Sabtu siang (19/2), saya dan segenap warga Bandung lainnya dimanjakan cuaca cerah yang mengajak kami keluar dari rumah. Setelah berjam-jam keliling BEC untuk belanja gadget (halah!), saya pun datang ke Reading Lights. Di sana, sudah berkumpul Rizal, Aga, Hakmer, Nia, Farida, Aji, Sapta, dan Dani. Ditambah saya dan Ryan, yang datang setelah saya duduk, kami semua bersembilan. Masing-masing lalu duduk dan memeras otak menanggapi ide tema yang diusung Mahel yang kemudian disiapkan oleh Nia: menulis berdasarkan kisah dari Kitab Suci.
Dalam menulis, para peserta writer’s circle diperkenankan:
1. Menceritakan ulang ayat atau kisah tersebut sesuai versi penulis;
2. Menjadikan ayat atau kisah itu sebagai bagian cerita;
3. Membuat proyeksi tentang apa yang mungkin terjadi dalam berdasarkan penggalan ayat atau kisah itu. Misalnya, seperti dalam film Legion atau Constantine.
Untuk membuat latihan ini semakin seru, setiap kisah harus dituturkan dalam sudut pandang orang ketiga serta, supaya adil, cerita harus ditulis langsung dan bersama-sama di Reading Lights. Dilarang membawa makanan tulisan dari luar!
Setelah lebih dari setengah jam menulis, diselingi sejumlah momen khas writer’s circle, (“Gua mau beli bolpen di seberang,” ujar Dani. “Ini ada,” ujar beberapa peserta lainnya. “Nggak,” tolak Dani, ngeloyor ke luar.) Ryan lantas membacakan interpretasinya tentang kisah bahtera Nuh. Alkisah setelah hujan lima hari tidak berhenti, Nuh memutuskan untuk membuat kapal. Dengan bujukan istrinya, Nuh pun meminta orang-orang ikut membantunya. Dalam cerita ini, Nuh dan istrinya tampil lebih manusiawi. “Lebih antagonis,” komentar Farida. Ryan, yang mengaku sempat tekun membaca alkitab menggunakan kata-kata yang sering muncul di sana, seperti hendaklah, dalam dialog. Menariknya, itu tak membuat ceritanya menjadi kaku.
Selanjutnya, saya membacakan cerita tentang anak kecil bernama Rudi. Anak ini penasaran dengan makna ayat pertama surat Al-Baqarah (Aliiif lam miiiim) yang sering dilafalkan Ibu setiap mereka mengaji. Setiap kali hendak tidur, Ibu selalu mendongengi Rudi cerita-cerita dari Al-Qur’an, yang justru membuatnya sulit tidur: kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan Tuhan menyembelih anaknya, sampai adzab Tuhan terhadap kaum Sadoum dan Amourah. Hingga suatu hari, ketika Rudi dan Ibu mengaji, anak itu membayangkan sebetulnya “Aliiif lam miiiim” mengisahkan sesuatu yang menyenangkan, tak seperti cerita-cerita yang pernah didengarnya. Alif, Lam, dan Mim adalah para sahabat yang menonton Toys Story 3. “Sebetulnya idenya bagus. Tapi penggarapannya berantakan,” ujar Rizal. Saya mengangguk setuju.
Aga menulis cerita berbahasa Inggris tentang Alya, seorang anak perempuan yang tinggal di tengah gurun. Suatu hari, Alya bertemu dengan peramal nasib yang mengatakan bahwa ia akan mati hari ini. Alya pun berlari, menyamar menjadi sebuah pohon di tengah hutan. Tindakan yang malah mempercepat takdirnya jadi kenyataan. Kisah ini terinspirasi dengan kisah Nabi Zakaria yang mati ketika menyamar menjadi pohon. Sapta memuji cerita Aga, "Ini ketiga kalinya, gue denger cerita elu. Cerita ini bagus karena beda dengan cerita-cerita sebelumnya."
Di tengah sesi pembacaan, tiba-tiba Nia ingin segera membacakan tulisannya. Sapta pun menggoda Nia dengan menyatakan kalau ia juga ingin membaca saat itu. Akhirnya diputuskan kalau yang membaca selanjutnya adalah Rizal. Ia menceritakan hubungan antara Tuhan dan Adam. Ketika Adam sendirian, Tuhan menciptakan Hawa. Sementara itu, setan adalah pihak yang paling tahu peringai Tuhan. Setan menuruti perintah Tuhan untuk merayu dua sejoli itu menyantap Khuldi. Pada akhirnya, Tuhan diibaratkan sebagai orang tua yang bosan dan menjadikan Adam sebagai kelinci percobaannya. Kata Dani, “(Karena menjadikan Tuhan sebagai karakter) penulis cerita ini lebih tahu segalanya daripada Tuhan.”
Cerita Sapta terinspirasi dari kisah Idris. Seorang nabi yang terkenal karena kecerdasannya. Sapta memproyeksikan kisah Idris dalam diri Leon, seorang eksekutif sukses yang memiliki segalanya. Namun, Leon merasa ada yang kurang. Ia berambisi merasakan kegagalan. Setelah berhasil membujuk bosnya untuk memecatnya, ia kembali mengambil tes masuk di tempat kerjanya dengan niat untuk gagal. Malangnya, ketika hari H, laki-laki itu tertabrak mobil. Alhasil ia pun lumpuh. Nia mengaku belum pernah mendengar kisah tentang Nabi Idris. “Gua juga,” ujar Sapta. “Ini ketemu di Google.” Hari ini bukanlah pertama kali Sapta menulis cerita berdasarkan Al-Qur’an. Sebelumnya ia pernah menulis Kisah Penciptaan saat tema ‘Pengalaman Pertama.’
Dengan kocak, Aji menuturkan kembali kisah penyaliban Yesus. Syahdan, ketika Yesus dikejar-kejar orang Yahudi ia tidak diangkat oleh Tuhan. Mengapa demikian? “Well, my son, why didn’t you call me?” tanya Tuhan, ketika ditemui Yesus dalam kematian. Maksudnya: salah sendiri ketinggalan, orang elu kagak telepon! Setelah sekumpulan cerita serius, tulisan Aji sukses membuat kami tertawa.
Kemudian Farida membacakan tulisannya yang berdasarkan kisah Khidir, “Menurut gua kisah ini paling disturbing.” Suatu hari Musa ingin jadi orang yang tahu segalanya. Tuhan pun mempertemukannya dengan Khidir. Khidir adalah nabi yang membocorkan kapal, membunuh anak kecil, dan membenarkan rumah terlantar tanpa memberi tahu alasannya. Belakangan, barulah ia memberi tahu Musa bahwa kapal dibocorkan karena akan dipakai untuk membajak, bahwa anak kecil yang ia bunuh akan menyusahkan orang tuanya, dan rumah yang ia betulkan adalah milik anak yatim piatu. Farida terganggu dengan keyakinan mutlak Khidir terhadap masa depan. Ia lantas menulis tentang seorang anak yang ayahnya bertindak seperti Khidir. Dalam cerita tersebut tidak semua semulus ramalan Khidir. “Cerita ini menakutkan karena ada hal-hal di dalamnya yang tetap nggak terjawab,” komentar Dani.
Tokoh dalam cerita Nia bernama Demas. Ia merupakan reinkarnasi Ibrahim, nabi yang saat masih muda kritis mencari Tuhannya. Demas lalu mengalami serangkaian kejadian yang akhirnya membuatnya kehilangan nyawa. Ketika menghadap Tuhan, sekali lagi nyawanya dicabut. Demas harus menerima kenyataan bahwa Tuhan adalah sosok yang mencabut nyawanya dua kali. Para peserta writer’s circle pun bengong. Farida menyukai penggarapan tulisan ini, tetapi tidak suka ceritanya. “Ini cerita ketiga yang gua tulis. Dua yang lainnya jelek,” aku Nia.
Dengan sudut pandang orang pertama, Hakmer menyampaikan versi baru kisah Yohanes Pembaptis yang dianggap orang gila. Narasi Hakmer masih seperti suaranya sendiri. Ia mempertanyakan, “Mengapa Tuhan menyampaikan wahyunya hanya lewat satu kepala, tidak kepada semua kepala lainnya?” Sementara itu, kisah Dani beraroma science-fiction. Kabin pesawat ruang angkasa, di mana seorang astronot menggoda keimanan karakter rekannya (seorang Katolik) dengan memancingnya untuk percaya kepada ajaran Gnostik yang notabene dianggap sesat oleh Gereja.
Dalam undangan Facebook pertemuan writer’s circle kali ini, Mahel menyampaikan pendapatnya bahwa kitab suci bisa jadi merupakan bentuk kesusasteraan paling kuno. Kitab suci penuh dengan kisah-kisah serta diksi yang unik dan multitafsir. Ia mengutip penulis Avianti Armand: “Kitab suci, seperti juga labirin bukanlah sebuah peta. Peta adalah sebuah abstraksi, sekumpulan tanda dan legenda yang tak sanggup menggantikan pengalaman. Sementara itu dalam kitab suci, sebagaimana juga labirin, selalu ada misteri yang tidak menuntut untuk dipecahkan, melainkan dialami berkali-kali.”
- Andika Budiman