Kamis, 17 Februari 2011

Nada-Nada di Kepala

Petik senarnya.

Itu pikiran pertama yang melintas di benak saya ketika tema “alat musik” dengan setting kota besar disetujui sebagai tema menulis hari itu (walau tidak semua alat musik ada senarnya). Saya mengaduk-aduk gudang otak saya, mencari alat musik yang bisa saya mainkan dalam cerita. Sementara saya bertanya-tanya, lagu seperti apa yang akan teman-teman lain mainkan dengan alat musik mereka dalam cerita-ceritanya.

Ada cukup banyak partisipan RLWC yang hadir hari itu, dan seperti biasa, ada kejutan-kejutan menyenangkan dari cara mereka memainkan alat musik masing-masing.

Ada Sapta yang mengajak para partisipan RLWC ke bis Damri, dengan alat musik pengamennya, dan cerita cinta sederhana yang manis. Ada Rizal yang mengajak kita untuk melihat instrumen di dalam diri kita masing-masing, tentang pergulatan seseorang dalam menemukan kembali hasratnya dalam bermusik. Ada Aji yang membawa kita ke ruang band anak-anak SMA, dengan drum dan celoteh-celoteh anak muda. Ada Neni yang bermain harpa, dengan ceritanya tentang pasangan. Ada Rian yang menyembunyikan alat musik yang dimainkannya sampai akhirnya terbuka dalam akhir cerita. Nia dengan cerita gelap mengenai piano dan akhir tragis dari alat musiknya.

Lepas dari Nia, ada Mahel yang mengeksplorasi tema alat musik dan simbolisasi kematian. Ada Aga yang memainkan cerita yang ceria, dengan alat musik yang diselipkan di diary seorang remaja, juga Dani, yang melihat alat musiknya sebagai pemecah kebekuan antara dua orang.
Saya sendiri terpesona dengan apa yang orang-orang temukan dalam alat musik di dalam kepala mereka, dan nada-nada yang mereka ciptakan. Cukup sulit untuk melihat ke dalam diri dan memetik alat musik, menghasilkan nada yang baik. Tapi saya berusaha memainkannya, dan anehnya, ada banyak suara yang keluar, sampai saya kewalahan sendiri.

Hari itu, di luar tema literalnya, tentang alat musik, saya belajar tentang memetik senar yang tepat di dalam kepala dan mengharmonisasikannya. Dari cerita-cerita hari itu, saya belajar bahwa nada-nada yang dihasilkan ternyata bisa menarik kita ke berbagai tempat, berbagai perasaan, berbagai orang. Tugas si pemetik hanya mereka-reka agar nada yang dihasilkan enak didengar, dan mengharmonikan nada-nada acak yang muncul.

Petik senarnya. Rasakan. Tuangkan.





Farida Susanty sudah mengeluarkan buku "Dan Hujan pun Berhenti" yang membawanya menjadi pemenang Khatulistiwa Awards 2006-2007 sebagai Penulis Muda Terbaik. Untuk bulan Maret 2010, ia mengeluarkan buku "Karena Kita Tidak Kenal".

Tidak ada komentar: