Kamis, 01 April 2010

Menulis Hari Apa Sedunia

Sabtu itu hujan deras turun menyirami Bandung, tepat ketika saya, Azisa dan Natalia akan mengikuti RLWC. Alhasil kami datang dengan baju yang basah dan badan kedinginan.

Sampai di RLWC-pun kami agak terlambat, karena temen-temen RLWC semua sudah mulai menulis. Hari itu saya merasa RLWC memiliki sebuah atmosfer yang berbeda. Mungkin karena pada hari itu kami berkumpul di sebuah sofa sehingga membuat kesan hangat dan akrab.

Setelah mengeringkan diri seadanya, saya pun bertanya-tanya tentang tema hari itu. Maknyes dengan segera memberi tahu bahwa tema hari itu sesuai dengan Hari Bumi yang memang jatuh di tanggal 27 Maret 2010. Kita harus memaparkan sebuah Hari Spesial yang dirayakan di seluruh dunia, namanya, dan cara-cara merayakannya, baik fiktif maupun kisah nyata.

Tema itu sebenernya membuat saya berpikir agak lama, karena terlalu banyaknya harapan saya untuk hal-hal (yang tidak penting) dijadikan hari libur. Hehehe.

Setelah menulis (dan diselingi dengan gosip-gosip tidak penting), satu-persatu dari kami pun membacakan karyanya, sayangnya tidak semua peserta dari RLWC hari itu bisa mendengarkan dan memberi komentar dari karya-karya temen-temen penulis karena harus cepat-cepat pergi.

Wahyu, mendapatkan kesempatan pertama membaca (karena harus cepat-cepat pergi). Dia menuliskan bila suatu saat ada Hari Tidak Mandi Dunia. Menurut imajinasi Wahyu, hari itu dibuat untuk menghemat air, di ceritanya bahkan ada sebuah konferensi dimana para pemimpin dunia tidak mandi untuk menghadiri konferensi tersebut. Namun ternyata Hari Tidak Mandi Dunia itu berefek samping dengan rusaknya atmosfer dan udara dunia karena setiap orang menggunakan parfume dan cologne yang berlebihan.

Cerita Wahyu sangat menyenangkan untuk di dengar. Lucu tapi sedikit satir, dimana manusia ternyata bagaimanapun memang terbiasa merusak dunia dalam kehidupannya.

Andika, yang mendapatkan kesempatan membaca selanjutnya, kembali hadir dengan kisah yang manis dan romantis. Ber-setting di Prancis, kisahnya bercerita tentang Francis, seorang anak remaja laki-laki yang merasa canggung dan minder menghadapi World Kissing Day. Seperti biasa Andika dengan luar biasa, memaparkan rasa canggung dan malu Francis ketika dia membayangkan harus mencium 5 gadis hari itu dan bagaimana teman-temannya sukses mencium 5 gadis (secara mudah maupun sulit). Di akhir cerita ternyata kecanggungan dan rasa malu itu muncul, karena bukan teman-teman perempuannya-lah yang ingin dia cium, tapi gurunya yang berasal dari Indonesia--guru laki-lakinya lebih tepatnya. Cerita diakhiri dengan adegan nekat Francis yang mencium sang guru saat pelajaran tambahan dan lari keluar kelas.

Cerita Andika mengalir dengan nyaman dan unsur homoerotis di dalamnya disampaikan dengan manis. Tampaknya Andika sudah sangat nyaman menulis di genre ini (genre semi-curhat. Hehehe). Saya mengharapkan Andika menulis sebuah cerita penuh dari cerita ini, karena boleh dibilang cukup jarang kisah homoerotis yang memiliki tokoh remaja.

Maknyes kembali hadir dengan kisah kocaknya. Maknyes yang mengeluh mengalami writer's block ternyata menghasilkan cerita yang bagus dan lucu. Itu kena writer's block ya? Gimana kalau enggak? Kisah Maknyes dimulai dari kehebohan Susan dan teman sekosannya, Johan, untuk merayakan sebuah peryaan dunia di lapangan Tegalega. Cerita mengalir dengan penuh komedi, sampai di saat Eva Arnaz, artis yang memandu acara peryaan itu muncul. Kisah semakin lucu ketika digambarkan mereka melakukan waxing massal, terutama karena sang artis melakukannya di ketiak (Ouch!!! :p). Ternyata hari itu adalah Hari Hairless Dunia.

Seperti biasa Maknyes menghadirkan cerita yang membuat semua anggota tertawa dari awal hingga akhir dan dialog lucu antara tokoh Dari narator dan temannya, cara pemilihan kata, hingga ending membuat tertawa. Dan tidak lupa dengan unsur sinis yang menyindir (meledek lebih tepatnya, yang korbannya hari itu adalah Mbak Eva Arnaz).

Suasana berubah saat Uli membawakan ceritanya tentang Hari Terserah, dimana setiap orang diperbolehkan mekukan apa saja yang mereka mau. Cerita di mulai tentang seorang anak remaja pria yang memutuskan untuk tidak sekolah, agar dapat berenang dengan sahabat prianya. Tokoh ini digambarkan sebagai Anak Populer di sekolahnya terutama di kalangan wanita. Tapi ternyata keinginan utamanya adalah memeluk sahabat prianya. Keinginan terpendamnya terwujudkan, bahkan lebih karena sang teman membalas pelukannya (ada adegan shower kolam renang yang membuat saya déjà vu masa SMU :p ). Cerita berlanjut dengan Parman, satpam sebuah apartemen yang muak dengan keributan di apartemen itu, dan memutuskan untuk mendapatkan ketenangan dengan mematikan listrik. Tapi ternyata hari itu justu membuat keluarga-keluarga yang sering ribut itu menjadi semakin akrab karena terkurung dan menyadari bahwa mereka saling memiliki.

Cerita Uli sangat bagus dan seperti biasa hadir dengan suasana melankolis namun tidak depresif. Hari itu Uli "menuduh" Andika meracuni otaknya dengan kisah homoerotika. Namun menurut saya, kisah itu akan lebih bagus bila kisah pertama lebih memiliki tali merah dengan cerita kedua (selain Hari Terserah). Menurut saya akan lebih bagus bila misalnya tokoh si anak itu adalah penghuni apartment juga atau berenang di kolam renang apartment itu. But that's just an idea, cerita Uli sudah bagus tanpa dirubah apapun juga.

Giliran berikutnya jatuh kepada Azisa yang kembali dengan dunia fantasinya. Menceritakan suatu dunia dimana mimpi dan imajinasi dapat menjadi nyata. Kisah dimulai dengan narasi perasaan sang tokoh ketika harus menghadapi mimpi masa kecilnya yang sudah dia simpan begitu lama di lemarinya. Karena sebuah adat istiadat dimana semua orang pada hari itu HARUS mengeluarkan mimpi masa kecil yang sudah lama disimpan bahkan dilupakan. Kisah Azisa diakhiri dengan sang tokoh membuka lemari tua tempat dia menyimpan mimpi tanpa memeberi tahu apa mimpi tersebut.

Cerita mengalur dengan imajinatif dan kontemplatif. Metafora dan analogi disampaikan Azisa dengan santai dan mengalir. Membuat kita berpikir, kalau kita dihadapkan dengan mimpi masa kecil yang menjadi nyata, kira-kira apa yang akan kita rasakan ya? Terutama bila mimpi itu adalah mimpi buruk ...

Dani kembali hadir dengan genre kesukaannya - spionase. Mengambil setting Hari Bumi sedunia dimana semua oarang harus mematikan lampunya selama satu jam. Bercerita tentang detektif Yan, yang disekap di suatu gudang oleh George yang tampaknya adalah musuh lamanya. Ternyata George telah menyabot PLTGU Muara Karang dan meledaknya PLTGU itu membuat lampu-lampu kota Bandung mati satu persatu dan membawa kota Bandung ke dalam kegelapan. Cerita diakhiri dengan datangnya pahlawan yang menyelamatkan detektif Yan.

Saya selalu menyukai kisah-kisah Dani karena pengetahuannya terhadap temanya membuat dia selalu menghasilkan cerita yang detil. Tapi menurut saya, Dani harus mulai mencoba keluar dari comfort zone-nya dengan mulai menulis sesuatu yang benar-benar baru. Tapi cerita ini HARUS dijadikan sebuah cerita panjang yang akan sangat saya tunggu (dan juga tentu juga ditunggu peserta RLWC yang lain)

Natalia, yang baru pertama kali datang, mendapat giliran selanjutnya. Mengisahkan tentang suatu keadaan dimana semua orang tidak memakai alat perhitungan waktu, di dunia Hari Tanpa Waktu, dimana narator menjadi gelisah dan bad mood karena harus mengandalkan insting saja, dan dimana sebuah meeting penting sudah ada di depan mata. Narator akhirnya terlibat sebuah perbincangan dengan supir taksi yang mengantarkan dia tentang bagaimana kedisiplinannya dalam mentaati waktu, membuat dia bisa memperkirakan waktu dengan cukup tepat tanpa alat bantu penghitung waktu apapun.

Kisah Natalia memiliki kritik sosial yang cukup kuat, dimana justru banyak orang yang tidak mentaati waktu walau sudah memakai alat penunjuk waktu. Agak menohok saya juga yang termasuk tukang telat :p

RLWC diakhiri oleh Niken. Dia bercerita tentang pemikirannya ketika melihat spanduk tentang Hari Orang Sakit Dunia. Ceritanya berisi monolog dirinya mulai dari apa yang dikerjakan di Hari Orang Sakit Dunia. Apakah mengunjungi mereka dan memberi ucapan selamat? Yang pastinya akan sangat aneh. Atau mungkin satu hari ini semua orang di dunia sakit?

Seperti biasa Niken bercerita dengan alur yang terasa sangat akra, dan menggambarkan keseharian yang dapat begitu related dengan kehidupan kita.

Sementara bagaimana dengan cerita saya? Hehe. Anda bisa baca di blog saya.





Regian Permana. Lahir lebih dari 20 tahun yang lalu. Menyukai lagu-lagu Jepang dan Korea. Penggemar berat cerita fantasi dan dongeng - terutama dongeng-dongeng Asia tentang siluman rubah. Mungkin itulah yang menyebabkan cowok narsis ini mempunyai Facebook: Siluman Rubah Kitsune, YM: liyujingbai (siluman rubah putih), dan Livejournal: http://white-demon-fox.livejournal.com. Usut punya usut, menurut cerita nenek Regie, nenek moyangnya di Cina dulu adalah seorang (atau seekor) rubah, sehingga untuk mengenal Regie harus berhati-hati karena siapa tahu garis darah itu masih menurun kepadanya ...

4 komentar:

Andika mengatakan...

"Tampaknya Andika sudah sangat nyaman menulis di genre ini (genre semi-curhat. Hehehe)."

Gw mau meluruskan saja bahwa cerita2 gw sebetulnya nggak pernah ada unsur curhat2nya. Kalaupun ada mirip-miripnya dengan dunia nyata, itu karena gw, sebagaimana kebanyakan penulis lainnya, menggunakan berbagai pengalaman yang ditulis, dipoles, dan direka ulang demi memunculkan reaksi tertentu kepada pembacanya. Kalau penyimak merasa gw sedang curhat, barangkali karena tulisan itu memang dimaksudkan memberikan kesan itu.

Gw tidak (lagi) menulis fiksi untuk berbagi segala hal yang sedang dialami.

M. Lim mengatakan...

Andika sekarang nulisnya fiksi apa?
:)

Pradana P.M. mengatakan...

Weh. Muara Karang itu di Jakarta lho.. Jauh amat kok bisa nyasar ke Bandung padahal ceritanya di pinggir laut....

Andika mengatakan...

@Mirna: Hahaha, sebetulnya masih sama seperti dulu, sama seperti yang Regie tulis: homoseksualitas, keluarga, dan bildungsroman. Bedanya sekarang nggak curhat ;)