Selasa, 08 Februari 2011

Puisi: Keluarga, Tuhan, dan Cinta

Teknik menulis, ini menjadi wacana yang kami bahas selama beberapa minggu terakhir di Reading Lights Writer’s Circle. Hari ini kami akan mencoba teknik menulis puisi. Sang pencetus ide hari Sabtu lalu (5/2/2011)—Nia Janiar—membacakan sebuah contekan yang dibuatnya untuk mendefinisikan puisi. Secara sederhana uraian yang Nia bacakan adalah bila puisi itu harus memenuhi beberapa unsur diantaranya: artistik, emosional, berirama (termasuk musik, nada, imajinasi, dll) juga harus memenuhi unsur ‘struktural’ termasuk imaji, indrawi, makna, nada, dan frase.

Nia juga membawa dua buah buku puisi untuk kita pelajari dan bandingkan, satu diantara bukunya begitu familiar. Saya hafal dengan covernya. Kumpulan puisi Chairil Anwar. Bukan, bukan karena saya suka membaca puisi-puisi karyanya, saya mengenal buku ini karena mengingatkan saya dengan film AADC.


Kami sepakati aturan mainnya yaitu menulis puisi dalam waktu 15 menit. Masing-masing dari kami memberikan satu tema. Keluarga adalah tema yang saya ajukan, menyusul Tuhan sebagai tema yang diberikan Rizal, dan cinta adalah tema yang diusung Nia—sang pembawa buku Chairil Anwar. Saat lima belas menit pertama telah dilalui, artinya saat kami hendak membacakan puisi dengan tema keluarga, Dani datang.

“Wah gua ngga bisa nulis puisi ...” komentar Dani saat mengetahui kami sedang mencoba menulis puisi. Beda dengan komentar Fadil yang datang di menit-menit terakhir pertemuan kami. Fadil datang saat kami hendak menulis tema cinta.

“Asik, gua cobain ya ... tapi jangan diketawain ...” komentarnya.

Dari kalimat yang Fadil ucapkan, saya menyadari bila puisi itu seperti hal yang tabu. Mungkin karena terlalu dekat dengan rayuan, gombalan, atau cara lain melarikan diri disaat seseorang kesulitan menulis sesuatu yang faktual. Saya sering melarikan diri saya dengan cara menulis puisi, menggambarkan perasaan yang dirasakan saat itu. Tapi sampai saat ini saya masih belum terlalu percaya diri membacakannya untuk orang lain. Bagi saya, alasannya adalah puisi terkadang seperti masturbasi, dimana hanya si pembuat saja yang mengerti maknanya karena terkadang puisi yang terlalu gamblang membuatnya terkesan seperti lirik sebuah lagu. Untuk menyiasatinya saya punya cara jitu untuk membangkitkan kembali kepercayaan saya saat menulis puisi, kalimat yang diucapkan oleh seorang sutradara besar:

Disaat ingin puitis, jangan berpuisi ...”

Sebagai penutup jurnal, saya akan cantumkan puisi yang berhasil kami buat.

Catatan:
Sampai menit terakhir Dani tidak berhasil membuat satu puisipun. Sementara Fadil yang datang di menit terakhir hanya membuat satu puisi bertema cinta. Saat pembacaan puisi, sang pemberi gagasan—Nia—cekikian sepanjang puisi dibacakan. Mungkin peringatan Fadil benar.

Amarah Ayah

Kaku. Biru.
Sebuah garis datar menghias wajahmu.

Liar. Terancam.
Jendela matamu menatap tajam.

Jerat. Mengekang.
Kau tak kuasa mencengkram.

Gigi tua kau bergertak
mengetahui aku punya anak.
Sebelum kau merayakannya,
sebelum kau merestuinya.
------------------------------------------- Nia Janiar

Tuhan

Kuketuk pintuMu,
pintu megah yang manusia ukir dengan kata.
Manusia kecil ini berdosa,
maka kuketuk pintuMu jua.

Perlahan Kau membuka pintu.
Kututup kedua mata untuk menerima karma.
Namun dengan ramahnya Kau menjawab, "Akhirnya datang juga."
------------------------------------------- Nia Janiar

Psikosomatis

Kepakkan sayap raksasa
beradu di dalam perut,
sang pemilik sayap gelisah.

Lalu kaki-kaki besar datang,
berderap di sebuah rongga,
bagian dalam rerusuk yang separuhnya melengkapimu.

Kini badan-badan kecil berbaris beraturan,
membuat sensasi geli sekaligus sebuah desiran.

Terlalu ramai.

Kucipta sendiri sebuah kekacauan
saat melihat mata indahmu itu.
------------------------------------------- Nia Janiar

Keluarga

Melalui cinta ayah dan bunda,
kulabuhkan diri di atas dunia.
Fana.
Melalui satu tangisan panjang,
kulupakan ceritera dari Nirwana.
Kekal.
Melalui panggung kehidupan,
bersama kurajut sejarah manusia;
Abadi,
pun segalanya, silih berganti.
------------------------------------------- Rizal Affif

Tuhan

Bersimpuhku,
mencium jubah panjang,
hitam dan putih yang menjadi Satu.

Aku percikan api,
bersujud di hadap Sang Mentari;
aku setetes embun pagi,
merindukan rumahku pada langit biru lazuardi;
Aku gelombang ombak,
yang menghempas karang, dan menjadi tiada,
dalam kembaliku pada Rahim Samudra.

Wahai Pemilik Langit dan Bumi,
tlah kaujadikan aku begitu fana, tanpa arti,
izinkanku kembali;
melebur Lautan Cinta, Mahaabadi.
------------------------------------------- Rizal Affif

Cinta

Merengkuh jemari,
kau di hadap imaji.
Dua dunia yang lama terbagi,
Kini bercermin, satu sama lain,
melalui jendela bundar, terpancar cahaya hati.

Di sinilah, kau dan aku,
dua jiwa yang bertemu,
dalam ruang dan waktu,
menari, meliuk, menambatkan kalbu,
melebur dalam,
Semesta biru.
Menjelma Satu.
------------------------------------------- Rizal Affif

Retakan tulang merekat pelan
Tertahan air mata Ibu
Gundah hati Ayah
Saat anak baring menjalar
"Bangkit anakku" seru sekutu!
Tertahan air mata padang Mahsyar
Tertimbang jiwa menghalang
Lekang sudah sepekan
Anakku bangkit dari jeda dunia
Bibirnya pasi sekering tembikar
Retak kemudian senyuman
Tatap mata kedua
Kumparan cinta diantaranya
Air mata hadir kembali
Berpeluk, bersama, berbagi
(Gambaran keluarga saya saat menunggu kakak yang terbaring koma, sesaat setelah kecelakaan terjadi, menyebabkan tulang tengkoraknya harus segera di operasi. Kami sekeluarga menunggu cukup lama, dan tersenyum bersama saat kakak sadarkan diri kembali)
------------------------------------------- Sapta P Soemowidjoko

Tangga kayu
Laut biru
Aku.
Terserukan!

Terjadi
Tertelan
Dia.
Memaki

Suara-suara
Nyanyian binatang
Aku.
Menangis

Suara-suara
Jeritan
Dia.
Menghilang

Bersauh tak berlabuh
Aku, binatang dan lautan
(Gambaran kuasa Tuhan dalam cerita Nabi Nuh dengan perahu besar yang dibuatnya, dan umat yang tak percaya seruan-Nya)
------------------------------------------ Sapta P Soemowidjoko

Enam limabelas
Datanglah cinta
Memuji pujaannya

Enam limabelas
Membabi buta cinta
Keruh mata karena hantaman

Tujuh pas
Cinta terlepas
Mendarat di bibirnya

Tujuh pas
Tak tahan membisu
Berlari tapi tercekal

Tujuh limabelas
Bergegas, bersiap
Menggapai tangan
Berkata, "Makin Cinta"

Tujuh limabelas
Bergegas, bersiap
Menarik rambutnya
Berkata, "Karena Cinta"
------------------------------------------ Sapta P Soemowidjoko

Cinta

Aku masih memandanginya
yang duduk di seberang itu
Ia masih berkutat dengan hidupnya,
di dalam laptop itu

Hingga suatu ketika ia berpaling padaku
Ia pun tersenyum padaku
aku tidak tahu perasaannya
Orang asing itu

tapi, satu senyuman itu cukup untuk membuatku merasa dimengerti dan dimanja
------------------------------------------ Fadil




Sapta P Soemowidjoko. Bergelar sarjana science yang pada akhirnya terjun ke dunia seni. Hobinya menulis, menggambar, dan memotret yang pada akhirnya digeluti secara profesional. Semasa kuliah pernah menjadi penyiar dan produser di beberapa radio dengan genre anak muda. Terakhir, ia pernah terpilih menjadi art director LA Indie Movie dalam film Dummy Bukan Dami sekaligus menjadi pemeran utamanya. Visual merchandise and promotion untuk Corniche adalah pekerjaan tetap yang tertulis dalam kartu namanya.

4 komentar:

alavya-shofa mengatakan...

kirain kalo udah ada kegiatan nulis di bonbin itu, RL sabtu dihilangkan. Eh, tahunya.... :)

Reading Lights Writer's Circle mengatakan...

Kalau kegiatan Sabtu itu akan terus ada walaupun ada outdoor. Kami libur jika RL libur saja. Besok dateng lagi ya.. :)

yuliasri perdani mengatakan...

wah... kegiatan seru kalian semakin membuat saya yang terjebak di jakarta ini iri.. :P

latif maulana kahlil gibran mengatakan...

CINTAKU JAUH DISANA


Cintaku jauh di padang tandus

Terpaku tak tahu akan kemana

Lamunan semata yang ku ukir untukmu

Dibawah sadarku , kau pilu menahan rintih melayu

.

Jalanku tak panjang, namun hati hendak menerjang

Ombak menyisir, laut'pun menghilir

Pelabuhan terakhirku harus ku kenang jua

Ku tersesat melamun diujung pena.