Jumat, 04 Februari 2011

Stream of Consciousness

Dulu writer's circle pernah bercita-cita untuk menulis di luar tempat biasa kami menulis. Entah itu di cafe, alam bebas ... pokoknya outdoor. Out the door. Tapi door-nya siapa?

Lalu saya kemukakan lagi isu outdoor ini agar tidak jadi wancana belaka. Waktunya adalah saat orang-orang sedang merayakan Imlek dan lokasinya ditetapkan di Kebun Binatang Bandung. Saya mewanti-wanti agar mereka tidak seperti lebah yang hidupnya berkoloni (maksudnya kalau satu orang tidak datang, maka jadi tidak datang semua--editor).

Sepertinya saya datang pukul 9 tepat dan menemukan di pintu gerbang dekat tong sampah itu tidak ada siapa-siapa kecuali orang-orang yang jualan kacang. Untuk hiburan di dalam--katanya. Memangnya siapa yang mau hiburan? Saya mau menulis. Lagipula memangnya binatang butuh hiburan? Lagipula beruang makan kacang? Aneh. Lalu orang-orang itu bertanya-tanya apakah saya menunggu rombongan. Saya acuhkan saja karena memang betul saya menunggu rombongan.

Akhirnya datang Rizal dan disusul Neno. Rizal sudah berkali-kali bilang mau masuk tapi saya bilang sebaiknya tunggu yang belum datang. Rizal bilang begini, "Ini namanya punishment untuk orang yang tepat waktu!" Wah, betul juga. Mari kita masuk!

Foto oleh Sapta P Soemowidjoko

Setelah terbirit-birit karena Rizal main-main dengan ular liar kecil, akhirnya Neni datang, disusul Farida, Sapta, Dini, dan Marti. Sayangnya Dini dan Marti terlambat hampir dua setengah jam yadi saat kami sudah duduk-duduk nyaman di atas paving block lembab. Maka, mereka tidak keliling kebun binatang dan langsung menulis saja.

Ki-ka: Marty, Neni, Sapta, Farida, Dini, Neno, Rizal

Di sana saya sharing teknik menulis yang saya dapatkan dari Wikipedia yaitu stream of consciousness. Stream of consciousness adalah mode narasi yang memperlihatkan point of view dari seorang individu dengan cara menuliskan proses berpikir karakter baik secara monolog atau dihubungkan dengan tindakan-tindakannya. Yang terbayang di kepala saya adalah ketika individu melihat suatu objek lalu objek tersebut mencetuskan pikiran tentang sesuatu lalu menyambung ke sesuatu lalu menyambung lagi sehingga malah ceritanya jadi jauh dari objek pertama kali yang dilihat. Jadi tidak masalah jika hasilnya random dan overlapping karena pikiran terkadang begitu.

Di awali oleh Neni yang sebetulnya sedari tadi mencari-cari jerapah di kebun binatang Bandung. Agak kecewa mungkin karena di sana tidak ada, maka ia menuliskannya dalam tulisan. Neni, yang membuat dirinya sendiri sebagai tokoh cerita, menceritakan secara monolog bahwa jerapah mengingatkan ia pada boneka jerapah yang sering ia ajak bicara ketika ia berada di Jerman. Walaupun boneka jerapah hanya diam, rupanya ia adalah teman baik dalam mendengarkan. Ibu angkatnya yang di Jerman pun berkata bahwa boneka jerapah itu adalah teman Neni pulang dan akan membawa keberuntungan.

Tulisan Neni ini begitu alami dan terasa mengalir. Siapa yang menyangka dari binatang yang tidak ada bisa membawa pikirannya terbang hingga negara tetangga!

Selanjutnya Marty membacakan tokoh yang sedang galau akut walaupun angin sepoi-sepoi kebun binatang mengikis kegalauan tetapi tidak bisa menghilangkan galau itu sendiri. Di sini Marty tidak banyak menggunakan binatang sebagai pencetus idenya (mungkin karena tidak jalan-jalan keliling kebun binatang), ia menggunakan objek di sekitarnya: pohon, matahari, angin.

Sebetulnya saya lagi cemas karena saat itu sudah mendung takut hujan maka tulisan saya diawali dengan cuaca mendung, lalu berpikir tentang binatang-binatang dan para tukang yang mungkin akan lari terbirit-birit menghindari hujan, monyet yang tidak berhentinya menjerit, siamang galau yang makan pepaya dengan dramatisnya, perahu di arena air yang mengingatkan pada liburan, dan bola-bola cair yang banyak dijual dan mengingatkan pada keceriaan di hari Minggu.

Berbeda jauh dengan saya, Rizal menceritakan jalan pikiran sebuah akar pohon yang ada di dekat kandang macan tutul! Selama penulisan, Rizal mencoba untuk tidak memberi petunjuk bahwa tokoh yang dimaksud adalah akar pohon. Selain perbedaan cerita, perbedaannya lainnya terletak pada proses yang berpikir yang sistematis sehingga saya saat itu harus bertanya, "Rizal, apakah kalau berpikir, elu tersistematis seperti itu?" "Iya," ujarnya. Hebat. Rupanya stream of consciousness itu tidak selamanya random.

Dini bercerita beruang madu yang berasal dari Jepang yang memiliki keluarga bernama Sule, Sueb, dan Karmila. Ceritanya mengingatkan saya pada cerita fabel. Cerita Dini dikomentari oleh Sapta bahwa Dini terlalu banyak tokoh dan nama (ada 6 dalam satu cerita) sehingga ceritanya sulit diikuti. Atau proses berpikirnya Dini bisa sebanyak itu dalam satu episode waktu?

Selanjutnya Farida menuliskan cerita kontemplatif tentang seorang manusia yang ingin memiliki creature seperti hewan-hewan yang dilihatnya. Ia mendamba jemari yang tidak beraturan (tampaknya ini berasal dari tangan monyet yang panjang-panjang), ia juga mendamba kulit dengan warna-warna, dan lainnya. Cerita diakhir dengan manusia dan hewan yang saling bertatapan lalu si hewan--melalui mata--mengisyaratkan bahwa manusia ini betul-betul tidak suka menjadi dirinya.

Sepertinya overlapping terjadi dalam cerita Farida dimana ia menangkap makna dari berbagai macam objek lalu disatukan dalam satu buah lapisan cerita. Seperti yang dijelaskan di awal bahwa stream of consciousness bisa sebegini overlapping-nya.

Foto oleh Sapta P Soemowidjoko

Dan akhirnya sesi menulis ditutup oleh Sapta yang bercerita tentang pikiran-pikiran seorang tokoh yang tidak suka dengan Pak Haji beserta istri sehingga ia melemparkan anak mereka ke kandang beruang saat ia diajak ke kebun binatang. Salah satu kalimat dalam ceritanya, dengan gaya sarkas, dituliskan kira-kira begini, "Kenapa Pak Haji mau melihat monyet padahal dengan bercermin saja dia sudah melihat monyet?"

Sebenarnya tulisan Sapta ini menginspirasi saya untuk membawa writer's circle ke alam pikiran orang gila dan menuliskannya. Rupanya saya sudah dapat narasumbernya.

Maka itulah teknik yang coba kami latih pada siang di bawah pohon beringin itu, ditengah-tengah banyak orang yang mondar-mandir sehingga agak semerawut--kontradiksi dengan keteraturan yang disekat oleh jeruji kandang binatang. Agaknya pikiran juga begitu: acak-acakan tapi manusia mampu mensistematiskannya.





Nia Janiar. Menghabiskan setiap Sabtu sore di komunitas tulis Reading Lights Writers' Circle dan menulis artikel di Ruang Psikologi. Pemilik http://mynameisnia.blogspot.com.

Tidak ada komentar: