rizal mencoba untuk tidak memberi petunjuk bahwa tokoh yang dimaksud adalah akar pohon. Selain perbedaan cerita, perbedaannya lainnya terletak pada proses yang berpikir yang sistematis sehingga saya saat itu harus bertanya, "Rizal, apakah kalau berpikir, elu tersistematis seperti itu?" "Iya," ujarnya. Hebat. Rupanya stream of consciousness itu tidak selamanya random.

Dini bercerita beruang madu yang berasal dari Jepang yang memiliki keluarga bernama Sule, Sueb, dan Karmila. Ceritanya mengingatkan saya pada cerita fabel. Cerita Dini dikomentari oleh Sapta bahwa Dini terlalu banyak tokoh dan nama (ada 6 dalam satu cerita) sehingga ceritanya sulit diikuti. Atau proses berpikirnya Dini bisa sebanyak itu dalam satu episode waktu?

Selanjutnya Farida menuliskan cerita kontemplatif tentang seorang manusia yang ingin memiliki creature seperti hewan-hewan yang dilihatnya. Ia mendamba jemari yang tidak beraturan (tampaknya ini berasal dari tangan monyet yang panjang-panjang), ia juga mendamba kulit dengan warna-warna, dan lainnya. Cerita diakhir dengan manusia dan hewan yang saling bertatapan lalu si hewan--melalui mata--mengisyaratkan bahwa manusia ini betul-betul tidak suka menjadi dirinya.

Sepertinya overlapping terjadi dalam cerita Farida dimana ia menangkap makna dari berbagai macam objek lalu disatukan dalam satu buah lapisan cerita. Seperti yang dijelaskan di awal bahwa stream of consciousness bisa sebegini overlapping-nya.

Foto oleh Sapta P Soemowidjoko

Dan akhirnya sesi menulis ditutup oleh Sapta yang bercerita tentang pikiran-pikiran seorang tokoh yang tidak suka dengan Pak Haji beserta istri sehingga ia melemparkan anak mereka ke kandang beruang saat ia diajak ke kebun binatang. Salah satu kalimat dalam ceritanya, dengan gaya sarkas, dituliskan kira-kira begini, "Kenapa Pak Haji mau melihat monyet padahal dengan bercermin saja dia sudah melihat monyet?"

Sebenarnya tulisan Sapta ini menginspirasi saya untuk membawa writer's circle ke alam pikiran orang gila dan menuliskannya. Rupanya saya sudah dapat narasumbernya.

Maka itulah teknik yang coba kami latih pada siang di bawah pohon beringin itu, ditengah-tengah banyak orang yang mondar-mandir sehingga agak semerawut--kontradiksi dengan keteraturan yang disekat oleh jeruji kandang binatang. Agaknya pikiran juga begitu: acak-acakan tapi manusia mampu mensistematiskannya.





Nia Janiar. Menghabiskan setiap Sabtu sore di komunitas tulis Reading Lights Writers' Circle dan menulis artikel di Ruang Psikologi. Pemilik http://mynameisnia.blogspot.com.