Wah, buffering lagi, buffering lagi. Lagi-lagi, buffering. Iklannya sih, katanya, nggak pake buffering-bufferingan tapi, ternyata, lama bin lelet jadinya, I like slow. Ini mungkin yang dinamakan in the praise of slowliness di masa yang begitu mengagungkan keadaan yang serba cepat, instant, seketika itu juga.
Saya memutuskan koneksi internet setelah membuka situs Youtube dan menonton videoklip band-band favorit sewaktu SMA dulu. Bernostalgia sesekali ternyata mengasyikkan juga supaya hidup nggak terlalu stress.
Udah weekend aja nih, nggak berasa. Semua orang mungkin suka dengan hari Sabtu. Walaupun kadang-kadang rencana untuk ngilangin stress gagal terrealisasi karena macet berkepanjangan di jalan. Bukannya sembuh, malah tambah stress.
Di saat musim yang kadang panas dan kadang hujan, harus cepat-cepat pergi sebelum benar-benar hujan sehingga ada alasan pembenar untuk tidak pergi. Saudara kita yang bernama hujan ini, memang sering meledek kalau kita memutuskan untuk pergi, dia akan turun dengan derasnya. Sebaliknya, kalau kita memutuskan tidak pergi, dia pun tidak jadi turun. Entahlah, mungkin karena dia sayang sama kita kalau kita pergi dia akan menangis, kalau kita tinggal di rumah dia tidak jadi menangis. Mungkin dia juga mau mengetes sejauh mana kekuatan mental kita ah, baru segitu aja udah nyerah, cemen lu…
Untuk menyembuhkan penyakit writer’s block akut yang sudah terlalu lama saya idap, saya pun pergi ke Readinglights (perasaan, dari dulu, writer’s block melulu…). Mungkin alasan kemalasan saya semata hehehe. Sabtu memang harinya orang untuk banyak beralasan ini dan itu. Kalau saya pribadi sih, Sabtu adalah harinya untuk menonton sepakbola yang disiarkan langsung oleh televisi secara gratis. Apalagi kalau sudah mendung menggelayut, pertanda Tuan Hujan ini akan menitikkan air matanya wah, ada alasan pembenar untuk bermalas-malasan, bikin secangkir kopi hangat, sambil mata memelototi layar kaca. Nggak tahu deh, buat saya, sepakbola itu udah jadi bagian dari hidup. Sepi rasanya kalau nggak ada sepakbola. Saya sepertinya sudah dikutuk untuk selalu suka sepakbola. Nggak ada protes deh, buat sepakbola walaupun tetap ada juga hal-hal negatif dari sepakbola. Sudah telanjur jatuh cinta, sih…
Saya pun tiba di Reading Lights dan bertemu dengan Sapta yang sedang asyik dengan laptopnya. Biasalah, sedikit chit-chat antar teman jika sudah cukup lama tak bersua. Untungnya, saya udah punya kegiatan yang sedikit bisa membanggakan jika ada yang bertanya, “Sekarang, lagi sibuk apa, Ji?”. Lumayanlah, ketimbang jawaban yang itu-itu saja yang sudah tertebak seperti, yah, gitu, deh atau wah, sibuk apa ya? Nggak tahu, deh..atau bisa juga well, you know stuff like that atau yah you knowlah little this, little that ... Jawaban khas orang bingung atau yang nggak punya banyak kegiatan tapi selalu sok sibuk dan sok banyak beralasan seperti saya hehehe.
Bak membuka kotak Pandora (buset!), bermunculanlah satu persatu peserta Reading Lights Writer’s Circle (RLWC). Total ada tujuh orang yang datang, Sapta, Farida, Danny, Riri, Sabiq, David, dan saya.
Setelah berembuk tentang tema apa yang akan menjadi bahan tulisan, kita akhirnya memutuskan untuk menulis tentang crime (kejahatan). Tema ini kita ambil setelah mendengar cerita dari kawan kita Farida yang mendapat tugas dari kampus untuk mewawancarai narapidana di sebuah penjara di Bandung yang namanya saya lupa.
Cerita pertama datang dari Danny. Cerita ini memang belum selesai baru permulaan dari kisahnya secara keseluruhan. Inti ceritanya yang bisa saya tangkap sih, tentang seorang saksi pembunuhan yang akhirnya setelah dua puluh tahun kemudian, dibunuh oleh pembunuhnya itu sendiri. BAGUS.
Lalu giliran adik kecil kita, cieeeh… Mr. Highschool Boy, hehehe. Sabiq menulis cerita tentang seseorang perempuan yang akhirnya mengaborsi janin yang ada di rahimnya setelah hamil di luar nikah setelah menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Kayak gitu bukan sih, ceritanya, bro? Sorry ya, kalo salah. Salah-salah dikit, nggak apa-apa kali, ama temen ini. Prinsipnya sih, ceritanya bagus tapi, mungkin karena terburu-buru, ada beberapa bagian yang harus diperjelas. Not bad at all for the beginner. Alah, belagu bener ya gua? Kayak udah expert aja. Sorry kawan, hanya bercanda. Pokoknya mah, BAGUS.
Cerita selanjutnya datang dari somebody who pull the trigger alias sang pemicu timbulnya ide, Farida. Saya suka ceritanya karena sudah ‘jadi’ dan juga, menimbulkan rasa penasaran untuk membacanya terus sampai akhir cerita. Kisahnya tentang orang baik-baik, berpendidikan tinggi, yang hidupnya harus berakhir di penjara karena membunuh orang. Suatu hari karena dia terburu-buru, ia berdebat dengan seseorang yang menjengkelkan dan terpaksa memukul orang tersebut dengan dongkrak hingga mati. Dalam cerita itu juga dikisahkankan kalau keluarga si tokoh adalah keluarga yang bermasalah dengan ayah yang pengangguran, kerap menyiksa isterinya sehingga akhirnya dibunuh oleh kakak sang tokoh. Ia pun akhirnya, dibiayai oleh sang paman yang juga berwatak keras dan temperamental. BAGUS.
Kali ini, tidak seperti biasanya, Riri bisa menyelesaikan cerita sampai tuntas. Good for you, Riri. Dan bagusnya lagi, cerita yang dibuat juga unik, spesial karena tokohnya seekor anjing. Berbeda dari kebanyakan cerita-cerita peserta lainnya yang mengambil sudut pandangnya dari manusia. Kisahnya tentang seekor anjing yang majikannya adalah seorang pembunuh. Ceritanya semakin menarik ketika tanpa sengaja si anjing mengorek tanah dan menemukan tulang dari mayat yang dibunuh dan dikubur oleh majikannya di rumahnya. Mudah-mudahan sih bener begitu ya, ceritanya? Sorry ya, kalau terlalu banyak dikarang-karang dan terlalu banyak penafsiran hilang fokus sih, hehehe. BAGUS.
Lanjut, pada kisah karya Sapta. Sepertinya, kisah ini bagus kalau dijadikan sekuel atau lanjutan dari kisah karya Farida. Ceritanya, soal orang yang dipenjara karena sesuatu hal yang tidak disebutkan dalam cerita. Di penjara, dia dikurung dalam sel dengan 3 narapidana lainnya yang menjadikannya budak pemuas seks. Singkat cerita, malam berganti malam, “kekasih-kekasih” si tokoh saling membunuh untuk mendapatkan “cinta” dari si tokoh. Karena dianggap menjadi penyebab terjadinya peristiwa saling bunuh tersebut, pihak penjara akhirnya, memindahkannya ke ruang sel lain yang tersendiri. Mungkin betul rencana si tokoh untuk menuliskan kisahnya itu dalam bentuk buku, akan menjadi lebih tebal lagi. Wah, bisa jadi bestseller tuh, novelnya. BAGUS.
Kisah selanjutnya, datang dari kawan lama kita, David. Ceritanya sangat-sangat lucu, dengan dialog-dialog khas Sunda yang mengocok perut kita. Ceritanya, tentang seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dan sedang diinterogasi polisi. Kekuatan dari cerita ini walaupun belum sepenuhnya selesai adalah, percakapan informal yang memang biasa terjadi antara tersangka kejahatan dengan polisi di wilayah Bandung dan sekitarnya. Dialognya, kalau menurut saya, memang khas banget kalo pelaku kejahatannya kasus-kasus seperti maling ayam, maling jemuran, dan semacamnya. Bagian yang paling tidak bisa saya lupakan adalah ketika si polisi menanyakan nama tersangka dan dia menjawab Andre Otong. Lalu si polisi menuding, kalau dia bohong karena pakai kaos tulisannya Jajang. Dengan setengah mati ia meyakinkan kalau ia memang Andre Otong adapun kaos yang dipakainya memang milik temannya, Jajang yang ia pinjam setelah ia bermalam di rumah temannya itu. Udah gitu, sang polisi menemukan sebuah KTP atas nama Pepen Surepen kontan saja, membuat polisi makin curiga dan gemas. Si tokoh pun mati-matian meyakinkan kalau itu KTP temannya yang terbawa olehnya. BAGUS.
Terakhir, cerita buatan saya. Seperti biasa, saya menulis tentang cerita yang ringan-ringan saja. Itu mungkin spesialisasi saya untuk membuat cerita yang jayus bin garing, makanya, ditambahin air aja, biar basah wkwkwk… Jadi, ceritanya soal seorang bernama Bobby yang disidang karena kasus pencurian sepeda. Ini karena dia salah menafsirkan pernyataan seorang perempuan yang memintanya untuk mengambil “miliknya” yang paling berharga. Lalu, ia memilih mengambil sepeda milik perempuan itu dan didakwa melakukan tindak pidana pencurian. Entahlah, ada atau tidak pria setolol itu. Yah, namanya juga cerita hehehe. Ditambahin BAGUS nggak ya? Nggak usah deh. Wah, udah telanjur tuh, udah nggak bisa dihapus lagi.
Omong-omong, mau tahu alasan saya meletakkan kata bagus dengan huruf kapital pula di setiap ulasan karya rekan-rekan? Saya jadi teringat dengan almarhum Pak Tino Sidin guru melukis dan menggambar. Entah, masih ada yang ingat atau tidak dengan beliau. Saya suka sekali dengan acara belajar menggambar yang diasuh Pak Tino Sidin di TVRI zaman baheula pisan. Nah, di acara tersebut, Pak Tino selalu mengucapkan kata bagus setiap ia habis membacakan gambar karya anak-anak yang mengirimkan karyanya kepada Pak Tino. Ketika ditanya, mengapa Pak Tino selalu bilang kata bagus? Beliau berkata, “Sebenarnya, BAGUS itu singkatan dari Belajarlah Gambar-Menggambar Untuk Seni.” Akhirnya, saya jadi ikut-ikutan beliau deh, pakai kata bagus setiap kali habis mengulas karya rekan-rekan sekalian. Mungkin dalam hal ini, maknanya jadi, Belajarlah Tulis-Menulis Untuk Bahasa alah, garing banget…
O.K. There’s nothing left to say… Tetap asah penamu, mas bro, mbak sis. Sampai ketemu minggu depan!
Satyo Aji Karyadi, lebih akrab disapa Aji, adalah peserta writers' circle yang kedatangannya paling sulit diprediksi. Kadang ia datang setiap minggu, tetapi kadang-kadang ia lama tidak muncul hanya untuk muncul lagi dan membuktikan kebertahanannya. Pria tinggi dan berkacamata ini sebetulnya pendiam, tetapi ada tiga fakta yang patut diketahui tentangnya. Pertama, Aji telah mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Kedua, seperti yang diakuinya, Aji suka menulis tentang politik dan sepak bola (Kadang-kadang tajuk tulisan politiknya cukup ajaib. Membandingkan Stalin dengan Charlie Chaplin, misalnya). Ketiga, dalam tulisan ini Aji mengutip lagu Message in a Bottle-nya The Police. Apakah laki-laki ini suka The Police? Apakah kesukaannya ini merupakan indikator dari usia Aji yang sebenarnya? Ah, barangkali cuma anak-anak writer circle dan malaikat yang juga tahu.